Kamis, 01 November 2012

Bu Endang, Pesantren Jancukan dan Negeri Pret


Sebelum menulis ini saya sudah ijin kepadanya, untuk menulis dan memuat di blog internet. Namanya Sri Endang Maryati. Orang-orang biasa memanggil Bu Endang. Usianya di atas 50 tahun. Ia seorang janda, sudah lama ditinggal suaminya meninggal dunia. Bu Endang telah mengalami peristiwa luar biasa.

Pada tanggal 3 Mei 2009, sekitar jam 18.00 WIB (setelah adzan maghrib), sekelompok santri Pondok Pesantren Al Fatah di Desa Temboro, Kecamatan Karas, Kabupaten Magetan, mendatangi rumah Bu Endang yang berada di dekat pesantren tersebut. Para santri yang berjumlah sekitar 20 orang itu membakar rumah Bu Endang, menyirami dengan bensin dan menyulut dengan api. Khoiriyawan, salah seorang saksi, melihat para santri tersebut berlarian lalu-lalang, berteriak takbir “Allohu Akbar!” bahkan menyiram tubuh anak lelaki Bu Endang bernama Muhammad Zarkasi dengan bensin dan membakarnya, hingga beberapa hari selanjutnya Zarkasi meninggal dunia karena luka bakar yang berat.

Apa sebabnya? Menurut keterangan Bu Endang, anak lelakinya yang masih muda dan belum menikah itu menyatakan mengundurkan diri sebagai ustadz di Pesantren Al Fatah tersebut karena terjadi perselisihan dengan salah satu pengasuh pesantren tersebut yang biasa dipanggil Gus Bed (Kyai Ubaidillah Ahror). Pesantren tersebut dipimpin oleh Kyai Uzairon Thoifur Abdillah atau biasa disebut Gus Ron, saudara tua Gus Bed. Bu Endang pernah bercerita bahwa sang kyai ini orangnya baik, tetapi dalam komunikasi dengan pihak luar selalu diganjal oleh Gus Bed.

Zarkasi, anak lelaki Bu Endang, mempunyai usaha jual-beli handphone (HP) dan asesorisnya, karena menurutnya gajinya sebagai guru atau ustadz di Pesantren Al Fatah hanya sekitar Rp 350.000,- per bulan. Namun tampaknya Gus Bet tidak suka, sehingga memfatwa haram stand jual-beli HP yang ada di rumah Bu Endang tersebut, dan memberi pilihan kepada Zarkasi: “Pilih tetap menjadi guru mengaji di Pesantren Al Fatah atau keluar dari pesantren?” Zarkasi memilih keluar dari pesantren karena ingin mengembangkan diri.
Namun rupanya tidak berhenti di situ. Zarkasi yang ganteng, lugu dan jujur serta hafidz Quran itu difitnah, seolah-olah telah menghamili seorang santri putri pesantren tersebut. Zarkasi yang difitnah menantang agar santri putri tersebut didatangkan bersama-sama dengan orang tuanya. “Jika terbukti saya yang membuatnya hamil, saya akan bertanggung jawab. Saya harus bertemu dengan santri putri bernama Halimah tersebut, sebab bagaimana mungkin saya menghamili dia jika selama ini sudah sekitar 8 bulan saya tidak pernah bertemu dengannya?” Begitu kurang lebih tanggapan Zarkasi.

Permintaan agar pesantren mendatangkan Halimah dan orang tuanya tidak dipenuhi oleh Pesantren Al Fatah, namun malah dilakukan perbuatan keji berupa pembakaran rumah Bu Endang yang mengakibatkan bangunan rumah dan isinya ludes terbakar.

Kasus itu segera ditangani oleh Kepolisian, lalu ditetapkan 14 orang santri sebagai tersangka, yang selanjutnya oleh Kejaksaan diajukan ke Pengadilan Negeri (PN) Magetan untuk diadili. Hakim PN Magetan yang mengadili perkara tersebut menjatuhkan hukuman kepada para terdakwa masing-masing 1 (satu) tahun penjara. Bu Endang protes, bagaimana kejahatan keji seperti itu, yang juga menewaskan anaknya, hanya diganjar hukuman setahun, seperti hukuman kepada pencuri kambing? Tapi begitulah hukum di negara ini, hukum alay, hukum pret. Putusan tersebut dikuatkan di tingkat banding dan kasasi.

Bu Endang terus berjuang, dibantu oleh KONTRAS, juga oleh lembaga negara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Perjuangan Bu Endang tersebut guna meminta pertanggungjawaban Pesantren Al Fatah atas kerugian kehancuran rumah dan usahanya. Hingga kini Bu Endang masih tinggal di sisa bangunan bagian belakang yang sudah diperbaiki. Ia kehilangan modal kerjanya berupa peralatan rias penganten yang ikut terbakar bersama rumahnya. Kini Bu Endang tidak bekerja, karena kehilangan pekerjaannya.

Pihak Pesantren Al Fatah Temboro tampaknya sudah tutup mata, hati dan jiwa. Pernah Majelis Ulama Indonesia (MUI) memediasi masalah itu, tapi tidak dianggap oleh pihak Pesantren Al Fatah. Begitu pula undangan Komnas HAM juga tidak dianggap pihak pesantren tersebut. Boleh dikata, lembaga ulama dan lembaga negara juga tidak digubris.

Bu Endang dan Khoiriyawan sama-sama mengatakan bahwa Pesantren Al Fatah tersebut tidak mau tunduk kepada negara dan hidup dengan membuat hukum sendiri. Ada kebiasaan berbuat main hakim sendiri jika ada suatu masalah. Pernah secara sepihak menjadikan Desa Temboro sebagai “kawasan berbusana muslim.” Namun sejak kasus yang menimpa Bu Endang tersebut terjadi, spanduk-spanduk penetapan kawasan tersebut dilepasi semua.

Penetapan kawasan berbusana muslim, tanpa ijin negara tersebut, bertolak belakang dengan perilaku pesantren yang menggunakan jalan kekerasan, membuat firnah, membakar rumah orang dan membunuh Zarkasi dengan keji. Tentu saja itu bertolak belakang dengan ajaran Islam itu sendiri. Jika dibahasakan secara terus terang oleh orang Surabaya (termasuk saya), bisa disebut itu sebagai pesantren jancukan!

Hal yang biasa dalam hukum adalah: Kepolisian tidak mau menyentuh otak intelektual kasus tersebut. Berdasarkan keterangan para saksi yang saya periksa, para santri hidup di dalam komplek pesantren, keluar-masuk pesantren harus ijin dan tidak bebas. Lalu mengapa mereka bebas secara berjamaah membakar rumah Bu Endang?

Pemerintah Kabupaten Magetan juga terlalu lembek menyikapi masalah itu. Tidak ada kebijakan tegas untuk menertibkan Pesantren Al Fatah. Kementerian Agama juga begitu, sudah mengetahui pesantren dijadikan cara hidup seperti itu, juga tidak melakukan apa-apa. Apalagi orang-orang setempat menginformasikan bahwa santri putri di situ juga dikawini oleh pengasuh pesantren dijadikan isteri kedua. Apakah hal itu semata-mata kerelaan suka sama suka, atau ada pengaruh-pengaruh kekuasaan tertentu, tidak ada yang tahu.

Seharusnya negara mengontrol pondok pesantren yang mengelola puluhan ribu santri laki-laki dan perempuan itu, apalagi mayoritas mereka berasal dari luar Magetan. Kontrol tersebut dimaksudkan untuk melindungi para santri tersebut dari hukum rimba yang berlaku di pesantren tersebut. Apalagi jika pendidikan pesantren itu menimbulkan watak-watak kekerasan seperti itu. Itulah penguasa negeri ini, yang dalam banyak hal adalah penguasa pret alias plekethek. Sudah korupsinya tak pernah pudar, juga abai terhadap keselamatan rakyatnya.

Menurut penuturan Bu Endang, berdasarkan keterangan anaknya, Zarkasi almarhum yang pernah menjadi ustadz di Pesantren Al Fatah, Pesantren Al Fatah itu bagian dari Jamaah Tabligh yang berpusat di India.

Di jaman kolonial, sejarah menceritakan bagaimana peran pondok-pondok pesantren dalam memperjuangkan kemerdekaan, melahirkan para tokoh yang bijaksana seperti K.H. Hasyim Ashari, K.H. Wachid Hasyim, K.H. Achmad Dahlan, dan lain-lain. Tetapi di jaman reformasi ini sudah tidak karuan lagi. Mungkin masih banyak pesantren yang bagus. Namun banyaknya aliran garis keras yang menyimpang dari tuntunan Islam, dengan hukum rimbanya seperti itu, kian menyedihkan, sebab itu menjadi masalah baru dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Jika negara ini kuat dan keadilannya tegak, pemerintah sudah melakukan paksaan pemerintahan agar Pesantren Al Fatah Temboro untuk memulihkan kerugian yang diderita oleh Bu Endang. Jika pesantren itu tidak tunduk kepada keputusan keadilan negara, maka harus dibubarkan! Ribuan santrinya bisa dipindahkan ke pesantren yang lebih beradab, agar mereka selamat dari pembentukan watak-watak yang tidak beradab, gampang memukul, membakar dan membunuh orang.

Jumat, 07 September 2012

Lapindo Tenggelamkan Komnas HAM?


Dimuat di SHNews.co (Sinar Harapan), 31 Agustus 2012: 
Pada 8 Agustus 2012 rapat paripurna Komisi Nasional Hak Asasi Manusia memutuskan tidak memiliki cukup bukti permulaan adanya pelanggaran HAM berat dalam kasus lumpur Lapindo.
Pendapat tersebut berbeda dengan kesimpulan tim penyelidik ad hoc bentukan Komnas HAM yang menyimpulkan terdapat cukup bukti adanya pelanggaran HAM yang berat, berbentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pendapat Komnas HAM tersebut menimbulkan dua pertanyaan. Apakah itu hanya persoalan paradigma dalam implementasi hukum HAM, ataukah ada intervensi ekstra lembaga yang membuahkan kesimpulan seperti itu?
Paradigma
Fakta tentang meluasnya wilayah kejadian dan banyaknya korban masyarakat sipil dalam kasus lumpur Lapindo telah menjadi notoir feit, hal yang diketahui umum, tak perlu dibuktikan lagi.
Perdebatannya hanya pada soal: Pertama, apakah terdapat unsur “serangan” dalam kasus lumpur itu? Kedua, apakah UU No 26/2000 (UU Pengadilan HAM) dapat diterapkan dalam kasus tersebut, yang tak ada kaitannya dengan hukum humaniter, sebab UU No. 26/2000 diadopsi dari Statuta Roma (meskipun tidak utuh)?
Statuta Roma membedakan kategori pelanggaran HAM yang berat, yaitu: genosida (genocide), kejahatan kemanusiaan (crime against humanity), dan kejahatan perang (war crime), sehingga suatu pelanggaran HAM yang berat tidak harus selalu dikaitkan dengan hukum perang. Lagi pula, Indonesia dapat menggunakan ukuran hukumnya sendiri, dengan metode dan sistemnya sendiri, tanpa harus membabi-buta mencontoh bulat-bulat hukum internasional.
Para tokoh komparasi hukum seperti Prof Peter de Cruz dan Prof Werner Menski dari Inggris menasihati para ilmuwan hukum agar tidak gegabah menggunakan ukuran-ukuran Barat untuk mengukur hukum masing-masing bangsa, agar tidak memaksakan dilakukannya uniformisasi (universalisasi) hukum secara global.
Puluhan ribu korban Lapindo terusir dari permukiman mereka yang sah, diserang hantaman lumpur, bukan oleh pasukan tentara atau milisi yang membawa senjata. Jika para korban tidak mau pergi, mereka akan mati tenggelam ke dalam lumpur yang kini genangannya menjadi danau raksasa itu. Itulah faktanya.
Dalam paradigma hukum yang positivistik, ahli hukum positivis akan menyalahkan lumpur yang melakukan serangan kepada puluhan ribu korban itu. Tetapi, apakah lumpur Lapindo yang menyerang itu merupakan penyebab utama, yang dengan itu tidak ada kesalahan subjek hukum di balik kesalahan lumpur itu?
Di abad modern ini, akal manusia dan teknologinya serta kepentingan ekonomi yang besar dapat dengan mudah mendahului rumusan UU yang selalu ketinggalan zaman. Sementara itu, hukum yang positivistik, kata mendiang Prof Satjipto Rahardjo, hanya punya logika tertutup, tidak punya dasar dalam kehidupan sosial.
Untuk itu, para penjahat yang cerdik tahu cara melakukan perbuatannya untuk bisa menghindari rumusan UU yang ditafsirkan kaku dan mati. Bahkan, pada zaman kuno, konon penguasa Mataram (Islam) bisa menguasai Jawa Timur dengan cara meracuni Sungai Brantas, setelah serangan pasukan tentaranya gagal terus.
Jadi, bukan karena tak ada bukti adanya pasukan manusia yang melakukan serangan, lantas bentuk-bentuk serangan lain tidak diakui hukum sebagai kategori serangan.
Oleh sebab itulah, dengan menggunakan tafsir hukum progresif, unsur “serangan” dalam kasus lumpur Lapindo itu dilihat sebagai suatu rangkaian aktivitas pengeboran migas di wilayah padat penduduk.
Rangkaian itu di dalamnya terdapat kesengajaan-kesengajaan pelanggaran hukum berupa: sosialisasi informasi palsu (seolah akan dibuat area peternakan), pelanggaran hukum tata ruang, kesembronoan dalam pelaksanaan teknis pengeboran, sehingga terjadilah malapetaka yang meluas dan mengakibatkan berpindahnya penduduk sipil secara paksa, sebagaimana itu sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan yang dirumuskan Pasal 9 Huruf d UU No 26/2000 (UU Pengadilan HAM) tersebut.
Kejadian tersebut juga merupakan akibat kebijakan organisasi, atas adanya perizinan yang dikeluarkan instansi-instansi terkait terhadap permintaan para pejabat korporasi yang bersangkutan.
Kemenangan Borjuis
Roberto M Unger, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Harvard, mengembangkan teori hukum kritis (critical legal studies).
Ia menjelaskan realitas sejarah bahwa terbentuknya negara hukum Eropa merupakan kemenangan kaum borjuis yang saat itu mencari posisi politik di tengah dominasi raja, ningrat, dan gereja. Oleh sebab itulah asas-asas ilmu hukum yang dikembangkan di dunia ini berasal dari nilai-nilai liberal bangsa Eropa melalui penjajahan di seluruh dunia.
Hukum kritis tidak akan membiarkan kenyataan bahwa tirani borjuis (yang disebut David Korten sebagai tirani korporasi), yang melakukan pelanggaran HAM yang serius, dilepaskan dari jerat hukum, hanya dengan alasan positivistik.
Jika UU No 26/2000 dipandang bernilai hukum humaniter, ternyata perang modern ini tidak sekadar perang militer antarnegara, tentara pemerintah dengan pemberontak, tetapi juga perang pascamodern yang bersifat supranasional dengan teknologi yang belum diprediksi hukum positivistik. Mengusir penduduk sipil tanpa harus menggunakan serangan manual.
Penjelasan Umum UU No 39/1999 tentang HAM di antaranya juga menjelaskan bahwa pelanggaran HAM terdiri dari pelanggaran HAM vertikal (dilakukan aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) dan horizontal (antarwarga negara sendiri) dan tidak sedikit yang masuk ketegori pelanggaran HAM yang berat (gross violation of human rights).
Dalam kasus lumpur Lapindo, aparatur negara telah berkonspirasi dengan korporasi dalam pelanggaran HAM yang bersifat vertikal.
Dalam kasus lumpur Lapindo tersebut, korporasi menjadi pemenangnya, sebab asas-asas hukum liberal, asas-asas hukum kemenangan kaum borjuis, telah dijadikan satu-satunya landasan dan tolok ukur, yang mengalahkan rule of justice yang dianut dalam sistem hukum di Indonesia. Komnas HAM pun jadi korban, tenggelam dalam lumpur.
Di sisi lain, Syafruddin Ngulma Simeulue (salah satu anggota Komnas HAM) pernah berkata kepada saya, “Cobaan terberat menjadi anggota Komnas HAM bukanlah ancaman kematian, tetapi fitnah (cobaan) berat berupa tawaran materi menggiurkan. Jika iman dan integritas payah, maka robohlah moral kita, dan rakyat korban akan menjadi korban lagi.”
Melihat kenyataan itu, upaya penegakan HAM dalam kasus lumpur Lapindo tidaklah buru-buru dianggap selesai. Jika pemerintahan Indonesia tidak serius menangani kasus tersebut, masyarakat korban maupun yang peduli dapat mengajukan kasus tersebut ke Komisi HAM PBB dan terobosan lain dalam rangka menyusun solidaritas internasional.
Penulis adalah advokat, mantan anggota Tim Investigasi dan Tim Penyelidik Ad Hoc dalam Kasus Lumpur Lapindo yang dibentuk Komnas HAM.

