Jumat, 17 Februari 2017

Kebodohan Kaum Modern Dalam Berdemokrasi

Ibu dan bapak sekalian…. Beberapa waktu lalu saya mendampingi anak saya yang masih SMP kelas satu belajar matematika. Kami berdiskusi tentang himpunan dan Diagram Venn.  Ada himpunan semesta, himpunan bagian dan himpunan irisan atau irisan dari himpunan-himpunan bagian.

Pelajaran matematika tentang himpunan itu dapat dijadikan alat untuk menggambarkan kehidupan manusia di muka bumi ini. Seluruh manusia di muka bumi itu merupakan himpunan semesta. Di dalam himpunan semesta itu ternyata terdapat himpunan-himpunan bagian alias kelompok-kelompok atau golongan yang terdiri dari kelompok negara, suku, kebangsaan, agama, profesi, warna kulit, politik, ekonomi, dan lain-lain. Dari berbagai kelompok tersebut ada yang mempunyai kesamaan kepentingan sehingga mereka bisa membuahkan himpunan-himpunan atau kelompok irisan yang dapat digambarkan dalam Diagram Venn.

Ibu dan bapak, dan lain-lainnya… Saya kadang bertanya seperti ini: Apakah setiap kelompok tersebut tidak boleh memperjuangkan kepentingan masing-masing kelompok itu? Kan sudah biasa misalnya sebuah kelompok politik yang bernama partai politik menyeru kepada masyarakat agar warga masyarakat memilih calon anggota parlemen atau calon presiden atau calon kepala daerah yang berasal dari golongan partai politik tersebut. Orang-orang modern menilai itu sebagai sebuah kewajaran dan benar alias tidak salah.

Tetapi yang sungguh mengherankan saya adalah: mengapa seruan seorang umat beragama menyeru kepada sesama umat beragama yang sama, agar umat agama yang sama tersebut memilih pemimpin dari golongan agama sendiri, kok dituduh dan dicurigai sebagai seruan kebodohan, intoleransi dan stempel-stempel negatif lainnya? Ini yang bodoh si penyeru atau si penuduh bodoh?

Baiklah…. Mungkin pertanyaanku itu akan dijawab begini: “Wor…..camkan! Boleh dong politisi PDIP menyeru agar masyarakat memilih pemimpin dari orang PDIP! Kan PDIP itu partai politik di mana semua golongan agama, etnis, dan profesi berkumpul di situ yang menunjukkan di situ sebagai tempat kemajemukan. Kamu jangan bodoh Wor! Ngerti nggak kamu?”

Okelah…. Coba saya menjawabnya seperti ini: “Bro….yang sabar! Bagaimana jika dibalik begini: agama juga bisa sebagai tempat berkumpul semua golongan politik, ekonomi, etnis, profesi dan lain-lainnya. Apa bedanya? Apakah berkelompok kepentingan dalam sebuah kelompok agama itu adalah najis dan haram, sedangkan berkelompok kepentingan dalam sebuah kelompok partai politik itu suci dan halal?”

Lalu si Mas atau Mbak Bro menanggapi: “Kamu itu tolol! Agama itu bukanlah kelompok kepentingan politik! Agama itu adalah urusan manusia dengan tuhannya! Kalau membawa-bawa agama untuk urusan politik itu gak bener!”

Ya ya ya… Di sinilah saya mungkin tidak akan melanjutkan perdebatan. Mengapa? Sebab cara pikir umat sekuler murni dengan cara pikir orang Islam murni tentu berbeda. Kalau mau dipaksakan ketemu ya sulit. Bagi orang Islam murni, ajaran agamanya juga mengurusi kepentingan politik di mana itu menjadi bagian dari keyakinan dan ibadah. Bagi orang Islam murni, memilih pemimpin termasuk bagian dari ibadah. Itu yang tidak dipahami oleh orang sekuler murni.

Lalu bagaimana jika kepentingan politik menyalahgunakan agama? Iya, itu bisa terjadi dan itu salah. Sama halnya kepentingan politik juga bisa menjadikan partai politik sebagai kendaraan kebohongan dan penipuan. Apakah dengan begitu maka kebohongan dan penipuan berkendaraan partai politik dibenarkan dibandingkan dengan penyalahgunaan agama? Apakah partai politik mau sengaja dijadikan entitas dan kendaraan yang telanjang dari baju moral dan akhlak? Lantas apa gunanya hukum yang di dalamnya mengandung muatan moral? Ingat bahwa Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum adalah philosophische grondslag atau dasar filosofis (falsafah) negara Indonesia yang di dalamnya termuat substansi moral dan akhlak bernegara. Padahal Pancasila menjadi landasan idiil bagi seluruh partai politik.

Ibu dan bapak serta nenek kakek sekalian…. Ada seorang moden yang membuat tuduhan bahwa umat Islam telah dibodohi pakai Surat Al Maidah ayat 51, hanya gara-gara ada seruan orang Islam kepada umat Islam agar memilih pemimpin mereka dari golongan orang Islam sendiri. Lalu yang lain menimpali, katanya orang Islam yang menyeru demikian itu dan yang memidanakan si penuduh itu adalah kaum intoleran. Padahal itu cuma soal politik. Di mana bukti intolerannya? Bagaimana jika dibalik: apakah bukan perbuatan intoleran kalau mengecam seorang muslim yang memilih pemimpin dari golongan orang Islam sendiri?

Oleh sebab itulah maka meskipun hasil jajak pendapat Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) menunjukkan bahwa 95,7 % pemilih yang beragama Kristen – Katholik di Jakarta memilih Ahok – Djarot dan 71,4 % pemilih yang beretnis Cina memilih Ahok – Djarot, maka tak ada olok-olok bahwa data seperti itu adalah bentuk intoleransi dan kebodohan umat. Mengapa? Sebab kepentingan dan kecenderungan perasaan kelompok (primordialisme) dalam himpunan semesta manusia itu adalah realitas. Artinya, itu nggak apa-apa.

Kebodohan umat modern dalam berdemokrasi dan berpolitik adalah berupa ketidaksadaran dirinya berlaku primordialis, (entah karena faktor perasaan suka atau tak suka, karena keyakinan dan cara menerapkan doktrin yang dimilikinya, atau karena faktor etnis atau agama) tetapi si primordialis ini mengolok-olok primordialis lainnya yang tak sejalan dengan pilihan politiknya. Atas ketidaksadaran itu maka kebodohan itu telah memecah-belah perasaan umat. Padahal apapun faktor sebab perbedaan pilihan politik itu, entah karena faktor agama, etnik atau pengidolaan, seharusnya cukuplah disikapi dengan saling senyum. Syukur-syukur kalau dalam hatinya berkata, “Ah, kamu….dasar bodoh! Sama bodohnya dengan aku…. Kamu tidak waras, sama dengan aku!” Jadinya enak, tak ada saling caci-maki.

Kebodohan berikutnya adalah bahwa umat modern itu mau-maunya terus-menerus ditipu dan dibohongi oleh demokrasi manipulatif alias demokrasi palsu. Konon, ciri khas demokrasi itu adalah jika pemerintahan itu dilakukan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Tapi apa yang terjadi dalam kenyataannya? Calon-calon pemimpin dipilih oleh partai politik. Apalagi nggak ada sertifikasi akhlak dan keahlian. Sekian banyak regulasi disusun oleh para politisi yang membayar para ahli. Jadinya rakyat cuma wah woh disuruh menyetujui ini dan itu. Siapa yang ditentukan partai politik maka rakyat disuruh memilihnya dalam pemilu. Aturan mana yang dibuat para elite maka rakyat diminta mematuhinya.

Celakanya partai politik butuh biaya yang besar untuk melaksanakan hajat kepentingan politiknya yang tak lain adalah kepentingan golongan, bukan kepentingan umum negara. Lalu dari mana uang itu hadirnya? Orang-orang terdidik dan pintar tentu tahu itulah, sehingga siapapun yang terpilih menjadi pemimpin negara dan daerah tentu akan memberikan konsesi-konsesi kepada para donor. Rakyat dibohongi dengan laporan keuangan biaya politik yang seolah-olah segini segitu, tapi mana mungkin dilapori berapa uang politik yang masuk dalam kantong-kantong partai politik dan para pengurusnya.

Jadi, kalau bisa, saran saya: nggak usah otot-ototan musuhan. Kalau ada muslim yang meyakini agamanya dalam ibadah politik, ya biarkan, bertoleransilah… Sama halnya kalau ada orang Kristen atau Katholik mau memilih calon pemimpin dari golongannya sendiri, ya bertoleransilah…. Nggak usah ribut.  Jangan bikin provokasi macam-macam menuduh umat Islam kembali ke abad pertengahan atau itu tanda-tanda bangkitnya kekuatan Islam radikal…. Ojo kakehan cangkem…. Hanya akan menyulut perpecahan. Sesama kaum modern yang primordial ya yang santai-santai saja. Tetap ngumpul bareng ngopi sambil saling tuduh “Kamu goblok! Kamu goblok!” tapi sambil tertawa-tawa riang dalam perkawanan. anya