Selasa, 29 Desember 2015

Misteri Hukum dan Watak Manusia

Para terdidik modern mengatakan bahwa Amerika Serikat (AS) itu negara demokratis dan China komunis itu otoriter. Tetapi Lewis Stanley tahun 2011 mengabarkan bahwa lebih dari 2,2 juta orang menjadi tahanan AS, dari sekitar 300 juta penduduknya. Diperkirakan 5 persen dari 2,2 juta tahanan itu adalah orang-orang tak bersalah. Tetapi di China hanya beberapa ratus ribu orang yang menjadi tahanan, padahal jumlah penduduk China sekitar Rp 1,3 miliar manusia. Bagaimana penilaian Anda tentang hal itu? Hukum China jelas berbeda dengan hukum Amerika.

Pesan Peter de Cruz yang ahli perbandingan hukum, jangan sesekali menggunakan ukuran “hukum Barat” (yang sekuler) untuk mengukur kebaikan hukum di negara-negara lain di dunia ini. Di Asia dan Afrika terdapat sistem hukum yang bersumber dari keyakinan masyarakatnya, dari hukum agama mereka.

Bagi Patrick Glenn, sebagaimana dikutip oleh Prof. Werner Mensky, Barat yang sekuler telah melakukan globalisasi (segala bidang) secara resmi di permukaan, tapi Islam juga melakukan globalisasi (Islamisasi) di bawah permukaan. Jika kedua kekuatan itu sulit untuk saling memahami maka terjadilah benturan peradaban sebagaimana diramal oleh Huntington. Di sisi lain ada kekuatan besar yang tak dapat diremehkan, yaitu China.

Itulah makanya Mensky melakukan studi perbandingan hukum global, mempelajari sistem hukum Barat, Hindu, Islam, Afrika dan China. Seluruh sistem hukum tersebut berinteraksi. Orang yang menilai hukum adat dan hukum agama lebih buruk dibandingkan hukum sekuler, ibaratnya adalah seperti orang yang melihat lautan dari permukaannya, belum tahu kedalamannya, apalagi dasarnya. Sama halnya mereka melihat hukum sekuler hanya dari perilaku para polisi, advokat dan hakim. Apakah kebaikan hukum dapat dilihat dari sumbernya?

Sebenarnya filsafat hukum tidak akan pernah tuntas dalam membahas dan menjawab pertanyaan: “Dari mana asal-usul atau sumber hukum itu?” Selama ini filsafat hukum menjawab bahwa ada dua sumber atau asal-usul hukum, yakni dari Tuhan dan dari pemikiran manusia itu sendiri.

Tentu saja, orang-orang yang berkeyakinan tentang Tuhan yang mengatur kehidupan ini, akan merasa benar dengan pendapatnya bahwa sumber hukum adalah hukum Tuhan. Sebaliknya, kelompok pemikiran yang lain, mereka yakin dengan kebenaran bahwa hukum itu dibuat oleh manusia, sehingga sumber hukum adalah pemikiran manusia itu sendiri.

Mereka yang percaya bahwa sumber hukum adalah Tuhan, terbagi dalam pendapat yang berbeda pula. Terbukti bahwa terdapat bermacam-macam agama yang dalam hal tertentu punya aturan hukum yang sama, tapi juga banyak berbeda dalam aturan yang lainnya. Aturan agama juga membutuhkan penafsiran. Dalam penafsiran tersebut rentan dengan relativitas kebenaran atau kekeliruan. Jika Tuhannya sama, mengapa orang-orang Kristen bebas makan daging babi, tapi umat Islam diharamkan makan daging babi? Masak Tuhan kok diskriminatif dalam hal yang sama?

Itulah misteri manusia. Misteri yang tak akan dapat terpecahkan di sepanjang jaman. Manusia sudah melalui jaman nabi Nuh, nabi Ibrahim, nabi Musa, nabi Daud, Ramayana dan Mahabarata, Alexander Agung, Yesus (nabi Isa a.s.), nabi Muhammad s.a.w., perang dunia I dan perang dunia II, hingga sekarang.

Kan’an, putera Nuh itu telah berselisih menetang keyakinan hukum ayahnya, hingga perselisihan itu berakhir dengan kematian Kan’an yang tenggelam. Kan’an menganggap aturan Nuh, ayahnya itu irasional. Bagaimana masuk akal wong orang hidup di daratan kok harus menyiapkan bahtera alias kapal besar? Rezim Firaun Ramses II menerapkan hukum yang ditentang Musa, juga berakhir dengan konflik dan kematian. Hukum Bibel / Injil Isa (Yesus) bertentangan dengan hukum rezim Romawi dan tafsir hukum Taurat para pemuka agama Yahudi. Para Kurawa berselisih dengan Pandawa dalam hukum Hindu memunculkan kisah Mahabarata yang bernuansa “terbunuh atau membunuh”.

Peristiwa persekongkolan hukum gereja dengan kaum ningrat di Eropa abad kegelapan memunculkan ketidakpercayaan atas hukum agama, menghinggapi pemikiran manusia-manusia modern membuat mereka mengusahakan gagasan baru yang kerap disebut sebagai sekulerisme. Hukum harus muncul dari kesepakatan warga seperti yang dikemukakan Rousseau dalam Teori Kontrak Sosial yang dibuatnya. Sampai-sampai Marx menyindir, agama adalah candu sosial. Maksudnya: Mengapa perilaku para pemuka gereja waktu itu malah membuat kacau masyarakat?