Selasa, 29 Mei 2012

Bias Hukum Lumpur Lapindo



Dimuat di Jawa Pos, 29 Mei 2012

DALAM acara diskusi Skandal 6 Tahun Lumpur Lapindo di Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya (Pusham Ubaya) kemarin, ada seorang peserta diskusi yang membuat statemen, sebaiknya kasus lumpur Lapindo itu dianggap sejarah saja. Yang baik dilanjutkan, yang buruk dibuang.

Jika mau dianggap sejarah, kasus yang terjadi tepat enam tahun lalu itu memang pasti akan menjadi aib sejarah. Mempermalukan kita, sekarang dan masa depan. Siapa yang bisa mempercayai putusan-putusan pengadilan, keputusan kepolisian, kinerja kejaksaan, kebijakan-kebijakan pemerintah yang hingga kini tidak dapat tuntas mengurai kekeruhan itu?

Pihak Grup Bakrie sering membuat opini bahwa "Lapindo tidak bersalah" (dengan merujuk putusan pengadilan dan penghentian penyidikan oleh kepolisian). Jika Lapindo mau membayar jual-beli tanah para warga korban, itu semata-mata karena amanat almarhumah ibunda Aburizal Bakrie (Ical). Begitu, katanya.

Lalu, bagaimana kewajiban hukum Lapindo menurut pasal 15 Perpres No 14/2007? Bagaimana putusan MA No 14/P-HUM/2007 yang menolak permohonan uji materiil terhadap Perpres No 14 Tahun 2007 yang menegaskan: kewajiban Lapindo untuk membeli tanah warga korban lumpur dalam peta terdampak 22 Maret 2007 merupakan bentuk ganti rugi? Tetapi, mengapa pula putusan MA No 2710 K/Pdt/2008 (memperkuat putusan PT DKI No 136/Pdt/2008/PT.DKI) memutuskan Lapindo dkk tidak bersalah?

Kebingungan Hukum 

Kasus tersebut unik. MA mengesahkan Perpres No 14/2007 dengan menafsir "jual-beli" tanah korban Lapindo sebagai bentuk "ganti-rugi". Tetapi, di sisi lain ternyata putusan MA No 2710 K/Pdt/2008 menyatakan Lapindo Brantas Inc. dan pemerintah tidak bersalah. Apakah atas dasar kebingungan hukum seperti itu Grup Bakrie merasa hanya tunduk pada amanat almarhumah ibunda Ical dan enggan tunduk pada Perpres No 14 Tahun 2007 jo putusan MA No 14 P/HUM/2007? 

Yang jelas, kewajiban hukum Lapindo berdasar Perpres No 14/2007 yang diperkuat putusan MA itu tidak pernah dianulir oleh putusan hakim mana pun. Lapindo harus tunduk. Tetapi, selama ini Lapindo tidak tunduk, setidaknya mengulur waktu. 

Dalam penegakan hukum administrasi negara, seharusnya presiden memberikan sanksi administratif kepada Lapindo, dapat menggunakan instrumen perizinan. Harus ada upaya paksa pemerintahan. Sekalipun tidak ada kewenangan yang pasti menurut undang-undang, presiden dapat membuat terobosan hukum (diskresi) untuk memerintahkan penyitaan aset-aset Grup Bakrie, atas izin pengadilan, guna melunasi kewajiban Lapindo kepada warga korban. 

