Rabu, 06 Februari 2008

Pak Harto, Bapak Utang

Pembangunan dibiayai utang, kata Koalisi Anti Utang (KAU). Utang luar negeri Indonesia mengabadi karena Indonesia disetir Mafia Barkeley dalam skenario neoimperialisme. Indonesia terjebak dalam rentenirisasi global, memberi makan bangsa-bangsa Barat dengan mencekik leher Indonesia sendiri.

APBN didisain defisit, dan harus membayar pokok serta bunga utang setiap tahun, dipaksa menerima utang program serta membeli jasa maupun barang asing. Utang itu juga dengan kompensasi pembebasan investasi asing mengeruk kekayaan strategis Indonesia. Jangan heran jika minyak goreng harganya mencekik leher rakyat Indonesia padahal hutan kita habis untuk termasuk kebun sawit. Jangan heran kalau menjadi bangsa keledai dalam mengurus kedelai yang impor dari Amerika Serikat dan asing lainnya. Dan lain-lain.

Itulah model pembangunan yang dilakukan Pak Harto dan kesengsaraan sebagai akibatnya diwarisi rakyat Indonesia sekarang dan di masa depan. Jadi, kalau memberi gelar Pak Harto harus lengkap: "Bapak Pembangunan" dengan cara menjadi "Bapak Utang".

Pak Harto hanyalah salah satu komprador yang dikelilingi oleh komprador dari komprador yang menjual Indonesia demi jabatan dan kekayaan pribadi.

Jadi, membereskan ekonomi Indonesia harus dengan cara memutus rangkaian Mafia Ekonomi yang berakar di Barkeley, sebagai bagian dari skenario Bretton Woods Amerika Serikat tahun 1944.

Mafia itu pula kini menguasai negara ini dan doktrinnya mengakar di kampus-kampus ekonomi. Siapa bisa menghentikan itu? Kalau Indonesia menjadi masyarakat yang tak tahu atas ketidaktahuan mereka maka harus dibangun pengetahuan mereka agar menjadi masyarakat yang tahu.

Indonesia kaya, tapi mengenaskan. Itu ironis. Harus dirombak. Jika tak bisa, harus ada social engineering melalui pendidikan yang benar. Biar yang tua mati membawa dosa-dosa yang tak mau dipertobatkan, asalkan para muda terlepas dari kekuasaan alam pikiran sesat: terjajah tapi merasa merdeka, atau merdeka dalam jalan kegelapan.

Contohlah Venezuela, Argentina, Bolivia, Rusia dan Iran, dengan cara Indonesia. Pancasila merupakan pedoman yang hidup dalam kematian. Mestinya Pancasila hidup dalam kehidupan.

Tidak ada komentar: