Rabu, 05 Desember 2007

NEGARA HUTAN KONSPIRASI

Adelin Lis, bos PT. Keang Nam Development Indonesia (KNDI), terdakwa perusakan hutan Sumatera Utara (Sumut), diberi hadiah bebas oleh hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan. Berdasarkan pengamatan Walhi, ini adalah ‘prestasi’ penegak hukum yang ke-12, di mana para hakim juga membebaskan para terdakwa pembalak hutan ilegal untuk 11 kasus sebelumnya. Ini semakin mengukuhkan gelar Indonesia sebagai juara dunia kedua perusak hutan (setelah Brazil) yang ditempelkan Greenpeace di wajah Indonesia dan dipamerkan di etalase kerusakan ekologi global. Laju pembabatan hutan Indonesia dua persen per tahun, jauh di atas Brazil yang hanya 0,6 persen. Sebentar lagi kita pun akan bertepuk tangan karena berhasil menjadi juara dunia pertama, mengungguli Brazil. Bukan umat manusia Indonesia saja yang terancam bahaya, tapi umat manusia di muka bumi sebab hutan Indonesia adalah paru-paru dunia.

Hukum aliran sesat

Kepolisian menganggap putusan hakim PN Medan itu tidak obyektif dikarenakan hakim enggan melakukan pemeriksaan lapangan untuk melihat langsung bagaimana kerusakan hutan di tempat kejadian perkara (Republika, 7/11/2007). Masyarakat yang mendengar dan melihat informasi perkara tersebut tentu bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi. Mafia peradilan memang telah lama terjadi. Namun sejauh mana sisa jiwa kemanusiaan penegak hukum dalam kasus tersebut sehingga dengan sangat berani mengorbankan nasib umat manusia sedunia, sebab kasus itu menjadi preseden yang akan membuat para perusak nasib manusia tertawa terkekeh-kekeh di atas tumpukan kekuasaan uang mereka. Mereka telah menguji kesekian kali bahwa hukum di negara ini masih mudah ‘diatur’ sebagai boneka. Masyarakat korban mencari keadilan dengan meraba-raba dalam kegelapan, dan tak jarang terjerumus ke dalam jurang.

Kita sedang menyaksikan sebuah tayangan sandiwara tentang pembalakan hutan. Tanpa sadar ada penonton yang menangis sedih, ada yang benci melihat kejahatan tokoh antagonis, ada yang simpati dengan tokoh protagonis. Padahal, itu semua telah ada di skenario, disutradarai dengan cerdas dan diperankan oleh para aktor yang berpengalaman. Tayangan itu akan memperoleh rating tinggi. Masuk akalkah jika negara ini tidak sekata dalam memberantas kejahatan kepada publik yang terang-terangan di depan mata?

Kepolisian, Departemen Kehutanan dan Kejaksaan adalah lembaga suborganisasi pemerintahan di bawah presiden, tetapi mereka bertikai. Dalam kasus Adelin Lis, Kepolisian berpendapat bahwa negara menderita kerugian sebesar Rp 227,92 triliun (melalui dua perusahaan Adelin Lis: KNDI dan PT. Inanta Timber Trading). Tetapi kejaksaan menyatakan negara hanya rugi Rp 119 miliar dan 2,9 juta USD. Bahkan Menteri Kehutanan RI, MS Kaban membuat surat resmi yang isinya menyatakan bahwa dalam kasus Adelin Lis itu hanya ada pelanggaran administrasi dan bukan kasus pidana.

Kita patut mempertanyakan landasan wewenang Menteri Kehutanan untuk membuat surat formal yang substansinya sebagai intervensi proses hukum pidana, sebab menteri bukanlah pejabat yang menjadi bagian dari unsur Integrated Criminal Justice System dalam hukum acara pidana. Jika surat resmi itu kemudian digunakan sebagai alat bukti di muka pengadilan maka itu akan dianggap publik (termasuk hakim) sebagai sikap pemerintah, sebab sang menteri membuat surat itu dengan jubah jabatannya. Dalam wawancara dengan Majalah Tempo (edisi 10-16 September 2007) Menteri Kehutanan dengan tegas menyatakan bahwa Departemen Kehutanan yang paling tahu soal kehutanan dan tidak menghendaki pihak luar intervensi. Di sini ada fenomena tirani wewenang. Itu sikap yang tidak tepat di negara hukum demokratis. Lebih aneh lagi jika hal itu berlangsung tanpa dapat dikendalikan oleh presiden selaku kepala lembaga eksekutif. Maka tepat jika Republika (7/11) membuat judul tajuk: “Hutan Kekacauan” sebab memang ada pula kekacauan dalam manajemen pemerintahan.

Sebenarnya kasus perusakan hutan semacam itu (yang dilakukan perusahaan pemegang izin) sudah terang diatur dengan pasal 50 ayat (2) jo. pasal 78 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 50 ayat (2) tersebut menentukan: Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. Menurut pasal 78 ayat (1) ancaman pidananya maksimum 10 tahun penjara atau denda Rp. 5 miliar.

Kejaksaan pun telah menambah dakwaan dengan delik kejahatan korupsi sebab memang ada unsur perbuatan melawan hukum, memperkaya diri dan merugikan negara. Pelanggaran hukum administrasipun (seperti yang dinyatakan Menteri Kehutanan) jika mempunyai akibat kerusakan hutan, tetaplah menjadi delik kejahatan perusakan hutan. Aturan hukumnya sudah jelas, namun dilumuri oleh jelaga kepentingan subyektif dengan mengorbankan keadilan publik. Kekuasaan kehakiman yang telah dimurnikan kemerdekaanya dengan UU No. 4 Tahun 2004, sehingga tak boleh diintervensi kekuasaan eksekutif termasuk dengan surat sakti menteri. Tapi apa daya jika ternyata kemerdekaan kekuasan kehakiman tersebut dijadikan alat kebebasan untuk menggelar dagangan hukum dan keadilan? Ini merupakan kelanjutan tragedi di dunia hukum negara ini yang telah lama disesatkan oleh keserakahan manusia. Hukum dikendalikan oleh pikiran-pikiran sesat sehingga menjadi hukum aliran sesat.