Putusan lainnya yang menyatakan Lapindo tidak bersalah dapat diinterpretasikan bahwa "kebenaran hukum" dalam kasus Lapindo belum tuntas. Sebab, masih bertentangan dengan putusan hukum lainnya. Selain faktor keterbatasan kemampuan penegak hukum dan paradigma hukum, terkadang korupsi dalam proses hukum membias dari kebenaran sejati.

Karena itu, Komnas HAM juga bekerja untuk menemukan sisi kebenaran yang lainnya dari perspektif HAM. Tim Ad Hoc Kasus Pelanggaran HAM yang Berat dalam kasus lumpur Lapindo telah menyimpulkan adanya kejahatan kemanusian yang termasuk pelanggaran HAM yang berat. Tim ini beranggota 13 orang dan diketuai Kabul Supriyadie dari Komnas HAM. Hasil kerja sejak 2009 disampaikan ke Komnas HAM pada 2011 dan direvisi awal 2012. Sikap resmi Komnas HAM sendiri belum ada. (Koreksi: anggota Tim Ad Hoc tersebut 18 orang).

Saya memberanikan diri menulis ini sebagai tanggung jawab saya sebagai anggota tim ad hoc (selaku penyelidik pembantu) dari unsur masyarakat. Masyarakat Indonesia harus mengetahui perkembangan proses yang terjadi meskipun tidak harus mengetahui seluruh hal yang bersifat teknis dan rahasia penanganan perkaranya. 

Bukti BPK Diabaikan 

Ketika lumpur baru menyembur, terbit Keppres No 13/2006 untuk pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo. Tiga tugas utamanya adalah penutupan semburan lumpur, penanganan luapan lumpur, dan penanganan masalah sosial. Biayanya dari anggaran Lapindo Brantas. Tetapi, dalam perkembangannya, kewajiban Lapindo tersebut dianulir dan dibatasi dengan pasal 15 Perpres No 14/2007. 

Pada 2006, BPK melakukan pemeriksaan dan menerbitkan laporan resmi. Di sana liku-liku kesalahan teknis dalam pengeboran di Sumur Banjarpanji 1 Porong diuraikan secara jelas. Dokumen lembaga negara ini pernah dijadikan YLBHI dan Walhi sebagai salah satu alat bukti di pengadilan dalam menggugat Lapindo, pemerintah, dan pihak terkait. Tetapi, rupanya, hakim lebih memilih pendapat saksi ahli yang diajukan pihak tergugat (Lapindo dkk), padahal keterangan ahli tidak termasuk alat bukti berdasar pasal 164 HIR dan 1866 KUH Perdata. 

Ditinjau dari standar pembuktian memanglah bahwa putusan PN Jakarta Selatan No 248/Pdt.G/2007/Jak.Sel., PT DKI Jakarta No. 383/Pdt/2008 yang diperkuat putusan MA No. 2710 K/Pdt/2008, serta putusan PT DKI Jakarta No. 136/Pdt/2008 adalah bermasalah atau tidak memenuhi standar degree of evidence

Putusan PN Jakpus No. 384/Pdt.G/2006/PN.Jkt.Pst menyatakan Lapindo bersalah dalam melakukan pengeboran, tetapi tidak dianggap melakukan perbuatan melawan hukum karena ada upaya penyelesaian oleh pemerintah. Tetapi, putusan ini dianulir putusan PT DKI Jakarta No 136/Pdt/2008 tersebut. 

Para hakim dalam kasus tersebut telah membuat "terobosan hukum", melanggar standar pembuktian dalam hukum acara perdata, dan menguntungkan Lapindo Brantas Inc. dan tergugat lainnya. Padahal, hasil pemeriksaan BPK tersebut menjadi alat bukti surat otentik, ditambah dengan keterangan ahli yang kompeten.

Komisi Yudisial (KY) sebenarnya dapat melakukan analisis terhadap seluruh putusan tersebut, guna menilai profesionalisme (kemampuan para hakimnya), berdasar kewenangannya menurut pasal 42 UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Yakni, apakah ada aspek kebenaran hukum yang dimanipulasi. 

