Jumat, 12 November 2010

Keadilan Di Jalan yang Sesat



(Dimuat Jawa Pos Radar Jember, 12 Nopember 2010)  

  Pada 1 November 2010, Pengadilan Negeri (PN) Jember memberi keadilan kepada Sjahrazad Masdar. Melalui putusan majelis hakim yang diketuai hakim R. Hendral dalam perkara dugaan korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jember, Sjahrazad dinyatakan bebas. 

Perkara Sjahrazad bermula saat ia menjadi Pejabat Sementara (Pjs) Bupati Jember. Pada Juli 2005, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jember periode 2004-2009, HM. Madini Farouq, mengajukan dana bantuan hukum (bankum) kepada Pjs Bupati Sjahrazad Masdar terkait perkara korupsi yang dihadapi anggota dewan. Uang bankum tersebut akan digunakan membayar jasa advokat. 

Sjahrazad menjabat bupati Jember hingga 11 Agustus 2005. Uang bankum itu baru cair setelah Sjahrazad tidak lagi menjabat Pjs Bupati Jember dan prosesnya diajukan secara normatif melalui pembahasan Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) DPRD Jember, sesuai pengajuan tim anggaran, yang selanjutnya disahkan melalui APBD Jember.

Singkat cerita, Sjahrazad ketika menjadi Bupati Lumajang, ia diajukan ke PN Jember. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Sjahrazad Masdar melanggar pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Tuntutan JPU itu kandas di tangan PN Jember. Kini, JPU mengajukan kasasi.

***
Sjahrazad menyatakan, "Kesalahan saya adalah administrasi saja, yakni mendisposisi surat pimpinan DPRD Jember tentang permohonan dana bantuan hukum kepada Sekretaris Kabupaten Jember Djoewito. Itu saja.” (Antara.com, 3/11/2010). 

Memang, Sjahrazad bersalah. Jika dana APBD boleh untuk membayar jasa advokat guna membela anggota dewan yang menjadi tersangka dan terdakwa korupsi, nanti para anggota dewan tersangka dan terdakwa perampokan dan pemerkosaan juga akan minta dana APBD untuk membayar jasa pengacara komersil. Kalau para pejabat dibenarkan menggunakan aji nunut uang negara dalam urusan pribadi, jadilah pemerintahan sesat. Prinsip pengelolaan keuangan daerah menurut PP Nomor 58 Tahun 2005 hanya akan menjadi peraturan memble.
 
UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 hanya mengenal personal crime (kejahatan pribadi) dan corporate crime (kejahatan korporasi), tidak mengenal institutional crime. Pejabat yang terlibat kasus korupsi itu urusan pribadinya, malah menjadi lawan negara, bukan malah dibiayai uang negara. Logika hukumnya kacau.

            Secara faktual, dalam perkara-perkara korupsi bukan cuma norma hukum yang dibuat loyo. Norma agama juga digunakan untuk menjustifikasi kejahatan korupsi. Nama Allah SWT disebut gemuruh, bukan untuk melawan kejahatan korupsi, tapi membela korupsi dengan mengatasnamakan “kebenaran”. 

Buya Syafi’i Maarif pernah melontarkan sindiran kenyataan perilaku para politisi yang “merasa benar di jalan yang sesat.” Dikiranya sedang lewat shirotal mustaqiim, tapi ternyata menuju neraka. Seperti halnya dalam Hadits Qudsi dikisahkan ada muslim taat ibadah yang mengira dirinya masuk surga, tapi ternyata dilemparkan ke neraka, karena dosa-dosa sosialnya.

Para ahli hukum kampus pun dikerahkan untuk membebaskan dakwaan korupsi. Apa perlu saksi ahli hukum, wong para hakim itu sendiri adalah para ahli hukum? Jika ada hakim bodoh hukum, hakim itu akan masuk neraka. Apalagi jika hakim dzalim, mengetahui kebenaran tapi tidak menghukum dengan benar, juga akan masuk neraka. Begitu Sabda Rasulullah SAW dalam Bulughul Maraam (1991: 746). 

Hariyono Mintaroem pakar hukum Universitas Airlangga (UA) dan Adami Chazawi pakar hukum Universitas Brawijaya (UB), selaku saksi ahli perkara Sjahrazad, menerangkan bahwa surat keputusan (SK) dan nota dinas yang sudah ditandatangani oleh Sjahrazad pada saat yang bersangkutan menjadi Pjs. Bupati Jember merupakan perbuatan “percobaan pidana korupsi.” Keterangan saksi ahli hukum UA lainnya, Immanuel Sujatmoko menerangkan bahwa Sjahrazad tidak bertanggung jawab atas pencairan dana bankum tersebut.

Percobaan pidana menurut pasal 53 ayat (1) KUHP harus mengandung unsur “tidak selesainya pelaksanaan tindak pidana.” Padahal dana bankum benar-benar keluar yang prosesnya berawal dari SK dan nota dinas Sjahrazad (yang tak pernah dibatalkan), lalu penyusunan PAK, dan penganggaran di APBD. Niat, proses, dan akibat yang ditimbulkan sudah jelas. Tapi fakta-fakta rangkaian perbuatan korupsi itu dikaburkan dengan pendapat para ahli hukum yang berprofesi sebagai ahli bersaksi di mana-mana.

Lucunya, para ahli hukum itu membuat “ajaran sesat” di muka hakim dengan menyatakan bahwa “bukan perbuatan pidana jika tidak dilakukan berulang-ulang dan tindak pidana tidak dapat diwakilkan.” Jika begitu, kalau ada orang mencuri satu kali, tidak boleh dihukum? Kalau ada orang menyuruh orang lain mencuri, si penyuruh tidak dapat dihukum? 

Jika begitu, silahkan mencuri, merampok, memperkosa, menggelapkan uang negara, asal dilakukan sekali, tidak berulang-ulang! Nanti kalau ternyata dihukum, tanyakan kepada para ahli hukum yang membuat teori itu! Jelas, teori itu hanya dipakai di pengadilan demi membela “klien” para ahli hukum itu. Bayangkan jika teori itu diajarkan di kampus, maka berapa banyak mahasiswa dan sarjana hukum yang tersesat!
 
Apa bisa memberantas korupsi di negara ini dengan berbagai cara pengkhianatan intelektual? Apa mungkin ada penegakan hukum yang serius dan bermoral? Apa bisa jika para pejabat publik yang ditugasi memberantas korupsi juga ikut korupsi? Pun kaum intelektual ikut-ikutan “dagang” hukum? Yah, tanya lagi, tanya lagi….. 

Barangkali Gusti Allah SWT perlu turun tangan sendiri. Karena para ulama juga santai-santai, pandangannya mulai kabur, para mahasiswa pun banyak tidur. Ya, untuk sementara ini, dalam waktu yang cukup panjang, mari terus bermimpi bahwa negara ini akan terbebas dari korupsi!

Minggu, 24 Oktober 2010

Cara Kaya Tanpa Modal

Sebelum saya menjelaskan ‘cara kaya tanpa modal’, lebih dulu kita menyimak gaya hidup ‘presiden’Madinah pasca Nabi Muhammad, yaitu: Abu Bakar. Sebelum menjadi khalifah (baca:pemimpin pemerintahan) di Madinah yang wilayahnya adalah Jazirah Arab, Abu Bakar adalah pedagang. Tapi karena menjadi khalifah maka beliau meninggalkan pekerjaan dagang agar konsentrasi mengurus rakyat dan negara. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Abu Bakar selaku khalifah diberikan tunjangan dari Baitul Mal (sejenis Kas Negara).


Suatu saat isteri Abu Bakar (ibu negara) ingin makan manisan, tapi tidak punya uang, sehingga beliau usul kepada Abu Bakar untuk menghemat uang belanja. Usul itu di-acc oleh Abu Bakar. Setiap hari Ibu negara menabung sedikit-sedikit sehingga berhasil mengumpulkan uang. “Wah kalau begitu uang tunjangan kita melebihi keperluan kita,” kata Abu Bakar. Alih-alih untuk membeli manisan, sebab Abu Bakar meminta agar uang itu dikembalikan ke Baitul Mal. Selanjutnya, Abu Bakar mengurangi tunjangannya senilai uang yang dapat ditabung isterinya. Mungkin kalau kita bisa melihat kejadiannya, Ibu Abu Bakar bisa jadi klamet-klamet alias menelan ludah membayangkan manisnya manisan itu.

Gaya hidup seperti itu mencontoh keteladanan Nabi Muhammad yang mengangkat peradaban Arab menjadi adidaya - saingan Kekaisaran Persia dan Romawi - dengan cara menerapkan pola hidup sederhana bagi para pejabat, melakukan efesiensi keuangan negara untuk memperkuat investasi sosial. Hal itu juga dilakukan Umar bin Khatab, Usman bin Affan serta Ali bin Abi Thalib. Kekhalifahan Islam pernah jaya, kekuasannya hingga ke Spanyol, tapi akhirnya tumbang ketika para penguasanya meninggalkan kesederhanaan hidup dan cenderung hedon.

Pesta korupsi

Kita beralih ke Surabaya. Orang Jawa mempunyai prinsip bahwa jabatan adalah kamukten atau kemuliaan. Berbeda dengan prinsip agama yang mengajarkan bahwa jabatan itu amanat. Karena menganggap jabatan sebagai kamukten, maka para pejabat cenderung memanfaatkan jabatan itu sehabis-habisnya. Kalau diberi jatah anggaran maka akan berusaha untuk menghabiskannya, mumpung masih menjabat. Jalan-jalan ke luar negeri dan pesta ulang tahun daerah merupakan bagian dari kamukten yang mereka sukai. Dari mana rakyat memperoleh keadilan dan kesejahteraan jika para pejabat yang mempunyai kewajiban mengurus mereka hanya bermain-main dengan angka, setiap malam keluyuran di tempat-tempat hiburan mahal dan uang negara dijadikan santapan kenikmatan mereka? Jangankan manusia, setan mana yang mau dipimpin orang-orang seperti itu?

Menurut data Indonesian Corruption Watch (ICW), pada tahun 2007 untuk Jawa Timur, selain kasus korupsi bagi-bagi dana bantuan partai politik (banpol) di Surabaya, ada sekitar sembilan dugaan kasus pencaplokan uang negara. Bupati Malang diperiksa dalam kasus dana keagamaan senilai Rp. 1,1 miliar dari Rp. 2,3 miliar. Bupati Sidoarjo juga akan diperiksa dalam kasus dana proyek Pasar Induk Agrobis (PIA) Jemundo itu. Bupati Pasuruan juga diperiksa sebagai saksi kasus dana proyek peternakan (bekerjasama dengan Universitas Brawijaya dan pihak luar negeri) senilai Rp. 3,5 miliar. Bupati Pamekasan diminta keterangannya dalam kasus dana biaya tambahan senilai Rp. 3,5 miliar. Bupati Situbondo sudah menajdi tersangka kasus dana kas daerah sebesar Rp. 45,750 miliar.
Bupati Magetan menjadi tersangka kasus dana proyek pembangunan GOR dan gedung DPRD Magetan senilai Rp. 7,2 miliar. Bupati Madiun menjadi tersangka dugaan korupsi APBD 2001-2004 senilai Rp. 8,7 miliar. Walikota Madiun menjadi tersangka penghilangan aset TNI AD dan dana APBD 2002-2004 senilai Rp. 9,68 miliar. Walikota Kediri juga sedang diselidiki dalam kasus dugaan korupsi.

Itulah fenomena kekuasaan yang berpesta-pora korupsi di mana-mana. Ketika pemberantasan kejahatan korupsi mulai digelar maka para pejabat melakukan penyanderaan politik anggaran dengan cara mengendapkan dana APBD. Pantaslah jika Indonesia memperoleh prestasi juara dunia korupsi, dan mempunyai pemimpin yang juara maling sejagat. Apa jenis Tuhan orang Indonesia sehingga tak ditakuti lagi?

Sugih tanpa bandha

Orang Jawa sebenarnya juga mempunyai filosofi kultural: sugih tanpa bandha. Terjemahannya: ‘kaya tanpa harta.’ Filosofi tersebut mempunyai arti: orang kaya bukanlah orang yang hartanya banyak, tapi orang yang mempunyai jiwa sebagai orang kaya. Ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad bahwa yang dimaksudkan dengan kaya bukanlah kaya harta, tapi kaya hati. Orang yang tidak kaya tapi mempunyai hati lapang, selalu bersyukur, maka tak akan pernah merasa kekurangan. Sebaliknya orang yang mempunyai harta melimpah tapi selalu merasa kurang maka akan cenderung serakah dan tidak pernah merasa puas, sehingga hatinya miskin sebab merasa terus kekurangan. Tetapi sugih tanpa bandha bukan lantas menghilangkan kultur kerja keras sebab tanpa kerja keras manusia tak akan dapat membangun peradaban.

Jika filosofi sugih tanpa bandha tersebut diterapkan para pejabat negara ini maka korupsi tidak akan ada, sehingga kita tidak butuh UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kini juga masih ditegakkan dengan cara korup. Kalau misalnya ada polisi, jaksa, hakim atau advokat (pengacara) yang mau disuap maka akan menjawab, “Gak usah! Aku wis sugih tanpa bandha.”Hidup baik cukup dengan gaji atau penghasilan halal. Kalau ingin kaya harta ya menjadi pedagang, jangan menjadi pegawai negeri.
Tetapi saking ‘kreatifnya’ otak maling, para pejabat memodifikasi filosofi sugih tanpa bandhadiartikan sebagai ‘kaya tanpa modal’. Caranya? Ya korupsi. Orang berdagang mau menjadi kaya, harus punya modal. Penjudi togel maunya kaya, juga pakai uang. (Silahkan aja kalau tidak ingin diborgol polisi, yang juga inginnya kaya tanpa modal!). Tapi para pejabat negara ini maunya kaya tanpa modal. Mereka hanya menengadahkan tangan jabatannya atau merogoh uang yang ada di laci kekuasaannya. Perlu juga sih modal imateriil, yaitu: ‘berani dipenjara.’ Modal malu sudah habis! Mereka tak punya kemaluan, tapi hanya alat reproduksi. Cuma, hukuman penjara juga bisa dinego sehingga keluar penjara masih gagah dan kaya.

Dengan keadaan seperti itu, sebenarnya sudah waktunya Musa membebaskan Bani Israel dari penindasan Firaun, waktunya Isa (Yesus) menggiring domba-dombanya untuk menuju kebangkitan, waktunya Nabi Muhammad untuk membebaskan Jazirah Arab dan dunia dari gelapnya peradaban (kejahiliahan). Para ulama (semua agama) yang dipercaya mewarisi tongkat perjuangan pembebasan jangan hanya berkhotbah sebab para koruptor juga jago berkhotbah tentang agama dan ilmu. Perjuangan agama dan kultural itu harus digerakkan untuk mengawal gerakan hukum yang terseok-seok sebab hukum juga dikendalikan orang-orang korup. Tapi negara ini juga celaka jika seumpama wilayah agama dan kultural juga tertular virus korupsi.

Tulisan ini pernah dimuat Jawa Pos di Ruang Publik, 26 September 2007.
Sumber gambar dari Boston.com

Jumat, 08 Oktober 2010

E-book: Nyai Ratu Kidul Hanya Rekayasa Politik

Silahkan juga mengunduh (download) buku sederhana tentang "siapa sebenarnya Nyai Ratu Kidul" yang melegenda di tanah Jawa, melalui link di bawah ini:


http://www.4shared.com/document/uWn5QTZu/NYAI_RATU_KIDUL_HANYA_REKAYASA.html

Buku Sederhana Tentang Prinsip Perlindungan Konsumen

E-book tentang Prinsip Perlindungan Konsumen dapat diunduh (download) lewat link berikut ini :
http://www.4shared.com/document/C052-tW5/PRINSIP_PERLINDUNGAN_KONSUMEN.htm


Silahkan mengunduh dan membacanya, semoga ada manfaatnya. Boleh disanggah, dikritik, dikecam, diolok-olok, agar mendorong saya untuk menulis lebih baik.


Jangan kuatir, saya tidak butuh citra diri sehingga kalau saya dikecam atau dikritik maka saya tak akan mengeluh dan curhat, hehehe...

Kamis, 12 Agustus 2010

Grup Bakrie dan Pengamen Anak-anak


Malam itu jalanan penuh debu. Jalan raya di negara ini konon dibangun dengan bacaan basmallah, yang memanipulasi kualitasnya, demi kekayaan dan kesenangan. Lalu Tuhan diminta memaklumi kelakukan bejat para maling berupa penguasa modal dan pembuat keputusan pemerintahan itu, yang merayuNya dengan sumbangan ke panti asuhan, zakat dan sedekah dengan uang haram. Kapitalisme kasar menyusupi tafsir-tafsir dalil agama yang mulia. Seluruh agama di muka bumi telah disusupi watak rakus kapitalisme.

Debu jalanan tampak dari kepulannya yang membumbung, yang diterangi lampu jalan raya yang tak begitu terang. Malam itu, dalam suatu urusan, 12 Agustus 2010, sekitar jam 22.00 WIB, aku berada di dalam bus yang sedang berjalan dari Porong ke Surabaya.

Malam yang lusuh di dalam bus itu dihangatkan dengan lagu-lagu merdu tiga pengamen kecil. Seorang remaja lelaki usia 17 tahunan memainkan gitar kecil berkolaborasi dengan remaja perempuan berusia sekitar 15 tahunan yang juga mahir memetik gitar kecil. Mereka tampak kompak dan terlatih, suaranya juga tak kalah merdu dibandingkan suara para penyanyi remaja yang tayang di TV-TV.

Satu lagi anggota pengamen itu anak laki-laki berusia sekitar 13 tahun mengedarkan amplop putih. Pada bagian luar amplop putih itu bertuliskan kalimat tulisan tangan, kurang-lebih: “Assalamu’alaikum wr.wb. Kepada Yth. Bapak dan ibu, mohon bantuan seikhlasnya untuk keperluan biaya sekolah kami, dan jika ada lebihnya akan kami gunakan untuk membantu orang tua kami. Terima kasih. Wassalamu’alaikum wr.wb.”

Otak bisa saja berkelana memikir segala kemungkinan. Mungkin anak-anak itu termasuk korban Lapindo seperti pengakuan mereka. Mungkin anak-anak itu bohong, bukan korban Lapindo. Mungkin anak-anak itu sejak kecil dipelihara orang orang tua yang bermental pengemis. Atau bisa saja banyak kemungkinan yang dapat aku pikirkan.

Tapi, apakah segala kemungkinan akan terjadi jika negara ini diurus dengan benar? Mengapa di negara ini ada rakyat kecil yang miskin dan bermental pengemis? Apakah itu berkaitan dengan banyaknya pengurus negara yang bermental perampok padahal mulutnya berbuih fatwa dan otaknya terisi ilmu kebenaran?

Pertanyaan lain yang tak kalah penting adalah: apakah layak dalam sebuah wilayah tambang kaya gas bumi yang bernama Blok Brantas, yang dikelola Lapindo Brantas Inc (Grup Bakrie) itu, ada anak-anak kecil yang berkeliaran di malam hari hanya untuk mencari biaya sekolah atau mencari makan sendiri? Sementara itu, pada malam itu anak-anak orang berkemampuan ekonomi sedang belajar di rumah, atau bermain-main, dan bahkan sudah banyak yang tidur lelap tanpa memanggul beban apa-apa sebab sudah dicukupi para orang tua. Ini negara kapitalis liberal atau negara Pancasila yang berkeadilan sosial?


Anda mau tahu, berapa luas Blok Brantas, dan berapa kekayaan gas di dalamnya?

Blok Brantas membentang dari wilayah Jombang, Mojokerto, Sidoarjo hingga Pasuruan. Berdasarkan klasifikasi data Walhi Jawa Timur, wilayah Blok Brantas Ring I terdiri dari  11 desa/kelurahan di Sodoarjo. Ring II terdiri dari 29 desa di Sidoarjo. Ring III meliputi 441 desa terbentang di Jombang, Mojokerto, Sidoarjo hingga Pasuruan. Membentang di 481 desa di empat kabupaten! Ternyata wilayah kekuasaan korporasi ini bisa menyamai luas negara-negara makmur di Eropa.

Di wilayah Sidoarjo saja, Lapindo Brantas Inc menguasai konsesi wilayah minyak dan gas bumi (migas) lebih dari 10.000 hektar, atau lebih dari separuh wilayah Sidoarjo.

Blok Brantas mempunyai kurang lebih 7 (tujuh) cadangan migas dengan sumber daya gas bumi sebesar 677 BCF (triliun kaki kubik) dan minyak bumi sebesar 12,5 MMBBL (juta barrel).

Blok Brantas pada mulanya dikelola oleh Huffco Brantas Inc, anak Huffco Group dari Amerika Serikat. Pada tahun 1990 Huffco Brantas Inc mendapat hak penambangan Blok Brantas berdasarkan persetujuan dari Presiden Suharto dengan surat No.B-105/Pres/4/1990 tanggal 12 April 1990.

Pada tahun 1996 Lapindo Brantas mulai mempunyai 50 persen interest Blok Brantas setelah membeli interest dari pemilik semula.

Pemegang interest di Blok Brantas sesuai surat BP Migas kepada Lapindo Brantas Inc No.424/BP00000/2005-S0 tanggal 4 Juli 2005 adalah:  Lapindo Brantas Inc. 50 persen, PT Medco E&P Brantas 32 persen dan Santos Brantas Pty Ltd 18 persen. Selain sebagai pemegang participating interest, Lapindo juga bertindak sebagai operator.

Setelah peristiwa semburan lumput Lapindo tersebut kepemilikan interest Medco di Blok Brantas dialihkan ke Grup Prakarsa (dengan jaminan dari Minarak Labuhan, yang juga anak Grup Bakrie). Sedangkan interest Santos di Blok Brantas dialihkan kepada Minarak Labuhan tersebut dengan harga 22,5 juta dollar AS. Sehingga, kini kepemilikan konsesi migas Grup Brantas kini ada di tangan Lapindo (Grup) Bakrie dan Grup Prakarsa yang dijamin Minarak Labuhan (Grup Bakrie).

Dengan kekayaan seluas itu, lalu apakah lalu rakyat Jawa Timur, terutama Sidoarjo, Mojokerto, Jombang dan Pasuruan menjadi makmur setelah kekayaan alam minyak dan gas bumi (migas) mereka ditambang sejak tahun 1990 hingga sekarang itu?

Yang jelas, bukan kemakmuran yang mereka alami. Justru ada sekitar 100 ribu penduduk kehilangan tanah, rumah, pekerjaan, serta artefak kebudayaan dan nilai sejarah pemukiman mereka akibat kerja korporasi Lapindo di Blok Brantas itu. Itu hanya karena satu sumur gas yang menyembur. Padagal kini ada sekitar 49 sumur migas milik Lapindo yang dalam tahap produksi dan pengembangan. Justru rakyat Indonesia dipaksa pemerintahan SBY untuk menyumbang Grup Bakrie melalui APBN dan APBD Jawa Timur guna membiayai masalah lumpur Lapindo itu.

Dalam akal kita yang sehat bisa memikirkan, jika seandainya pertambangan kekayaan alam seluas itu mempunyai akibat ekonomi yang baik, maka malam itu aku tidak akan bertemu dengan tiga anak-anak yang sedang meninggalkan waktu istirahat mereka, meninggalkan waktu belajar mereka di malam hari, hanya karena mencari biaya sekolah dan makan, bahkan membantu para orang tua mereka yang miskin. Padahal rakyat yang senasib dengan para pengamen anak-anak itu merata di mana-mana.

Setelah membaca tulisan ini mungkin orang akan bertanya: Lalu apa solusinya? Pertanyaan bodoh! Sebodoh kita semua yang takut menggulingkan pemerintahan yang pembohong dan korup ini. Takut untuk menghancurkan alat-alat produksi korporasi penindas semacam Grup Bakrie dan malah ramai-ramai membeli produknya. Sebodoh para intelektual, agamawan, seniman dan budayawan yang mau menjadi gedibal menjilati ketiak bosnya. Sebab tersihir oleh uang dan posisi sosial.

Padahal pemerintahan inkonstitusional itu harus digulingkan dan penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi. Termasuk saya kasihan pula dengan diri saya sendiri yang bodoh dan penakut ini!

Senin, 09 Agustus 2010

Mengharap Badai, Agar Muncul Pelangi di Negeri Mimpi


Bismillah. Hanya karena kumpulan titik embun, cahaya matahari terurai hingga tampaklah jelas mana kuning, merah, jingga, ungu, hijau dan lain-lain dalam pelangi. Keanggunan pelangi yang menjulang tinggi di atas langit lantas dikira sebagai sebuah naga yang sedang meminum air di suatu danau, atau sebuah jalan para bidadari yang sedang mandi di telaga bumi. Entah siapa yang kali pertama mengatakan itu, tetapi kebanyakan orang jaman dahulu mempercayai cerita itu. Hingga kini kepercayaan itu masih tersisa di benak orang-orang tua yang tersebar di seluruh desa di negara ini.
            Kalau kepercayaan itu kali pertama terhembus dari kata-kata orang yang dipercaya masyarakat (raja atau pendeta) maka seharusnya mereka bertanggung jawab atas kebenarannya. Namun, kalau mereka sudah beratus-ratus tahun yang lalu mati, maka siapa sekarang yang harus bertanggung jawab untuk mengubah kepercayaan (alam pikiran) itu ke arah kebenaran?
            Kepercayaan tentang pelangi bersinggungan dengan ilmu pengetahuan. Aku ingat sewaktu masih anak-anak, ketika ada pelangi setengah lingkaran di langit Timur, aku bertanya kepada ibuku, “Pelangi itu apa Bu?” Ibuku yang miskin dan tidak pernah bisa sekolah itu menjawab, “Itu adalah jalan para bidadari yang sedang turun ke bumi untuk mandi di telaga.”  Sayangnya di desaku dan sekitarnya tidak ada telaga, yang ada hanya waduk, sehingga pupus harapanku untuk bisa mengintip bidadari yang sedang mandi.
            Di lain hari aku melihat pelangi yang tegak di langit di atas pepohonan hutan jati. Aku bertanya kepada ibuku, “Apakah itu juga jalan bidadari Bu?” Ibuku menjawab, “Bukan. Itu adalah sinar orang yang sedang bertapa.”
            Ketika aku mulai sekolah di SD, guruku menerangkan bahwa pelangi yang membentuk setengah lingkaran (dalam bahasa Jawa disebut kluwung) ataupun pelangi yang tegak (dalam bahasa Jawa disebut teja) adalah cahaya matahari yang diuraikan oleh titik-titik air. Atas penjelasan guruku itu, meski aku tidak berani membantah, aku merasa tidak percaya sebab apa yang dijelaskan guruku lain daripada yang dijelaskan ibuku. Waktu itu aku tidak sampai pada pikiran untuk membandingkan kualitas guruku dan ibuku dalam soal ilmu pengetahuan.
            Tetapi akhirnya aku justru tidak lagi percaya dengan penjelasan ibuku, sebab alam menjelaskan sendiri kepadaku. Ketika suatu saat aku sedang bermain-main di sebuah terowongan jembatan bangunan Belanda di sebuah hutan di dekat desaku, sambil menunggu kambing gembalaan, aku bermain-main air dengan cara menciduk air dengan kedua tanganku dan aku lemparkan ke dinding terowongan yang kebetulan diterpa sinar matahari agak sore. Ketika aku menghempaskan air di dinding terowongan itu aku melihat pelangi kecil buatanku sendiri. Aku terkejut sebab aku bisa membuat pelangi, maka aku lakukan hal itu secara berulang-ulang dan muncul pelangi kecil berulang-ulang.
            Kemudian aku memanggil teman-temanku penggembala kambing lainnya yang sedang mandi renang di sungai itu. Mereka kupameri dengan pelangi buatanku itu, lalu aku katakan kepada mereka bahwa pelangi ternyata bukan jalan bidadari yang sedang turun ke bumi, tapi hanyalah sinar matahari yang diuraikan oleh titik-titik air. Aku dan teman-temanku pulang ke rumah dengan membawa bukti yang mengubah kepercayaan kuno yang tidak ilmiah itu, meski para orang tua kami tetap saja kukuh dengan kepercayaannya bahwa pelangi adalah jalan para bidadari.
            Pelangi adalah keindahan alam yang terbentuk karena peran dari air di mana air telah mengurai fakta tentang warna. Keindahan itu terjadi karena adanya keragaman  warna yang membentuk suatu harmoni dan kebersamaan. Tetapi air pun tak dapat menjelaskan keragaman warna jika tidak dalam bentuk titik-titik yang terkumpul dalam satu area yang membutuhkan ruang yang cukup luasnya. Air yang ada di sungai dan lautan tidak menimbulkan pelangi tetapi mempunyai peran sendiri di alam ini. Air menjadi kebutuhan pokok alam, seperti halnya sinar matahari bagi kehidupan. Tetapi air bisa menjadi bencana banjir yang ganas dan menggulung kehidupan.
            Dalam kurun waktu enam puluh lima tahun Indonesia merdeka, alam pikiran bangsa  masih terperdaya seperti para orang tua yang kukuh mempertahankan kepercayaannya yang melawan akal sehat. Saya tidak berani mengatakan bangsa ini sebagai bangsa yang bodoh, tetapi alangkah malangnya nasib rakyat di negara ini yang tetap mempertahankan kebiasaan saling sikut, saling tendang dan bahkan saling bunuh hanya untuk membangun kepercayaan tentang kekuasaan dan kewibawaan serta menumpuk materi meski harus menghalalkan segala cara.
Dalam alam pikiran orang Jawa kuno (yang masih terbawa hingga kini) hidup ini diorientasikan dengan cita-cita untuk mukti ngawibawa, sehingga Ken Arok tega memfitnah Kebo Ijo setelah ia membunuh Tunggul Ametung guna menguasai Tumapel, Gajah Mada menumpahkan darah di saentero Nusantara untuk memenuhi sumpah Palapa-nya yang hingga sekarang dipuji-puji penulis sejarah, Karebet yang membuat Kebo Ndanu mengamuk di Pajang untuk bisa memperoleh kekuasaan. Bahkan Sultan Amangkurat dari Mataram rela menyerahkan Pelabuhan Semarang kepada VOC (asing) untuk membantu mengukuhkan kekuasaannya sebagai raja.
            Saya menilai bahwa banyak orang berilmu di negara ini yang merasa bertanggung jawab untuk mengubah alam pikiran kuno itu menjadi lebih rasional demi kemajuan bangsa ini. Undang-undang Dasar telah diamandemen termasuk untuk memerintah kepada Pemerintah agar memprioritaskan APBN pada pendidikan (sebesar minimal 20%). Tetapi alangkah terlihat sulitnya mencapai angka itu, sebab korupsi di negara ini terlalu sulit untuk diberantas. Kalaupun (andaikan) penyidiknya serius, tetapi pengadilannya masih dipenuhi oleh orang-orang yang alam pikirannya kuno, ingin mukti ngawibawa dengan memperkaya diri, sehingga: jangankan berharap para keadilan sosial, keadilan formal pun sulit diperoleh di negara ini.
            Tidak hanya sebatas itu, mental perpecahan dan insting korupsi telah lama menjadi bagian alam pikiran irasional bangsa ini. Masih banyak orang yang senang membakar gereja dan masjid untuk memperebutkan kebenaran dan begitu mudahnya orang di negara ini mengharamkan orang yang lainnya. Yang tak kalah parahnya, kemiskinan menjadi rebutan hingga menimbulkan pertikaian yang meluas gara-gara ingin memperoleh uang Rp. 300 ribu per tiga bulan dalam setahun dari Pemerintah.
            Itupun akibat pemerintahan yang irasional menaikkan secara drastis harga BBM serta tarif listrik yang menjadi kunci kenaikan harga barang lainnya. Kalau biaya produksi dan transportasi naik, akibatnya harga produk naik. Pengusaha membebankannya pada biaya produksi termasuk juga melakukan rasionalisasi dan ujung-ujungnya daya beli menurun, banyak pekerja diputuskan hubungan kerjanya, rakyat kecil pun terkapar dalam penderitaan panjang (sejak jaman kolonial). Pemerintah “menyuap” orang-orang miskin untuk memenuhi perintahnya, tetapi menimbulkan persoalan sosial yang baru.
            Di sekolah-sekolah para guru bercerita tentang kebanggaan bangsa ini yang terdiri dari beraneka ragam suku dan agama, tetapi tetap rukun bersatu. Tetapi di luar sekolah keberagaman itu ternyata tidak seindah pelangi yang menjulang di langit sebab tidak ada keharmonian dalam membangun negara. Perkumpulan-perkumpulan dalam kelembagaan negara lebih banyak menjadi tempat konspirasi untuk mengeruk keuntungan pribadi dan golongan sehingga hampir di seluruh wilayah Indonesia anggota DPRD serta pejabat eksekutif terlibat dalam korupsi.
Kekayaan alam negara ini banyak yang digali oleh orang asing atau orang domestik dengan modal asing, dengan membangun instalasi yang megah, tetapi masyarakat setempat tetap saja hidup terbelakang dan bahkan menjadi korban pencemaran lingkungan yang tidak bertanggung jawab. Sementara hukum lebih banyak berpihak kepada para pemilik kantong tebal. Keputusasaan dalam menghadapi penegakan hukum yang korup mengakibatkan tren main hakim sendiri dengan merusak, bahkan membunuh.
            Negara ini kelihatannya modern, tapi masih banyak diisi oleh alam pikiran primordial dan irasional. Setiap orang mempunyai kewajiban untuk mengubah pikirannya sendiri-sendiri. Tetapi langkah sulitnya mengubah mental bangsa ini. Rasa malu menjadi semakin langka, egoisme semakin merajalela.
Di negara ini, doktrin Pancasila hanya tinggal goresan di atas buku, agama hanya pelengkap identitas yang bahkan seringkali dijadikan justifikasi untuk membunuhi orang lain. Orang sudah tidak lagi percaya dengan sanksi hidup setelah mati, Tuhan hanya menjadi tempat bersembunyi dari kecurangan dan kebiadaban, tetapi kenyataannya yang seperti dikatakan Nietzche: Tuhan telah mati, sebab tidak lagi ditakuti.
            Meski alam sudah menjelaskan bahwa pertikaian, persekongkolan jahat, ketidakadilan sosial dan korupsi telah mengakibatkan negara ini terpuruk dan jauh dari kemakmuran, tetapi mereka tetap saja kukuh dengan pikirannya sendiri.
            Harapan kita sekarang ini adalah sekiranya kita masing-masing berhasil mendidik anak-anak kita agar bisa berpikir rasional dan adil serta mempunyai rasa kasih sayang, mau berkorban untuk kedamaian hidup bersama.
            Tapi bukankah bahwa buah kelapa akan jatuh tak jauh dari pohonnya? Semoga saja ada badai yang membawa buah kepala jatuh jauh dari pohonnya, bahkan biar saja pohon-pohon kelapa yang tidak baik itu tumbang semua. Badai itu adalah revolusi yang dikendalikan oleh sistem yang jujur dan adil. Setelah badai surut, muncul pelangi indah di atas langit negara ini yang makmur, adil dan damai. Ini mimpi yang harus menjadi kenyataan! Insyaallah !

Sabtu, 03 Juli 2010

BAKRIE AWARD TIPUAN TIRANI MODAL


"Saya kembalikan (Bakrie Award) karena saya takut apa yang baik-baik akan ditutup oleh koreng yang tidak baik. Saya melihat memberi award ini terkesan untuk menutupi yang jelek. Pengembalian ini untuk mengingatkan, jangan coba-coba menutupi yang borok dengan kebaikan," kata Gunawan Mohammad (GM), salah satu penerima Bakrie Award tahun 2004 (Kompas.com, 22/6).

Sebelumnya, Romo Prof. Franz Magnis Suseno juga menolak Bakrie Award dengan alasan etika dan solidaritas kepada saudara kita korban lumpur Lapindo di Sidoarjo.

Peran korporasi

Bakrie Award yang diselenggarakan oleh Freedom Institute merupakan salah satu peran sosial korporasi Grup Bakrie. Cita-cita mulia yang disampaikan Bakrie Award adalah meningkatkan mutu kehidupan ilmu, sastra dan pendidikan di Indonesia.
Dalam negara Indonesia yang de facto menghamba pada kapitalisme ini, korporasi diberikan keistimewaan peran ekonomi oleh pemerintah. Guna menjalin komunikasi intelektual dan sosial maka korporasi menyusun strategi akademisasi kegiatan “politik etis”.

Korporasi membuat yayasan atau foundation dengan memberikan beasiswa dan kegiatan-kegiatan community development lainnya. Seperti halnya Grup Bakrie mendanai institut yang bernama Freedom Institute tersebut.

Itulah cara korporasi menundukkan masyarakat dan elit sosial budaya, selain dari jalan yang lain juga menundukkan kekuasaan politik melalui sumbangan-sumbangan finansialnya. Bahkan pemerintah yang berkuasa dipaksanya dengan cara halus, dengan diberikan utang budi, agar menjalankan platform pemerintahan yang sesuai dengan kehendak korporasi itu.

Korporasi bisa menjadi seperti seorang ilusionis yang handal, menghipnotis rakyat suatu negara menjadi kagum, sehingga masyarakat menilai: “Perusahaan ini berjasa, merupakan bagian penting dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.”

Kesadaran moral

Sang ilusionis juga menghipnotis para tokoh akademik, sastra, dan budaya dengan “sentuhan magis.” Di dunia material ini tak ada yang lebih magis dan mempesona selain bentuk tumpukan uang dan penghargaan. Hanya orang sejenis dan sekualitas Romo Magniz Suseno yang punya kesadaran linuwih, tidak menjadi korban sulapan, sadar dengan apa yang dikehendaki sang ilusionis.

Saya membaca berbagai komentar di internet dalam menilai perjalanan kasus lumpur Lapindo serta dugaan skandal pajak Grup Bakrie. Saya bisa menyimpulkan, ternyata masih terlalu banyak intelektual yang tidak terpengaruh dengan sulapan-sulapan dan eksplanasi yang bertolak belakang dengan kebenaran.

Masih terlalu banyak orang di negara ini yang tidak percaya dengan putusan pengadilan Indonesia yang menyatakan Grup Bakrie tidak bersalah dalam kasus Lapindo dan skandal pajak tersebut. Itu semua tak luput dari adanya bocoran-bocoran data-data terpercaya dan informasi di media massa dan internet, termasuk “nyanyian” Gayus Tambunan yang mengaku menerima uang miliaran rupiah dari Grup Bakrie dalam kasus pajak.

Saya tidak perlu buru-buru menuduh bahwa masyarakat yang tidak percaya dengan ilusi-ilusi itu adalah mereka yang tidak terkena magis yang mempesona, berupa uang itu. Meskipun saya melihat para elit korban Lapindo juga ada yang terkena pesona magis uang dan penghargaan itu, sehingga ada yang mengkhianati sesama para korban, bahkan bersekutu dengan kaki tangan Grup Bakrie untuk mencalonkan diri sebagai penguasa politik di Sidoarjo.

Hanya saja, saya masih bertanya-tanya, mengapa para tokoh lainnya penerima Bakrie Award seakan masih berat untuk mengikuti jejak Romo Magnis dan GM? Saya tidak perlu menuduh bahwa mereka ini sebagai kaum yang tidak beretika, berempati dan bersolidaritas pada rakyat korban di negara ini. Barangkali mereka mempunyai pertimbangan tersendiri yang belum kita ketahui, termasuk misalnya prinsip “Saya bukan orang yang rubuh-rubuh gedang alias ikut-ikutan!”

Dalam perjuangan itu, kaum intelektual memang harus jelas meletakkan posisi di mana, bukan berada di wilayah abu-abu dengan mengatasnamakan obyektivitas. Tidak ada obyektivitas yang tidak jelas!

Tetapi hari ini saya benar-benar girang, ternyata perlawanan terhadap penindasan struktural itu masih ada. Kita masih belum menyerah. Dan memang, kita tidak akan pernah menyerah, jika tak ingin negara ini terus-menerus berada di ketiak tirani modal!
 

Sabtu, 05 Juni 2010

Lumpur Lapindo dan Hukum Usang


Tanggal 29 Mei 2010 merupakan ulang tahun keempat bubur lumpur Lapindo di Sidoarjo. Data penghancuran ekologi (termasuk manusia di dalamnya) di Kecamatan Porong, Tanggulangin dan Jabon, Sidoarjo, itu mudah didapatkan di internet. Hingga akhir 2009 sekitar Rp 4 triliun uang negara (APBN) tersedot di situ.

Kasus lumpur itu menjadi salah satu bukti kedigdayaan Grup Bakrie, yang membuat hukum negara ini lumpuh tak berdaya, menjadi barang usang.

Walhi pernah mengajukan gugatan perdata kepada Lapindo Brantas Inc, korporasi terkait, serta pemerintah. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan Walhi dengan alasan bahwa semburan lumpur Lapindo terjadi karena bencana alam.

Hakim menggunakan keterangan ahli yang diajukan pihak Lapindo sebagai alat bukti, padahal keterangan ahli itu bukan alat bukti dalam hukum acara perdata. Itu melanggar standar hukum pembuktian menurut Pasal 1886 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Pasal 164 Herzienne Inlandsche Reglement (HIR).

Laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 29 Mei 2007, yang mengandung hasil audit kinerja operator Blok Brantas itu, sama sekali tidak digubris. Padahal, audit BPK merupakan alat bukti akta otentik yang mempunyai kekuatan hukum sempurna, dalam hukum acara perdata.

Gugatan YLBHI juga kandas. Mulanya, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berpendapat bahwa Lapindo telah lalai (salah) dalam melakukan pengeboran. Namun, putusan itu dianulir oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung (MA).

Setelah itu, Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim), pada masa Kapolda Anton Bahrul Alam, mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) perkara pidana Lapindo. Padahal, Kapolda Jatim sebelumnya, Herman S Sumawiredja, amat yakin bahwa Lapindo bersalah sehingga sudah menetapkan 13 tersangka.

Menurut buku hukum acara pidana (KUHAP), tersangka boleh ditetapkan jika alat buktinya cukup. Lalu, mengapa alat bukti yang cukup itu berubah menjadi tidak cukup?

Kejaksaan sukses menjadi penjaga gawang agar perkara pidana Lapindo tidak masuk ke pengadilan. Caranya, Kejaksaan mengembalikan berkas perkara kepada penyidik Polda Jatim secara berulang-ulang, dengan petunjuk (P 19) yang berubah-ubah, beranak-pinak. Apakah semua itu atas kehendak penguasa kapital? Sudah bukan rahasia lagi hukum Indonesia memang gampang dibeli.

Kini, bola hukum perkara Lapindo tinggal di tangan Komnas HAM. Tim Adhoc Pelanggaran HAM yang Berat dalam Kasus Lumpur Panas Lapindo masih bekerja untuk menemukan alat bukti pelanggaran HAM berat perkara lumpur itu, termasuk adanya unsur ”kesengajaan”.

Dalam perkara Lapindo, Lapindo dan pejabat yang memberi izin pengeboran gas bumi di Sumur Banjar Panji-1 (BJP-1) Porong itu jelas sengaja melanggar hukum. Jarak sumur pengeboran itu dengan permukiman penduduk terlalu dekat (menurut BPK, sekitar lima meter).

Ketentuan Badan Standar Nasional Indonesia Nomor 13-6910-2002 tentang Operasi Pengeboran Darat dan Lepas Pantai di Indonesia, sumur-sumur pengeboran harus berjarak sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, rel kereta api, perumahan, atau tempat-tempat lain di mana sumber nyala dapat timbul.

Pengeboran sumur BJP-1 juga tidak sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo (Perda Nomor 16 Tahun 2003, yang waktu itu belum diubah). Peruntukan lokasi tanah Sumur BJP-1 tersebut adalah untuk kegiatan industri non kawasan, bukan untuk pertambangan.

Ketika hal itu ditanyakan kepada Imam Utomo, Gubernur Jatim waktu itu, apakah itu terkait perubahan RTRW Provinsi Jatim, dia melemparkan pertanyaan kepada Bupati Sidoarjo. Lalu, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso melemparkan tanggung jawab ke pemerintah pusat (BP Migas) yang memberikan rekomendasi izin tersebut.

Pihak Lapindo dan pejabat yang memberikan izin secara hukum dianggap sengaja melakukan pengusiran penduduk sipil karena pengeboran di sumur BJP-1 yang berdekatan dengan permukiman penduduk, akibatnya sudah bisa dipikirkan sejak semula jika terjadi kecelakaan pengeboran.

Penjajahan modern dilakukan korporasi. Senjata nasionalisme jadi tidak mempan, apalagi jika penjajahnya bangsa sendiri, yang menggunakan otak para ahli putra-putri negeri sendiri. Apa kita akan menyerah begitu saja?

(Dimuat Kompas, 31 Mei 2010)

Sabtu, 10 April 2010

SBY dan Wisata Lumpur


Beberapa hari lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengunjungi lokasi lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. SBY mengusulkan agar danau lumpur itu dijadikan lokasi wisata geologi.

Namun, SBY hanya bisa mengimbau agar pihak yang berkewajiban (Lapindo Brantas Inc) segera menyelesaikan pembayaran kepada korban tepat waktu.

Sebagian aktivis dan relawan pendamping korban lumpur Lapindo menilai, wisata lumpur adalah gagasan tidak bermutu. Warga korban lebih berharap Lapindo Brantas Inc dan pemerintah segera menyelesaikan masalah sosial yang mereka derita.

Meski sudah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), pelunasan ganti rugi tanah dan rumah yang terendam lumpur pada sebagian besar korban Lapindo belum beres.

Dalam debat calon presiden 2009 yang ditayangkan di televisi, SBY berjanji mengevaluasi kebijakan pemerintah dalam penanganan lumpur Lapindo. Ternyata, setelah jadi presiden, SBY hanya mengamandemen Perpres No 14 Tahun 2007 jo Perpres No 48 Tahun 2008 dengan Perpres No 40 Tahun 2009 yang justru memperingan kewajiban Lapindo dan lebih membebani APBN.

Saya tidak tahu apakah SBY pernah membaca hasil penelitian Tim Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Hasil penelitian itu menunjukkan, wilayah sebelah barat danau lumpur Lapindo sangat tidak layak huni sebab kandungan gas hidrokarbonnya (HS) 55.000 ppm. Ambang batas untuk kesehatan maksimum 0,24 ppm.

Sudah ada korban Lapindo asal Kelurahan Siring yang meninggal pada 2008 akibat gas beracun itu, yaitu Soetrisno, Yakup, dan Luluk.

Setahu saya, belum ada satu pun pihak atau lembaga yang meneliti dampak gas beracun lumpur Lapindo, misalnya, berapa jumlah korban yang sakit dan meninggal, sehingga belum ada data untuk acuan. Ini menunjukkan, pemerintah terlalu cuek, tidak bertanggung jawab.

PBB—dalam hal ini United Nations Disaster Assessment and Coordination (UNDAC)—pada Juni-Juli 2006 pernah memantau lumpur Lapindo. Dalam laporannya, UNDAC menulis, meski tak ada informasi lebih lanjut tentang ukurannya, konsentrasi 700 ppm bisa berdampak langsung dan akut pada kesehatan manusia dan berakibat kematian. Gagasan wisata lumpur yang diusulkan SBY belum didasari data yang benar dan akurat. Memang, jika kita datang ke tanggul lumpur Lapindo, ada ”kreativitas” para korban Lapindo yang jadi pemandu ”wisata lumpur”. Mereka ini sudah lama kehilangan pekerjaan begitu lumpur menghabisi nasib mereka.

Gagasan wisata lumpur harus diteliti dan dikaji lebih jauh, menyangkut keselamatan (kesehatan) rakyat. Gas HS dan lain-lainnya yang merupakan senyawa polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) sangat berbahaya bagi kesehatan, dan dalam kadar tertentu akan berdampak jangka panjang, berupa kanker.

Negara kalah?

Saat ini yang dibutuhkan para korban Lapindo adalah ketegasan Presiden SBY yang sudah mengambil alih penyelesaian masalah lumpur Lapindo. Namun, bukan dengan gagasan-gagasan muluk yang tidak karuan, apalagi jika malah membahayakan.

Nasib rakyat korban tidak boleh lagi digantung dengan alasan-alasan privat korporasi, seperti kesulitan finansial Lapindo akibat krisis ekonomi global dan susur tembakau itu. Lapindo Brantas Inc adalah anak korporasi Grup Bakrie yang terkenal kebesarannya dan merambah berbagai sektor energi negara ini. Jika nasib korban Lapindo terus digantung dengan alasan-alasan privat seperti itu, ini tanda negara telah kalah dan dikalahkan kehendak korporasi.

Mengapa Presiden tampak lemah, tidak mampu menegakkan Perpres No 14 Tahun 2007 yang dibuatnya sendiri, dengan membiarkan Lapindo mencicil dan mempersulit pembayaran kepada warga korban? Mengapa Presiden tidak menggunakan otoritas yang dibenarkan secara hukum? Misalnya, dengan mencabut izin Lapindo Brantas Inc serta mengambil alih sumur-sumur gas produktif di Blok Brantas.

Jika Grup Bakrie melawan, Presiden harus bertindak selaku pemerintahan, misal dengan memailitkan demi kepentingan umum. Bersamaan dengan itu, pembayaran kepada korban Lapindo diselesaikan dengan uang negara lebih dulu, mengacu pada saran Badan Pemeriksa Keuangan dalam laporan audit 29 Mei 2007.

Akhirnya, apakah kita akan menjadi turis wisata ketidakberdayaan negara melawan korporasi dan derita rakyat korban? Negara ini sudah dilahap kompeni asing, masa juga disantap kompeni domestik. Capek deh!

Dimuat di Kompas, 09 April 2010

Senin, 15 Februari 2010

Tawon Boy dan Hukum Cebol


Kisah bocah sembilan tahun dengan nama samaran Boy dari Surabaya yang diadili gara-gara menyengatkan tawon kepada teman sekolahnya, menambah bukti betapa hukum Indonesia hanyalah hukum cebol. Ia hanya berani menginjak kaum papa.

Hukum yang cebol tak sanggup menggapai yang tinggi-tinggi. Ia hanya berani melawan nyamuk dan mrutu, tapi akan lari tunggang-langgang ketika berhadapan dengan sapi, apalagi gajah. Dalam kasus entup tawon Boy itu, hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Sutriadi Yahya, merasa heran kasus sepele itu masuk ke meja hijau. Hal itu juga berkaitan dengan pendirian orangtua korban yang tidak mau berdamai. Orangtua korban berpangkat komisaris polisi (Kompol) di Polda Jatim, (Surya, 2/2/2010).

Kisah entup tawon Boy itu hanya salah satu representasi praktik hukum di negara ini. Masih ada banyak kasus lain yang tidak terliput media. Orang-orang kecil diadili atas dasar kecurigaan, lalu dipaksa mengakui perbuatan yang tak mereka lakukan. Bicara kasus entup tawon Boy ini, saya jadi ingat artikel tentang pengobatan apitherapy dengan menggunakan entup tawon yang konon bisa menyembuhkan penyakit stroke, tumor, jantung koroner, diabetes mellitus, asam urat, ketidaksuburan, dan lain-lain (Kompas, 18/11/2003).

Tetapi saya belum pernah mendengar ada terapi atau pengobatan raga atau jiwa dengan cara menenggelamkan tempat hidup ribuan orang seperti yang terjadi di Porong, Tanggulangin dan Jabon, Kabupaten Sidoarjo. Ada empat desa yang tenggelam, dan setidaknya sembilan desa rusak. Kasus itu malah menimbulkan kerusakan kesehatan jiwa-raga sosial. Hampir empat tahun ini malah belum tuntas.

Semula, penyidik Polda Jatim dalam perkara pidana kasus semburan lumpur Lapindo itu menetapkan 13 tersangka dan sangat yakin dengan alat bukti dan barang bukti yang ditemukannya. Penyidik menyita barang bukti berupa dokumen dan surat-surat berupa Production Sharing Contract, Work Program & Budget, Drilling Program, Daily Drilling Report, model prediktif pengeboran infill (IDPM), instruksi kerja, Real Time Chart, Survey Seismic dan perizinan Upaya Pengelolaan Lingkungan – Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL–UPL).

Selain itu juga Standard Operating Procedure (SOP), Surat Izin Layak Operasi (SILO), satu unit Rig serta seluruh komponennya, perjanjian kontrak kerja antara PT Lapindo Brantas Inc dengan PT Medici Citra Nusa beserta sub kontraktornya. Data Paparan Publik oleh Ditreskrim Polda Jatim (8/3/2007) menyebutkan, 13 tersangka perkara Lapindo dijadikan tujuh berkas perkara.

Berkas Perkara I atas nama tersangka Ir Edi Sutriono (Drilling Manager) dan Ir Nur Rochmat Sawolo, MESc (Vice President Share Services PT Energy Mega Persada Tbk). Berkas Perkara II atas nama tersangka Willem Hunilla (Company Man Lapindo Brantas Inc). Berkas Perkara III atas nama tersangka Ir Rahenod, Slamet BK dan Subie (Drilling Supervisor PT Medici Citra Nusa). Berkas Perkara IV atas nama tersangka Slamet Riyanto (Project Manager PT Medici Citra Nusa) dan Yenny Nawawi SE (Dirut PT Medici Citra Nusa). Berkas Perkara V atas nama tersangka Sulaiman Bin HM Ali (Rig Superintendent), Sardianto (Tool Pusher) dan Lilik Marsudi (Driller) PT Tiga Musim Mas Jaya.

Berkas Perkara VI atas nama tersangka Ir H Imam Pria Agustino (General Manager Lapindo Brantas Inc). Berkas Perkara VII atas nama Ir Aswan Pinayungan Siregar (mantan General Manager Lapindo Brantas Inc). Ketika Tim Investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta keterangan Polda Jatim mengenai kendala perkara tersebut, penyidik mengarahkan telunjuknya ke kejaksaan yang berkali-kali mengembalikan berkas perkara kepada penyidik dengan petunjuk (P-19) yang berubah-ubah dan irasional.

Selanjutnya, setelah Kapolda Jatim, Herman S Sumawireja digantikan Anton Bahrul Alam, Polda Jatim mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dengan konklusi bahwa perkara lumpur Lapindo tersebut bukan merupakan tindak pidana. SP3 itu termasuk mengacu pada putusan Mahkamah Agung (MA) No. 2710 K/Pdt/2008 yang memperkuat putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No 136/PDT/2008/PT DKI tanggal 13 Juni 2008, yang menyatakan semburan lumpur Lapindo tidak berkaitan dengan pemboran yang dilakukan Lapindo.

Putusan MA yang memperkuat putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat tersebut menggunakan keterangan ahli Dr Ir Agus Guntoro (Universitas Trisakti), Dr Dodi Nawang Sidi (ITB), Ir M Sofian Hadi (pekerja ahli di BPLS), Prof Dr Sukendar Asikin (ITB), sebagai alat bukti. Padahal berdasarkan pasal 1886 KUHPerdata jo Pasal 164 HIR, keterangan ahli bukanlah alat bukti dalan hukum acara perdata umum. Sebelumnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya No 384/PDT.G/2006/PN.Jkt.Pst. menilai dalam pertimbangan hukumnya bahwa semburan Lumpur Lapindo dipicu kekuranghati-hatian Lapindo dalam melakukan pemboran.

Hal ini dibuktikan oleh adanya laporan Audit BPK 29 Mei 2007 tentang kinerja Lapindo dan pemerintah di Blok Brantas. Dokumen BPK sudah jelas merupakan alat bukti akta otentik menurut standar pembuktian hukum acara perdata, yang mempunyai kekuatan hukum yang sempurna (Pasal 1870 KUHPerdata). Dalam perkara lumpur Lapindo ini, hukum bukan dientup tawon yang bisa menyehatkan, tapi menjadi hukum cebol diinjak gajah besar sehingga ringsek tak berdaya. Teori, postulat dan asas-asas hukum yang diajarkan di kampus-kampus telah menjadi barang rongsokan di hadapan kapital besar. Omong kosong.

Perkara lumpur Lapindo seharusnya dilanjutkan, SP3 itu harus dicabut. Bukti baru semakin banyak, selain bocoran dokumen Medco dari TriTech Petroleum Consultants Limited dan Neal Adams Services, juga ada konklusi para ahli pemboran internasional di Cape Town, Afrika Selatan pada 28 Oktober 2008. Ini cuma soal kemauan dan keberanian saja!
(dimuat koran Surya, 4 Pebruari 2010)