Senin, 09 November 2009

PEMERINTAHAN UCLUK-UCLUK


Entah lalai atau tidak, selama 11 tahun reformasi berjalan, kita malah terjerembab ke dalam budaya korupsi yang semakin liar. Ada sindiran yang tidak enak kepada kita. Konon, di India suap dilakukan di bawah meja, di Cina dilakukan di atas meja. Tapi, di Indonesia lebih parah, sebab meja tempat suap pun diembat.

Pemutaran rekaman pembicaraan mafioso korupsi (suap kepada penegak hukum) yang dilakukan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu sebenarnya hanyalah salah satu fakta buruk itu. Di luar itu, transaksi jual-beli hukum setiap hari terjadi.

Sekitar 10 tahun saya bekerja di dunia hukum, hampir setiap hari mendengarkan pembicaraan para advokat, polisi, dan jaksa tentang tatacara dan harga-harga perdagangan hukum dan keadilan, yang pembayarannya juga dilakukan terang-terangan di meja kantor penegak hukum negara termasuk pengadilan. Gedung-gedung lembaga penegak hukum adalah tempat-tempat pelelangan hukum dan keadilan. Siapa yang menawarkan harga lebih tinggi maka itulah yang punya kans besar memenangkan lelang hukum dan keadilan.

Celakanya, para guru besar dan ahli juga terlibat dalam pelacuran intelektual, turut meracuni keadilan, dengan bayaran mahal akan mau menjadi pesuruh pemilik kapital untuk memberi keterangan yang menguntungkan pembayarnya.

Tampaklah reformasi hukum selama ini hanya terjadi pada soal kuantitas peraturan dan lembaga. Sedangkan kedigdayaan hukum sebagai panglima tetap tunduk menyembah kepada sang juragan yang bernama kapital. Investasi yang ditanamkan para makelar hukum (markum) bahkan masih bisa dipanen dengan makin lancar dan prospektif.

Bagaimana investasi itu ditanam? Ada orang-orang yang mengorbankan uangnya untuk merawat dan memelihara investasinya berupa uang saku dan uang makan kepada para calon penegak hukum yang sedang menempuh pendidikan. Begitu pula para advokat hitam biasa memberikan fasilitas uang saku, antar-jemput dan uang mobil serta keinginan-keinginan para penegak hukum negara.

Dengan jalinan kedekatan seperti itu maka jangan heran jika terdapat fenomena munculnya orang-orang yang mestinya pekerjaannya tidak terkait dengan lembaga-lembaga penegakan hukum, tetapi ternyata mempunyai hubungan yang sangat dekat dan spesial kepada polisi, jaksa dan hakim. Mereka inilah yang biasa disebut makelar kasus (markus) atau makelar hukum (markum), para investor hukum itu.

Jangan heran jika ada kantor-kantor jasa hukum yang mempunyai spesialisasi pelobi, yang jago melakukan lobi-lobi kepada para penegak hukum. Bahkan para advokat selain ada yang jago sebagai markus atau markum, ada juga yang secara khusus berlangganan dengan para investor perdagangan hukum tersebut, yang juga sebagai mbahe markum. Mereka ini bisa amat cepat memperoleh kekayaan berlimpah.

Dalam keadaan seperti itu, sayangnya kita mempunyai presiden yang tidak progresif dalam menata lembaga-lembaga pemerintah bidang penegakan hukum yaitu Kepolisian dan Kejaksaan, yang secara struktural di bawah presiden.

Kejaksaan masih merupakan lembaga terkorup nomor ranking dua (Barometer Korupsi Global 2009 oleh TII). Pada tahun 2008 pun Kepolisian merupakan lembaga terkorup juara satu di Indonesia, berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tahun 2008 oleh TII). Pada tahun 2009 ini Amnesti Internasional merilis dokumen setebal 89 halaman berjudul “Urusan Yang Tak Selesai: Pertanggungjawaban Kepolisian di Indonesia” dengan inti laporan adalah kepolisian Indonesia melakukan penyiksaan, pemerasan, dan kekerasan seksual terhadap tersangka yang mana perilaku ini sebagai budaya melanggar hukum.

Presiden SBY dalam konferensi persnya beberapa waktu lalu mengatakan bahwa presiden tidak mengintervensi Kepolisian dan Kejaksaan dalam menjalankan tugas penegakan hukum. Menurut SBY, jika presiden mengintervensi Kepolisian dan Kejaksaan maka hal itu merupakan kesalahan.

Pernyataan presiden SBY seperti itu menunjukkan ketidakpahamannya dalam menjalankan tugas dan wewenang serta fungsi pemerintahannya sebagai presiden. Sebagai pimpinan lembaga Kejaksaan dan Kepolisian, tentu saja presiden berwenang untuk memerintah Kejaksaan dan Kepolisian untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan-tindakan tertentu dalam rangka penegakan hukum.

Lebih luas dari itu, presiden diberikan wewenang konstitusional untuk melakukan intervensi proses penegakan hukum dengan wewenang pemberian grasi dengan pertimbangan Mahkamah Agung (MA) (pasal 14 ayat 1 UUD 1945), dan pemberian amnesti dan abolisi dengan pertimbangan DPR (pasal 14 ayat 2 UUD 1945).

Selain itu, presiden salah dalam memahami pengertian independensi penuntutan oleh Kejaksaan dan penyidikan oleh Kepolisian. Independensi yang dimaksudkan terkait dengan kebebasan profetik dalam menjalankan penegakan hukum. Hal itu tentu tidak dapat mengeliminasi wewenang presiden untuk mengendalikan Kejaksaan dan Kepolisian, apalagi dalam perkara-perkara yang menyangkut keadilan sosial.

Intervensi presiden kepada Kejaksaan dan Kepolisian dalam rangka penegakan hukum dibutuhkan untuk tujuan-tujuan yang konstruktif. Dalam penanganan perkara yang berkaitan dengan kepentingan negara tentu saja presiden berwenang menjadi pengendali untuk tujuan penyelamatan negara, agar Kepolisian dan Kejaksaan tidak menjadi lembaga yang liar tanpa kontrol.

Sebenarnya negara ini tidak membutuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan Umum mampu dan tangkas dalam menyelesaikan masalah korupsi di Indonesia. Tetapi justru kenyataannya Kepolisian dan Kejaksaan serta Pengadilan Umum menjadi sarang korupsi dengan maraknya suap-menyuap di dalamnya.

Sekarang, jika presiden mau tegas dan revolusioner dalam membersihkan negara dari kaum parasit, mestinya kita tidak mengalami kekecewaan selama 11 tahun reformasi ini. Mestinya KPK dan Pengadilan Tipikor sudah mulai dibubarkan sebab Kepolisian dan Kejaksaan serta Pengadilan Umum sudah bisa memberantas korupsi dengan baik.

Tapi yang terjadi sekarang justru permusuhan tajam antara KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan. Saya tak lagi menyebutnya sebagai oknum sebab pertikaian itu sudah melembaga. Artinya, pemerintahan negara ini masih terus-menerus gagal dalam mengemban amanat reformasi yang telah mengorbankan darah dan jiwa itu.

Pemerintahan masih dijalankan secara tidak serius oleh orang-orang yang tidak terlalu memahami wewenang dan tugas jabatannya, yang lebih banyak menuntut hak. Pemerintahan yang masih hanya mengonani pikiran rakyat kecil dengan bantuan langsung tunai (BLT), jaminan kesehatan masyarakat yang tidak merata, serta kenaikan gaji para pegawai pemerintah yang dipandang sebagai jasa rezim dan bukan dengan logika pemenuhan kewajiban negara. Ini yang saya sebut sebagai pemerintahan ucluk-ucluk.

Jika keadaannya begitu terus, tanpa perbaikan yang progresif, solusinya adalah revolusi, dengan membuang dan mengamputasi habis seluruh organ Orde Baru serta membasmi virusnya. Sebab, hingga hari ini negara ini masih didominasi oleh anak-anak emas Orde Baru dan kelompok politik yang mau bersekutu dengannya. Jika tidak, selamat menikmati karya rezim ucluk-ucluk! Derita rakyat tiada akhir.