Menurut saya, memang ada "kebenaran hukum" yang digali dengan cara yang tidak fair, dengan pertanyaan: Mengapa para hakim memilih keterangan ahli yang diajukan Lapindo dkk sebagai alat bukti, sedangkan alat bukti dokumen negara dan keterangan ahli yang diajukan para penggugat (YLBHI dan Walhi) dikalahkan dengan cara menabrak standar pembuktian berdasar pasal 164 HIR dan 1866 KUH Perdata? 

Kini tiap tahun negara harus menganggarkan triliunan rupiah untuk penyelesaian kasus tersebut. Banyak problem yang dihadapi korban: masalah kesehatan, pendidikan, psikologi, ekonomi, dan lain-lain yang telantar. Tetapi, para warga korban terus berusaha untuk menyelesaikan masalah mereka sendiri.

Kasus tersebut menunjukkan dominasi korporasi atas negara. Etos kepemimpinan tegas dibutuhkan di negeri yang berbudaya hukum parokial dan subjektif ini. Jika tidak, mau berapa tahun lagi kasus Lapindo yang telah seusia anak kelas I SD itu akan terselesaikan? 

Selasa, 31 Januari 2012

HUKUM WADAL TAMBANG

Masyarakat mulai menolak pertambangan. Di Lumajang Jawa Timur warga Desa Wotgalih menolak pertambangan pasir besi. Di Minahasa Selatan Sulawesi Utara (Sulut) ada Aliansi Masyarakat Menolak Limbah tambang emas. Mereka belajar dari kasus Newmont di Buyat. Di Nusa Tenggara Timur masyarakat Kabupaten Lembata juga menolak kehadiran korporasi tambang.
Di Sidoarjo, Bupati Syaiful Illah juga menolak izin baru yang diajukan Lapindo jika tak ada persetujuan masyarakat. Sedangkan masyarakat trauma dengan kasus semburan lumpur Lapindo. Di Sulawesi Tengah masyarakat juga menolak pertambangan emas di Poboya, dan lain-lainnya.

Tambang dan nasib rakyat


Ada komentar menarik yang saya baca dari Berita Manado (11/10/2010), Ketua Komisi II DPRD Sulut, Steven Kandouw, mengatakan bahwa penolakan tambang tidak mempengaruhi investasi di Sulut. Tanpa kontribusi tambang emas, investasi Sulut tetap bergairah bahkan salah satu tertinggi di Indonesia.
Prof. Mubyarto dalam Ekonomi Terjajah (2005) mengemukakan hasil risetnya bahwa investasi di daerah-daerah telah melakukan penghisapan ekonomi daerah sebesar rata-rata 57 persen. Hanya 43 persen nilai produksi domestik regional bruto yang dinikmati rakyat di daerah, sedangkan yang 57 persen  dihisap ke kota-kota besar dan dibawa ke luar negeri. Selain itu, bukankah selama ini juga tak ada kebijakan yang mewajibkan preferensi penggunaan sumbar daya alam untuk kepentingan kebutuhan nasional?
Rupanya maraknya penolakan masyarakat sekitar dan di dalam wilayah tambang merupakan reaksi atas dasar pengalaman yang mereka. Hampir tak ada kisah di negeri ini penduduk yang hidup di sekitar wilayah tambang bisa berubah menjadi makmur. Yang ada justru lingkungan hidup mereka hancur dan terancam bencana.
Kisah pembebasan tanah tambang juga memilukan. Ambil saja contoh kasus tambang Newmont Minahasa Raya (NMR), dalam melakukan penguasaan tanah warga dalam area kontrak karya, NMR dibantu oleh tentara, polisi dan birokrasi sipil untuk mengambil-alih paksa tanah yang ganti-ruginya masih menjadi sengketa, sejak 1988 sampai dengan 1994 (Berita Kontras No. 04/VII-VIII/2004).
Pembebasan tanah oleh Lapindo di wilayah eksplorasi Sumur Banjar Panji-1 Porong Sidoarjo juga dilakukan dengan cara mengelabuhi masyarakat dengan menyebar gosip akan adanya perusahaan peternakan yang akan menyerap banyak tenaga kerja masyarakat setempat (wawancara dengan masyarakat korban).
Bagi masyarakat yang menolak tambang maka mereka akan dipidanakan, entah dengan tuduhan pencemaran nama baik seperti Yani Sagaroa di Sumbawa yang divonis penjara empat bulan karena menentang tambang emas Newmont Nusa Tenggara. Samsuri, Fendi, Mukin, dan Artiwan warga Wotgalih Lumajang dipenjara empat bulan karena menolak izin tambang pasir besi yang diperoleh Antam.
Modus-modus serupa terjadi di banyak tempat, tetapi penegak hukum termasuk para hakim tak punya keberpihakan terhadap keadilan sosial, selain buta terhadap daya rusak tambang. Contoh kasus Exxon di Aceh yang melibatkan militer sampai harus digugat melalui Pengadilan di Amerika Serikat ketika kepercayaan terhadap hukum nasional sudah sangat lemah.
Pertambangan dengan paradigma memanjakan investor telah membuat banyak penderitaan bagi masyarakat sekitar wilayah tambang, di mana-mana. Rakyat kecil menjadi wadal atau tumbal dalam pembangunan ekonomi.

