Minggu, 23 April 2017

Ibu, Inilah Akibat Sebagai Anak Pembangkang Ibunya!


Dia meninggal pada hari Minggu Pon dalam ukuran kalender orang Jawa. Dia ibuku bernama Sarmi, meninggal pada hari Sabtu saat adzan maghrib tanggal 22 April 2017 atau tanggal 25 Rojab 1438 Hijriyah atau tanggal 26 Rejeb 1950 Jawa. Menurut perhitungan kalender orang Jawa, jika matahari telah senja maka hari itu sudah masuk perhitungan hari berikutnya, sehingga Sabtu sore dihitung masuk hari Minggu. Orang Jawa tidak mau tunduk kepada perhitungan sistem kalender manapun, tetapi sistem kalender luar ditundukkan kepada sistem perhitungan Jawa. Kalau dalam perhitungan kalender Masehi, hari dimulai dari setelah jam 24.00 (00.00) tengah malam. Orang Jawa dalam menggunakan sistem kalender Jawa yang dicampur nama-nama hari Masehi atau Hijriyah, tetap berpedoman kepada sistem perhitungan Jawa.

Ibuku meninggal di usia yang menurutku 92 tahun, berdasarkan catatan umurnya di Buku Nikah saat dia menikah dengan bapakku. Tapi menurut kakakku tertua (Gus Sampir), ibuku mencapai usia 97 tahun. Bisa jadi Gus Sampir yang lebih benar, sebab catatan umur dalam buku nikah itu mungkin  berdasarkan perkiraan. Semua berdasarkan perkiraan, karena hampir semua orang miskin dan buta huruf tidak mencatat tanggal lahir anak-anak mereka.

Saya sengaja mencatat waktu kematian ibuku dalam tulisan ini. Tak seperti waktu kelahirannya yang tak tercatat, sama halnya tanggal kelahiranku yang tak tercatat. Ketiadaan pencatatan hari kelahiran adalah salah satu ciri orang miskin yang tidak berpendidikan formal.

Ibuku pernah bercerita kepadaku, yang dalam ceritanya itu dia seolah-olah membanggakan kakeknya yang bernama Ronomito, seorang Kepala Desa di jaman penjajahan Belanda. Katanya, Mbah Ronomito itu membangkang kepada pemerintah kolonial Belanda, tidak mau menarik pajak kepada warganya, sehingga rumahnya dibakar oleh tentara Belanda. Perjuangan dengan cara membangkang membayar pajak itu mengingatkan pada cara perjuangan yang dilakukan oleh Samin Surosentiko dan para pengikutnya di Jawa.

Salah satu anak Mbah Ronomito adalah seorang perempuan bernama Kuning. Mbah Kuning menikah dengan Mbah Roso. Ibuku merupakan salah satu anak dari pasangan bernama Mbah Kuning dan Mbah Roso itu.

Ibuku terlahir sebagai anak keluarga miskin, meskipun kakeknya seorang Kepala Desa. Dia pernah bercerita kepadaku, dahulu dia pernah mendaftar sekolah, tetapi dia hanya masuk sekolah beberapa hari saja. Dia malu diolok-olok oleh teman-temannya karena bajunya yang paling jelek. Karena memang dia anak orang miskin. Akhirnya dia tidak mau bersekolah lagi karena malu.

Tapi saya tidak tahu dan tidak bertanya lebih detil, sekolah yang dimaksudkan saat itu berada di mana. Saya sendiri di tahun 1977-an saja sekolah SD di sekolahan yang jauh dari rumah, di dusun lain. Di dusun kami (Dusun Banggle, Lengkong, Nganjuk)) di tahun itu tidak ada sekolahan.

Di umur sekitar 16 tahun ibuku menikah. Dari pernikahan itu ibuku mempunyai 4 orang anak: 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Suaminya meninggal dunia, lalu ibuku menikah lagi dan mempunyai seorang anak perempuan. Tetapi suaminya yang kedua itu pergi meninggalkan ibuku dalam peristiwa 1965, sehingga ibuku mengurus perceraian, sebab sudah lama ditinggalkan oleh suaminya itu.

Sekitar tahun 1969 - 1970 ibuku bertemu dengan bapakku, dan mereka menikah. Bapakku saat itu adalah duda mempunyai seorang anak, dan ibuku adalah janda dengan 5 orang anak. Dari pernikahan dengan bapakku itulah ibuku melahirkan aku sebagai anaknya yang ke-6 atau yang terakhir.

Sejak muda ibuku sudah biasa bekerja keras, bangun sebelum subuh pergi ke pasar menjual sayur-sayuran hasil taninya. Di pasar itu ibuku mengulak barang-barang kebutuhan rumah tangga, lalu ibuku berkeliling menjual barang dagangannya yang digendong di punggungnya, berjalan kaki berkilo-kilo meter, terkadang ke dusun-dusun lain di tengah hutan.

Saya juga masih ingat saat saya masih kecil (belum usia sekolah), ibu dan bapakku sering mengajakku ke tegalan (ladang) di tengah hutan jati, ibuku membantu bapakku mencangkul di ladang di tengah hutan itu. Para perempuan desa mengerjakan pekerjaan yang berat-berat, seperti mencangkul tanah pertanian dan mencari kayu bakar di hutan.

Saat saya masih berumur sekitar 5 tahun, ibuku bercerai dengan bapakku. Itu bukan perceraian orang yang berantem, tapi perceraian akibat kebodohan orang yang kekurangan ilmu. Jadi, setelah janin ibuku (calon adikku) keguguran, ibuku sering sakit. Karena pada jaman itu kami jauh dari ahli kesehatan, dan kami merupakan kaum abangan, maka ibu dan bapakku berkonsultasi kepada seorang paranormal. Atas saran paranormal itu maka ibu dan bapakku bercerai. Katanya, kalau mereka tidak bercerai maka ibuku bisa meninggal dunia karena sebenarnya antara ibuku dengan bapakku itu tidak berjodoh.

Setelah saya dewasa saya baru tahu ternyata penyakit ibuku itu adalah infeksi kandungan, kata dokter yang memeriksanya. Pada jaman janin ibuku keguguran itu memang tidak ada yang namanya kuret. Kasus seperti itu ditangani sendiri, meskipun berdarah-darah. Tak ada paramedis. Rakyat desa hidup tanpa negara. Ibuku berkata, dia tidak mati saat mengalami pendarahan hebat itu karena mungkin Tuhan memberinya nyawa rangkap, guna menggambarkan bahwa mestinya secara akal sehat dia sudah mati kehabisan darah saat itu.

Setelah ibuku bercerai dengan bapakku, ibuku tinggal di rumahnya sendiri sebagai rumah bagian hasil gono-gininya, sendiri. Waktu itu aku tinggal bersama nenekku (Mbah Sukirah alias Mbah Ndung). Tak seperti orang kota yang rumit, saya melihat cara-cara orang dusun kami pada umumnya dalam membagi harta gono-gini dilakukan tanpa perselisihan. Ibu dan bapakku mempunyai 3 rumah sederhana berbahan kayu jati. Saat mereka bercerai, satu rumah diberikan kepada ibuku, satu rumah untuk bapakku dan satu rumah dijual supaya uangnya bisa dibagikan ke anak-anak ibuku dari suaminya terdahulu dan aku termasuk mendapatkan bagian Rp 100 ribu saat itu, bisa kubelikan seekor anak sapi.

Ketika itu, sebagai seorang janda ibuku bekerja mencari nafkah sendiri dengan cara berladang dan berdagang keliling kebutuhan dapur, seperti biasanya. Lama kelamaan saya menjadi ikut tinggal di rumah ibuku atas desakan dan rayuan ibuku yang tinggal sendiri di rumahnya. Anak-anaknya yang lain saat itu sudah berumah tangga sendiri-sendiri.

Pada waktu itu saya tahu bagaimana ibuku sebagai seorang janda sering digoda oleh para pria. Sampai suatu saat pernah ada seorang lelaki datang ke rumah ibuku, saya menyaksikan sendiri ibuku hendak diperkosa oleh lelaki yang sudah mempunyai isteri itu. Tetapi usaha pemerkosaan itu gagal karena ibuku secara fisik sangatlah kuat. Lelaki yang berusaha memperkosa ibuku itu kalah dalam perkelaian fisik melawan ibuku. Lalu lelaki itu keluar rumah ibuku dengan senyum-senyum sebagai pecundang. Orang Jawa mengistilahkan ingah-ingih, yakni senyuman salah tingkah orang kalah atau yang tak punya kehormatan. Kasus di hari buruk itu masih membekas dalam ingatanku hingga sekarang, dan saya betul-betul ingat wajah lelaki itu. Tetapi saya merahasiakan itu dari keluarga lelaki brengsek itu hingga sekarang. Ibuku dan aku tak mau melibatkan keluarganya yang tak bersalah apa-apa.

Setelah saya berumur 6 tahun, saya mendaftar sekolah SD. Saat itu saya biasanya bangun pagi dalam keadaan ibuku sudah tak ada di rumah karena sudah bangun lebih dulu dan pergi ke pasar menjual dagangannya, sayur-sayuran dan kentang hasil taninya. Saya biasa bangun sendiri, mandi, lalu melihat di meja sudah ada hidangan sarapan berupa nasi dan sambal terasi atau terkadang singkong liwet. Setelah itu saya berangkat ke sekolah berjalan kaki bersama teman-temanku. Pulang sekolah siang hari biasanya ibuku sudah ada di rumah. Lalu sekitar jam 02 siang ibuku pergi ke ladangnya hingga sore. Saya sering diajak ke ladangnya yang berada di tengah hutan jati. Ladang itu bukan miliknya sendiri, tapi tanah hutan yang dikelola Perhutani. Dalam penanaman hutan kembali, Perhutani biasa melibatkan warga sekitar hutan untuk membuka ladang dan menanami ladang itu dengan bibit kayu jati sambil menanami sekitar tanaman bibit jati itu dengan polowijo. Setelah bibit jati tumbuh agak tinggi maka warga pengelola ladang dilarang menanam agar tanaman jati yang tumbuh lebih tinggi tidak terganggu.

Ketika aku tinggal bersama ibuku yang sudah menjadi janda itu, biasanya aku tidur bersama ibuku. Dia selalu mendongengiku dengan dongeng-dongeng Panji dan banyak dongeng lainnya. Suatu saat di malam menjelang tidur itu ibuku berkata kepadaku, “Kamu kalau sudah besar nanti jadi pangon (buruh gembala), sehingga kamu mendapatkan upah sapi. Terus nanti sapi upahmu itu kamu berikan ke siapa, untuk aku atau bapakmu?” Tentu saja aku menjawab, “Aku berikan ke Biyung.” Sebagai orang miskin desa, aku memanggil ibuku dengan panggilan Yung atau Biyung, seperti keluarga miskin umumnya. Kalau, panggilan untuk ibu dari keluarga pegawai atau yang kaya biasanya Bu atau Ibu.

Itulah cita-cita ibuku untukku. Cita-cita orang miskin: Aku kelak menjadi buruh penggembala sapi alias pangon, agar mendapatkan upah berupa sapi. Ketika seseorang sudah mempunyai sapi, dia akan berternak sapi dan mengembangkannya, lalu sebagian dari sapi yang telah beranak-pinak itu dijual untuk membeli sawah dan rumah. Ibuku pernah memberikan wawasan seperti itu kepadaku, meraih masa depan dengan mengawali hidup menjadi pangon.

