Jumat, 16 Januari 2009

Pengemis Kaya


Udara terasa panas menyengat di sekitar jam 11.30, hari Sabtu, 10 Januari 2009. Kawanan awan putih bergerombol-gerombol menggantung di langit muram.

Di jalan Kaliwaron Surabaya aku melintas. Sebuah jalan umum yang agak sempit di depan kampung bersebelahan dengan sungai kecil. Tampak seorang perempuan tua yang lusuh. Perempuan 70-an tahun itu berjalan menyusuri pinggiran jalan beraspal, dengan kaki telanjang.

Sekilas kulihat perempuan kumal itu menengadahkan tangan kepada seorang pekerja bengkel. Mengemis. Pekerja bengkel itu menggelengkan kepala. Mungkin pekerja bengkel itu tak menyimpan uang. Atau mungkin enggan memberi.

Tapi aku harus segera menjemput Gam yang jadual pulang sekolahnya jam 11.00 di hari Sabtu.

Setelah Gam kujemput dari sekolahnya, aku mencari pengemis itu. Ketemu. Aku melihat pengemis tua itu berjalan terus, tidak mencoba lagi meminta uang kepada orang-orang yang dilaluinya di kampung itu. Apa sudah terlalu banyak orang menolaknya sehingga ia mulai putus asa? Entahlah.

Aku berhenti sejenak, merogoh kantongku, tapi tak kutemukan uang. Lalu kuambil dompetku, kuambil uang secukupnya. Motor kujalankan lagi, mendekati pengemis tua itu. Aku ulurkan uangku kepadanya.

Matanya yang cekung sedikit berbinar. Sebelum habis ia mengucapkan kata terima kasih, aku tinggalkan dia. Nasibnya masih akan terus berjalan hingga malaikat maut datang kepadanya untuk membebaskan dirinya dari dunia yang terasa perih dan penuh adegan memuakkan ini.

Sekitar dua tahun lalu, aku pernah berjumpa dengan seorang pengemis perempuan tua di depan gedung BRI Tower Surabaya. Aku sedikit mengorek kehidupannya. Katanya, ia hidup sebatang kara, tak punya anak, suaminya sudah lama meninggalkan dunia. Ia tinggal sendiri, menyewa sebuah kamar di kampung Keputran.

Setiap hari pengemis perempuan tua itu berjalan keliling mengemis, memperoleh Rp. 10 hingga 20 ribu per hari. Jika beruntung kadang bisa mendapatkan Rp. 50 ribu. Tapi tak jarang juga kadang hanya sekadar memperoleh makan dan minum. Perempuan setua dia, yang jalannya sudah bongkok memakai tongkat, memang tak mungkin lagi bisa bekerja. Menyangga badannya sendiri saja susah-payah.

Dalam beberapa tahun ini tampaknya semakin banyak pengemis tua di kampung-kampung dan pinggir jalan raya atau di pinggir-pinggir perempatan jalan raya. Tapi dengan adanya program pemerintah untuk penertiban gepeng (gelandangan dan pengemis) serta anjal (anak jalanan), para pengemis itu tidak lagi berani mengemis di pinggir jalan raya. Jalan raya dibersihkan dari pemandangan pengemisan dan gelandangan. Mereka disembunyikan di balik ketiak pembangunan dan hukum yang menjijikkan.

Bagi pemerintah, kota tak boleh dikotori orang miskin. Kota milik kaum kaya. Kaum kaya pun mewajibkan diri mereka untuk memaki-maki para sopir angkot ataupun kopaja, bus kota, serta para pengendara sepeda motor yang sangat terampil menyusup-nyusup di sela-sela mobil kaum kaya, membuat jantung orang-orang kaya berdegup-degup kencang tanpa henti, takut cat mobilnya tersentuh dan tergores. Target pemerintah dan kaum kaya: kota harus steril dari penyakit yang bernama ‘kaum miskin’ yang menyakitkan mata mereka dan mengganggu kenyamanan mereka.

Kaum kaya yang tinggal di hunian-hunian moderen dalam perumahan-perumahan bagus juga memasang plang larangan masuk bagi para pengamen, pemulung serta pengemis. Tapi saya tak melihat ada larangan kepada para koruptor agar tidak masuk ke pemukiman kaum kaya itu. Mungkin, bisa jadi, tempat tinggal para koruptor memang di pemukiman yang bagus-bagus dan mewah.

Mereka tidak takut dengan penegak hukum sebab penegak hukum itu teman mereka sendiri. Meskipun banyak koruptor yang ditahan atau dipenjara, fasilitas dan kemewahan tetap saja mudah didapatkan, asalkan uang tersedia. Bahkan para penjahat ekonomi rakyat itu bisa dengan mudahnya menyuruh penegak hukum untuk melayani mereka, membelikan ini dan itu, menyediakan apa yang dimau. Asalkan uang tersedia.

Yang paling ditakuti para koruptor dan kaum kaya adalah pencopet, pencuri dan perampok. Dalam pikiran kaum kaya tertanam imajinasi, bahwa orang melarat itu adalah penjahat. Jika ada seorang pemulung membawa karung bekas dan tongkat pengorek tempat sampah maka orang kaya akan takut dan bergumam: “Jangan-jangan itu pencuri atau perampok?”