Tapi rupanya teori hukum sebagai Kontrak Sosial itupun juga hanya gagasan utopis. Hingga saat ini yang masih tetap terjadi adalah bahwa hukum itu ditetapkan oleh para penguasa, meskipun mungkin mereka dalam beberapa hal mendengarkan aspirasi-aspirasi. Namun, aspirasi yang ditampung juga tidak mungkin utuh, sebab masyarakat sendiri juga berbeda dan bahkan bertentangan aspirasi mereka.

Di jaman modern yang konon berdiri di atas sendi-sendi demokrasi ini ternyata memunculkan kekuasaan tirani baru yang disebut tirani korporasi yang sanggup menguasai dan membunuh jutaan manusia dengan cara-cara yang sistematik yang bahkan tak dirasakan para korbannya. Tirani korporasi itulah yang mendikte kepada negara-negara di dunia harus menyusun hukum yang bagaimana. Tirani korporasi juga mengerahkan kekuatan orang-orang terdidik guna mendukung doktrin-doktrin hukum modern yang menguntungkan mereka. Lalu apakah hukum sekuler itu lebih bagus dan lebih adil bagi manusia di dunia dibandingkan dengan hukum agama (yang juga ditafsirkan secara sekuler / oleh manusia di muka bumi)?

Kita dapat melihat sejarah yang telah digelar dari jaman kuno dahulu hingga sekarang, ternyata misteri karakter manusia mempunyai kecenderungan yang sama, yakni terdapat karakter jahat yang bertarung melawan karakter benar. Tapi pihak mana yang jahat dan pihak mana yang benar, itu juga tergantung sudut pandang orang-orang yang melihatnya. Pengarang kisah Mahabarata mungkin mengarahkan pandangan kita bahwa Kurawa itu jahat dan Pandawa itu mulia. Tapi apakah keliru jika orang-orang lain mempunyai cara pikir yang berbeda dalam menilai kisah tersebut, bahwa ternyata Kurawa dan Pandawa itu dinilai sama-sama jahatnya? Namun, apakah kejahatan mereka dapat diselesaikan dengan cara-cara hukum yang damai? Bagaimana jika karakter jahat mereka tidak dapat dilenyapkan padahal masyarakat membutuhkan kedamaian segera dengan tanpa ada mereka?

Ada kejahatan yang memang dipandang secara universal sebagai kejahatan. Membunuh orang, itu kejahatan. Berbisnis narkotika, itu kejahatan. Meneror manusia, itu juga kejahatan. Merusak ekologi juga kejahatan. Pertanyaannya, apakah para pelaku kejahatan tersebut mempunyai kecenderungan yang sama bahwa mereka memang para penjahat yang tak dapat dientaskan dari watak jahatnya? Jika memang ada penjahat yang dapat dientaskan dari watak jahatnya, ada berada persen angkanya? Ini juga misteri.

Orang-orang modern mulai memunculkan gagasan penghapusan terhadap bentuk hukuman mati, sebab nyawa itu hak Tuhan. Hukuman mati itu melanggar hak asasi manusia (HAM), sebab hak hidup tak dapat dikurangi, bahkan oleh hukum itu sendiri. Begitu pula hukuman cambuk juga dikritik sebagai hukuman yang tidak manusiawi.

Bagi mereka yang mempertahankan bentuk hukuman mati berargumen, pertama,  bahwa hukuman mati itu dikenal dalam Kitab-kitab Suci agama sehingga Tuhan sendirilah yang menetapkan adanya hukuman mati itu. Manusia tinggal menyalin dalam Kitab Undang-Undang yang mereka buat. Kedua, hukuman mati itu sudah dirumuskan dalam undang-undanga. Maka orang yang melanggarnya sama saja dengan membunuh dirinya sendiri. Sudah tahu ada rambu dilarang masuk jurang kok tetap masuk jurang, ya akhirnya masuk jurang.

Konon, konsep baru dalam hukum pidana adalah mengubah cara pandang kepada para penjahat. Hukum pidana tak lagi memidana para penjahat, tapi membinanya. Makanya lembaganya disebut Lembaga Pemasyarakatan. Mungkin suatu saat nanti Hukum Pidana akan diganti namanya dengan Hukum Pembina. Para penjahat yang telah dinyatakan bersalah oleh Hakim tidak lagi disebut sebagai terpidana, tapi menjadi Terbina. Itu memang menjadi menarik. Apakah usaha-usaha sekulerisasi hukum itu kelak akan membuahkan hasil yang lebih baik? Kelak sejarah akan menyimpulkan itu.

Namun ada fakta-fakta sosial yang agaknya menarik diamati. Di negara Bhutan konon hukum agama Budha dipatuhi sedemikian rupa hingga para kecoakpun hidup aman dan damai sebab warga Bhutan pantang membunuh binatang, apalagi manusia, kecuali manusia yang berbuat kejahatan berat. Tapi di Myanmar ada kasus Rohingnya yang sangat kasar di mana terjadi pembantaian kepada umat muslim. Dahulu di Bali, meski banyak orang mabuk arak, tapi tidak ada orang Bali yang berbuat kejahatan mencuri, apalagi membunuh. Pencuri yang tertangkap kebanyakan dari luar Bali. Itu karena warga Bali taat dengan hukum adat mereka. Hukum adat Bali merupakan hukum agama di Bali, yakni Hindu. Hukum agama yang menjadi substansi hukum adat, ditegakkan oleh sistem adat. Tapi sekarang orang Bali yang menjadi pejabat di luar Bali ya mulai ada yang dihukum karena korupsi.

Ada teori yang terkenal dalam ilmu hukum, yakni bahwa hukum resmi negara itu dibutuhkan masyarakat karena norma-norma selain hukum, yakni norma kesusilaan dan agama sudah tak lagi efektif. Seandainya norma kesusilaan dan norma agama serta norma adat tersebut efektif, dipatuhi masyarakat, maka tidak diperlukan hukum negara, sebab masyarakat sudah tertib dan damai dengan sendirinya. Tapi bukanlah itu juga hanya hayalan, sebab semakin manusia modern semakin sekuler dan merasa bahwa mereka harus menciptakan sendiri hukum demokratis yang rupanya juga hanya menjadi utopia?

Selamat menempuh jalan misterius dunia yang dalam perkembangan hukum sekulernya telah memodifikasi perlawanan kepada kejahatan menjadi solidaritas dan kebaikan kepada “para terbina.” Pertanyaannya adalah: solidaritas itu sebagai nilai kemanusiaan ataukah sebagai solidaritas terhadap sesama penjahat? Sebab, kadang “mengawani” kejahatan dapat menghentikan atau mengubahnya, atau sebaliknya dapat pula dianggap sebagai bagian dari kejahatan itu. Karena tak ada satupun manusia yang dapat memprediksi, apakah para penjahat dapat diakhiri kejahatannya dengan kebaikan dan solidaritas.

Para ahli hukum yang bijaksana selalu menekankan nasihat, biarkan masyarakat yang menentukan hukum mereka sendiri, apakah memilih hukum sekuler ataukah hukum agama. Jika terdapat perselisihan pendapat ya biar diselesaikan dengan cara yang arif oleh masyarakat itu sendiri, jika perlu dengan pemungutan suara. Tak semua pihak dapat dipuaskan. Tapi pelaksanaan hukum yang adil bagi semua golongan akan menciptakan keadaan baik karena masyarakat pada umumnya puas dengan keadilan yang diberikan. Apakah yang diberlakukan hukum sekuler ataukah hukum agama atau hukum adat, baik buruknya akan ditentukan oleh bakat keadilan para penegak hukum dan penyelenggara negara. Tapi apakah itu bisa terwujud mengingat bahwa transformasi tirani negara ke tirani korporasi yang terus berlangsung secara lebih hebat? Kekuasaan apapun tak pernah membiarkan dirinya mudah dilucuti, yang dengan demikian demokrasi pun menjadi budak tirani itu sendiri.

Kini yang memprihatinkan adalah lenyapnya pelajaran Hukum Antar Golongan, sehingga pertarungan mazhab hukum sekuler dengan hukum alam menjadi semacam permusuhan. Padahal hukum agama dapat dilaksanakan oleh para pemeluk mereka sendiri yang menghendaki aspirasi tersebut, dengan diatur oleh Hukum Antar Golongan yang dipergunakan untuk menyelesaikan perselesihan berlakunya hukum yang berbeda. Ini menjadi penting, sebab usaha-usaha uniformisasi (penyeragaman) hukum yang berbaju pluralisme adalah hal yang justru menghina realitas pluralisme hukum itu sendiri.   

Jumat, 11 Desember 2015

KORUPKRASI

Mendiang Prof. Muchsin (dosen dan Hakim Agung) dalam sebuah kelas perkuliahan pernah berkata kepada kami, katanya jaman dahulu ia menjadi calon anggota DPR berkeliling kampanye ke daerah-daerah, tidak mengeluarkan uang untuk diberikan kepada warga. Sebaliknya ia malah diberi “sangu” oleh warga. Tapi jaman sekarang sudah terbalik, para calon anggota parlemen atau calon kepala daerah yang berkeliling kampanye dengan membagi-bagi uang atau barang. Kini ongkos demokrasi kian mahal.

Kini, partai politik (parpol) makin pintar berdagang. Jika ada kader luar parpol pengin menjadi calon kepala daerah, maka harus membayar “uang mahar.” Nggak peduli itu parpol berlabel nasionalis atau agamis, sama saja.

Saya pernah membela seorang calon kepala daerah yang gagal dalam pemilu kepala daerah (pemilukada) yang digugat oleh parpol pengusungnya dengan alasan bahwa ia masih mempunyai kewajiban membayar uang komitmen kepada parpol pengusungnya yang notabene parpol berasaskan Islam itu. Padahal si calon bupati gagal itu sudah merogoh kocek miliaran rupiah untuk biaya macam-macam termasuk biaya meminta rekomendasi kepada pengurus pusat parpol itu. Untungnya Hakim menolak gugatan parpol itu dengan alasan yang masuk nalar, yaitu: “Demokrasi berbiaya tinggi akan menjadikan kepala daerah terpilih tidak fokus mengurus tugas jabatannya karena akan berusaha mengembalikan modal politiknya.” Selain itu, tradisi demokrasi berbiaya tinggi akan menyingkirkan orang-orang yang potensial menjadi pemimpin atau wakil rakyat karena tidak punya uang.

Nah, problem demokrasi berbiaya tinggi itulah yang dijadikan alasan segenap parpol untuk mengajukan usulan di DPR agar disusun undang-undang yang memberikan landasan hukum agar ada anggaran negara yang disumbangkan ke parpol. Parpol-parpol dibiayai oleh negara. Masyarakat menentang itu. Apakah benar jika parpol-parpol dibiayai negara lalu itu akan mengurangi korupsi?

Belum tentu. Mengapa? Sebab ini bangsa serakah. Dalam teori yang normal, watak korup birokrasi dapat dikurangi dengan menambah gaji para birokrat atau pegawai negara/pemerintah. Cara itu sudah pernah ditempuh sejak era presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan SBY. Tapi kini korupsi tetap jalan, bahkan menggila. Suap-menyuap dalam penegakan hukum kian liar. KPK kewalahan. Bahkan KPK berkali-kali digedor-gedor hingga temboknya jebol, pondasinya dicoba dibongkar oleh mafia koruptor.

Larangan agama bukan lagi menjadi hal yang ditakuti. Tuhan dibayangkan sebagai sosok yang toleran dengan sogok-menyogok, gratifikasi, penggelapan, penipuan, asal pelakunya mencuci duitnya dengan umroh, naik haji, menyumbang masjid dan panti asuhan. Kegelapan dibayangkan oleh mereka itu sebagai keadaan yang dapat diterangi dengan cara menggunakan kegelapan itu sendiri untuk menjadi penyulut lampu penerang. Mana bisa? Tuhan dalam Quran pun melarang cara busuk itu dengan ayat “Janganlah kalian mencampur-aduk antara yang haq (kebenaran) dengan yang bathil (ketidakbenaran)….!” (Al-Baqoroh: 42).

Mungkin mereka – bagi yang muslim - menerjemahkan akidah Islam sebagai sesuatu perkara yang berdiri sendiri. Padahal misi tunggal Nabi Muhammad adalah “muliaisasi akhlak” alias mengusahakan agar akhlak umat manusia menjadi baik. “Aku tidak diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak mulia.” Itu kalimat yang sudah jelas. Banyak orang menafsirkan Islam itu sebagai sekadar ikrar dan pengakuan, tanpa melihat apakah ada bukti secara akhlak. Maka dalam memilih pemimpin pun mereka cenderung pada pengakuan dan KTP yang memuat apa agamanya. Padahal pengakuan itu bisa palsu. Kepalsuannya dapat dilihat dari tingkah laku yang dominan pada diri orang itu. Meskipun mengaku sebagai muslim, shalatnya tampak tekun, tapi jika kelakuannya didominasi oleh sikap dan tindakan yang berlawanan dengan prinsip-prinsip moral Islam, maka pengakuannya itu palsu. Mana bisa disebut muslim jika berangkat naik haji dan umroh dari uang suap atau gratifikasi atau bentuk korupsi lainnya atau hasil menipu atau menggelapkan atau hasil kejahatan lainnya?

Saya tidaklah menentang pemilihan para kepala daerah secara langsung. Tetapi dalam konsidi pemerintahan yang korup (korupkrasi) seperti di Indonesia ini, pemilihan umum sebenarnya sama halnya berjudi. Kita mencari orang baik yang hanya sekitar 10 sampai 15 persen dari seluruh calon pemimpin yang ada. Sementara uang negara yang dikeluarkan untuk itu amatlah banyak jika ditinjau dari kemampuan anggaran negara yang ada yang masih terjerat dengan utang-utang yang kian menggunung.

Apakah kita tidak bertanya kepada rakyat secara langsung, agar tidak menjadi politik hukum yang cuma didominasi oleh ide kelas terdidik saja, apakah dalam kondisi seperti ini pemilukada tetap akan kita jalankan? Ada pula kecenderungan angka golput yang tinggi secara rata-rata sehingga hampir separoh kertas suara yang dibeli dengan uang negara itu dibuang sia-sia.

Coba tanyakan kepada rakyat di masing-masing daerah secara langsung. Jika mereka mayoritas menjawab bahwa pemilukada tidak perlu dilakukan, bagaimana jika para kepala daerah ditetapkan oleh MPR yang banyak nganggurnya itu? Atau dengan cara bagaimana baiknya? Tentu dengan amandemen UUD 1945 setelah meminta pendapat rakyat. Cara yang dipilih oleh rakyat itu juga jalan demokrasi.

Selama ini pun amandemen UUD 1945 dan penyusunan berbagai undang-undang yang menyangkut pemilu masih merupakan politik hukum yang elitis, memandang rendah pendapat rakyat pada umumnya, seolah-olah hanya kaum terdidik yang paling pintar. Ujung-ujungnya hanya menciptakan dasar hukum politik komersiil yang dijalankan oleh partai-partai politik. Apalagi tradisi demokrasi berbiaya tinggi juga melibatkan uang korporasi selaku donatur politik yang akhirnya ikut-ikutan mendikte pemerintahan terpilih. Setiap presiden Indonesia yang terpilih pun akhirnya juga punya agenda politik balas budi kepada tim sukses mereka yang didanai korporasi-korporasi atau para pengusaha.

Seharusnya jalannya demokrasi Indonesia itu berada dalam laboratorium besar yang mandiri, bukan sebuah laboratorium raksasa yang didanai oleh kekuasaan uang yang sering mendikte kehendak bangsa. Dalam laboratorium itulah berbagai eksperimen dengan niat positif dilakukan, hingga suatu saat menemukan formulanya sendiri yang cocok bagi bangsa ini. Bukan sekedar ikut-ikutan cara bangsa lain yang berarti kita ini tidak kreatif.

Senin, 30 Maret 2015

JOKOWI DISERANG SEMUA ORANG? JANGAN GR AH !

Saya membaca artikel yang sebenarnya merupakan opini di website Fiskal.co.id. Judulnya: “Jokowi Sudah Benar Ketika Semua Orang Menyerangnya.”  Artikel yang diterbitkan 30 Maret 2015 itu rupanya karya redaksi media online Fiskal.co.id itu. Tak ada nama penulisnya.Artikel tersebut dibuka dengan uraian tentang perdebatan pemikiran kebudayaan. Katanya, menurut artikel itu, Nirwan Dewanto, Sutardjo C. Bahri, Goenawan Mohamad, Seno Gumira Adjidarma mendebatkan tentang apa yang dinamakan budaya Indonesia. Bersamaan dengan debat terbit pula buku edisi revisi dari Benedict Anderson (1993) ikut mengubah arah debat. Perdebatan itu berkesimpulan bahwa bangsa ini brengsek dan terkutuk oleh tumbuh kembangnya mental saling memakan, saling menjepit, saling injak, dan saling korupsi satu sama lain demi kualitas hidup semu. Kesimpulan itulah yang dijadikan sebagai “dasar memihak” seolah Jokowi adalah presiden yang menjadi “korban” yang diserang, dijepit. Ketika yang lain bertikai dan korupsi, presiden Jokowi mencabut seluruh kenikmatan yang menurutnya memanjakan rakyatnya. Jokowi telah melucuti kenikmatan rakyat berupa subsidi-subsidi, maka ia diserang semua orang. Hah? Semua orang menyerang Jokowi?Dalam pandangan neoliberalisme, memang subsidi adalah racun yang membuat rakyat lemah, tidak bisa mandiri. Penulis Fiskal itu menyatakan, saat subsidi membanjiri masyarakat, yang muncul adalah zona nyaman. Masyarakat lalu jadi paranoid jadi traumatis pada perubahan dan adaptasi zaman. Ia juga menyatakan, “Pertumbuhan (ekonomi, pen) 7 persen adalah target Jokowi, dan pertumbuhan itu walau data makro merupakan pertumbuhan yang berkualitas, dan bukan pertumbuhan dari sisi finansial saja sebagaimana di era SBY, melainkan riilnya. Pertumbuhan yang nyata dirasakan orang banyak dalam bentuk fisik. Sekali lagi jika Anda berharap perbedaan dari Jokowi seperti harga murah, semua itu sudah di tangan Anda.”  Harga murah sudah di tangan Anda saat ini? Oh, iya, pajak-pajak malah hendak diperluas dan ditingkatkan. Anda harus rela jadi patriot!
Lalu penulis menunjukkan peningkatan kualitas dirinya yang mampu mandiri dengan menanam dan berternak sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Seolah ia hendak menyatakan, “Saya mampu mandiri gara-gara Jokowi mencabut subsidi untuk saya! Saya menjadi lebih hebat karena Jokowi!”Ia menuliskan, “Inspirasi penulis adalah sang presiden baru itu sendiri, yang berhasil mandiri dari kampung kumuh menjadi presiden. Penulis tidak akan bisa mendapatkan inspirasi dari mereka yang jadi pemimpin karena seorang Jenderal, seorang tokoh nasional, atau seorang anak orang berpengaruh." Antisubsidi, Itu misi siapa? Sebelum saya membahas paradigma antisubsidi, ada baiknya saya meluruskan pemikiran yang tidak tepat dengan adanya istilah “subsidi harga BBM.” Jika pemerintah negara Anda membeli 100 persen BBM dari produsennya dengan harga beli Rp 1.000,-/liter, lalu menjual kepada Anda dengan harga Rp 500,-/liter, berarti Anda disubsidi Rp 500,-/liter oleh negara. Tapi jika negeri Anda punya kekayaan tambang BBM yang dikelola korporasi asing dan pemerintah negeri Anda mendapatkan bagi hasilnya, lalu pemerintah Anda harus membeli BBM dari si penambang itu dan menjualnya kepada Anda dengan harga yang tidak disubsidi, maka pemerintah Anda adalah pedagang dan Anda adalah sebagai pembeli alias konsumen.Jika negeri Anda punya kekayaan minyak bumi, ditambang oleh korporasi asing dan partikelir, lalu hitung-hitungan biaya tambangnya dibebankan pada bagi hasil bagian negara Anda dengan nilai biaya yang melebihi rata-rata biaya pertambangan migas di dunia, dan atas bagi hasil yang seadanya itu kelebihan harganya dibebankan kepada Anda sebagai rakyat, maka Anda sedang jadi korban penipuan besar. Itu jika ukurannya adalah Pasal 33 UUD 1945.Apalagi jika harga BBM yang harus Anda tanggung melebihi harga keekonomian yang senyatanya – karena ada mark up biaya pertambangan yang tak pernah ditangani dan diselesaikan – maka Anda sebagai “rakyat pemberi subsidi” kepada para korporasi penambang melalui beleid yang dibuat penguasa pemerintah Anda. Pemerintah Anda hanya menjadi makelar yang baik atas kesuksesan akumulasi kapital para korporasi itu. Silahkan pikirkan dan teliti itu! Tak peduli di zaman presiden siapa saja! Bahwa Anda selama ini tidak menerima subsidi dari negara, tapi memberi subsidi kepada perusahaan kaya-kaya itu!Soal subsidi, saya coba kutip berita pernyataan Gita Wirjawan saat menjabat Menteri Perdagangan zaman presiden SBY. Gita menyatakan kritiknya kepada negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS) yang memberikan subsidi besar kepada para petaninya, sehingga produk pertanian yang dihasilkan mereka lebih berdaya saing, tetapi melemahkan produk pertanian negara berkembang, termasuk Indonesia.
Oh, ternyata Uni Eropa dan Amerika Serikat itu bukan kapitalis tulen, sebab menerapkan kebijakan subsidi kepada rakyatnya. Apakah rakyat di negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat itu menjadi paranoid, traumatis pada perubahan dan adaptasi zaman seperti yang diteorikan penulis Fiskal itu?Di bidang pertanian, melalui mekanisme Agreement on Agriculture (AoA) tahun 1994 di Uruguay, disepakati bahwa subsidi negara maju adalah sebesar 5% dari total produksi pertanian, sedangkan negara berkembang 10%. Namun AS dengan Farm Bill (yang disahkan Mei 2002) memberi subsidi dengan nilai 180 miliar dollar AS, sebagai tambahan subsidi sektor pertanian hingga 10 tahun ke depan. Padahal, berdasarkan data pada akhir Putaran Uruguay (1994), AS masih menyisakan subsidi ekspor 594 juta dollar AS, Uni Eropa sebesar 8.496 juta dollar AS, Austria menyisakan dana 790 juta dollar AS, Polandia mencapai 493 juta dollar AS, dan Kanada sebesar 363 juta dollar AS (Detikfinance, 2/1/2013).Dari satu sisi data itu saja sudah tampak adanya “perang ekonomi global” dengan cara export dumping. Negara-negara maju terus berusaha mengarahkan agar negara-negara di dunia memperkecil subsidi kepada rakyatnya dan tujuan akhirnya adalah penghapusan subsidi. Untuk apa? Ini adalah soal siapa yang kuat dia yang menang. Tetapi negara-negara maju itu secara nyata tak akan pernah menghapus subsidi pertanian untuk rakyatnya jika pengin produk pertanian dan peternakan mereka (termasuk susu sapi perah) berkualitas baik dengan harga yang lebih murah, sehingga mampu menguasai pasar global.Sementara itu para intelektual di negara-negara berkembang diberikan ilmu ekonomi dengan teori dan postulat yang berasal dari luar, bukan dari kekuatan negaranya sendiri, dicuci otak mereka bersih-bersih, sehingga ke mana-mana mengatakan kalimat saktinya bahwa “subsidi itu haram, meracuni kekuatan masyarakat!” Apakah sadar mereka ini bahwa apa yang mereka sebarkan kepada masyarakat itu adalah ilmu beracun. Misi siapa yang mereka jalankan itu?Jika kita tengok sejarah negara-negara maju, pada mulanya mereka memberikan subsidi kepada rakyatnya dalam rangka mengatasi masalah kemiskinan dan kekurangan pangan. Dalam perkembangannya, subsidi itu membuahkan kemakmuran pada umumnya, produksi pertanian tidak sekadar mencukupi kebutuhan domestik tapi juga dieskpor.Kebijakan subsidi negara-negara maju di era modern justru menjadi sarana mereka mengalahkan lawan-lawannya dalam perdagangan global yang berakibat pada pemiskinan negara-negara yang berkembang karena tidak mampu bersaing di pasar global. Contohnya, produk para petani negara berkembang justru tidak laku karena negaranya dibanjiri produk-produk pertanian dari luar yang lebih murah. Akhirnya banyak generasi penerus petani yang memilih bekerja dalam bidang pekerjaan lainnya dan bahkan menjadi TKI di luar negeri. Sementara itu daya beli masyarakat nagara berkembang menjadi lemah, nilai mata uangnya melemah, yang selanjutnya menimbulkan apa yang disebut “harga mahal.” Di negara ini, kaum taninya setiap tahun berkurang sekitar 500 ribu orang.Perjuangan yang sedang dilakukan negara-negara berkembang saat ini bukanlah menghapuskan subsidi di negeri sendiri, tetapi meminta agar negara-negara maju menghapuskan subsidi untuk rakyat mereka sendiri, agar negara-negara berkembang tidak terus kian kalah. Sekarang dapat dibayangkan, jika seluruh negara di dunia ini menghapus subsidi, dalam keadaan rakyat negara-negara maju telah punya kapital kemampuan yang lebih memadahi dari sudut duit dan peralatan kerja, sedangkan rakyat negara kita masih dalam kondisi tertinggal, bagaimana masa depannya jika dilepas oleh pemerintah dalam pertarungan global itu? Lalu apa gunanya ada negara dan pemerintahan yang memungut segala pajak dan mengelola kekayaan sumber daya alam negara?Jadi, kalau ada orang yang kreatif menanam kebutuhannya sendiri, itu bukan soal karena presiden Jokowi mencabuti subsidi untuk rakyat Indonesia, tapi itu soal lain yang tak terkait. Sebelum Jokowi jadi presiden usaha kreativitas begitu sudah dilakukan sejak zaman presiden Soekarno. Kami dan kakek-nenek kami yang hidup miskin di desa sudah melakukan itu sejak zaman kolonial Belanda. Itu nggak ada hubungan dengan pencabutan subsidi oleh Jokowi. Jika penulis Fiskal itu baru kreatif sekarang, telat deh……Kita tidak hidup sendiri yang tak terkait dengan luar negara ini. Berapa banyak kekuatan rakyat ini akan terus dilucuti dan ujungnya kelak semakin banyak kita mengimpor kebutuhan dari luar negeri? Kita mau membangun sarana fisik apapun, tapi jika kekuatan rakyat makin melemah, sementara itu rakyat negara-negara lainnya makin kuat, lalu apa gunanya sarana dan prasarana fisik itu bagi rakyat? Paling-paling jalan-jalan raya atau tol baru yang – andai jadi – dibangun itu nanti hanya untuk kemudahan transportasi barang-barang impor di mana rakyat Indonesia menjadi pasar yang luas bagi mereka.Jadi, seharusnya aksi protes terhadap pemerintahan Jokowi – JK ini tidak ditafsiri sebagai serangan, tapi sebagai peringatan, “Hai Jokowi – JK, segera sadarlah kalian itu! Kalian sedang memegang amanat rakyat! Rakyat yang tidak memilih kalian pun telah tunduk kepada hukum untuk harus mengakuimu sebagai presiden-wakil presiden! Buktinya mereka tidak memberontak! Jadi, jangan lucuti kekuatan rakyat dengan mencabuti kewajiban negara itu!”Lagian ada jutaan rakyat miskin negara ini yang sudah biasa bersabar, tak pernah protes. Tapi derita mereka adalah tanggung jawab pengurus negara.

Minggu, 08 Februari 2015

KEBOHONGAN AJARAN TRIAS POLITICA

Perjuangan terbentuknya negara hukum demokratis di Eropa pada masa lalu ternyata tidak sekadar menumbangkan tirani monarki, melainkan babak baru terbentuknya tirani pemilik kekayaan. Dominasi kekuasaan negara oleh kaum ningrat (raja-raja) dan gereja, ditumbangkan oleh suatu upaya yang disebut demokratisasi. Upaya tersebut dimulai dengan dilontarkannya gagasan-gagasan tentang demokrasi dan negara hukum, harus dipisahkannya kekuasaan dalam suatu negara, agar tidak menumpuk di satu tangan. Ajaran itu kemudian dikenal dengan Trias Politica.

Namun, siapa yang mengira bahwa dalam gagasan Trias Politica terdapat “pesanan” dari kaum kaya (yang bukan dari golongan ningrat dan gereja) yang berusaha agar diberikan kedudukan dalam pemerintahan? Upaya-upaya borjuis atau kelas menengah itu berhasil. Monarki dipaksa untuk tunduk pada konstitusi yang dibuat pada masa revolusi, kekuasaannya dilucuti, atas nama demokrasi. Tentu saja di dalamnya terdapat janji-janji surga untuk menggerakkan rakyat agar mendukung gerakan yang mereka sebut sebagai gerakan pembebasan (liberty).

Perubahan memang terjadi. Tidak ada lagi hukum raja-raja yang tiran. Namun tanpa disadari – meski dalam Revolusi Perancis kekuasaan monarki dihabisi tuntas, kecuali Monaco – terdapat kompromi politik antara golongan ningrat, gereja dan borjuis. Kepentingan para borjuis diakomodasi negara untuk mengakumulasi kekayaan mereka. Ternyata penindasan kepada rakyat kecil hanya berpindah tangan dari penindasan oleh tirani monarki ke tirani baru yang disebut sebagai tirani borjuis atau tirani modal.

Jika zaman dahulu raja dapat membunuh rakyat yang menentangnya, dalam era tirani modal itu pembunuhan dilakukan dengan cara-cara yang lebih lunak dan secara tidak langsung. Meracuni lingkungan hidup yang berakibat pada penyakit-penyakit degeneratif merupakan salah satu cara baru untuk membunuh secara massal. Menyewa para preman untuk membunuh dengan cara menghilangkan jejak merupakan cara lama yang dimodifikasi lebih modern.

Ketika pemilik modal menghendaki tanah yang sulit dibebaskan maka dibuatlah kekacauan yang membuat warga masyarakat pemilik tanah tidak kerasan. Tak jarang aparatur negara – dengan alasan demi pembangunan negara – digerakkan untuk melakukan pengusiran paksa kepada warga. Putusan para birokrat dan para hakim merupakan alat baru untuk menindas kaum lemah, diberi label “atas nama hukum dan keadilan.”

Dalam perkembangannya, demokrasi hanyalah sebuah pantai indah yang hendak dituju, tetapi rakyat hidup dalam sebuah kapal di lautan ketidakpastian yang selalu dihempas gelombang. Seolah-olah rakyat sedang menuju ke pantai indah itu, sebagaimana para nahkoda dan calon nahkoda selalu menjanjikan bahwa mereka bersama-sama akan menuju ke pantai yang dijanjikan. Namun kenyataannya kapal itu dikendalikan sesuai dengan keinginan para pengendalinya yang mempunyai tujuan tersendiri.

Di Indonesia

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menyatakan, teori demokrasi pada abad ke-20 mengenal Trias Politica. Kekuasaan negara dibagi menjadi kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif, ditambah satu pilar lainnya, yaitu media massa.

Saat ini, terdapat tiga cabang kekuasaan lainnya, yakni pemodal, masyarakat sipil, dan media massa.
Jimly mengatakan, ada kecenderungan empat cabang kekuasaan akan bertumpuk di satu tangan dan itu sangat membahayakan. Misalnya, pengusaha besar menguasai industri media, lalu dia membuat partai dan kemudian jadi presiden. Itu sangat mungkin terjadi, trennya sudah begitu, hanya sekarang belum berhasil. Jika terjadi presiden memegang empat cabang kekuasaan, maka itu bukan demokrasi lagi. Jimly menyarankan perlunya kebijakan untuk mencegah terjadinya hal tersebut, yakni perlunya undang-undang tentang larangan konflik kepentingan.

Saya tidak sependapat dengan cara pikir Jimly yang mencampur-aduk konsep Trias Politica dengan realitas kekuasaan nonnegara yang menguasai negara itu. Sedari awal dalam sejarahnya telah terjadi upaya halusinasi pemikiran demokrasi. Pemisahan kekuasaan negara dengan ajaran Trias Politica adalah dalam rangka melucuti kekuasaan raja-raja dan ditujukan agar para raja membagi kekuasaannya dengan kaum borjuis. Warga masyarakat diperalat untuk menentang kekuasaan raja yang absolut itu. Sejak terbentuknya negara hukum modern, pemilik modal telah menjadi penguasa baru dengan segala kepentingannya.

Kekuasaan negara mungkin tepat jika dibagi menjadi beberapa urusan. Tetapi media massa bukanlah bagian pilar kekuasaan negara. Bagaimana media massa yang dikuasai kaum borjuis pemodal itu dikatakan sebagai termasuk kekuasaan negara? Konsep tentang media massa sebagai bagian kekuasaan negara adalah konsep tirani kapital yang bermaksud meneguhkan kekuasaan pemilik kapital itu sendiri.

Media massa dapat dipetakan, terdapat media yang menjadi alat perjuangan masyarakat dan terdapat media massa yang menjadi alat perjuangan penguasa modal, serta media massa yang menjadi alat pemerintah. Independensi media adalah konsep yang salah, sebab saham media-media massa bebas diperjual-belikan, diberikan badan hukum korporasi. Media massa adalah entitas subyek hukum tersendiri. Media massa menjadi seperti manusia yang berkepribadian robot yang dikendalikan oleh “pemberi hidupnya.”  

Pada masa kini ternyata upaya kaum borjuis untuk mendapatkan posisi dalam pemerintahan negara telah mengubah keadaan di mana borjuis mampu menjadi satu-satunya kekuatan baru yang menguasai negara. Borjuis menempatkan orang-orangnya di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, atau sekurang-kurangnya menguasai ketiga lembaga tersebut dengan kekuatan kekayaannya. Borjuis juga menjadi majikan media massa, juga menguasai otoritas akademik. Lalu apa yang tersisa?

Hanya tekanan rakyat yang dapat membuahkan hukum pembatasan kekuasaan itu agar tidak terjadi konflik kepentingan sebagaimana disarankan Jimly itu. Tapi apakah hukum yang diciptakan dalam kendali borjuis itu tidak akan menjadi kebohongan yang baru?

Misalnya saja seorang borjuis penguasa modal biasa saja secara formal namanya tidak tercantum sebagai pemegang saham korporasi dan bukan pengurus suatu badan usaha, namun dalam kenyataannya ia merupakan pengendali suatu konglomerasi perusahaan. Karena tak ada bukti bahwa ia merupakan pengurus dan pemegang saham suatu korporasi besar maka ia diperbolehkan menduduki jabatan penting pemerintahan. Kiranya itu dibutuhkan pemikiran yang lebih dalam.

Sebenarnya para pendiri negara ini cukup cerdas. Mereka membuat konstruksi ketatanegaraan dengan membuat MPR sebagai lembaga tertinggi negara. MPR ini sebagai “rumah rakyat” di dalamnya terdapat anggota dari golongan partai politik, utusan daerah dan utusan golongan. Utusan golongan tersebut tinggal dikembangkan dari berbagai golongan profesi, adat, buruh, petani, nelayan, dan lain-lain. MPR dapat disusun dengan menghindari dominasi partai politik yang biasanya didirikan dan dibiayai kaum borjuis.

Dalam susunan seperti itu presiden dari kalangan borjuis akan lebih sulit untuk menjadi kekuasaan yang menguasai legislatif, eksekutif dan yudikatif, sebab presiden diawasi dan dikendalikan oleh MPR yang lebih dapat menjadi representasi semua golongan rakyat. Barangkali tatacara pemilihan para wakil semua golongan di MPR itu dapat dihindarkan dari kemudahan campur tangan para pemilik kapital. Misalnya dengan sistem pemilihan berjenjang dari masing-masing daerah sampai ke pusat dengan pemilihan-pemilihan swadaya masyarakat.

Prof. Jimly dan kawan-kawan kini kebingungan dengan akibat sistem yang telah dibangunnya, yang telah berakibat pada perubahan fundamental struktur ketatanegaraan Indonesia yang kian liberal. Benar bahwa masa jabatan presiden harus dibatasi, tapi bukan dengan cara menjatuhkan daulat rakyat melalui MPR. Coba misalnya MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang disempurnakan bangunannya, Presiden tak perlu pusing bikin tim independen untuk memutuskan hal-hal yang menurutnya rumit. Cukup minta fatwa MPR.


Para pendiri negara Indonesia telah memberikan konstruksi ketatanegaraan sementara yang baik yang seharusnya disempurnakan, bukan dirusak dengan dibongkar secara fundamental meniru-niru bangunan negara orang lain yang memang bangunan kemenangan kaum borjuis.