Wadal

Pada waktu kecil kami di desa-desa di Jawa Timur terkadang menghadapi situasi cemas, para orang tua memberi kalung ‘jimat” anak-anak mereka ketika mulai tersebar kabar adanya para pemburu wadal (tumbal).
Konon, waktu itu para kontraktor membutuhkan wadal berupa kepala anak-anak kecil yang akan ditanam di lokasi proyek pembangunan, sebagai cara meminta izin roh penjaga lokasi proyek. Dalam perkembangannya wadal itu diubah bukan lagi kepala anak manusia, melainkan kepala kerbau. Kini kepercayaan itu dianggap tahayul.
Namun kini karakter penghalalan segala cara itu tak berubah. Investasi tak lagi membutuhkan kepala anak-anak manusia atau kepala kerbau untuk ditanam, tapi akan mengorbankan siapa saja yang dianggap sebagai penghalang, dengan alasan apapun. Senjatanya jika bukan kekerasan ya hukum.
Bagi masyarakat kecil yang tetap miskin di wilayah pertambangan, kini mulai merasa bahwa “janji kesejahteraan” itu juga tahayul. Zaman kuno dulu mereka kehilangan anak-anak dan tanah mereka, saat itu daya dukung lingkungan masih kokoh. Kini mereka justru kehilangan tanah, anak cucu mereka terancam dengan kian melemahnya daya dukung ekologi,  meracuni dan mematikan mereka seperti yang selama ini.
Dalam tatanan global kita sebenarnya punya Precautionary Principle (Asas Kehati-hatian) hasil Deklarasi Rio 1992 dengan pertimbangan tidak adanya kepastian ilmiah, kurang memadainya informasi ilmiah, sehingga apapun hasil kajian ilmiah tidak boleh digunakan (sebagai alasan) untuk menunda atau menghambat langkah preventif yang tepat untuk mencegah kerusakan lingkungan. Dalam kearifan lokal kita punya masyarakat adat yang selama ini berperan penting menjaga kelestarian fungsi lingkungan.
Tapi di mata hukum nasional, semua itu adalah omong kosong, sebab investor adalah tuan, sedangkan hukum, termasuk hukum lingkungan hanyalah hamba yang melayaninya. Jika perlu hukum dijadikan wadal!
Ini bukan lagi negara hukum, tapi negara uang dengan supremasi kapital, sehingga UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mewajibkan penerapan asas subsidiaritas. Para investor jangan dipidana dulu, gunakan dulu saluran lainnya! Tapi sebaliknya para penentang investor langsung diciduk dimasukkan penjara. Ini paradigma hukum kapitalisme kuno.
Seyogyanya paradigmanya adalah bahwa hukum lingkungan itu merupakan kaidah penuntun, penjaga, pengawas dan pemberi hukuman, agar pembangunan bisa berkelanjutan. Hukum yang peka aspirasi masyarakat, yang di dalamnya terdapat muatan prinsip-prinsip global yang bersinergi dengan kearifan lokal.