Kamis, 31 Juli 2008

CASH & RESETTLEMENT, JALAN YANG TAK PASTI

Kasus Lumpur Lapindo

Tampaknya jalan yang ditempuh korban lumpur Lapindo untuk mendapatkan pembayaran jual-beli tanah dan bangunan mereka yang telah terkubur bubur lumpur itu harus penuh liku.

Kilas balik perjuangan warga korban lumpur Lapindo, saya coba ingatkan kembali. Dahulu, warga korban lumpur terkotak-kotak dalam wadah yang secara prinsip terbelah dalam dua aliran.

Aliran pertama, warga yang setuju skema Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14/2007) yaitu jalan penyelesaian sosial dengan jual-beli tanah dan rumah warga korban dengan pembayaran 20 persen di muka dan 80 persen sebelum masa kontrak rumah korban berakhir (cash & carry / C&C). Mereka kini tergabung dalam Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) yang konon merupakan mayoritas korban lumpur Lapindo dalam peta terdampak 22 Maret 2007.

Aliran kedua, warga yang tidak setuju skema Perpres No. 14/2007, mereka meminta pembayaran strict cash (tunai langsung). Mereka tergabung dalam Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak (Pagarrekontrak). Tapi seiring jalan, Pagarrekontrak yang bertahan di pengungsian Pasar Porong Baru Sidoarjo itu akhirnya setuju dengan skema Perpres No. 14/2007 setelah ditekan melalui ancaman pemutusan air PDAM, listrik dan penghentian jatah makanan. Pada akhir April 2008 kemarin Pagarekontrak setuju dengan skema pembayaran jual-beli 20 persen : 80 persen, tapi meminta jaminan jika ternyata PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ) ingkar janji. Namun, terakhir pimpinan mereka (H. Sunarto) tiba-tiba mengambil keputusan menukik tajam: setuju cash & resettlement yang menimbulkan rasan-rasan para pengikutnya yang takut menyatakan ketidaksetujuan mereka.

Di luar GKLL dan Pagarrekontrak masih ada ribuan korban lain yang berjuang dalam kelompok-kelompok kecil dan para individu. Bahkan di Pasar Porong Baru saya menemukan adabeberapa orang korban yang mendeklarasikan tekadnya,” Sampai kiamatpun saya tak akan menjual tanah dan rumah saya yang telah terendam!” Ternyata di luar itu juga banyak yang belum mau menjual tanah dan rumah mereka yang terkubur lumpur. Mereka kelak akan menggugat ganti rugi kepada Lapindo. Pilihan ini juga harus dihormati.

Ada juga warga yang berkasnya ‘diblokir’ oknum aparat desa sebab mereka tidak mau menuruti adanya pungutan 25 persen sehingga BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) tidak berani meneruskan prosesnya. Ada juga sengketa perbedaan tafsir jenis tanah yang menurut dokumennya tanah pekarangan tapi menurut kenyataan separoh rumah dan separoh dibuat tempat menamam kangkung (ditafsir sawah).

Ada pula warga yang resah sebab ada pengurus desa atau kelurahan atau pengurus kelompok warga yang meminta ‘uang jasa’ 0,5 persen. Ada juga sedikit warga yang ‘berbelanja perhiasan dan kendaraan’ setelah memperoleh pembayaran uang muka 20 persen. Dan lain-lain, kisahnya tidak sesederhana yang diberitakan media, tidak semesra apa yang digambarkan oleh iklan-iklan Lapindo di media.

Jalan tengah?

Warga kini dibelit masalah baru, yaitu: MLJ tidak lagi tunduk pada skema Perpres No. 14/2007. MLJ tidak mau membayar cash and carry (C&C) sesuai klausul PIJB dan Perpres No. 14/2007. Alasannya, tanah nonsertifikat (Petok D dan Letter C) tidak dapat di-dibuatkan akte jual beli (di-AJB-kan) karena berbenturan dengan aturan UU No. 5/1960 (UUPA).

Atas dalih tersebut, maka muncullah skema baru di luar PIJB yang telah ditandatangani MLJ dan korban lumpur Lapindo, yaitu: cash and resettlement (C&R). Skema C&R itu disusun dalam Nota Kesepahaman tanggal 25 Juni 2008 antara MLJ, pengurus GKLL, perwakilan warga dan Emha Ainun Nadjib yang dinyatakan dalam nota tersebut sebagai penggagas pendekatan budaya. Dalam skema ini, pembayaran uang muka 20 persen yang telah dilakukan MLJ kepada warga dihibahkan kepada penerimanya. Selanjutnya, MLJ hanya mau membayar harga rumah atau bangunan milik warga yang terendam lumpur. Sedangkan tanahnya tidak dibeli, tapi diganti dengan tanah di tempat lain. Inilah yang dianggap sebagai ‘jalan tengah’ sebagai bentuk win win solution.

Sesungguhnya, ketika Presiden SBY mengeluarkan Perpres No. 14/2007 sudah menjadi ‘jalan tengah’ bagi Lapindo Brantas Inc., (putusan Mahkamah Agung RI No. 24 P/HUM/2007) meski belum tentu jalan adil bagi rakyat Indonesia, sebab rakyat melalui APBN harus menanggung biaya pembangunan infrastruktur serta biaya penyelesaian sosial di luar peta terdampak versi pemerintah. Perpres No. 14/2007 itu sendiri sudah tidak taat dengan prinsip absolute liability dalam pertanggungjawaban usaha hulu migas yang seharusnya diformulasikan dalam kontrak kerjasama usaha hulu migas berdasarkan pasal 6 ayat (2) huruf c UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (migas).

Ketika mayoritas korban lumpur Lapindo mau menerima skema pasal 15 Perpres No. 14/2007 itu maka aturan jual-belinya membentur UU No. 5/1960 (lihat pasal 21). Sebab, mayoritas tanah korban lumpur adalah tanah Hak Milik. Sedangkan MLJ selaku perseroan terbatas (PT) bukan merupakan subyek hukum yang boleh memiliki Hak Milik atas tanah. Seharusnya mekanisme formalnya bukan jual-beli tanah, tapi bisa dengan pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi.

Tapi nasi sudah menjadi bubur. MLJ bertekad berpegang teguh pada Perpres No. 14/2007 (tampak pada catatan tangan di Risalah Pertemuan tanggal 2 Mei 2007 antara Menteri Sosial, BPN, BPLS, MLJ dan perwakilan 4 desa). Tapi kini MLJ mulai ‘membangkang’ Perpres itu, ingkar dengan klausul C&C dalam PIJB yang disusunnya sendiri. Pebruari 2008 lalu, MLJ meminta syarat: “MLJ akan mau meng-AJB-kan tanah-tanah Petok D dan Letter C, asalkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) memberi persetujuan.” Lalu BPN mengeluarkan Surat BPN tanggal 24 Maret 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Lapindo (yang ditandatangani Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Hak Atas tanah) yang menjamin dapatnya dilaksanakan jual-beli terhadap tanah-tanah Petok D, Letter C, gogol dan yasan.

Sebelumnya, Kepala BPN Sidoarjo juga menjamin akan menerbitkan sertifikat kepada Lapindo jika seluruh tanah warga korban lumpur sudah dibeli (Radar Sidoarjo, 12/4/2007). Menteri Sosial pun pernah mengatakan bahwa Lapindo tidak bisa tidak membayar, karena itu perintah Perpres No. 14/2007 (Kompas, 4/5/2007). Tetapi nyatanya MLJ bisa ‘memaksakan diri’ untuk mengingkari skema Perpres No. 14/2007 dan PIJB yang telah dikonsepnya sendiri. Bagi Lapindo, hukum itu adalah apa saja keinginannya. Negara sepertinya tunduk kepada Lapindo.

Jalan sesat

Silahkan para pihak yang menyetujui cara atau skema C&R untuk menganggapnya sebagai jalan tengah. Tetapi bukan berarti para korban lumpur yang 'terpaksa' menerima jalan itu telah diperlakukan adil dan pasti. Saya katakan 'terpaksa' sebab jika mereka ditanya jawabannya memang terpaksa, daripada tak memperoleh apa-apa.

Skema C&R itu secara hukum menjadi ‘jalan sesat’ sebab melawan aturan Perpres No. 14/2007 yang susah payah melanggar UUPA dan ‘terpaksa’ dilegalisasi dengan putusan Mahkamah Agung RI (MA) No. 24 P/HUM/2007. Itulah diskresi hukum yang di tingkat teknis telah disetujui Badan Pertanahan Nasional (BPN), sehingga pihak Lapindo telah diberikan jaminan kepastian hukum oleh Presiden, MA dan BPN.

Tetapi justru hak kepastian hukum para korban lumpur Lapindo dilanggar oleh MLJ seenaknya sendiri. Jika hari ini Lapindo bisa membangkang Perpres No. 14/2007 dan perjanjian (PIJB) yang telah ditandatanginya, apa susahnya baginya untuk kelak mengingkari model-model penyelesaian baru yang sudah terlanjur disetujui dengan ‘keterpaksaan’ warga korban lumpur Lapindo yang tak pernah diberikan pilihan, baik skema C&R dan lain-lainnya yang tak ada payung hukumnya? Bolehkah masyarakat korban lumpur Lapindo juga seenaknya sendiri untuk tidak patuh pada hukum negara?

Apakah MLJ bisa dijamin tak akan ingkar lagi dan tak akan membuat masalah lagi dengan skema penyelesaian baru yang belum pasti itu? Salahkah para korban yang tidak lagi menaruh kepercayaan kepada MLJ setelah dibohongi?

Artikel ini tidak memberikan solusi baru, kecuali bahwa seharusnya solusi yang telah disepakati agar dilaksanakan, sebagai cara saling menghormati kedudukan hukum masing-masing pihak. Jika tidak, negara punya wewenang melakukan ‘paksaan pemerintahan’ kepada Lapindo serta MLJ untuk tunduk kepada hukum negara. Jika tidak, berapa kali lagi negara ini dan warga korban lumpur akan diremehkan terus oleh anak-anak kecil dari Grup Bakrie itu?

Senin, 21 Juli 2008

Skandal Ekosida Lumpur Lapindo

Ekosida merupakan istilah yang digunakan dalam bidang lingkungan hidup. Jika genosida diartikan sebagai pembasmian seluruh atau sebagian bangsa, ras, kelompok etnik ataupun kelompok agama, maka ekosida diartikan sebagai pembasmian atau perusakan sistem ekologi normal, yang tentu berakibat pada nasib buruk manusia.

Tama Leaver (1997) menjelaskan tulisan William Gibson dan Ridley Scott, bahwa ekosida merupakan efek buruk dari upaya-upaya ekonomi untuk mencapai kesejahteraan global (akibat globalisasi), penerapan faham ultra-utilitarianisme serta eksploitasi dari cara-cara produksi mutakhir yang dilakukan kaum kapitalis.

Ekosida sebenarnya tak jauh dari model genosida, misalnya terjadinya ‘pembasmian penduduk’ akibat toksinasi atau kehancuran fungsi lingkungan hidup seperti yang terjadi pada komunitas penduduk sekitar tambang emas Newmont di Buyat dan lain-lain, serta kematian massal dalam banjir besar atau longsor akibat perusakan fungsi lingkungan hidup. Dalam kasus lumpur Lapindo, ekosida telah terjadi sebagai fakta notoir (tak perlu dibuktikan lagi, sebab telah menjadi pengetahuan umum).

Zat beracun

PBB melalui United Nations Disaster Assessment and Coordination sejak Juli 2006 telah merekomendasikan untuk adanya penelitian dan monitoring secara reguler terhadap soal lingkungan dalam kasus lumpur Lapindo. Tetapi tampaknya pemerintah Indonesia tidak terlalu memperhatikan hal yang berkaitan kesehatan masyarakat dalam jangka pendek dan panjang akibat semburan lumpur tersebut. Contohnya, gas semburan lumpur Lapindo itu sudah menewaskan dua warga Siring Barat (Sutrisno, meninggal 14/3/2008 dan Luluk, meninggal 26/3/2008) serta puluhan orang serta anak-anak dirawat di rumah sakit.

Guna mendeteksi bahaya akibat pencemaran dan perusakan ekologi karena semburan lumpur Lapindo itu, September 2007 sampai dengan Januari 2008, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur bekerjasama dengan beberapa ahli dan laboratorium melakukan penelitian lumpur Lapindo di Sidoarjo di berbagai titik hingga ke wilayah terluar akibat semburan lumpur Lapindo. Penelitian yang dilakukan Walhi tersebut juga dalam rangka untuk ‘meneguhkan keyakinan’, apa benar hasil penelitian beberapa laboratorium kampus di dalam negeri yang menyatakan tak ada masalah dengan kandungan lumpur Lapindo, dibandingkan dengan hasil penelitian sementara (awal) pemerintah RI dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyebutkan adanya kemungkinan fatal akibat gas semburan lumpur Lapindo.

Penelitian Walhi tentang logam berat akibat lumpur Lapindo menunjukkan hasil sebagai berikut:

Parameter

Satuan

Kep.MenKes No. 907/2002

Hasil Analisa Logam Pada Materi

Lumpur Lapindo

Air Lumpur Lapindo

Sedimen Sungai Porong

Air Sungai Porong

Kromium (Cr)

mg/L

0,05

Un-detetected (nd)

nd

nd

nd

Kadmium (Cd)

mg/L

0,003

0,3063

0,0314

0,2571

0,0271

Tembaga (Cu)

mg/L

1

0,4379

0,008

0,4919

0,0144

Timbal (Pb)

mg/L

0,05

7,2876

0,8776

3,1018

0,6949

Perbandingan parameter ambang batas logam berat sebagai berikut:

Parameter

Satuan

Kadar maksimal yang diperbolehkan

Per. MenKes No. 416/1990

Kep.MenKes No. 907/2002

WHO 1992

Masy. Eropa

Kanada

USA

Kromium (Cr)

mg/L

0,05

0,05

0,05

0,005

0,05

0,05

Kadmium (Cd)

mg/L

0,005

0,003

0,005

0,005

0,005

0,005

Tembaga (Cu)

mg/L

1

1

1

0,1

1

1

Timbal (Pb)

mg/L

0,05

0,05

0,05

0,05

0,05

0,05

Selain logam berat, Walhi juga meneliti kandungan polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH). Karena mahalnya biaya, Walhi hanya menguji kandungan Benz(a)anthracene dan Chrysene yang hasilnya mencapai ribuan kali lipat dari ambang batas. Beberapa senyawa lain yang tergolong dalam PAH adalah acenaphthene, acenaphtylene, anthtracene, benz(a)antracene, benz(a)pyrene, benz(b)fluoranthene, chrysene, dibenz(a,h)anthracene, fluoranthene, fluorene, indeno(1,2,3cd)pyrene, naphthalene, phenanthrene dan pyrene (Liguori et al, 2006), dan masih terdapat ribuan senyawa lainnya.

Sebagai perbandingan, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 menetapkan baku mutu PAH dalam air laut untuk wisata bahari sebesar 0,003 mg/liter. Sedangkan baku mutu Hidrokarbon dalam udara yang diizinkan berdasarkan PP No 41 tahun 1999 adalah 160 ug/Nm3. Namun dalam temuan Walhi, kadar Benz(a)anthracene di titik tertentu ada yang mencapai 0,5174 mg/kg (sampel terendah 0,4214 mg/kg). Sedangkan kadar Chrysene ada yang mencapai 806,31 μg/kg lumpur kering (sampel terendah 203,41 μg/kg).

Dalam jangka pendek, akibatnya hanya tampak adanya penduduk yang keracunan gas dan bahkan sampai ada yang meninggal dunia. Namun dalam jangka panjang, lumpur Lapindo tak hanya menjadi nasib buruk masa depan para korban langsung, tapi juga masyarakat yang setiap hari melintasi sekitar semburan lumpur Lapindo yang terancam oleh penyakit kanker akibat senyawa PAH yang bersifat karsiogenik. Pasalnya, zat beracun yang termasuk PAH bersifat bebas tempat, bisa bercampur udara, air, tanah dan seluruh media yang ada.

Dahulu, Chief Operating Officer PT Energi Mega Persada Tbk., Faiz Shahab menyatakan pihaknya serius membangun pabrik batu bata skala besar di lokasi bencana. Namun, Kepala Unit Pusat Studi Bencana Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) Ir Amien Widodo mengatakan bahwa lumpur Lapindo itu bisa memicu kanker. Sifat-sifat karsinogenik ini terutama dipicu oleh kandungan logam berat yang terdapat dalam lumpur (Kompas, 14/7/2006). Itulah mengapa pabrik batu bata yang direncanakan itu tidak ada kabarnya lagi, sebab bisa jadi mereka takut dengan sifat bahaya lumpur Lapindo.

Logam berat juga bisa menimbulkan penyakit degeneratif (kelainan fisik) dan menimbulkan keturunan penderita slow learner (lambat berpikir), sedangkan zat-zat beracun PAH mengakibatkan kanker, permasalahan reproduksi, membahayakan organ tubuh seperti liver, paru-paru, dan kulit. Setidaknya lima hingga sepuluh tahun ke depan baru akan tampak akibatnya.

Peran negara dan korporasi

Artikel ini tidak bermaksud ‘meneror’ masyarakat, tetapi didasari hasil penelitian laboratorium. Para ahli yang turut dalam penelitian Walhi tersebut berpesan agar Walhi ‘merahasiakan’ identitasnya sebab kampus tempat mengajarnya rupanya sudah tidak bisa independen. Ini semakin menunjukkan bahwa hegemoni korporasi telah menyerang kemerdekaan intelektual.

Terlepas dari semua itu, setidak-tidaknya pemerintah RI seharusnya lebih serius dalam upaya menyelamatkan masyarakat dari akibat buruk lumpur Lapindo yang dalam banyak hal selalu ditutup-tutupi. Jika tidak, sama halnya pemerintah terlibat dalam skandal ekosida, sebagaimana banyak laboratorium domestik yang membuat kesimpulan berdasarkan ‘pesanan’ sehingga tidak lagi obyektif. Inilah fenomena kekuasaan kapitalis yang menerapkan faham ultra-utilitarianisme, tidak peduli dengan nasib sosial.

Para pejabat pemerintah dan seluruh pengambil keputusan korporasi kasus semburan lumpur Lapindo, termasuk ‘laboratorium palsu’ mungkin bisa mengelak dan bersembunyi pada hari ini dalam kejahatan ekosida itu. Tetapi kelak kasus ini akan membawa mereka ke pengadilan hak asasi manusia (HAM), bahkan dalam forum hukum internasional, jika mereka tidak mau bertanggung jawab mulai hari ini untuk tunduk pada hukum internasional dan nasional dalam rangka memenuhi hak-hak para korban lumpur Lapindo yang sudah lama menderita dan terancam menjadi korban ekosida.

Sebagai pihak yang telah mengambil ‘manfaat’ (utilitas) dari negara ini, berlakulah adil dan santun kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara ini! Jangan hanya mau enaknya, lalu lari dari tanggung jawab!

Percepatan penyelesaian sosial hendaknya segera dilakukan agar warga korban lumpur semakin bisa diselamatkan dari kejahatan ekosida tersebut. Alangkah malang nasib warga korban lumpur yang diombang-ambingkan oleh pihak Lapindo. Dahulu Lapindo bersuara lantang akan patuh kepada model penyelesaian menurut pasal 15 Perpres No. 14/2007, tapi kini malah membangkangnya dengan memaksakan cara cash & resettlement dengan alasan bahwa tanah-tanah Petok D, letter C dan gogol tak dapat dibuatkan akte jual beli. Padahal sudah ada pedoman berupa Surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) c.q. Deputi Bidang Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Tanah kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo tertanggal 24 Maret 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo.

Jika Lapindo si anak korporasi Grup Bakrie itu bisa ‘mempermainkan’ diskresi hukum yang dibuat pemerintah, lalu Presiden yang membuat diskresi hukum itu diam saja, maka kepala negara ini telah diinjak-injak. Jika begitu, bagaimana kewajiban pemerintah untuk melindungi korban lumpur Lapindo dan menegakkan hukum?

Jumat, 18 Juli 2008

PERJALANAN DI ATAS KARPET MIGAS

Pagi sekali, 6 Juli 2008, hari Minggu, aku mulai naik angkutan kota (angkot). Mau ke Madura.

Dalam angkot T2 jurusan terminal Joyoboyo ada dua perempuan berbincang. Bicaranya mengalir dalam pusaran hidup kota yang sesak. Satu perempuan itu menceritakan tentang adiknya yang bercita-cita menjadi tentara. Keluarganya kelihatan rukun, sebab kakaknya yang menjadi TKI di Malaysia membantu Rp. 20 juta, lantas perempuan itu juga membantu adiknya dengan menjual sawah, laku Rp. 40 juta. Untuk apa uang itu? Katanya untuk ‘jalan’ menjadi tentara. Konon, pamannya yang telah menjadi Kapten, sebagai ‘tim sukses’, meminta untuk disediakan sekitar Rp. 80 juta, untuk bisa menjadi bintara.

Cerita itu mengingatkan kisah seorang pemuda di Desa Banggle, Nganjuk, bernama Podho. Pada jaman Orde Baru dahulu, ia ingin menjadi tentara. Orang tuanya yang petani terpaksa menjual habis sawah dan beberapa ekor sapi. Tetapi nasib tak beruntung yang hinggap, sehingga Podho memupus cita-citanya untuk menjadi tentara setelah orang tuanya kehilangan sawah dan beberapa ekor sapi yang menjadi penopang hidup keluarganya. Podho kini bekerja sebagai petani, mewarisi orang tuanya.

Tak semua kisahnya seperti itu. Di Desa Banggle itu, ada Sampun dan Sutono yang hanya menjual beberapa sapi dan bisa menjadi tentara. Ada pula Samidi yang tidak menjual apa-apa tapi bisa menjadi tentara lewat jalur di Kalimantan.....

Menjadi tentara, polisi, pegawai pemerintah, anggota dewan, bupati, walikota, gubernur dan presiden di negara ini harus mengeluarkan uang yang tak sedikit. Apakah pengorbanan itu hanya sekadar untuk mengejar cita-cita, mimpi, harga diri, ataukah di dalamnya ada misi pengabdian yang tulus? Jawabannya ada di onggokan dan bahkan gunung kasus korupsi, mafia peradilan, suap-menyuap, dan lain-lain yang semakin memuakkan. Tuhan hanya dijadikan ornamen hidup, ditertawakan dan dibokongi dalam kegelapan. Dia tak lagi menjadi Maha Yang Ditakuti, Maha Yang Disopani, tapi digantikan dengan kesenangan dan keangkuhan hidup yang tidak lagi peduli dengan nasib sesama. Tempat-tempat ibadah dibangun megah seiring kemegahan penyelewenangan moral. Upacara keagamaan dimeriahkan dengan kemeriahan penyimpangan tata hidup. Masjid, gereja dan kelenteng menjadi tempat pencucian tuhan. Tuhan masa kini adalah uang. Jika kita dengan istilah money laundering, maka akan terdengar: god laundering.

Kisah perjalanan dalam angkot itu membuat waktu terasa singkat, tiba-tiba aku harus pindah ke bus kota jurusan Tanjung Perak. Tak ada pemandangan yang berubah sejak dahulu, para seniman jalanan terus mendendangkan lagu di atas bus kota dan mengumpulkan satu persatu koin penyambung hidup. Laju bus kota yang kencang membuat semua orang di dalamnya sia-sia jika bicara. Tak lama kemudian sampailah aku di atas kapal feri di Selat Madura.

Angin Selat Madura setengah siang terasa hangat. Masih sama seperti sepuluh tahun lalu hingga beberapa bulan lalu. Perubahan hanya tampak pada air laut Selat Madura yang kian keruh dan kadang-kadang kapal menerjang arus laut yang ternoda oleh tumpahan-tumpahan minyak. Sesekali waktu penumpang kapal membuang puntung rokok serta botol plastik air mineral ke laut yang tak berdosa itu. Lautan yang telah setia menyangga hidup manusia jutaan tahun, tak pernah mengeluh atas penodaan yang dilakukan manusia.

Tiba di Kamal, aku naik bus, menuju Sumenep. Di sebelahku duduk seorang ibu empatpuluh tahunan bersama anaknya yang berumur empat tahun. Aku kira dia orang Madura yang mau pulang, ternyata orang Jawa yang mau bersilaturahmi ke besannya di Pamekasan. Saya coba mengakrabkan diri dengan mulai bertanya tentang bagaimana kisah ibu itu memperoleh menantu orang Pamekasan.

Jawaban yang banyak terungkap adalah kisah tentang perempuan itu. Ia berasal dari sebuah desa di Nganjuk. Dahulunya ia menikah dengan laki-laki dari Pamekasan. Suaminya tidak berbakat bertani, lalu pergi merantau ke Bangka, bekerja sebagai penggali tambang timah. Tidak bekerja di perusahaan resmi tapi bekerja kepada seorang ‘bos’ pemilik tambang. Pekerjaannya menggali tanah, berkubang di kedalaman yang seringkali berendam di air. Begitu katanya.

Belum setahun suaminya bekerja di tambang timah, terdengar kabar bahwa suaminya sakit. Perempuan itu ‘mengambil’ suaminya dari Bangka, dibawa pulang ke Nganjuk. Lalu suaminya meninggal. Terpaksa perempuan itu harus bekerja keras sendiri sebagai petani di desanya untuk menghidupi tiga anaknya. Anak keduanya menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Malaysia, lalu menikah dengan pemuda TKI asal Pamekasan.

Kini anak pertamanya yang pernah menjadi TKI sudah pulang ke desanya, sebab termasuk menjadi TKI ilegal (tanpa visa kerja) yang diusir oleh pemerintah Malaysia tahun lalu.

Kadang saya menjadi heran. Di Jawa Timur ada sekitar 34 blok tambang minyak dan gas bumi yang rata-rata dikelola korporasi asing. Belum lagi kekayaan lautnya. Tapi seolah-olah menjadi wilayah miskin sehingga sepertiga penduduknya hidup dalam kemiskinan dan harus berbondong-bondong pergi mencari nafkah ke luar negeri sebagai kuli dan pembantu rumah tangga dengan risiko tinggi. Dalam bulan Januari hingga Juni 2008 ini saja terhitung sekitar 40 orang buruh migran yang meninggal di luar negeri dengan kasus penganiayaan atau penyiksaan, bunuh diri, terjatuh dari apartemen, sakit, dan lain-lain.