Dalam waktu yang sangat jarang, imajinasi itu benar. Saya yang tidak kaya kadang kehilangan ember atau sandal jelek di depan rumah ketika lupa tidak menggembok pagar rumah. Orang kaya atau orang berpendidikan tinggi tak akan mau mencuri ember dan sandal jelek. Yang mengambil kemungkinan besar orang miskin.

Soal curi-mencuri, orang kaya dan orang miskin, berpendidikan atau buta huruf, sama-sama ada yang menjadi pencuri. Tinggal menghitung, berapa besar hasil curian orang kaya atau orang berpendidikan, dibandingkan dengan besarnya hasil curian orang miskin atau tak berpendidikan. Target curiannya pun berbeda.

--------------------------

Sesampai di sebuah perempatan jalan di dekat kampung Mulyorejo, merah lampu lalu lintas menyala. Tampak di sekitar perempatan jalan itu persaingan iklan-iklan para politisi yang sedang merayu rakyat agar memilih mereka menjadi anggota dewan alias wakil rakyat. Di pinggir-pinggir jalan umum lainnya juga berderet persaingan iklan para politisi, berlomba besar dan tak mau kalah banyak dengan iklan promosi merek-merek dagang.

Seandainya persaingan iklan dalam bentuk spanduk dan baliho itu indah maka kota Surabaya itu akan menjadi tempat wisata senirupa politik. Tapi sayangnya iklan-iklan politik yang bersaing dengan iklan dagang di jalanan itu menambah pemandangan menjadi ruwet, ruwet dan ruwet. Kecuali ada gambar politisi di perempatan jalan yang sangat cantik memikat, yang pernah membuatku akan menabrak kendaraan di depanku gara-gara terpukau gambar cantik. Busyet!

Apakah pemerintah dan kaum kaya merasa terganggu dengan pemandangan iklan politik yang bersanding dengan iklan dagang itu? Bukankah yang bisa memasang iklan-iklan baliho besar itu mereka yang punya banyak uang?

Sebagian besar perasaanku muak melihat persaingan spanduk dan baliho para politisi di jalanan yang penuh dengan tulisan janji-janji, yang dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini terbukti hanya sebagai janji-janji palsu dan menjijikkan untuk didengarkan lagi. Mata ini terasa perih dan pedas melihat gambar-gambar para politisi yang seringkali dilalui para pengemis tua dan anak-anak jalanan yang tak bisa sekolah.

Belum lagi iklan produk-produk dagang di jalanan itu yang tak jarang hanya merupakan penipuan kepada masyarakat, bahkan bangunan iklan kadang tumbang mencederai dan membunuh orang di dekatnya.

Sementara itu masyarakat konsumen Indonesia masih sangat lemah dan mudah mau menerima begitu saja penipuan-penipuan yang dilakukan para saudagar. Setiap orang merasa hanya sedikit pulsa yang berkurang gara-gara mengikuti kuis SMS. Tapi jika terdapat sejuta orang yang masing-masing berkurang pulsanya Rp. 2.000,- per hari maka dalam sehari saudagar itu berhasil mendapatkan uang kuis sebesar Rp. 2 miliar per hari. Yang bodoh adalah alat memperkaya yang cerdik!
----------------------------

Lampu menyala hijau, motor bebekku melaju bersaing dengan kendaraan lain. Gam tampak menikmati perjalanan siang yang gerah itu. Tangannya mendekap erat pinggangku.

Aku sangat menyayangi Gam. Tapi aku menghukumnya jika ia berbuat nakal menyakiti temannya atau merusak barang secara sengaja. Bentuk hukumannya kadang berdiri dengan satu kaki selama setengah jam. Aku memang salah jika sekali waktu memukulnya dalam keadaan kesal.

Setelah hukuman itu selesai, aku menjelaskan kepadanya kenapa ia harus diberi sanksi atas perbuatannya yang merugikan orang lain atau merusak. Lalu aku memeluknya dan mengusap kepalanya. Jangan sampai ia berpikiran bahwa hukuman yang aku berikan itu sebagai kebencian.

Dengan cara begitu, ia menjadi sangat akrab dan dekat denganku. Autisnya semakin berkurang dalam kurun waktu empat tahun ini. Ia mulai dapat berkomunikasi dengan baik.

Dalam soal mengasuh dan mendidik anak, aku ingat petuah Suyoto sebelum menjadi Bupati Bojonegoro, yang rutin memberi ceramah agama melalui siaran JTV Surabaya. Ia mengatakan yang intinya begini: “Menjadi orang tua harus bersabar. Kalau ada orang tua yang marah-marah melihat anaknya yang nakal, berarti orang tua itu sudah kehilangan cara, kehilangan akal untuk mengarahkan agar anaknya tidak nakal.”

Selanjutnya Suyoto mengatakan: “Begitu pula dengan penguasa atau pemerintah. Pemerintah seharusnya bersabar dalam mengurusi rakyatnya. Jika pemerintah marah-marah kepada rakyat, berarti pemerintah sudah kehilangan akal.”

Petuah Suyoto itu sulit untuk diterapkan. Saya seringkali marah-marah kepada Gam yang seringkali nakalnya melewati batas dan sengaja seolah-olah meledek saya. Saya larang pipis di depan rumah dengan alasan kebersihan tapi malah disengaja kencing di dekat teras rumah. Saya larang membawa cacing tanah ke dalam rumah dengan alasan kotor tapi malah berteman dengan cacing-cacing tanah dibawa masuk ke rumah. Bukan hanya itu. Gam bahkan bermain dengan tawon, kelabang, kecoak, lalat, cicak, semut, dan serangga atau hewan apapun yang ia temukan ia jadikan mainan. Tentu saja itu membuat orang seisi rumah kami tidak dapat menyesuaikan diri dengan Gam dan marah-marah. Eyangnya yang paling sabar pun kadang dibuat marah, tapi setelah itu menangisinya.

Bahkan Suyoto sendiri tak mampu menjalankan petuahnya sendiri. Ketika ia sudah berhasil menjadi Bupati Bojonegoro, pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro mengeluarkan tindakan pemerintahan berupa pemberantasan para pedagang kaki lima (PKL) yang ada di pinggir-pinggir jalan umum dengan alasan ketertiban. Padahal selama ini para PKL di dalam Kota Bojonegoro membayar retribusi yang ditarik secara resmi oleh Pemkab Bojonegoro. Para PKL yang menolak di gusur paksa oleh pemerintahan Suyoto, dimarah-marahi dengan kekuatan gabungan satpol PP, polisi dan tentara.

Agar konflik antara Pemkab Bojonegoro dengan para PKL bisa diselesaikan dengan adil, terutama untuk keberlangsungan nafkah para PKL yang mandiri dan menyumbang pendapatan kepada pemerintah itu maka Komnas HAM mengupayakan mediasi. Saya belum tahu bagaimana hasil mediasi itu, hingga kini.

Berdasarkan informasi para relawan lokal di Bojonegoro, ternyata di antara para PKL ada yang orang kaya menjadi pimpinan paguyuban PKL, hanya memanfaatkan paguyuban PKL untuk kepentingan pribadinya, tak mau mengurusi masalah penggusuran PKL itu. Ia menjadi spion pemerintah untuk mengendalikan para PKL dengan imbalan.

Di manapun tempat perjuangan masyarakat, selalu ada para pengkhianat. Fenomena Londo Blangkon memang ada sejak jaman kolonial Belanda hingga neokolonial reformasi.

Barangkali Tuhan memang menyediakan manusia-manusia rendahan seperti itu sebagai alat uji pergerakan sosial menuju hijrah ke situasi lebih baik, sebagaimana perjalanan hijrah Nabi Muhammad dan umatnya yang juga diganggu oleh para pengkhianat. Para pengkhianat perjuangan sosial seperti itu dibahasakan oleh Quran sebagai kaum munafik. Tata lahirnya tampak bermoral, tapi suatu saat menikam dari belakang.
--------------------------

Bicara tentang hidup para pengemis, apa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat di negara ini adalah potret-potret karakter bangsa ini. Dahulu Bung Karno terpaksa menerima modal asing untuk mengelola minyak dan gas bumi Indonesia dengan alasan belum mempunyai para insinyur yang pintar.

Tapi setelah Indonesia punya banyak insinyur pintar sepeninggal Bung Karno, malah kekayaan alam Indonesia yang melimpah sebagian besar diserahkan kepada pemodal asing. Nilai-nilai Pancasila menguap oleh api panggang kapitalisme yang menjanjikan kemakmuran global. Setiap aset publik satu persatu diprivatisasi. Rakyat kecil tinggal punya tubuh-tubuh mereka sendiri bersama dengan nasib buruknya, yang setiap saat akan diambil Yang Maha Pemberi Hidup.

Indonesia yang kaya ini menjadi negeri pengemis, mengemis-ngemis utangan kepada bangsa-bangsa maju yang sejak dahulu telah menjajah dan menguras kekayaan bangsa-bangsa lain. Lebih dari tiga setengah abad Indonesia dikuras Belanda, Inggris dan Jepang dalam penjajahan kuno, dan berlanjut pada penjajahan moderen hingga sekarang.

Pemerintah negeri kaya yang pengemis ini membiarkan rakyatnya yang tua-tua renta dan anak-anak kecil menjadi pengemis di jalanan. Kalaupun melarang, dengan cara kasar, mengusir dan memidanakan, lalu membuang begitu saja tanpa jalan penyelesaian. Para pemegang kedaulatan negara diperlakukan seperti sampah setelah tak kebagian harta kekayaan negara yang banyak dicaplok para koruptor dan raksasa asing.

Padahal para pengemis tua itu lahir dan sejak kecil hidup berperih-payah, bersimbah darah, berlinang air mata, menjalani hidup sejak jaman kekerasan kolonial Belanda hingga jaman pasca kemerdekaan. Jika dahulu mereka lari dikejar peluru musuh, kini mereka merangkak meniti hidup yang suram.

Negara ini memang sudah lama diurus oleh para intelektual bermental pengemis, tidak punya kepercayaan diri dan gemar meminta-minta. Sejak masih mahasiswa sudah diberikan keterampilan mengajukan proposal-proposal dana, yang bahkan dana-dana itu diambilkan dari para pengusaha yang ada di lorong-lorong kejahatan kemanusiaan dan kemaksiatan. Sejak sekolah sudah belajar untuk mengarang penggunaan dana fiktif.

Jika proposal-proposal pengemisan dana itu menjadi jembatan menuju kemandirian maka mungkin masih ada nilai baiknya. Tapi dalam kenyataannya proposal-proposal itu terlanjur menjadikan diri bermental pengemis, kehilangan independensi. Mereka memasang target kebahagiaan ada pada penuhnya digit angka kalkulator penghitung uang. Senyum bahagia para korban kejahatan kemanusiaan dan tegaknya keadilan di negeri ini hanya menjadi tujuan imajinatif.

Para pengemis intelektual itu masih akan melanjutkan tongkat kekuasaan negara dan hanya akan memperpanjang sejarah pengemisan negeri kaya yang mengenaskan ini. Mereka tak akan peduli dengan banjir peluh rakyat yang menderita, bahkan membiarkan peluru kekuasaan menembus tubuh-tubuh rakyat miskin yang ringkih yang sedang mempertahankan diri sebagai manusia, agar tidak diperlakukan seperti binatang.

Rakyat kecil sudah jenuh mendengarkan janji yang tak pernah ditepati. Rakyat kecil sudah sadar bahwa mereka hanya obyek atau alat bagi para politisi untuk meraih jabatan kekuasaan. Rakyat kecil sudah sadar bahwa kelak para pejabat itu akan mengerahkan akal untuk mengembalikan biaya-biaya politik yang mereka keluarkan. Hampir seabad kampanye-kampanye politik negara ini adalah kata-kata sombong, kosong dan palsu. Palsu! Palsu! Sekali lagi: PALSU!

Kini, rakyat kecil pun mulai terampil bermain drama uang politik, mengambil uang politik dari para politisi untuk dibagikan kepada teman-temannya. Hari ini mereka membagi uang si Anu, hari esok mereka membagi uang si Ina, esoknya lagi mereka berbagi uang politiknya si Ino, dan seterusnya. Soal mau memilih siapa, itu terserah mereka. Bahkan ketika ditanya mau memilih siapa mereka enggan menjawab. Katanya bingung.
-------------------------------

Gerimis menghiasi sore yang agak riuh. Di pinggir jalan raya Dharmahusada aku berhenti di sebuah warung nasi pecel. Rasanya nikmat menyantap nasi pecel lima ribuan rupiah seporsi dengan minum jeruk hangat seharga dua ribu rupiah. Lebih nikmat jika kubandingkan dengan sebutir roti Rp. 25 ribu dan segelas plastik minuman hot chocolate seharga Rp. 35 ribu yang pernah aku makan di sebuah kafe. Lebih enak dibandingkan nasi pecel serupa seharga Rp. 17 ribu yang pernah kurasakan di pusat makanan di sebuah mal.

Merasakan hidup ini tergantung suasana hati dan selera. Aku tak terlalu berselera dengan harga-harga tinggi di tempat-tempat mewah yang menipu imajinasi, selain uangku terbatas. Enaknya makanan bukan karena tempat dan harganya, tapi apakah cara memasaknya dan formulanya tepat, serta suasana hati yang tenang. Bagiku dan bagi orang miskin lainnya, makan di kandang sapi, di tengah sawah becek, atau di pinggir kali, sudah biasa. Tapi orang-orang kaya tak akan bisa.

Selain itu, bangsa yang pintar seharusnya tidak suka memberikan rente kepada pengusaha asing yang menjual merek dagang di Indonesia. Bangsa pintar seharusnya mampu memberdayakan ekonominya sendiri, ekonomi rakyat Indonesia, agar tidak selalu menjadi budak dan permainan ekonomi asing.

Bayangkan! Kita makan roti, minum kopi atau coklat bermerek Amerika Serikat, Swis, Italia atau Inggris yang bahannya dari Indonesia. Pemodal asing membeli bahan pangan dan minuman dari kita dengan harga sangat murah, lalu diolah dan diberi merek asing oleh pemilik lisensi merek asing, lantas dijual kepada kita dengan harga yang sangat mahal.

Hahaha.... kita dibodohkan oleh kapitalis asing! Kita membayar mahal barang kita sendiri yang pernah kita jual murah kepada merek asing itu. Jadi bangsa bodoh! Pantas jika tetap menjadi bangsa pengemis! Orang yang bodoh pasti merasa bangga dengan kebodohannya itu. Sok hebat! Sok keasing-asingan! Sok berduit! Padahal bangsanya sendiri dihisap.......

Tinggal beberapa sendok nasiku tersisa, ketenanganku makan ‘diganggu’ oleh seorang pengemis perempuan yang belum terlalu tua. Umurnya mungkin 50-an tahun. Aku rogoh saku depan, kutemukan hanya seribu rupiah. Tapi sebelum ia menerima uangku mendadak cepat-cepat pergi. Aku heran.

“Sudah lama menunggu di sini Mas?” tanya isteriku tiba-tiba. Aku memang makan di warung nasi pecel itu sambil menunggu isteriku pulang kantor. Kantornya di dekat warung nasi pecel itu.

“Nggak! Sambil makan ini,” jawabku.

Kami pun pulang. Di perjalanan aku bercerita kepada isteriku tentang pengemis di warung nasi pecel, yang tidak jadi menerima uangku.

“Ooooo... Pengemis itu? Mungkin dia tahu aku datang, lantas dia pergi,” kata isteriku.

“Memangnya ada apa dia takut sama kamu?” tanyaku.

“Ya, nggak takut. Mungkin dia hanya malu sama aku. Sebab aku pernah ketemu dengannya saat dia makan bakso, lagi bercerita bahwa dia menikmati menjadi pengemis. Katanya sehari kalau untung bisa mendapatkan Rp 100,- ribu. Sebulan bisa mendapatkan antara Rp. 600 ribu hingga sejuta rupiah. Ia merasa enak menjadi pengemis, dibandingkan menjadi pembantu rumah tangga yang disuruh-suruh majikan. Nah, saat dia cerita begitu, lalu ia melihat aku yang mendengarkan ceritanya itu,” isteriku menjelaskan.

Ada juga pengemis yang menikmati pekerjaan sebagai pengemis, enggan untuk tidak jadi pengemis. Apa bedanya dengan para pengemis intelektual yang enggan melepaskan watak pengemis mereka?
------------------

Perjalanan masih akan panjang. Negeri besar ini sedang berada di masa-masa yang sulit. Namun bukankah kesulitan itu sudah menjadi hal biasa? Dalam sebuah novel karya Sidney Sheldon (aku lupa judulnya) ada tokoh cerita yang mengatakan bahwa ‘hal yang biasa dialami tak akan menggetarkan jiwa.’

Kesulitan yang dialami rakyat kecil Indonesia akhirnya bukan lagi dianggap sebagai kesulitan. Bagaimana orang akan merasakan dirinya menderita jika seumur hidupnya hanya keadaan serupa dan tetap yang dijalaninya? Bagaimana orang akan dapat membedakan antara keadaan sengsara dengan mudah jika tak pernah merasakan mudah? Paling-paling hanya bisa membayangkan bagaimana rasanya mempunyai rumah besar dan mobil yang bagus yang dilihatnya.

Tapi masyarakat Indonesia sejak jaman kuno hingga sekarang sudah memegang nilai dan kepercayaan bahwa kebahagiaan itu bersifat batiniah, tidak bergantung pada kepemilikan materi. Artinya, kebahagiaan bukan milik orang miskin atau orang kaya, tapi milik mereka yang mampu meraihnya.

Dan jika kelak rakyat mengalami sesuatu yang lebih baik maka jiwa mereka akan bergetar merasakan perubahan perasaan yang lebih baik. Siapa yang akan mampu menghantarkan rakyat Indonesia, tidak saja pada gerbang pintu kemerdekaan, tapi masuk ke dalam ruang kemerdekaan dan kesejahteraan serta keadilan sosial yang dituju oleh berdirinya sebuah negara Indonesia?

Lantas akupun bertanya-tanya: dengan cara apa bangsa yang kaya yang sedang bermental dan menjadi pengemis ini akan dapat berubah menjadi bangsa yang terhormat? Bagaimana caranya agar rakyat Indonesia ini terbebas dari sistem pendidikan formal dan informal yang menciptakan mental-mental pengemis?

Apakah bisa bulan depan ini sudah tak ada lagi para pengemis tua yang melanjutkan deritanya di jalanan, sebab toh dalam beberapa bulan atau tahun lagi mereka akan meninggal dunia? Apakah para pengemis tua renta itu akan mati di jalanan atau di kamar kumuhnya, mati sebagai pengemis?

Ini negara macam apa, sehingga setelah lebih dari 63 tahun membangun tapi belum juga bangun?

Jika seumpama ada satu pemimpin di antara seribu orang Indonesia yang rela menafkahkan dirinya untuk membangun Indonesia, setiap seribu orang Indonesia akan lebih mudah untuk mampu bangun dari kegelapan yang panjang.

Satu pemimpin di antara seribu itu mampu mengawal terwujudnya konsensus publik: tidak korupsi, mandiri, saling melayani, saling membantu, berjuang bersama mengembalikan kekayaan negara dari tangan asing. Siapa yang melanggar konsensus itu dihukum berupa hukuman hidup bercampur dengan gorila di kebun binatang Ragunan dan Wonokromo seumur hidup. Bagaimana ini?


Surabaya, 14 Januari 2008

Kamis, 01 Januari 2009

Kiamat 2009


Malam tahun baru 2009, rintik hujan bagai air mata yang enggan meninggalkan masa lalu. Ada tanggungan masa lalu yang banyak belum terselesaikan dan akan menjadi beban di masa depan. Masa depan yang akan semakin menumbuhkan generasi pesta-pora, wujud pelarian atas beban berat yang diwariskan para pendahulu.

Oh iya, aku lupa tidak membawa jas hujan. Malam itu, dari posko relawan korban Lapindo di Desa Gedang Sidoarjo aku mau pulang ke Surabaya. Terpaksa membiarkan tubuhku dibasahi perlahan-lahan oleh rintik hujan yang tak deras. Sepeda motor kujalankan perlahan. Tubuh semakin basah di jalanan, mengingatkanku masa remaja di desa, sering kehujanan di tengah hutan ketika mencari kayu bakar.

Jalanan malam tahun baru, meski ramai kendaraan bermotor tapi tampak lesu. Kadang-kadang di beberapa bahu jalan tampak para remaja bergerombol. Semakin mendekati kota Sidoarjo, kelihatan para penjual terompet duduk lesu di dekat dagangan terompet mereka yang ditutupi plastik transparan pelindung hujan. Tak seperti malam tahun baru sebelumnya di mana para penjual terompet bisa lebih beruntung karena tak hujan, sehingga banyak orang yang membeli terompet.

Bukan maksudku menyalahkan hujan. Tidak. Hujan adalah komponen alam, turun atau tidak, bergantung pada hukum alam yang diciptakan Tuhan. Malam itu para pedagang terompet mungkin kesepian rezeki, siapa tahu di lain hari mendapatkan kelimpahan rezeki. Toh mereka berjualan terompet hanya menjelang tahun baru. Setelah itu kan berjualan barang lainnya.

Hari terakhir tahun 2008 terasa menyesakkan dada, mendengar berita-berita yang menyedihkan. Ada berita tentang terdakwa pembunuh mendiang Munir diputus bebas. Alangkah malangnya para korban ketidakadilan di negeri ini yang masih sulit mengungkap kebenaran untuk mencari keadilan yang selama ini seringkali tersembunyi di balik jubah kekuasaan. Ya kekuasaan politik, ya kekuasaan uang. Apakah Munir meninggal karena gempa Jogja?

Kadang para ahli memaksakan diri membuat logika ilmiah yang tidak logis. Ya ahli hukum (termasuk hakim), ahli geologi, ahli pemboran, ahli pers, dan lain-lain. Bungkusnya tentu ilmu pengetahuan. Biasanya karena konspirasi busuk. Kata tokoh sufi Indonesia, DR. Jalaluddin Rahmat, kalau menilai sesuatu tindakan orang yang berkaitan dengan pihak lain itu kuncinya UUD atau UUS. Jika ujung-ujungnya duit atau ujung-ujungnya seks, maka itu bukan jalan Tuhan.

Ada lagi Pak, UUP, ujung-ujungnya popularitas. Yang bahaya adalah UUTJ, ujung-ujungnya tidak jelas, seperti nasib korban Lapindo yang jelas tambah merana.

Akhir tahun 2008, malang pula bagi saudara-saudara bangsa Palestina yang semakin terpuruk dalam kepedihan hidup puluhan tahun digerus oleh kekuasaan yang tiran yang haus darah. Anak-anak Palestina pun harus menanggung beban berat, pundak mereka ditumpangi masa depan yang tidak pasti.

Setiap hari anak-anak Palestina disuguhi adegan kekerasan dan kematian. Bahkan mereka sendiri sewaktu-waktu terancam kematian dan cacat. Manusia adalah makhluk paling ganas, lebih ganas dibandingkan harimau paling ganas di dunia ini. Anehnya, meskipun manusia di dunia mempunyai tatanan, tapi seringkali tatanan itu tak berguna.

Konflik Palestina-Israel memang sisa dari konflik politisasi dan konservatifisme agama yang dilatarbelakangi politik kekuasaan dan egosentrisme kebangsaan. Bangsa Bani Israel merasa paling tinggi, bangsa pilihan Tuhan. Perebutan tanah berdarah itu memang diramalkan hanya bisa berakhir di akhir zaman. Tapi manusia sebagai pelaku zaman tentu harus mengusahakan meminimalisasi konflik itu.

Di akhir tahun itu pula posko korban Lapindo semakin sepi. Posko yang didirikan untuk memberikan edukasi dan menyatukan korban Lapindo kini mulai ditinggalkan para korban. Sejak peristiwa kesepakatan cicilan Rp. 30 juta antara para wakil (elite) korban Lapindo dengan pihak Lapindo dan Presiden SBY, banyak kekecewaan di kalangan grassroot korban Lapindo.

Kesepakatan di istana negara itu telah membawa perpecahan yang semakin meluas. Para wakil pengurus korban Lapindo dari berbagai kelompok yang biasanya rutin berdiskusi di posko, kini mereka mulai saling menjauh. Satu kelompok dengan kelompok lain saling curiga, saling membenci, meski ada pula yang sekadar saling acuh. Apakah keadaan seperti memang telah dikondisikan dan dirancang?

Lapindo telah memaksakan berbagai macam cara penyelesaian yang membuat para korban terpecah-belah. Alasannya bermacam-macam. Kami para relawan kesulitan menyatukan mereka, meski tak harus memilih satu cara penyelesaian. Terserah mereka mau memilih cara mana, tapi sayangnya justru terbelah-belah.

Anak-anak cucu kita dibebani oleh demokrasi yang telah rusak. Bagaimana tidak, seperti halnya kasus semburan lumpur Lapindo yang semestinnya menjadi tanggung jawab korporasi penambang, malah membebani rakyat dan negara. Bahkan hukum yang buruk seperti Perpres No. 14 Tahun 2007 masih bisa direduksi lagi (tidak dipatuhi) oleh Lapindo, anak Grup Bakrie.

Presiden SBY pun dibuat tak berkutik. Masyarakat korban Lapindo yang mendukung Perpres No. 14 Tahun 2007 pun harus menanggung kekecewaan sebab Presiden SBY tidak mampu berbuat apa-apa ketika Lapindo tidak patuh pada Perpres itu. Sebuah korporasi yang makan dan menghisap kekayaan rakyat malah bisa melangkahi dan merusak tatanan negara. Ini negara demokrasi jenis apa? Demokrasi model apa? Demokrasi cara apa?

Jangankan di soal transparansi pengelolaan migas, di soal kepatuhan dengan Perpres yang sudah melanggar hak rakyat itu saja tidak ada.

Ketika ada berita tentang pembunuhan sekitar 300 warga Palestina membahana, reaksi keras muncul di mana-mana terutama dari komunitas intelektual yang berembel-embel Islam. Tapi apakah mereka kelelahan dan tak punya tenaga selama lebih dari dua tahun melihat 70 ribu korban Lapindo yang kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan, menderita sakit, menjadi gelandangan, mati ngenes, sakit jiwa, terjerat dalam hidup yang tak pasti berkepanjangan?

Apakah kemanusiaan itu hanya diperjuangkan dalam lingkaran ideologi, agama, golongan, suku, bangsa yang sama? Apakah karena lawan bangsa Palestina itu bangsa Yahudi lalu para hamba Allah berteriak-teriak tidak terima? Apa reaksi kita melihat ratusan ribu bangsa Aceh dibunuh secara kejam? Apa tanggapan kita ketika isteri-isteri para tentara Fretilin diperkosa oleh saudara-saudara kita sendiri?

Apa reaksi kita ketika anak-anak kita dibohongi untuk mengonsumsi makanan produksi kapitalis yang diracuni dengan bahan pengawet, zat pewarna dan bahkan dicampuri melamin? Apa yang bisa kita berbuat ketika alam negeri ini dirusak para pemodal penambang dan perusak hutan sehingga menimbulkan bencana berkepanjangan dan memakan ribuan korban nyawa setiap tahun?

Apakah dengan mengenakan jilbab dan peci serta baju takwa lalu beteriak-teriak Allahu Akbar – Allahu Akbar, mengecam zionis Yahudi, tapi diam membisu melihat kejahatan kemanusia di sekitar kita, lantas Tuhan akan memberikan surga indah di akhirat?

Apakah kita diam saja jika yang melakukan kejahatan kemanusiaan itu golongan kita sendiri? Mengapa kita diam – tak ada tentangan dengan teriakan Allahu Akbar - ketika melihat pejabat yang mengeluarkan surat administrasi negara untuk membebaskan jerat pidana penjarah dan perusak hutan rakyat?

Ataukah diamnya kita karena kita malah bisa turut menikmati uang para penjahat kemanusiaan itu, dan bahkan lantas disumbangkan kepada para korban kejahatan yang berdalih atas nama kemanusiaan?

Jangan-jangan otak kita telah tertulari doktrin kemanusiaan yang bodoh? Bagaimana tidak bodoh, jika kita diam melihat kejahatan kemanusiaan karena kita turut menikmati uang penjahat kemanusiaan itu dan menyumbangkan kepada para korban dengan dalih kemanusiaan? Orang tidak sekolah pun tahu itu adalah kebodohan.

Menurut Slank, hanya orang stupid dan tidak sekolah yang membuang comberan lumpur sembarangan. Lalu apakah kita tidak lebih bodoh jika mau menyumbangkan kekayaan para penjahat kemanusiaan kepada para korbannya? Itu bukan sumbangan, tapi pengembalian bagian kecil dari sekian banyak yang telah dirampok para perampok.
----

Beberapa truk besar mendahului motorku. Beberapa kali pula coberan air hujan menampar wajah dan badanku dari arah ban truk-truk itu. Mulutku memaki, tapi hatiku menyadari bahwa aku sedang berada di jalan milik umum, bukan jalanku sendiri. Para sopir truk itu adalah para pekerja keras yang mengejar waktu, siapa tahu esok hari adalah jatuh tempo anaknya membayar uang sekolah, atau isterinya lagi sakit menunggu di rumah. Mereka yang dalam jalan kebaikan pekerjaannya adalah para syuhada, yaitu: orang yang bersungguh-sungguh berbuat di jalan Tuhan.

Bukan syuhada, tapi hanya makhluk jadi-jadian alias pura-pura jika mulutnya bicara atau berteriak tentang kebenaran, tangannya menggoreskan tulisan keadilan dan kebenaran, tapi memakan makanan dan menerima uang dari para penjahat kemanusiaan. Jika advokat ia adalah advokat sesat. Jika ulama ia adalah ulama murtad. Jika guru, ia adalah guru penipu. Jika budayawan, ia adalah budayawan kentut monyet. Jika wartawan ia adalah wartawan rombeng. Jika pengusaha, ia adalah pedagang nasib orang.

