Minggu, 27 Januari 2019

Ambruknya Republik Indonesia



Ada apa dengan bangsa ini? Di antara kita memang baik-baik saja. Bisa ngobrol sambil makan atau makan sambil ngobrol di warung. Apa kita kepikiran misalnya betapa kian hancurnya hutan di Indonesia, utang negara kian menumpuk, banyaknya para pejabat yang ditangkap karena kasus korupsi, penjara dipenuhi para pemakai narkotika, orang-orang yang memperjuangkan tanah dan lingkungannya dipenjara. Bagi orang yang tidak mau pusing mikir nasib orang lain, yang asyik mikir dirinya sendiri, maka semua itu tak ada artinya apa-apa. Itu nasib buruk orang lain! “Bukan masalahku!”

Jika kau mau sukses pribadi, contohlah misalnya Eka Tjipta Widjaja, imigran dari China yang kemudian mati sebagai konglomerat Indonesia dengan Grup Sinar Mas yang usahanya menggurita itu. Saya membaca kisahnya yang ditulis Dahlan Iskan dalam Disway-nya. Dia sejak anak-anak memikirkan kemajuan diri, berjuang, berjuang, berjuang terus berjuang agar bisa kaya. Gagal, bangkit, gagal, bangkit, gagal, bangkit hingga dia percaya sudah tidak akan mungkin gagal lagi karena sudah saking besarnya.

Ternyata diantara usaha Eka Tjipta Widjaja itu memanfaatkan kapal-kapal militer untuk mengangkut barang-barang dagangannya, dengan model bagi hasil dengan tentara atas penggunaan kapal-kapal tersebut. Relasi model itulah yang menyebabkan para saudagar besar  akrab dengan para jenderal, menciptakan relasi-relasi bisnis yang menyebabkan terjadinya bisnis militer. Coba pikirkan, usaha-usaha pribadi mampu memanfaatkan aset negara guna memperbesar kekayaan para pribadi. Jika Anda mau jadi konglomerat, tirulah cara-cara itu, di mana Anda butuh usaha-usaha apa saja untuk menanamkan kepercayaan terhadap penggunaan fasilitas-fasilitas negara dengan model hubungan bagi hasil. Di sisi lain Anda memperoleh bonus hubungan yang akrab dengan para penggede negara. Di zaman sekarang, bahkan para jenderalnya sendiri bisa menjadi para saudagar yang kaya-raya.

Bicara model KKN begitu, dalam sebuah video di facebook saya lihat Prof. Mahfud MD bicara di dalam acara Indonesian Lawyers Club di TV One, intinya, “Apa tidak malu kita kepada Suharto, padahal dulu kita melawan Suharto yang KKN? Kok kita sekarang lebih buruk?” Kita memang lebih bebas dalam bicara mengritik kekuasaan dan ada kebebasan berorganisasi. Tapi mengapa kita menjadi lebih rusak?

Coba kita dekati watak bangsa ini dengan konsep basic personalitiy (baca: kepribadian bangsa) ala R. Linton, seorang ahli antropologi (dalam Koentjaraningrat, 1985). Dalam seluruh level stratifikasi sosial Indonesia (kelas bawah, menengah dan atas) ada kecenderungan perilaku korup (menyimpang) yang dominan.

Para tukang parkir menarik uang parkir tanpa karcis, atau melebihi tarif resmi. Para pedagang kecil suka menipu dengan takaran dan bohong. Pabrik-pabrik semaunya sendiri membuang limbah, memalsu produk dan merek. Para ulama terlibat politik dan korupsi.

Para akademisi gemar membuat penelitian dengan analisis subyektif sesuai pesanan. Para mahasiswa suka mencontek saat ujian, para intelektual melakukan plagiat, para pejabat pemerintah dan negara yang gemar korupsi, penegak hukum berdagang hukum, dan lain-lain. Para jenderal menjadi para beking korporasi. Banyak LSM menjamur mencari-cari masalah sebagai cara memeras. Apa lagi yang belum saya sebut?

Di mana rasa bela bangsa dengan kemanusiaannya, dalam arti: “Memikirkan bangsa adalah lebih penting daripada memikirkan perut sendiri dan keluarganya sendiri?” Nilai Pancasila makin menjadi tahayul. Komunisme menjadi hantu untuk menakut-nakuti kegelisahan warga masyarakat korban. Bahkan sampai pada opini bahwa orang banyak yang duduk-duduk ngobrol di warung adalah tanda-tanda berkumpulnya komunis. Wis gendeng.

Seharusnya saat ini tidak ada seorang petani kecil yang sekolahnya hanya tsanawiyah yang dipenjara dengan tuduhan “menyebarkan ajaran komunisme.” Tapi itu terjadi di saat sekarang ini. Apakah negara ini waras atau makin sinting? Di mana otakmu? Jadi, para sarjana bisa dibuat menjadi tidak sadar mendadak bodoh mempercayai hantu komunisme yang serasa mengancam hidup mereka, sehingga mereka tidak sadar kekayaan negara mereka terus dikuras.

Seorang petani kecil lulusan tsanawiyah seperti Budi Pego, mendenger istilah “Manifesto Komunis” saja tidak pernah. Riyawat Karl Marx dan Engels saja, dia masih buta pengetahuan. Jangankan nama orang-orang kuno asing itu, lha nama Hendropriyono ahli dan guru besar intelejen Indonesia yang amat terkenal itu saja Budi Pego tidak kenal jika tidak diberi tahu para pembelanya. Lha kok Budi Pego dipenjara dengan tuduhan menyebarkan ajaran komunisme? Di mana nalarmu? Hukum menjadi membusuk, menyebarkan virus kegelisahan, merusak. Kehancuran mana yang engkau dustakan?

Budi Pego hanyalah sebuah contoh preseden kekianrusakan akhlak negara ini. Karena negara ini dikendalikan oleh kekuatan iblis yang menyaru menjadi para pemuja moral Pancasila. Kalimantan yang dahulu menjadi tumpuan paru-paru dunia, kian hari kian berpenyakit bengek, kian gundul, kian bopeng-bopeng, laju kerusakannya tak terhentikan. Puluhan anak yang mati di lubang tambang batubara hanya disikapi dengan permainan pingpong tanggung jawab dan menyalahkan genderuwo yang dituduh sebagai pelaku “pembunuhannya.” Di mana otakmu?

Yang menyedihkan, mereka yang dahulu menjadi para pendekar pejuang reformasi, kini mencukupi diri menjadi para bebek kekuasaan, bahkan banyak yang menjadi para follower fanatik, tingkahnya seperti para penganut fanatik sekte-sekte dan aliran kepercayaan kepada sang Drakula. Mereka menjadi “pembela kekuasaan” di mana kekuasaan tersebut memberikan akses kepada para dedengkot orde baru yang dulunya mereka lawan. Mungkin makin tua hidup memang memakin melelahkan.

Hidup ini menjadi bagaimana memang dilandasi tentang bagaimana cara berpikir (paradigma). Jika saat hendak menjadi guru, dosen, dokter, polisi, jaksa, hakim, tentara, anggota parlemen dan jabatan layanan masyarakat lainnya diawali dengan niat utama: “aku akan bisa membeli dan mempunyai apa, seberapa bisa aku menjadi kaya”, tanpa ada niat dan pikiran untuk “bagaimana saya bisa mengabdi kepada masyarakat agar sepanjang hidupku bermanfaat bagi orang banyak”, maka akhirnya orang akan merasa lelah hidup tanpa banyak kenikmatan diri. Orang akan silau dan iri melihat kawan sebayanya, teman seperjuangannya, orang lain yang nampak hidup lebih nyaman, kaya dan mapan.

Makin banyak orang di negara ini yang lelah untuk berjuang, merasa lelah hidup sederhana apa adanya, merasa ketakutan tidak bisa hidup enak dan mudah, maka memang kerusakan demi kerusakan tak akan terbendung lagi.

Saya bukan pesimis, tapi melihat apa yang ada di jauh ke depan dengan teropong situasi saat ini, bahwa pada saat ini tidak ada lagi kekuatan yang akan menghentikan laju kerusakan negara ini yang tampak makin gagah dengan pembangunan fisiknya tetapi pembangunan fisik itu sekaligus menjadi  gerak transformasi keberdayaan ekologi dan akhlak menuju pada defisit ekologi dan moral.

Republik Indonesia ini akan seperti kerajaan Mataram, Sriwijaya dan Majapahit, yang berhasil dalam pembangunan fisik, disatukan dengan paksaan-paksaan dan korupsi, lalu lama-kelamaan akan roboh menjadi puing-puing sejarah. Sebab masyarakatnya bukan lagi masyarakat yang mempunyai cita-cita kolektif yang kuat, tapi masyarakat yang gemar mengejar kepentingan diri masing-masing dengan kelompok yang saling tertukar sehingga tidak bisa lagi diindentifikasi mana manusia iblis mana manusia sejati. Jika yang haq dan bathil menyatu, maka yang haq akan rusak membusuk. 

Tentu saya berharap prediksi saya ini tidak menjadi kenyataan.