Lalu ibuku saat itu diajak menikah oleh seorang duda yang mempunyai 7 orang anak. Pria yang mengajak ibuku menikah itu bernama Warijo alias Ronokromo, orang yang sangat bersabar yang turut mendidikku sejak aku berumur sekitar 6 tahun. Dia orang yang dihormati di dusun kami karena ilmu spiritualnya dan kesabarannya. Dia terlatih kesabarannya karena dia mempunyai ilmu kanuragan yang hebat. Dia tak pernah memukul orang, sebab orang yang dipukulnya bisa mati karena dia mempunyai ajian atau ilmu kanuragan yang melekat. Itulah mengapa dia sangat sabar.

Akhirnya saya dan ibuku tinggal bersama dengan bapak tiriku yang bernama Warijo alias Ronokromo itu. Bapak tiriku itu pernah bercerita guyonan denganku. Katanya dia ogah menggunakan nama Ronokromo itu karena bisa diartikan rono-rono kromo atau ke mana-mana kawin. Lalu dia mengganti nama Ronokromo itu dengan nama lain, tapi saya lupa apa nama penggantinya.

Ibuku dan bapak tiriku itu dua sosok yang bertolak belakang secara karakter. Ibuku orang yang sangat tegas, galak dan banyak bicara. Tapi Pak Warijo alias Ronokromo adalah orang yang kalem, pendiam dan sangat sabar. Tapi mereka sama-sama sebagai orang abangan yang kaya dengan ilmu-ilmu mantera Jawa.

Salah satu kehebatan ibuku memang di soal mantera Jawa itu. Ibuku mendapatkan ilmu mantera yang banyak dengan cara “mencuri”, bukan dari berguru kepada para guru spiritual Jawa. Setiap ada orang tua yang mengucap mantera dengan cara agak keras, ibuku mendengarkan dengan seksama dan langsung bisa menghafalkannya. Daya ingat ibuku luar biasa, di atas rata-rata. Mungkin daya ingat ibuku seperti orang-orang Arab di masa lalu di mana daya hafal terhadap segala sesuatu dinilai sebagai kehormatan. Di Arab jaman dahulu, orang-orang yang belajar membaca dan menulis dianggap tidak mempunyai kehormatan sebagai penghafal yang kuat. Di masa tuanya, ibuku yang abangan itu belajar shalat dan menghafal beberapa ayat Al-Quran. Salah satu cucunya (keponakanku) bernama Yuliati berkata kepadaku, “Dia orang yang paling hebat diantara para temannya, begitu cepatnya dia bisa menghafal bacaan dan doa shalat serta ayat-ayat Al-Quran.”

Ibuku mempunyai mantera awet hidup, matera penyembuh sakit perut, mantera penenang bayi yang resah atau yang step, mantera penangkal petir, mantera ketika masuk ke rumah jenazah, dan banyak lagi yang lainnya. Salah satu mantera yang telah terbukti untuk dirinya sendiri adalah mantera awet urip (umur panjang).

Umur ibuku hingga hampir 100 tahun. Itupun karena ibuku merasa menyesal dengan mengamalkan mantera itu sehingga dia yang menginginkan segera mati, ternyata tidak segera mati. Tapi umur memang urusan Tuhan. Tiga bulan sebelum kematiannya ibuku sudah tak mau makan dengan harapan agar segera mati. Tapi aksi mogok makannya itu baru dijawab oleh Tuhan pada malam Minggu Pon lalu itu. Adzan Maghrib mengiringi kepergiannya, kematian yang telah lama dinantikannya. Sakaratul mautnya sangat tenang, kata Gus Pir yang menungguinya.

Setelah ibuku menikah dan hidup bersama dengan Pak Warijo alias Ronokromo maka ibuku merawat dan mendidik anak-anak tirinya (anak Pak Warijo) yang masih remaja dan anak-anak, yakni Supadi, Winarsih dan Sarto yang telah ditinggal mati ibunya. Anak-anak Pak Warijo yang sudah dewasa, yakni Yu Sri, Yu Tun dan Gus Tik sudah berumah tangga dan tinggal di dusun lain. Sedangkan anak Pak Warijo yang masih bayi sudah dirawat dan diambil anak oleh Mbok Si sebelum Pak Warijo menikahi ibuku.

Ibuku memperlakukan aku sama dengan dia memperlakukan anak-anak tirinya seperti Supadi, Winarsih dan Sarto. Bahkan ibuku menjadi sangat tegas kepadaku. Ibuku pernah berkata, “Kamu sekarang tinggal bersama bapak tirimu. Kamu sebagai anakku tidak boleh membuat malu ibu! Kamu harus bekerja membantu keluarga ini! Sepulang sekolah tidak boleh tidur, tapi harus bekerja, entah mencari kayu di hutan atau mencari rumput pakan sapi!” Ibuku mendidikku sangat keras yang dalam banyak hal saya sering tidak nyaman dengan kerasnya cara mendidikku.

Tapi sayapun tidak selalu menjadi penurut. Ketika di hari Minggu seharusnya saya menggembala kambing dan sapi milik kami. Dia juga meminta aku bekerja di ladang kami. Tapi terkadang sebelum ibuku bangun, di hari Minggu itu saya pergi membawa pancing masuk ke dalam hutan mencari sungai untuk memancing ikan. Saya ingin juga beristirahat dan sedikit bersenang-senang sebagai anak-anak. Ketika saya sore hari pulang membawa ikan hasil mincing itu, ibuku memarahiku dengan keras. Saya dibilang anak pemalas. “Apa yang kamu dapatkan dari hidup menjadi orang mancing yang pemalas itu? Kamu itu anak orang miskin! Kamu tidak sama dengan anak-anak orang lainnya yang bisa hidup leha-leha! Kamu jangan bikin malu ibumu! Kamu itu ikut bapak tiri, bukan bapakmu sendiri!” Bapak tiriku sendiri malah tak pernah menyuruhku ini itu. Sangat sabar.

Setelah memarahiku, ibuku menyuruhku mandi. Ibuku lalu memasak ikan hasil mancingku itu. Setelah aku selesai mandi, dia menyuruhku makan dengan lauk ikan hasil mancingku yang telah dimasaknya itu. Dia adalah ibuku. Dia ibuku… Dia sedang mendidikku untuk menjadi orang yang bertanggung jawab dan tahu diri agar mampu menyadari siapa diri saya.

Aku sering berkelahi dengan teman-temanku SD. Ketika saya pulang sekolah sampai di rumah ibuku marah-marah dan mencubit pahaku berkali-kali sampai kadang aku menangis karena tak tahan sakitnya. Suatu saat ada seorang nenek yang komplain kepada ibuku karena aku berkelahi dengan cucunya dan membuat mulut cucunya berdarah. Ibuku bilang kepada nenek itu, “Jangan kuatir Yu, aku akan menghajarnya! Bocah nakal ini memang kurang ajar jika tidak dihajar!” Lalu ibuku benar-benar menghajarku. Dia memberikan keadilan kepada orang yang menjadi korbanku. Dia adalah ibuku…. Dia ibuku yang sedang mendidikku tentang bagaimana mengorbankan diri dan perasaannya sendiri untuk memberikan perasaan keadilan kepada orang lain.

Aku pun lulus SD. Kebetulan menjadi lulusan teladan, hal yang sama sekali tak pernah saya bayangkan, sebab prestasi sekolahku biasa-biasa saja. Di antara teman-temanku, masih ada yang lebih pintar dariku. Itu namanya nasib baik sedang berpihak kepadaku, meski cuma sekadar stempel “lulusan teladan.” Ibuku dan bapak tiriku yang buta huruf itu tidak berani datang ke sekolah untuk menghadiri undangan acara perpisahan. Tak seperti para orang tua teman-temanku SD yang percaya diri, hadir di acara perpisahan itu. Saat pembawa acara memanggil orang tuaku ke depan untuk mendampingiku sebagai lulusan teladan, tentu saja orang tuaku tidak tahu, sebab mungkin mereka sedang bekerja di sawah atau hutan. Aku maju ke depan sendiri, dan aku hampir menangis karena tidak percaya dalam hidupku yang miskin, rendah dan keras itu bisa disebut sebagai “lulusan teladan.” 

Setelah aku dewasa aku berpikir, itu karena ibuku yang telah mendidikku, meskipun cita-cita ibuku sangat sederhana, agar aku menjadi seorang pangon sapi, karena mungkin ibuku tak sanggup dan malu untuk menatap bintang di atas langit.

Ibuku tak setuju saat aku mau melanjutkan sekolah ke SMP. “Kita orang miskin. Ibu tak punya uang untuk membiayai sekolahmu. Kamu ikut bapak tiri. Aku tak mau kamu jadi beban bapak tirimu,” kata ibuku. Tentu saja jawaban ibuku itu membuatku bersedih. Pada saat itu aku punya keinginan agar bisa melanjutkan sekolah. Saat itu pikiranku sederhana saja: sekolah bisa menjadi hiburanku, membuat aku bisa jeda dari hidup yang keras dan selalu harus bekerja keras di hutan dan sawah.

Aku pun bersitegang dengan ibuku. Aku mulai berani memberontak. Aku mengatakan bahwa aku ingin sekolah SMP. Para tetanggaku mendengarkan pembicaraanku yang keras dengan ibuku. Ada Yu Supi dan Yu Suminem. Mereka datang dan berkata kepada ibuku, “Mbah Mi, lha mbok ya biar saja Bagyo melanjutkan ke SMP. Dia itu sekolahnya pinter Mbah Mi!” Ibuku diam. Aku pun berkata, “Aku akan mencari biaya sekolah sendiri dengan berjualan kayu bakar.” Akhirnya ibuku setuju aku melanjutkan ke SMP.

Akupun harus bekerja lebih keras lagi. Setiap pulang sekolah, setelah makan dan shalat dzuhur aku pergi ke hutan mencari ranting-ranting kayu-kayu jati yang kering untuk saya jual ke pasar. Jam 03 pagi saya bangun memikul kayu bakar ke pasar yang jaraknya mungkin sekitar 5 KM dari rumahku. Tak bisa setiap hari aku bisa menjual kayu bakar, sebab saya pun harus menyediakan hari-hari untuk bekerja membantu keluarga, entah itu mencari kayu bakar di hutan atau membantu bekerja di ladang dan sawah ataupun mencari pakan sapi milik kami.

Saya pun bisa menyelesaikan SMP meski dengan terseok-seok. Setelah lulus SMP, pikiranku hampa, karena rasanya tak mungkin saya melanjutkan ke SMA. Padahal saya ingin terus sekolah. Saat itu saya barulah membenarkan cita-cita sederhana ibuku: saya menjadi buruh gembala (pangon) sapi, mendapatkan upah sapi sehingga saya mempunyai kehidupan yang lebih baik. Tapi setelah lulus SMP, semua sudah terlanjur dan berlalu. Saya pasti malu menjadi lulusan SMP yang bekerja menjadi pangon. Biasanya pangon itu adalah anak-anak atau remaja yang tidak sekolah atau paling banter lulus SD.

Setelah itu ibuku menjadi lebih memahami kehendakku untuk bisa terus bersekolah. Tetapi sayangnya kami miskin sehingga ibuku pun tak bisa menyekolahkan aku. Akupun mencari jalan yang berputar-putar berliku-liku untuk menempuh keinginan agar bisa bersekolah, sesuatu hal yang di kemudian hari baru saya sadari bahwa sekolah lanjutan bukanlah sesuatu yang menjadi satu-satunya alternatif usaha untuk membuat hidup lebih baik.

Dia adalah ibuku. Ketika pernah aku berselisih paham dengannya sehingga aku minggat pergi ke Surabaya menjadi gelandangan saat aku remaja, ibuku tetap mencariku dan dengan cara apapun dia ternyata bisa menemukanku dan mengajakku untuk pulang ke rumahnya. Sejak perisitiwa tahun 1988 saat saya minggat dan menggelandang di Surabaya itu maka ibuku menjadi lebih lunak kepadaku. Setelah itu aku berhasil menyelesaikan SMA selama 5 tahun sebab harus berkali-kali gagal sekolah karena ketidakmampuan ekonomi. Bisa sekolah SMA karena mengabdi kepada keluarga orang lain yang jauh yang bersedia menyekolahkanku. Akupun mulai menjadi jarang bertemu ibuku, hingga aku lulus SMA.

Ibuku tak berhasil membuatku untuk memenuhi cita-citanya agar aku menjadi seorang pangon yang kelak bisa mempunyai sapi yang beranak-pinak. Dalam perjalanan selanjutnya setelah aku lulus SMA. aku malah memilih menjadi seorang buruh pabrik untuk mencari uang demi bisa kuliah dan menjadi sarjana. Tetapi menjadi seorang sarjana ternyata tidak menjadi apa-apa dan siapa-siapa. Seorang sarjana tak lebih berharga dan bahagia dibandingkan dengan seorang mantan pangon sapi yang telah mempunyai sapi-sapi, sawah dan keluarganya di desa yang tentram.

Ada banyak cerita yang sangat panjang tentang ibuku. Hal yang membuatku senang adalah ketika menjelang akhir hidupnya saya berkesempatan untuk merawatnya meskipun jauh dari kata cukup. Dalam keadaan sakit saya menungguinya, dia berkata kepadaku, “Aku wis seneng, kowe wis nyembulih aku. Aku wis seneng.” (Aku senang, kamu sudah nyembulih aku. Aku senang).

Nyembulih adalah istilah Jawa yang tak mudah diterjemahkan. Nyembulih mempunyai makna semacam “balas budi”, tapi mengandung arti bercampur dengan hal yang materiil. Maksud ibuku, mungkin, aku dianggap sudah memberikan sesuatu yang membuatnya senang. Dia pernah bertanya kepadaku dalam pelukannya menjelang tidur malam saat aku masih kecil, “Kalau kamu nanti mendapatkan upah sapi, kamu akan memberikan sapi itu kepadaku atau kepada bapakmu?” Jika aku memberikan upah sapi itu kepada ibuku, berarti aku telah nyembulih  ibuku.

Tapi bentuk sembulihanku yang dikatakan ibuku menjelang akhir hayatnya itu tentu bukanlah seekor atau beberapa sapi. Mungkin hanya berupa rasa menang atas penghinaan yang pernah ia terima dari seseorang terpelajar pegawai pemerintah yang merasa kesulitan membiayai kuliah anaknya sehingga orang itu datang kepada ibuku dan berkata, “Kok Bagyo katanya kuliah ya Yu? Apa bisa dia meneruskan kuliahnya? Saya saja yang punya gaji ternyata tak cukup untuk biaya kuliah anakku di kota. Harus jual ini itu. Kok eman kalau dia buang-buang duit tapi akhirnya kuliahnya akan terhenti di tengah jalan. Uang dari mana dia bisa membiayai kuliahnya?” Ibuku pernah bercerita itu kepadaku sambil menangis dan berkata, “Apakah kamu akan membuat ibumu ini malu karena akhirnya kamu tak bisa meneruskan kuliah karena kamu ini tak mungkin bisa membiayainya? Kamu tahu kita ini orang miskin, jadi ya nggak usah macam-macam, nggak usah punya keinginan yang terlalu tinggi!” Ibuku bahkan malu dan segan untuk memandangi bintang di atas langit. Aku menghiburnya, “Aku punya gaji sebagai buruh untuk bisa cukup membiayai kuliahku. Aku juga mendapatkan beasiswa.” Ibuku pun bisa tenang, meski mungkin tetap cemas di sepanjang aku belum menyelesaikan kuliahku. Setelah aku berumah tangga, aku masih berusaha bisa nyembulih ibuku dengan cara yang mungkin kurang dari cukup.

Tapi dia adalah ibuku. Dia selalu mengkhawatirkan aku, dengan sering bertanya apakah penghasilanku cukup untuk menghidupi anak-anak dan istriku. Dia selalu mencemaskanku sebagai satu-satunya anak yang belum membelikan rumah untuk anak-anak dan isteriku. Tak seperti anak-anaknya yang lain yang sudah hidup normal mempunyai rumah, sawah dan perangkat hidup normal sebagai para keluarga.

Cita-cita ibuku yang sederhana itu telah terlaksana bagi semua anak-anaknya, yakni hidup cukup dengan mempunyai sarana hidup yang cukup sandang, pangan dan papan. Ibuku juga sebenarnya telah merancangku agar menjadi pangon sapi agar di masa depanku aku mempunyai cukup sandang, pangan dan papan. Tetapi aku sebagai satu-satunya anaknya yang membangkang atau memberontak dari cita-cita ibuku, karena saat itu tak aku pahami cara pikirnya yang berbeda denganku. Aku merasa seperti seorang yang kualat dan tersungkur karena pembangkanganku terhadap cita-cita ibuku itu.

Tapi dia adalah ibuku. Dia ibuku…… Ibu yang berusaha membuat aku tenang sehingga menjelang akhir hayatnya dia berkata, “Aku wis seneng, kowe wis nyembulih aku.” Mungkin satu-satunya yang bisa kupersembahkan kepada ibuku sebelum dia meninggalkan dunia ini adalah hayalan kosong tentang kebanggaannya bahwa dia seorang perempuan yang buta huruf dan miskin, yang bahkan malu untuk melihat bintang-bintang, bisa mempunyai anak seorang sarjana, padahal kesarjanaan itu tidak ada nilainya apa-apa. Setidaknya aku bisa menggagalkan penghinaan kepada ibuku itu, bahwa aku bisa menyelesaikan kuliahku meskipun kami orang miskin. Sebelum ibuku meninggal dunia aku bercerita kepadanya bahwa aku tak hanya seorang sarjana, tapi aku juga telah berhasil menjadi seorang magister hukum. Tapi dia tidak paham itu, dan dia kembali pada kecemasannya tentang nasibku, istriku dan anak-anakku. Mungkin sama seperti aku yang berusaha menghiburnya dengan kesombonganku dengan predikat-predikatku yang semu itu, maka menjelang akhir hayatnya dia menghiburku dengan kalimat, “Aku wis seneng, kowe wis nyembulih aku.”

Ada sebuah mimpi yang ibuku belum menemukan kenyataannya terhadap diriku. Ibuku pernah berkata, bahwa waktu aku kecil aku bercerita kepadanya tentang mimpiku, katanya aku pernah bermimpi menaikkan dan mengibarkan bendera merah-putih di saat mendung gelap dan hujan deras. “Mestinya kamu akan menjadi seperti apa yang pernah kamu mimpikan saat itu,” katanya, saat aku masih remaja dahulu.

Sekarang tugasku adalah terus berdoa untuknya. Kehidupan dunia ini adalah sebuah fase yang telah melewati fase-fase sebelumnya dan akan terus menempuh fase-fase berikutnya hingga manusia kembali kepada dari mana mereka berasal. Kelak mungkin saya akan meyadari, bahwa ada sekian banyak pikiran dan pamahamanku yang tidak benar.

Ibuku yang tak pernah membaca huruf-huruf dan kalimat, tapi bagiku dia lebih hebat dari para profesor yang menuliskan karya-karyanya yang besar, yang mungkin mereka akan kesulitan dan gagal untuk menjadi seseorang yang menjalani takdir seperti ibuku itu. Itu sekaligus menjadi pelajaran, bahwa manusia tak mampu memilih nasibnya sendiri untuk dilahirkan oleh perempuan atau ibu yang mana. Seorang anak manapun di dunia ini tak akan pernah mampu nyembulih jasa-jasa dan pengorbanan ibunya, meski ibunya harus terpaksa memberikan anaknya kepada ibu yang lain. Sebab darah yang tertumpah dan rasa sakit ibu saat melahirkan tak akan cukup ditebus dengan bumi dan isinya.

Surabaya, 24-4-2017