Menjadi orang miskin di Indonesia bukanlah karena nasib buruk, tapi karena masalah struktural negara di mana kebijakan pemerintah dan pembangunan yang tidak memihak kepada rakyat kecil. Programnya ada, janjinya banyak, tapi realisasinya omong kosong. Rakyat kecil hanya dibohongi, dijadikan obyek kampanye politik. Setelah pesta upacara demokrasi usai maka ‘selamat tinggal, silahkan hidup sendiri-sendiri.’ Sekali waktu dihibur dengan bantuan beras miskin yang dikorupsi aparat desa dan kecamatan, atau uang kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang tak dapat mengejar laju tingkat kemahalan harga-harga kebutuhan pokok.

Perempuan desa yang menanggung beban hidup berat itu turun di Terminal bus Pamekasan.

Di bangunan terminal dipasang spanduk Dinas Perhubungan yang bertuliskan “DILARANG KERAS BERJUDI, MIRAS DAN PELACURAN DI DALAM TERMINAL”. Apa berarti di luar terminal boleh? Apa berarti korupsi di dalam terminal boleh sebab yang dilarang hanya berjudi, miras dan pelacuran? Meski tak ada tulisan spanduk itu, semua orang juga tahu bahwa maksiat di dalam dan luar terminal itu dilarang.

Bus terus melaju ke arah Sumenep. Saya menjuluki Madura sebagai karpet migas, sebab bahkan sumur warga di Sumenep ada yang mengeluarkan minyak. Di sawah-sawah yang terhampar luas tampak hijau tanaman tembakau, bahan rokok yang asapnya mengandung polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) yang membahayakan kesehatan manusia. Madura memang juga terkenal dengan hasil tembakaunya. Tetapi tetap saja yang kaya bukan petani tembakau melainkan para tengkulak dan pabrik-pabrik rokok. Madura kaya-raya dengan migas, tetapi yang mengambil kekayaan itu korporasi tambang dan para mafia permigasan. Rakyatnya tetap miskin.


Turun dari bus, aku dijemput seorang kawan, mampir di warung sebentar, lalu menuju ke sebuah desa para petani garam di Kalianget. Sungguh mengagetkan jika ternyata hamparan tambak garam di sekitar desa mereka bukan merupakan tanah mereka sendiri melainkan tanah yang sudah dibebaskan PT. Garam, sebuah BUMN produksi garam. Menurut cerita mereka, sekitar tahun 1976 tanah-tanah rakyat di situ dibebaskan paksa oleh pemerintah untuk program modernisasi. Tanah-tanah rakyat itu lalu diserahkan kepada PT. Garam.

Setelah reformasi konon warga petani garam itu menuntut tanah mereka melalui cara-cara aksi damai. Tetapi jalan penyelesaiannya bukan mengembalikan tanah rakyat tambak garam itu. PT. Garam hanya mau memberikan hak garap yang sewaktu-waktu dapat diambil kembali oleh PT. Garam. Kini masyarakat petani garam itu hanya sebagai penggarap. Lebih runyam lagi ternyata para pengurus Yayasan para petani garam itu mulai bertingkah menyewakan tambak-tambak garam itu kepada ‘orang luar.’

Tampaknya kasus itu masih akan berlanjut, meski tak ada kehendak para wakil petani itu untuk melawan PT. Garam. Mereka merasa bisa menerima status sebagai petani penggarap. Tetapi saya belum menjajaki jalan pikiran seluruh petani garam di sana.

Setelah memberikan penjelasan kepada perwakilan petani garam di Kalianget itu, saya kembali ke Surabaya. Sekitar jam tujuh malam bus dari Sumenep mulai berjalan. Penumpang bus berjejal, maklum malam Senin.

Setiba di Selat Madura, angin laut malam agak kencang, sehingga kapal terasa meronta-ronta, hal yang belum pernah aku alami selama naik kapal feri di Selat Madura sebelumnya. Dari jauh tampak lampu-lampu gemerlap kota Surabaya yang kian angkuh.

Sampai di Tanjung Perak aku coba cari taksi. Rasanya ingin segera sampai ke rumah. Sudah jam 12 malam lebih. Dari deretan taksi yang ada, aku pilih yang kelihatannya paling tua dan jelek. Pikirku: jika semua orang pilih taksi yang baik, lalu siapa yang akan memesan taksi yang kurang baik, di mana sopirnya juga membutuhkan rejeki untuk menghidupi keluarganya.

Sopir taksi menawarkan harga borongan, tapi aku ngotot minta pakai argo. Sopir itu mengalah. Mobil sedan taksi itu berjalan dengan sempoyongan. Belum setengah perjalanan si sopir taksi minta aku pindah taksi sebab rupanya taksi itu tak mampu berjalan lebih jauh lagi. Takut mogok. Tanpa protes aku bayar sesuai angka argo, lebih sedikit, lalu aku pindah taksi.

Dalam hidup ini terkadang niat membantu sesekali waktu akan berbuah kesusahan. Tetapi hal itu tak harus membuat cemberut dan marah, sebab dalam membantu yang utama adalah yang dibantu. Jika suatu saat orang yang dibantu meninggalkan kita yang membantu, barangkali ia sudah tak perlu bantuan kita. Dalam pergaulan hidup akan lebih baik jika 'aku' menjadi lenyap dan tak penting lagi siapa 'aku.'

Sampai di rumah hampir jam satu malam. Petualang sepertiku selalu membawa kunci rumah sendiri ke manapun pergi. Setelah membersihkan diri dan menebus shalat Isya’, aku tengok anak-anakku dan isteriku yang tertidur pulas.

Pelan-pelan kuangkat Gam, anak pertamaku yang menderita autis itu. Kupindahkan ia ke kamar atas. Gam biasa tidur bersamaku di kamar atas. Kurebahkan ia di atas tempat tidur kami, kucium kening dan pipinya. Aku ingat neneknya selalu menangis jika aku berlaku agak keras kepada Gam yang sudah sembilan tahun itu menderita auitis. Kata dokter, setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium, di dalam darah, rambut dan kotoran Gam terkandung logam berat: timbal, kadmium dan merkuri.

“Kamu tahu? Kalau kamu pergi jauh nggak pulang beberapa hari, Gam selalu bertanya, kenapa ayah tidak pulang-pulang! Tapi setelah kamu di rumah kok malah seperti itu!” kata ibu mertuaku sambil mengusap matanya yang basah, jika melihat aku marah kepada Gam yang hiperaktif dan terkadang melakukan hal-hal berbahaya.

Rasanya aku tak sanggup untuk memanggul harapan hidup yang terlalu tinggi. Apa yang aku lakukan adalah menjalankan apa yang sebisanya aku lakukan. Dalam hati, aku tak berharap Gam akan menjadi orang sepertiku. Kelak, ia seharusnya bisa lebih baik dariku.

Tetapi Gam telah menjadi korban keserakahan manusia yang sembarangan menumpahkan sisa dan kotoran keserakahannya hingga meracuni sesama hidup. Gam juga korban ketidaktahuan kami sebagai orang tuanya atas persoalan kejahatan terhadap lingkungan hidup itu. Membimbing anak seperti Gam, jauh lebih berat dan harus bersabar dibandingkan dengan membimbing anak-anak normal. Dengan semakin pandainya si Cempluk (adik Gam) yang sudah berumur empat tahun itu maka kami menjadi semakin terbantu, sebab di rumah ada teman bermain Gam.

Aku tak tahu, bagaimana 10 atau 15 tahun ke depan: Bagaimana pula dengan nasib masyarakat petani garam Kalianget yang telah kehilangan tanah-tanah mereka? Bagaimana nasib masyarakat korban lumpur Lapindo? Bagaimana perkembangan Gam?

Hidup ini masih akan berjalan mengarungi waktu yang tak berbatas kecuali dibatasi oleh hidup itu sendiri..... Ia mengalir seperti arus air lautan yang berawal dari akhir pertemuan semula, di mana awal menjadi akhir dan akhir itu menjadi awal. Awal hidup hanyalah pintu-pintu, sebagaimana kematian adalah pintu menuju hidup selanjutnya.

Dalam ruang dan waktu yang telah disediakan itu, apa yang telah kita lakukan? Apakah menjadi beban, ataukah menjadi kemanfaatan? Biarkan waktu yang menjawab....

Sabtu, 05 Juli 2008

Kemerdekaan Pers dan Lumpur Lapindo

Bukan rahasia lagi jika dalam kasus semburan lumpur Lapindo itu muncul fenomena yang sebenarnya tidak baru, yaitu ‘jual-beli’ informasi. Jika dalam dunia hukum ada fenomena mafia peradilan yang melibatkan polisi, jaksa, hakim serta advokat (pengacara) selaku makelar kodok, tampaknya dalam dunia jurnalistik juga ada mafia jurnalistik. Ada kawan wartawan yang bisa menjelaskan konspirasi antara pihak Lapindo Brantas Inc. dengan para jurnalis. Ia memetakan kelompok konspirasi itu ada tiga, yaitu: konspirasi dengan jurnalis secara pribadi, konspirasi dengan perusahaan media dan konspirasi dengan redaksi media. Wallahu’alam.

Sudah berbulan-bulan ini tampaknya media (pers) seolah enggan memberitakan keadaan riil para korban lumpur Lapindo. Yang lebih banyak menjadi bahan berita adalah perundingan antara para pengurus Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) dengan PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Pers juga sudah enggan mengulas tentang peran pemerintah ketika MLJ tapi kini berbalik arah ‘membangkang’ Perpres No. 14 Tahun 2007 dengan kemunculan skema penyelesaian sosial cash and resettlement, yang dengan sendirinya melanggar klausul cash and carry perjanjian ikatan jual-beli (PIJB) antara MLJ dengan korban lumpur Lapindo.

Tetapi justru yang sering muncul di beberapa media adalah berita advertorial atau advertorial terselubung dengan judul yang sama, yaitu: “Sidoarjo Bangkit.” Dalam advertorial – baik yang terang-terangan maupun terselubung – itu isinya sama: mengulas bahwa seolah-olah skema relokasi ke Kahuripan Nirwana Village (KNV) adalah ‘masa depan’ yang baik. Pers tidak memuat informasi yang benar tentang keluhan para korban lumpur Lapindo sendiri, baik yang ‘terpaksa’ menerima skema cash and resettlement maupun yang menolak. Pers hanya mengutip komentar para petinggi MLJ, menteri, aparat dan pengurus GKLL, memuji model cash and resettlement sebagai cara terbaik. Pers tidak menampilkan kritikan atas ‘pembangkangan’ Lapindo dan MLJ tersebut.


Idealisme pers


Hal menyedihkan semacam itu tidak saja terjadi dalam kasus lumpur Lapindo. Dalam perpolitikan misalnya juga terjadi di mana dengan dalih profesionalisme pers ada para jurnalis jebolan dari berbagai perusahaan media yang bergabung membuat media baru yang khusus menjadi corong salah satu calon gubernur. Mereka berdalih bahwa yang mereka jual adalah jasa profesi sebagai jurnalis.

Menurut UU No. 40 Tahun 1999, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik (pasal 1 angka 1). Dalam penjelasan pasal 3 ayat (2) dijelaskan: Perusahaan pers dikelola sesuai dengan prinsip ekonomi, agar kualitas pers dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya. Lantas bagaimana cara melaksanakan prinsip ekonomi dengan kewajiban sosialnya?

Saya coba korelasikan hal itu dengan kewajaran atau kepatutan yang menjadi asas hukum. Apakah wajar dan patut misalnya perusahaan pers menerima iklan yang sifatnya subyektif dari pihak Lapindo untuk menjalankan prinsip ekonomi korporasi pers, padahal Lapindo sedang berkonflik dengan masyarakat? Pers bisa menjadi kikuk dalam memberitakan kondisi riil masyarakat korban secara utuh. Atau, menurut beberapa kawan jurnalis, ada perusahaan pers yang ‘menghantam’ Lapindo dengan berita yang khusus meliput derita korban lumpur Lapindo, yang tujuannya untuk memperoleh harga iklan yang tinggi?

Baik pers, aktivis LSM atau NGO, seharusnya tidak menjadi omnivora yang ‘memakan segala’ tanpa memasang ukuran idealisme. Ada contoh, sebuah lembaga bantuan hukum yang menetapkan etika tak tertulis, di mana advokat yang bergabung di dalamnya dilarang membela pengusaha melawan buruh, pemerintah melawan warga, tuan tanah melawan petani, korporasi melawan masyarakat, tidak boleh membela tersangka/terdakwa kasus korupsi. Hal itu untuk menghindari konflik kepentingan, sebab misi lembaga hukum diprioritaskan membantu kaum lemah. Sedangkan kaum kuat ekonomi lebih leluasa untuk menyewa advokat komersiil.

Arah bisnis media, dalam persaingan yang semakin ketat, tampaknya mulai menanggalkan baju idealisme. Pers mengarah pada korporasisasi, di mana pelaksanaan kewajiban sosialnya berubah menjadi semacam praktik corporate social responsibility (CSR) yang dilakukan korporasi pada umumnya.

Berita yang disajikan dalam beberapa hal menjadi alat tawar-menawar, meski dalam beberapa hal masih ada yang dimaksudkan untuk kontrol sosial. Tetapi dengan masuknya pebisnis bermasalah ke ruang ekonomi pers, maka kontrol sosialnya menjadi disparatif. Pers akan cenderung melunak dengan para pemasang iklan yang berkonflik dengan masyarakat, tapi bisa lebih garang kepada ‘penguasa’ yang tidak memasang iklan. Itu jelas tidak adil.


Kemerdekaan pers


Dalam era demokrasi yang semakin menguat, kemerdekaan pers tak lagi diancam oleh penguasa represif, tapi oleh kekuatan ekonomi hitam. Ketika ada hakim yang memukulkan palu hukuman kepada pers atas gugatan korporasi atau suatu pihak dengan tuduhan pencemaran nama baik, bisa jadi itu disebabkan pengaruh uang korporasi itu (baca: suap) kepada penegak hukum, bukan karena tekanan kekuasaan politik.

Tangan-tangan kekuasaan ekonomi itulah yang mengancam memasung kemerdekaan pers, sebab dengan iming-iming uang maka ada para jurnalis yang mengorbankan idealisme dan independensinnya. Kinerja pers dalam memberitakan kasus lumpur Lapindo hanya merupakan salah satu contoh isu ketidakmerdekaan pers yang merebak luas. Isu itu bukan semata dugaan eksternal pers, tapi juga atas ‘kesaksian’ para jurnalis yang masih bisa mempertahankan idealisme mereka.

Masyarakat mempunyai hak untuk disuguhi informasi yang adil dan obyektif. Memang sulit mengukur keadilan dan obyektivitas itu, meski hal itu bisa saja dibawa ke ranah hukum. Tetapi hukum yang masih terjangkit virus korupsi juga belum dapat menjamin terwujudnya keadilan. Namun dengan semakin menguatnya ‘rasan-rasan’ di masyarakat tentang ‘permainan pers’ dalam kasus lumpur Lapindo itu, maka Dewan Pers seharusnya mengambil inisitif untuk melakukan ‘pengintaian’ untuk mencari bukti-bukti tentang siapa saja jurnalis maupun perusahaan pers yang telah bermain.

Kita tengah membangun martabat bangsa ini. Ketika kita mulai ramai membangun hukum agar lebih beradab, jangan sampai dunia pers kita terlupakan dan menjelma menjadi ‘perusahaan informasi’ yang tak lagi mengenal misi sosial dalam rangka melaksanakan kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum (lihat pasal 2 UU No. 40 Tahun 1999). Misi sosial itu bukanlah dengan menyumbang beras dan uang, tapi melakukan kontrol sosial yang fair.