Konspirasi

Karut-marut penanganan perkara Adelin Lis tampaknya belum akan berujung. Berita Jawa Pos (7/11) menginformasikan kekesalan Polda Sumut kepada Kejaksaan Tinggi Sumut yang diduga melepaskan Adelin Lis, padahal masih ada perkara lain soal tuduhan money laundering dan pengubahan fungsi hutan menjadi ladang kelapa sawit. Sementara itu, dalam kasus perusakan hutan yang dibebaskan hakim PN Medan tersebut belum selesai sebab jaksa masih mempunyai waktu untuk mengajukan kasasi atas putusan bebas tersebut (bukan banding). Inilah yang saya katakan bahwa kita sedang menonton tayangan sandiwara.

Integrasi penegakan hukum yang morat-marit itu tidak masuk akal. Bagaimana Adelin Lis yang putusan perkaranya belum mempunyai kekuatan hukum tetap bisa lolos dari pantauan kepolisian dan dilepas kejaksaan? Di mana letak keseriusan kejengkelan para polisi tersebut sebab mereka tahu betul bahwa Adelin Lis harus selalu diawasi dan diikuti ke manapun perginya sebelum seluruh perkaranya dituntaskan? Adegan-adegan seperti itu tentu akan mampu menelikung persepsi publik yang belum berpengalaman dalam proses upaya hukum. Jika itu dibiarkan, ini pemerintahan yang tidak serius.

Dalam hidup ini, ada fakta di balik fakta. Ada tayangan informasi entertainment selebretis di mana para pengacara artis perceraian mengeluarkan pernyataan saling serang. Publik melihat itu sebagai fakta, tetapi apakah mereka tahu jika di balik layar televisi yang gelap itu ada fakta lain yang tidak diketahui banyak orang, di mana dalam keremangan yang dibuai aliran suara musik ada gelak tawa konspirasi? Itulah yang juga seringkali terjadi dalam dunia penegakan hukum di negara ini. Apakah para polisi yang berangkat ke Tiongkok untuk memburu Adelin Lis kemarin itu menggunakan uang mereka sendiri? Jikapun seandainya bukan dengan uang negara, misalnya dengan uang pribadi para pejabat Kepolisian, lalu apakah cukup diambilkan dari gaji mereka?

Coba kita tengok jauh di altar sejarah bangsa ini tentang bagaimana cara Ken Arok dapat meraih jabatan sebagai Akuwu di Tumapel hingga bisa mendirikan Singasari. Atau bagaimana Panembahan Senapati pendiri Mataram itu meraih simpati Sultan Hadiwijaya? Atau bagaimana Karebet sendiri yang bisa menjadi Sultan Hadiwijaya setelah memikat perhatian Sultan Trenggono? Ilmu-ilmu strategi upaya pengangkatan pangkat, jabatan serta karir dengan cara-cara itu selalu digunakan dan diwarisi anak-anak generasi bangsa ini dari waktu ke waktu. Bangsa ini selalu dipenuhi kisah-kisah kospirasi dan kebohongan. Para pejabat punya segalanya, dan hanya dua hal yang jarang mereka miliki, yaitu: harga diri dan moral. Sekeras apapun suara mereka tentang nasionalisme, hanya berbuah suara yang menatap dari dinding ke dinding peradaban, menjadi gaung yang menipu pendengaran manusia.

Hingga hari ini, kita terus membesarkan anak-anak dengan kebohongan dan kecurangan. Rasulullah SAW bersabda bahwa anak-anak menjadi Muslim, Yahudi atau Nasrani tergantung orang tuanya. Emile Durkheim mengatakan bahwa individu dilahirkan oleh sosial. Johan Galtung juga bertanya, mengapa orang membunuh? Sebab diantaranya orang itu dibesarkan dengan cara itu. Kita seharusnya menyalahkan diri sendiri jika anak-anak kita kelak menjadi generasi pembohong dan tumbuh menjadi vampir-vampir sosial sebab kita membesarkan mereka dengan cara itu. Masyarakat sesat akan melahirkan generasi sesat. Sampai hari ini pembangunan terus mengejar pertumbuhan ekonomi, setiap hari mengamati angka, tetapi - sadar atau tidak – masyarakat di negara ini mengalami deklinasi sosial.

Hutan kita semakin habis, gunung-gunung es di kutub bumi mulai bergeser dan mencair akibat perubahan iklim. Dana reboisasi berapapun besarnya hanya akan lenyap ditelan keserakahan, tak mampu menumbuhkan pohon-pohon kayu harapan bagi manusia sebelum kita serius dalam bernegara. Kini negara hanya dijadikan sapi perah dan permainan politik karena keserakahan. Uang dan aset negara digarong, pasir laut dicolong. Tanah air dan udara pun diracuni terang-terangan di siang bolong. Hutan alam yang hijau, sejuk dan gagah berganti dengan hutan konspirasi keserakahan. Allah melihat itu: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS Ar-Rum: 41). Perusak lingkungan hidup tergolong sesat. Agar kembali ke rel kebenaran maka Allah akan menimpakan azab dalam hukum kausalitas alam. Sudah siapkah kita?

Tidak ada komentar: