Jumat, 22 Februari 2008

Masa Depan Indonesia

Indonesia baru saja menemukan cadangan minyak dan gas bumi (migas) yang diperkirakan lebih besar daripada cadangan migas Arab Saudi (Jawa Pos, 12-13/2/2008). Di luar temuan tersebut, Indonesia selama ini memroduksi lebih dari 80 persen minyak bumi di Asia Tenggara dan lebih dari 35 persen total gas (liquefied gas) dunia (Encarta Encyclopedia 2005).

Melimpahnya sumber daya alam (SDA) Indonesia yang tak dapat diperbaharui yang terpendam dalam bumi Indonesia merupakan konsekuensi keadaan geologis Indonesia. Negara ini dilalui jalur ring of fire yang membentang dari Sumatera hingga Papua. Indonesia dihimpit oleh tiga lempeng lapisan bumi. Dalam kurun ribuan dan jutaan tahun lalu terjadi proses pergerakan lempeng bumi dan erupsi gunung berapi yang menenggelamkan sekian banyak kekayaan flora dan fauna yang akhirnya membuahkan SDA migas dan mineral.

Dengan memahami bahwa Indonesia kaya SDA dan ‘kaya’ potensi bencana maka ada dua hal yang perlu dilakukan oleh pengurus negara ini, di pusat dan daerah, yaitu: (1) memetakan wilayah bencana, termasuk cara-cara penanggulangannya, dan (2) menciptakan daya tahan Indonesia berkaitan dengan pengelolaan kekayaan SDA tersebut. Selama ini, rakyat Indonesia hanya menjadi penonton dalam pengelolaan SDA Indonesia yang melimpah, dan bahkan menjadi korban.

Memetakan wilayah bencana

Kasus tsunami Aceh, gempa Jogja, gempa Sumatera Barat, dan lain-lainnya, termasuk rangkaian letusan gunung berapi sudah dialami bangsa Indonesia. Indonesia rawan mengalami pergerakan lapisan atau patahan tanah. Tapi kebijakan negara belum pernah memetakan wilayah-wilayah rawan bencana secara serius. Tata ruang Indonesia, pusat dan daerah, tak ada yang memetakan rencana tata ruang dan rencana wilayah (RTRW) yang menginformasikan ruang-ruang potensi bencana. Padahal informasi itu sangat penting bagi masyarakat.

Kawasan pertambangan dengan kegiatan pemboran bumi sampai di kedalaman ribuan kaki, seperti pada pertambangan migas, juga harus dipetakan sebagai wilayah rawan bencana. Kasus lumpur Lapindo merupakan contoh kebobolan negara. Padahal dalam kasus serupa di Subang tahun 1982, di Kuala Simpang Aceh, termasuk di Jawa Timur sendiri sumur milik Pertamina, semua kecelakaan pemboran tersebut bisa diatasi. Para ahli pemboran yang pernah bekerja di Pertamina (Robin Lubron dan Mustiko Saleh), Andang Bachtiar, dan Prof. Rudi Rubiandini menyatakan bahwa semburan lumpur Lapindo bisa dihentikan (Jawa Pos, 30/1/2008).

Di sisi lain, terjadi kesembronoan dalam melakukan konversi lahan. Akibatnya fatal. Ambil contoh data Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Pengungsi tahun 2005 menyebutkan tiga bencana yaitu: banjir, kebakaran dan tanah longsor dari tahun 1998 – 2004 terjadi 1150 kali bencana dengan korban kematian 9.900 orang dan kerugian Rp. 5,922 triliun. Di pesisir Jawa misalnya, dalam kurun 1996 hingga 1999 setidaknya terdapat 1.289 desa dilanda banjir. Pada akhir 2003 jumlahnya meningkat menjadi 2.823 desa dilanda banjir. Selain soal penggundulan hutan, hal itu juga disebabkan oleh rusaknya ekosistem pesisir karena konversi lahan dan reklamasi (Equinox Publishing, 2006; Walhi, 2007). Sepanjang tahun 2006, Indonesia panen bencana 364 kali menghasilkan 10 juta warga pengungsi, lebih dari 10 ribu orang meninggal dunia dan harta puluhan triliun rupiah raib (Walhi, 2007). Bencana banjir akibat meluapnya Bengawan Solo di akhir 2007 hingga sekarang, dan banjir di Situbondo, Pasuruan dan Bondowoso juga akibat dari rusaknya hutan serta konversi lahan yang menghancurkan fungsi lahan penyerapan air hujan. Belum lagi soal pencemaran pesisir akibat 80 persen industri di Jawa berada di pesisir Utara Jawa membuang limbah ke laut.

Demi masa depan nasib Indonesia, harus ada reparadigma pembangunan ekonomi, selain pemetaan wilayah rawan bencana. Tak kalah penting, memberikan pelatihan maupun pendidikan tata cara penanggulangan bencana kepada para aparatur pemerintah yang berwenang dan masyarakat sendiri. Penanggulangan bencana dalam perspektif hukum (menurut UU No. 24/2007) tidak sekadar cara mengatasinya, tapi juga pencegahannya (pasal 35), termasuk menetapkan daerah rawan bencana (pasal 32). Jika hal tersebut terlaksana, kerapuhan Indonesia bisa dikurangi, sambil terus membangun ketahanan pangan (termasuk air) dan energi nasional.

Ketahanan Indonesia

Ketahanan Indonesia ditopang kekayaan SDA dan kualitas sumber daya manusia (SDM). Tapi data United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2004 menunjukkan indeks prestasi SDM Indonesia berada di urutan 111 dari 177 negara yang diteliti. Tahun 2007/2008 meningkat sedikit di urutan 107, tetap di kategori medium human development. Contoh ‘ketololan’ itu misalnya tampak pada pengelolaan kekayaan laut. Indonesia hanya mampu mengekspor ikan senilai kurang dari 2 miliar USD per-tahun, padahal Thailand yang tidak punya laut bisa mengekspor sekitar 4 miliar USD per-tahun. Penyebabnya bukan karena tingginya konsumsi ikan oleh rakyat domestik. Tahun 1997 misalnya konsumsi ikan nasional hanya sekitar 19 kg/kapita setiap tahun, lebih rendah dari Vietnam dan Malaysia yang mencapai 33 kg/kapita setiap tahun (Burke, et all, 2002, Walhi 2007).

Mestinya penduduk Indonesia bisa kaya-raya hanya dengan kekayaan laut dan pertanian. Luas lautan Indonesia mencapai dua pertiga wilayah Indonesia, tapi 90 persen nelayannya masih menggunakan alat tradisional, kalah jauh dari para pencuri ikan laut Indonesia. Untuk swasembada pangan (beras) sebenarnya Indonesia hanya membutuhkan kekurangan sekitar 400 ribu hektar sawah padi sistem intensifikasi organik, untuk mengatasi defisit beras nasional. Di Merauke sedang dikembangkan budidaya seluas 1,9 juta hektar (Majalah Tempo, 3-9/12/2007). Di Gorontalo pertanian jagung juga mulai bangkit memakmurkan.

Ironisnya, Indonesia saat ini justru kehilangan kedaulatan pangan dan energi. Kasus balita kurang gizi, busung lapar, konsumsi nasi aking, krisis kedelai, dan lain-lain merupakan bukti ketidakberdayaan pangan Indonesia. Kacaunya APBN akibat meroketnya harga migas dunia yang dijangkar di New York Mercantile Exchange juga merupakan bukti ketidakdaulatan Indonesia atas energi. Salah satu penyebabnya adalah paradigma pembangunan ekonomi yang berorientasi pada ‘kebutuhan luar’ (outward looking oriented), mengabaikan ketahanan nasional. Itu berkaitan dengan resep ekonomi Mafia Barkeley yang termasuk mengabadikan utang Indonesia.

Indonesia harus memahami strategi asing (utamanya korporasi asing) dalam memanfaatkan negara-negara ketiga (Selatan). UNDP menyodorkan realitas dunia bahwa 82,7 persen pendapatan dunia dikuasai oleh 20 persen penduduk kaya di dunia ini (Daniel C. Maguire, 2000). Artinya, 17,3 persen pendapatan dunia dibagi oleh 80 persen penduduk dunia yang mayoritas ada di belahan Selatan. Malapetaka ketidakadilan itu harus diakhiri dengan kecerdikan Indonesia.

Ke depan, politik dan hukum disusun untuk memerkuat kekuatan rakyat sendiri dengan prinsip resources nationalism atau inward looking oriented. Singapura, Malaysia dan China telah memerkuat diri untuk menandingi dominasi korporasi asing dengan memerkuat BUMN mereka yang bahkan bisa merambah ke dunia manapun. Sambil kita terus tak lelah meningkatkan pemberantasan korupsi yang juga menggerus ketahanan Indonesia. Negara maju sedang berhemat atas SDA mereka dan telah mengembangkan energi alternatif (misalnya bioenergi), yang ujung-ujungnya akan membutuhkan bahannya dari Indonesia. Waktunya Indonesia menjadi tuan, bukan terus-menerus menjadi hamba.

Jangan juga lupa, membangun Indonesia adalah meningkatkan kualitas nasib hidup rakyat Indonesia. Kalau membangun dengan cara meracuni dan merusak hidup rakyat, maka itu bukan pembangunan. Harus ada keadilan ekologis untuk ketahanan Indonesia. Jika dikelola dengan benar, bersahabat dengan alam, melimpahnya kekayaan Indonesia tak akan berubah menjadi malapetaka.

Kamis, 21 Februari 2008

Ekologi: Indonesia yang Terjajah

Kasus perusakan lingkungan hidup (ekologi) di Indonesia menunjukkan semakin berat akibatnya bagi masyarakat. Guiness Book of World Record telah mencatat rekor Indonesia sebagai negara paling kencang lajunya dalam merusak hutan di dunia. Setiap tahun Indonesia kehilangan hutan seluas 1,8 juta hektar. Data pemerintah jauh lebih seru, yaitu 2,8 juta hektar hutan hilang per tahun. Kita sudah melihat akibatnya, kematian rakyat kecil berserakan di mana-mana tertimbun longsor dan tertelan banjir akibat hancurnya hutan. Banjir besar dan longsor rata memenuhi Nusantara akibat degradasi fungsi ekologi.

Khusus untuk Jakarta contohnya, tata ruang wilayahnya kacau, tidak memerhatikan konsep pelestarian fungsi ekologi. Bandar udara (bandara) Soekarno-Hatta kacau karena jalan tol terendam, akibat semakin habisnya lahan serapan air di sekitarnya. Ada bangunan pabrik-pabrik dan perumahan semakin meluas. Bandara Soekarno-Hatta terancam dengan penurunan tanah tujuh centimeter (cm) tiap tahun akibat besarnya volume pengambilan air tanah. Permukaan air laut pun naik sekitar 15 cm setiap tahun akibat pemanasan global. Kalau pemerintah akan membangun tol tinggi sebagai jalan akses ke bandara dengan menghabiskan sisa hutan mangrove, bagaimana dengan nasib bandara yang niscaya akan tenggelam itu? Apakah akan meninggikan bandara, berkejaran dengan laju naik air laut dan penurunan tanah Jakarta-Tangerang?

Pengurus negara mestinya harus mulai paham dengan paradigma keadilan ekologi (ecological justice, disingkat ecojustice). Kehancuran ekologi lebih banyak disebabkan besarnya kepentingan pertumbuhan ekonomi, padahal konsideran UU No. 23 Tahun 1997 menegaskan adanya ’perkawinan’ ekonomi-ekologi. Hukum administrasi negara sebagai alat pengatur dan pengendali tak mampu menyelamatkan masyarakat, terpukau dengan prediksi angka pertumbuhan ekonomi tapi tak pernah memprediksi kerugian ekologis yang kini terbukti merusak kalkulasi ekonomi. Neraca ekonomi akan hancur jika neraca lingkungan hancur. Membangun ulang jalan tol atau memindahkan bandara merupakan akibat kerugian ekologis. Berapa banyak uang akan dikeluarkan? Namun, korban yang paling menderita adalah mereka yang berada di kelas bawah dalam stratifikasi sosial (kelompok sosial rentan) yang selama ini selalu disingkirkan dalam konsep pembangunan pertumbuhann ekonomi itu. Sudah tersingkir, miskin, lalu tersapu banjir dan tertimbun longsor.

Peradilan hukum perdata dan pidana pun kesulitan dalam meminta pertanggungjawaban ekologis para elite perusak atau pencemar alam. Konon, menurut penjelasan UUD 1945, Indonesia ini merupakan negara hukum (rechtsstaat). Praktiknya, dalam masalah-masalah kecil, hukum selalu garang kepada rakyat lemah. Justru dalam masalah besar hukum tidak serius menghukum ’orang-orang besar.’ Korporasi besar-besar yang hanya bernafsu mereguk keuntungan tapi menumpahkan racun serta kerusakan lingkungan dan sosial, tidak diberi sanksi hukum yang tegas, padahal konon hukum Indonesia yang bersumber dari Pancasila yang menuju pada keadilan sosial. Pancasila hidup dalam kematian moral para pemujanya.

Hakim dan pengadilan dalam mengadili perkara memang harus memihak, bukan kepada penggugat atau tergugat, bukan kepada penuntut atau terdakwa, tetapi memihak kepada kebenaran dan keadilan. Doktrin hukum Indonesia bukan individualisme, tapi integralisme sosial. Bangunan Indonesia dalam pandangan Prof. Soepomo, salah satu penyusun UUD 1945, merupakan paham negara integralistik. Rakyatnya bersatu dengan pemerintahan untuk mewujudkan cita-cita Indonesia. Kemakmuran dan kebahagiaan bukan milik pribadi-pribadi yang diperoleh dengan cara merusak nasib orang lain. Hukum seharusnya menjadi alat pencegah kejahatan lingkungan hidup, pengendali perilaku, tapi malah berubah menjadi monster sosial, meluaskan lingkungan kematian. Negara demokrasi macam apa yang sedang berjalan ini?

Negara seharusnya segera mengubah paradigma tentang pembangunan ekonomi. Ruang negara ini harus ditata dengan konsep berpadu yang memerhatikan pelestarian fungsi ekologi. Kanal Timur yang dibuat Jakarta hanyalah solusi tambal sulam jika tak menyisakan lahan-lahan penyerapan air hujan. Bogor yang selama ini digunduli juga harus ditata ulang. Diperlukan ketegasan pemerintahan. Jika selama ini pemerintah sadis dalam menggusur masyarakat miskin yang dianggap mengganggu ketertiban, lantas mengapa tidak berani ’menggusur’ rumah-rumah mewah yang merusak fungsi pelestarian lingkungan hidup?

Negara ini sudah ratusan tahun terjajah. Kini setelah merdeka tak mampu menyelamatkan rakyat dari kutukan ketertindasan. Bahkan Indonesia hanya menjadi dapur ekonomi para raksasa dunia. Akibatnya, hanya penderitaan yang menjadi makanan rakyat Indonesia sehari-hari.

Keselamatan ekologis menjadi syarat keselamatan manusia sebab manusia hidup bergantung kepada alam. Kalau Indonesia menoleransi perusakan dan pencemaran alam atas nama pembangunan ekonomi, yang diterima hanya kehancuran, bukan kemajuan. Perangkat hukumnya sudah ada, tinggal ditegakkan!

Sabtu, 16 Februari 2008

Pendidikan: Menebus Dosa, Menolak Balak

Opini Daniel M. Rosyid, pakar dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya (Jawa Pos, 12/1) pada intinya mengonklusikan bahwa bencana yang terjadi di negara ini akibat dari pendidikan yang buruk. Kita patut memberi apresiasi terhadap ‘pengakuan dosa’ dunia pendidikan itu. Asal saja bahwa pengakuan dosa di ruang publik itu tidak bernasib sama dengan pengakuan dosa komunitas hukum yang tak ada manfaatnya sebab tidak mengarah para perubahan moral yang lebih baik. Hukum tanpa integritas moral menyebabkan ‘bencana.’ Begitu pula dengan pendidikan dan demokrasi.

Guru kencing berlari

Sejak Orde Baru setiap siswa diberi pendidikan moral Pancasila (PMP). Karena dianggap gagal maka pendidikan melirik ke belakang, sebelum Orde Baru, memandang pentingnya pendidikan budi pekerti. Jika dilihat substansinya, PMP sesungguhnya adalah pendidikan budi pekerti Pancasila yang digali dari nilai luhur bangsa Indonesia. Setelah Orde Baru runtuh, nasib PMP hilang, berganti dengan pendidikan kewarganegaraan. Moral dicoba untuk dilokalisasi dalam sebuah negara (Indonesia). Padahal, moral bisa hidup tanpa negara, tapi negara akan hancur tanpa moral. Budi baik manusia tak akan terhalang batas negara. Hanya saja, penting menghidupkan nasionalisme yang telah runtuh.

Departemen yang membidangi pendidikan dinamakan Departemen ‘Pendidikan’ Nasional. Tetapi di sekolah-sekolah dilakukan ‘mengajar-belajar’. Hal yang diajarkan diistilahkan ‘matapelajaran’ atau ‘matakuliah’, dan bukan ‘matapendidikan.’ Apa beda pendidikan dengan pelajaran? Saya bukan ahli bahasa, dan ini juga bukan otak-atik kosa kata, tapi mari kita urai rasionalitasnya, sebab kedua terminologi itu menjadi istilah yuridis!

UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mendefinisikan pendidikan berikut (pasal 1 angka 1): “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 3).

Jadi, pendidikan Indonesia juga bermaksud dan bertujuan pada pembentukan moral dan keterampilan dalam konteks kepentingan pribadi, sosial, bangsa dan negara. Jika ada intelektual output sekolah, kampus atau pesantren yang sibuk mengurus diri-sendiri, tapi apatis dengan persoalan masyarakat, bangsa dan negara, berarti intelektual itu produk gagal pendidikan, intelektual yang ‘belum matang’ alias masih mentah. Apalagi jika intelektual itu menjadikan sekolah atau kampus sebagai ‘lembaga ekonomi’ yang memburu profit pribadi atau kelompok.

Proses pendidikan itu menurut UU No. 20/2003 melalui ‘belajar dan pembelajaran.’ Namun perlu diingat bahwa guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya dalam sistem pendidikan nasional disebut sebagai ‘pendidik’, bukan ‘pengajar.’ (pasal 1 angka 6). Konsekuensinya, pendidik tidak hanya ‘mengajari’ ilmu pengetahuan tapi juga menjadi contoh atau teladan bagi para siswa. Maka dalam dunia pendidikan dikenal peribahasa: “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.”

Jika Daniel M. Rosyid mengatakan bahwa ‘mendewakan’ matematika dan sains menjadi (salah satu) buruknya pendidikan di negara ini maka saya berpendapat lain. Menurut saya, persoalannya ada pada praktik pembelajaran ilmu pengetahuan yang dispesifikasi dalam tiap-tiap matapelajaran atau matakuliah di kampus-kampus (yang sudah tepat), tetapi menjauh dari orientasi tujuan pendidikan tersebut. Anak-anak didik selalu didorong sebagai ‘alat pemenuhan kebutuhan pasar.’ Siswa dipersiapkan menjadi ‘obyek’ faktor produksi. Orientasi itu menyebabkan ‘ketidakmandirian.’ Mereka terjebak dalam game theory yang memertaruhkan nasib. Dalam sebuah permainan, mau tidak mau ada yang menang dan kalah. Tak ada win-win games. Mereka tak paham apa itu nasionalisme. Maka, teori permainan di dunia pendidikan adalah pelajaran yang buruk.

Selama ini para siswa belajar matematika dan sains, tapi tak ada penanaman nilai moral atau akhlak mulia (yang bersifat sosial), serta orientasi kemanfaatan matematika dan sains bagi masyarakat, bangsa dan negara. Muncullah produk pendidikan yang tidak memunyai ideologi moralisme dan nasionalisme. Itu masih diperparah lagi dengan tabiat para pendidik yang sering meninggalkan tugas mendidik untuk kepentingan ‘pribadi’ yang akhirnya diketahui para siswa. Jadilah lomba kencing berlari antara guru dengan murid.

Azab

Sistem pendidikan nasional di negara ini termasuk bermaksud membentuk spiritual keagamaan. Para pendidik pasti paham bahwa agama memeringatkan kita bahwa dosa akan berbuah pada azab atau hukuman. Itu hukum Tuhan yang rasional. Dahulu, orang menganggap tak ada korelasi antara asap pabrik atau asap rokok dengan angin puting beliung. Tetapi akhirnya kita semakin dapat mengetahui bahwa asap pabrik dan asap rokok yang terakumulasi dengan penyebab lainnya mengakibatkan pemanasan global sehingga terjadi kekacauan iklim yang juga mengakibatkan angin puting beliung. Tapi para ulama tidak menanamkan pendidikan fikih ekologi yang didasarkan QS Ar.Rum 41. Masyarakat beragama Islam yang mayoritas di negara inipun tak paham apa itu dosa ekologis.

Kita semakin paham bahwa dosa-dosa dalam bentuk pembalakan hutan (legal dan ilegal), keserakahan pengambilan kekayaan bumi, korupsi pembangunan, penataan ruang semata demi uang dan lain-lain telah menimbulkan bencana banjir dan longsor di mana-mana, pulau-pulau kecil tenggelam, pergeseran lempeng bumi yang menimbulkan gempa dan tsunami. Benar ajaran agama yang mengabarkan: jika manusia-manusia baik (berakhlak) membiarkan kemunkaran terjadi maka bencana (azab) yang menimpa tak akan pilih-pilih lagi. Yang baik dan yang munkar tersapu.

Pendidikan yang buruk menciptakan ketidakmandirian, mengarahkan pada pembentukan generasi jongos. Jika China, Malaysia dan Singapura menjadi cerdas, tak hanya menjadi majikan di negara sendiri sebab BUMN mereka merangsek menguasai kekayaan bangsa lain, tapi Indonesia menyerahkan dirinya kepada asing. Bahkan Pertamina pun mengakui dirinya hanya diposisikan sebagai ‘mandor’ atas melimpahnya kekayaan migas di Indonesia. Kata ekonom Faisal Basri, kekayaan migas kita menjelma menjadi kutukan. ‘Dosa’ itu berlanjut pada penyusunan dan penataan ruang serta penatagunaan tanah yang bersifat mencemarkan dan merusak alam karena untuk memenuhi ‘keinginan’ investor. Kemiskinan terpelihara dijadikan kuli tebang dan angkut dalam pembalakan liar.

UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengawinkan pembangunan ekonomi dengan pelestarian ekologis untuk keberlangsungan hidup generasi sekarang dan mendatang, merupakan pedoman pembangunan yang memerhatikan sunatullah. Tapi pedoman itu selalu dibokongi dalam praktik pembangunan sebab output pendidikan yang memegang kendali pembangunan tak pernah paham konsep perkawinan ekonomi-ekologi. Mereka berusaha menceraikannya. Akibatnya bencana. Kita bisa membukukan dalam akuntansi pembangunan, bahwa kita telah menderita kerugian sebab hasil-hasil pembangunan yang kita peroleh selama ini tidak sebanding dengan besarnya kerugian ekonomi, sosial dan budaya, materiil dan imateriil, yang ditanggung masyarakat akibat bencana yang mendera selama ini serta di tahun-tahun mendatang. Azab itu benar-benar menimpa akibat dosa ekonomi, politik, hukum dan sosial.

Jika bangsa ini masih memunyai sisa kesadaran, dosa-dosa itu harus ditebus dengan reorientasi pembangunan, baik dalam bidang pendidikan, politik, ekonomi, sosial, budaya (termasuk hukum di dalamnya) agar tidak menabrak sunatullah, sebagai tolak balak. Kita mbangun nikah, memerbaiki hubungan perkawinan ekonomi-ekologi. Membangun bukanlah menghancurkan, tapi menjadikan keadaan semakin baik. Kebaikan tidak hanya dalam konteks materiil tapi juga spirituil sebagaimana yang dituju dalam sistem pendidikan nasional di negara ini. Kita membangun untuk memenuhi kebutuhan (needs), bukan memanjakan keinginan (wants). Dalam konteks bernegara, bukan bisnis pribadi atau kelompok. Jangan pula konsep ‘kerjasama’ akan menjadi konspirasi kejahatan sebagai yang digambarkan Plato tentang sisi buruk demokrasi, jika menganggap cara bernegara adalah permainan. Kita satu, dalam keragaman, sebagaimana negara ini menurut Prof. Soepomo merupakan faham negara integralistik.

Rabu, 13 Februari 2008

Jasa Besar Rakyat vs Pak Harto

Ketika Pak Harto, orang besar Orde Baru itu dalam keadaan sakit keras, pro-kontra pendapat tentang pemberian maaf kembali bergemuruh. Jasa besar Pak Harto menjadi argumen sentral dan dianggap penting untuk memaafkan Pak Harto. Sayangnya, banyak orang pintar yang mencampur-aduk antara soal pemberian maaf dengan hukum dan keadilan. Runyamnya, gagasan pemberian maaf kepada Pak Harto maunya dibarter dengan jasa besar Pak Harto. Besarnya jasa Pak Harto diukur dengan peran Pak Harto dalam perjuangan memertahankan kemerdekaan, membesarkan Indonesia di jaman Orde Baru saat Pak Harto menjadi presiden.

Suara-suara rakyat kecil di pasar, warung, sawah, tegalan mengomparasikan keadaan kini dengan jaman Pak Harto. Kata mereka, keadaan sekarang lebih sulit dibanding jaman Pak Harto. Itu dijadikan rujukan. Ada juga pemikir yang meminta kita agar tidak menguras energi untuk mikir soal Pak Harto sebab ada masalah yang jauh lebih penting, menghadapi gelombang besar globalisasi. Katanya, lawan kita bukan Pak Harto, tapi negara-negara raksasa, Amerika Serikat (AS) contohnya.


Jasa besar


Di dunia ini, malang benar nasib orang atau rakyat kecil. Meski tubuhnya kering, keringatnya habis terperas dalam peran mereka membangun negara, tapi sangat jarang ada penilai yang kemudian mengusulkan kepada rakyat kecil untuk sekedar memeroleh tanda jasa, meski mereka tak akan pernah berpikir soal tanda jasa. Beberapa waktu lalu di Surabaya ada seorang Kepala Dinas yang diberikan penghargaan atas jasanya untuk mengasrikan, menghijaukan kota. Tapi yang jelas bukan sang Kepala Dinas yang bersimbah keringat mencangkul dan menanam tanaman, juga bukan dia yang masuk ke dalam got atau selokan untuk membersihkannya. Sang Kepala Dinas cukup dengan tongkat wewenangnya bisa menyuruh orang-orang kecil bawahannya, dengan ongkos pekerjaan yang dianggarkan dari uang dan kekayaan rakyat. Lalu semua beres. Jadi, jasa besarnya dinilai dari kepintarannya dalam memimpin, menggerakkan rakyat kecil untuk bekerja keras. Rakyat kecil hanyalah alat, mesin kerja. Kebesaran jasanya diambil-alih oleh pimpinannya.

Silahkan bertanya kepada orang-orang yang mengatakan bahwa Pak Harto berjasa besar: Apa arti jasa dan apa ukuran besar atau kecilnya jasa? Apa beda antara pemenuhan tugas kewajiban kenegaraan atau pemerintahan dengan jasa? Jika seumpama mereka dapat menjelaskan dengan tartil dan tepat, lalu tanyakan: apakah jasa dalam konteks pemikiran agama, moral dan hukum dapat ditukar dengan maaf? Lalu siapa yang berhak memberi maaf: Rakyat semuanya, pemerintah, pengadilan, korban, atau siapa? Bagi kita, sulit untuk memeroleh persamaan perasaan dan pikiran keadilan antara orang yang merasa menjadi korban Pak Harto dengan pihak yang merasa memeroleh jasa Pak Harto. Jika saja hukum memaksakan diri untuk mengabaikan para korban maka terjadilah tirani hukum yang menyumbat akses keadilan.

Selanjutnya kita mesti belajar untuk lebih mendalami tentang arti tugas dan kewajiban sebagai penyelenggara negara dibandingkan dengan arti jasa. Jasa besar Pak Harto dalam perasaan dan pikiran orang-orang yang menganggap demikian, apakah disebabkan oleh peran Pak Harto yang lebih besar dibandingkan kewajibannya sebagai pengurus negara, ataukah memang peran yang dilakukannya itu tugas dan kewajibannya? Jika dalam soal Pak Harto, kasus lumpur Lapindo, perkara korupsi, narkoba dan lingkungan hidup negara ini tak bisa tegas menyelesaikannya, jangan harap bisa menghadapi AS, Cina dan arus globalisasi. Wong ngurus kedelai saja kita seperti keledai, padahal tanah di negara ini teramat luas? Lha kaya minyak tapi juga pusing dengan tingginya harga minyak? Ini republik jungkir-balik. Kalau Rusia punya Vladimir Putin, Indonesia melahirkan ‘Vladimir Pusing.’


Rakyat kecil


Seorang maharaja pun tak akan bisa berbuat apa-apa tanpa bantuan para penasihat dan pembantu di sekelilingnya. Pun tanpa peran rakyat sebagai roda kendaraan negara maka negara tak bisa bergerak maju. Rakyat adalah nyawa dan kunci kekuatan serta kemajuan negara. Pikiran dasar itu sering dilupakan sehingga dengan tergesa-gesa kita menyimpulkan bahwa kebesaran Indonesia jaman Orde Baru merupakan jasa besar Pak Harto. Jika cara berpikir seperti itu kita bawa ke masa depan maka negara ini akan tetap mengalami kelumpuhan sebab rakyat yang menjadi nyawa negara ini kita letakkan di kotak wayang, dianggap bayang-bayang kebesaran para pemimpin negara.

Dengan pemahaman tersebut kita telah mendewakan investor dengan cara menghambakan rakyat dalam pembangunan. Revolusi Hijau jaman Orde Baru dipahami sebagai langkah keberhasilan swasembada pangan Indonesia, padahal investasi pembangunan pertanian yang mengandalkan pupuk kimia (anorganik) menjadi bencana pertanian masa depan, sebab tanah pertanian mengalami kerusakan akumulatif akibat pengasaman. Hari ini para petani menanggung beban ongkos produksi yang tinggi. Jika saja tak segera disadari, bencana pertanian Indonesia akan semakin besar. Belum lagi patenisasi benih akibat kekuasaan investor yang menimbulkan ketergantungan para petani kepada para penguasa paten benih. Negara tunduk kepada investor, rakyat dibiarkan menjadi hamba. Inilah salah satu bentuk tirani korporasi seperti yang dilihat ekonom David Korten (1995).

Indonesia harus kembali ke khitahnya sesuai landasan konstitusional negara ini, UUD 1945. Pengurus negara merupakan pelayan jasa publik, rakyat merupakan pemilik kedaulatan. Jasa besar para pengurus negara merupakan tugas dan kewajiban hukum. Itu tak dapat dipersamakan dengan misalnya seorang sukarelawan sosial yang melayani rakyat meskipun hukum tidak menugaskan dan mewajibkannya. Mulailah menata ruang-ruang negara ini dengan orientasi kebutuhan rakyat, bukan karena kebutuhan para pemodal, sehingga kita tak akan gampang menabrak konsep konservasi ekologis agar dapat menyelamatkan rakyat. Kemajuan apa yang hendak diraih Indonesia jika praktik pembangunannya melahirkan bencana yang membawa kerugian ekonomi, sosial dan budaya setiap detik detak jantung Indonesia?

Kita mesti mulai menengok jasa besar rakyat kecil kepada Indonesia. Mereka biasanya dikorbankan, digusur, digerakkan untuk pembangunan Indonesia. Kita tak akan mampu melawan besarnya gelombang globalisasi tanpa kekuatan rakyat. Kekuatan rakyat adalah ketahanan mereka. Syukur-syukur investasi rakyat Indonesia bisa merambah ke luar Indonesia, untuk menjadi sahabat baik asing, bukan menjajah. Seperti dalam politik, mungkin tak ada sekutu abadi dalam ekonomi. Investor akan kembali ke asalnya jika hajatnya selesai. Seharusnya bukan Indonesia yang dimanfaatkan mereka, tapi mereka bermanfaat untuk Indonesia. Rakyatlah merupakan sekutu abadi negara. Mulailah bekerja dengan rakyat, tidak dengan cara membohongi, menipu dan mengorbankan rakyat. Kasus Pak Harto menjadi pelajaran. Hanya bangsa bodoh yang tak mau dan tidak mampu belajar. Lebih bodoh lagi jika tetap bodoh setelah belajar.

Rabu, 06 Februari 2008

Pak Harto, Bapak Utang

Pembangunan dibiayai utang, kata Koalisi Anti Utang (KAU). Utang luar negeri Indonesia mengabadi karena Indonesia disetir Mafia Barkeley dalam skenario neoimperialisme. Indonesia terjebak dalam rentenirisasi global, memberi makan bangsa-bangsa Barat dengan mencekik leher Indonesia sendiri.

APBN didisain defisit, dan harus membayar pokok serta bunga utang setiap tahun, dipaksa menerima utang program serta membeli jasa maupun barang asing. Utang itu juga dengan kompensasi pembebasan investasi asing mengeruk kekayaan strategis Indonesia. Jangan heran jika minyak goreng harganya mencekik leher rakyat Indonesia padahal hutan kita habis untuk termasuk kebun sawit. Jangan heran kalau menjadi bangsa keledai dalam mengurus kedelai yang impor dari Amerika Serikat dan asing lainnya. Dan lain-lain.

Itulah model pembangunan yang dilakukan Pak Harto dan kesengsaraan sebagai akibatnya diwarisi rakyat Indonesia sekarang dan di masa depan. Jadi, kalau memberi gelar Pak Harto harus lengkap: "Bapak Pembangunan" dengan cara menjadi "Bapak Utang".

Pak Harto hanyalah salah satu komprador yang dikelilingi oleh komprador dari komprador yang menjual Indonesia demi jabatan dan kekayaan pribadi.

Jadi, membereskan ekonomi Indonesia harus dengan cara memutus rangkaian Mafia Ekonomi yang berakar di Barkeley, sebagai bagian dari skenario Bretton Woods Amerika Serikat tahun 1944.

Mafia itu pula kini menguasai negara ini dan doktrinnya mengakar di kampus-kampus ekonomi. Siapa bisa menghentikan itu? Kalau Indonesia menjadi masyarakat yang tak tahu atas ketidaktahuan mereka maka harus dibangun pengetahuan mereka agar menjadi masyarakat yang tahu.

Indonesia kaya, tapi mengenaskan. Itu ironis. Harus dirombak. Jika tak bisa, harus ada social engineering melalui pendidikan yang benar. Biar yang tua mati membawa dosa-dosa yang tak mau dipertobatkan, asalkan para muda terlepas dari kekuasaan alam pikiran sesat: terjajah tapi merasa merdeka, atau merdeka dalam jalan kegelapan.

Contohlah Venezuela, Argentina, Bolivia, Rusia dan Iran, dengan cara Indonesia. Pancasila merupakan pedoman yang hidup dalam kematian. Mestinya Pancasila hidup dalam kehidupan.

Sabtu, 02 Februari 2008

Setan Anggota Kursus Istighosahan

Dulu saya baca tulisan Gus Dur dimuat Koran SINDO tentang draklula anggota ICMI. Maka saya juga niru ah,... bikin cerita seperti Gus Dur.

Begini: Beberapa waktu lalu ada para siswa Madrasah Tsanawiyah di .... (rahasia!).. yang kesurupan, berteriak-teriak. Lalu Kepala Sekolah minta tolong kepada salah satu kyai yang dikenal jago mengusir setan. Di duga siswa-siswi yang kesurupan itu disusupi setan.

Lantas si kyai membaca surat-surat dan doa-doa. Eh... nggak tahunya siswa-siswi kesurupan itu malah tertawa-tawa. Katanya itu tawa setan-setan yang menyusupi mereka.

"Eh, assalamu'alaikum Kyai! Mana aku takut dengan ayat-ayat dan doa yang kamu ucapkan. Lha wong kami ini pernah kursus istighosahan di tempatnya Gus Dur. Jadi, sudah biasalah dengar ayat-ayat dan doa-doa seperti itu!" kata para setan melalui mulut para siswa-siswi yang kesurupan.

Si Kyai kebingungan. Akhirnya, ada akal. "Hai mas-mas dan mbak-mbak setan! Kalian salah masuk ke tubuh anak-anak sekolah itu! Ada yang lebih cocok lo!" kata si Kyai.

"Ke mana lebih cocok Kyai?" tanya para setan di tubuh para siswa itu.

"Di tubuh anggota DPR dan DPRD, yang suka ngembat uang rakyat!" jawab si Kyai.

"Ah, kalau itu sih sama aja. Kami masuk aja ke tubuhmu, sebab para kyai kan mulai banyak yang korupsi," jawab para setan.

Akhirnya para setan itu menyusup ke tubuh kyai itu, dan gantian si kyai yang kesurupan.

Kwekkwekkwek......

Subagyo 2/2/2008.