Intelektual seperti itu sebakat dengan para politisi yang biasa menjual otoritas atau jabatan, memboros-boroskan harta negara, membuat rakyat menjadi melarat.

Jika seandainya Tuhan kelak di akhirat memberikan surga para hamba sahaya penjahat kemanusiaan seperti itu maka aku akan memprotesNya dan lebih baik aku tidak usah masuk surga bersama-sama dengan para cecunguk kemanusiaan seperti itu!

Asalkan tidak berkumpul dengan para pengkhianat dan pembual kemanusiaan itu maka aku rela masuk neraka saja! Sekeras-keras sakitnya di neraka masih lebih menyakitkan melihat perilaku para penipu dan pembohong kemanusiaan itu yang mengenakan baju kemunafikan dengan bangganya, yang mereka berikan nama “profesi”.

Matanya buta ditutupi tabir materi dunia yang tak akan dibawa ke liang kubur. Jiwanya mati dan hanya menjadi drakula-drakula kemanusiaan bergentayangan berkampanye soal humanisme dan keadilan. Jarak antara dirinya dengan Tuhannya dihalang-halangi oleh pengabdiannya kepada materi.
---

Umurku semakin bertambah, tak setangguh waktu remaja. Ketika masih remaja aku malah senang diguyur hujan sewaktu memikul rencek kayu dari hutan, atau sedang mencangkul di ladang. Guyuran air hujan menambah badan mudaku menjadi segar. Tapi malam tahun baru kemarin itu aku sampai di rumah menggigil kedinginan. Isteriku sedikit memarahiku, gara-gara aku lupa tidak membawa jas hujan. “Kalau begitu kamu kan bisa sakit!” katanya agak galak. Aku suka melihat kemarahannya.

Anak-anakku yang masih kecil-kecil menyambutku dengan tawa riang. “Ayah kok gak bawa jas hujan sih? Jadinya basah deh,” kata Cempluk, anak perempuanku yang masih berumur lima tahun itu. Aku hanya menjawab dengan senyum.

Segera kubersihkan diriku. Mandi. Setelah itu, aku bermain dengan anak-anakku. Rasa lelah dan gundah sejenak punah.

Dalam hatiku bergumam, anak-anakku pun harus turut menanggung beban dosa yang telah dilakukan para penjahat kemanusiaan.

Anak pertamaku, Gam, terkena autis. Menurut dokter yang memeriksa hasil penelitian laboratorium atas darah, kotoran dan rambutnya, dalam tubuh Gam tercemar toksin yang diduga sejak masih di kandungan ibunya. Gara-garanya, isteriku senang makan kerang dan ikan laut dari pantai Kenjeran yang telah tercemar limbah industri. Kadar merkurinya tinggi.

Sewaktu isteriku hamil mengandung Gam, aku memang tak bisa menungguinya cukup, karena menjadi relawan di Pulau Buton, mengurusi para pengungsi korban kerusuhan Maluku.

Merawat Gam yang autis membutuhkan kesabaran yang ekstra. Kadang aku juga menjadi tidak sabar jika hiperaktifnya menyerang dan merugikan orang lain yang tidak bersalah.

“Bagaimana korban lumpur Lapindo?” tanya isteriku.

“Sudahlah, mari kita bicara yang lain! Untuk apa membahas korban Lapindo? Wong pemangku kewajibannya saja abai dan tidak peduli!” jawabku seolah serius.

“Lha untuk apa ke posko relawan sampai malam?” tanya isteriku.

“Hanya mau cari terompet di Porong apa sama dengan terompet Surabaya,” jawabku bercanda.

“Terus, kok nggak bawa terompet?” tanya isteriku.

“Nggak jadi. Mending biar malaikat Isrofil saja yang meniupkan terompetnya,” jawabku bergurau.

“Mau kiamat?”

“Jika seumpama Allah tidak iba melihat bayi-bayi yang menangis di malam hari, hewan-hewan melata dan orang-orang yang berurai air mata dalam sujudnya di tengah malam, maka Allah sudah murka melihat manusia-manusia yang telah banyak melakukan dosa.”

Jika dalam waktu yang sering kita sudah melihat murka Tuhan dengan banjir bandang gara-gara hutan dihabiskan secara legal dan ilegal, semburan lumpur Lapindo gara-gara motif ekonomi (penghematan), tsunami Aceh, tanah longsor, dan lain-lain, apakah berarti Tuhan sudah tidak iba lagi melihat ketiga faktor penyebab iba itu?

Apakah berarti kita sudah keterlaluan? Mungkin iya. Bahkan jangan salahkan siapa-siapa jika negara ini kelak akan bubar dan bercerai-berai jika ketidakadilan terus berkuasa.

Surabaya, 1 Januari 2009.
Matahari tergelincir ke arah Barat, terbitnya dari Timur. Utara dan Selatan poros bumi. Mata angin tak dapat bersatu kecuali di satu titik tak ada jarak. Ia adalah nol, netral, tawar, tak berasa, tak berwarna. Tapi dunia tak mungkin hanya itu.







.