Senin, 13 Juni 2016

Cara Menghormati Bulan Ramadhan

Cara menghormati bulan Ramadhan ini hanya berlaku bagi umat Islam sendiri, dan bukanlah diperuntukkan untuk mengharuskan umat nonmuslim untuk begini dan begitu. Jika ada nonmuslim yang tidak menghormati bulan Ramadhan, ya memang bukan kewajibannya. Jika ada nonmuslim menghormati bulan Ramadhan, berarti orang itu telah bersikap dan bertindak luar biasa, melampaui kewajibannya. Perintah puasa hanyalah kepada mereka yang percaya (beriman), tidak untuk mereka yang tidak terikat dalam akidah Islam. Lagipula, dalil agama Islam yang mana yang mengharuskan nonmuslim harus hormat kepada bulan Ramadhan?

Sebelum saya bicara (eh, nulis ya) tentang cara menghormati bulan Ramadhan, saya mau sedikit bercerita tentang model masyarakat di Desa Banggle, Kecamatan Lengkong, Kabupaten Nganjuk. Maaf, desa itu belum masuk peta Google Map mungkin, jadi ya sulit mencarinya, wong letaknya di tengah hutan. Mengapa saya pilih model di Desa Banggle? Iya itu desa tempat saya dilahirken. Ya itu terserah saya, milih model di mana, wong saya penulisnya.

Pada waktu saya masih kecil, sekitar tahun 1978-an, sebagai anak orang abangan yang miskin dan buta huruf, saya ikut-ikutan mengaji dan shalat di masjid kecil (kami menyebutnya “langgar”) di Desa Banggle. Namanya juga ikut-ikutan, bukan diprogram orang tua, ya begitulah. Orang tuaku sendiri nggak ngerti huruf Arab, dan bahkan baca surat Al Fatihah saja nggak bisa. Mereka ini Islam KTP. Malah ketika saya mahasiswa, saya nasihati bapakku agar mau mengerjakan shalat, lah tapi saya malah dinasihati begini: “Kamu tahu apa nggak kalau orang shalat itu menyembah kepada Gusti Allah? Kamu tahu artinya Gusti? Gusti itu artinya adalah bagusnya hati (bagusing ati). Jika hatimu sudah bagus, kamu baik kepada semua orang, gak neko-neko, maka kamu sudah menyembah Gusti Allah. Tapi jika kamu masih gak bener hidupmu, suka bohong, suka nipu, menyakiti hati orang lain, lha ya percuma saja kamu shalat jengkang-jengking.” Alamak jang…. Maksud hati mau ngajak doi shalat, malah kena ceramah filsafat ndesonya. Ya sudahlah.

Kembali ke Banggle di masa kecilku. Ketika saya sudah ngaji, mulai kelas 2 SD, saat itu sudah tertanam akidah di dalam hatiku. Meski mungkin ya baru sak nil. Pada waktu itu jumlah santri di Desa Banggle masih sedikit, minoritas. Mayoritasnya ya orang abangan Islam KTP. Istri dari Kang Abdul Haji - bernama Mbak Indayati - mengistilahkannya ISLAM SUWINTI, yakni menjadi kelihatan Islam hanya pada saat SUnat (khitan), kaWIN dan maTI. Khitan berarti menjalankan sunah agama, kawin membaca syahadat, dan mati dishalati serta ditahlili. Itulah orang Islam Suwinti. Makanya kalau punya anak jangan dinamai Siti Suwinti!

Dalam kesehariannya tidak semua orang abangan alias muslim KTP itu bersikap baik. Kadang ada kata-kata yang memerahkan telinga. Suatu saat saya dihina oleh orang yang umurnya lebih tua dari saya. Nggak usah kusebut namanya ya. Dia bilang begini: “Buat apa kamu shalat jengkang-jengking?” Saya jawab, “Shalat itu menyembah Gusti Alloh.” Sungguh menyakitkan hati dia bilang, “Mana Gusti Allohmu? Suruh Dia ke sini! Mau saya bakar!”

Siapa yang nggak perih hatinya, Tuhannya dihina seperti itu? Tapi haruskah saya tempeleng mukanya? Ya nggaklah, saya bisa kalah, wong dia lebih gedhe. Tapi ketika hal begitu kami adukan ke guru ngaji kami, Kang Abdul Haji, dia hanya bilang, “Astaghfirulloh! Masak sampai begitu? Ya sudahlah, semoga hatinya kelak dibuka oleh Alloh!”

Saat saya puasa di bulan Ramadhan sudah biasa di pagi dan siang hari melihat orang makan di mana-mana, di warung, di sawah, dan bahkan orang di rumahku pun, termasuk bapak ibuku yang abangan ya makan juga di rumah. Masak saya mau bilang mereka, “Hormati bulan Ramadhan! Kalau mau makan, ngumpet saja!”

Hal demikian itu kami anggap biasa saja. Bahkan seingat saya, di desa-desa lainnya di Kecamatan Lengkong, ya hampir-hampir sama, mayoritas orang berkegiatan dan makan di siang hari di bulan Ramadhan dengan bebas dilihat oleh mereka yang berpuasa. Ya nggak ada yang ribut. Saya pun diledeki oleh orang abangan yang biasa meledek para santri. Dia bilang, “Kamu dibohongi sama orang Arab! Lha siang waktunya makan enak-enak kok disuruh puasa! Dapet apa kamu?” Nah, lha……. Paling saya cuma cengar-cengir, dan berdasarkan teladan Kang Abdul Haji, guru ngaji saya yang pernah berguru di Pesantren di daerah Nganjuk bagian Selatan (aku lupa nama Pesantrennya) maka saya dalam hati hanya berdoa, “Semoga kamu diberikan hidayah oleh Alloh!” Biarkan saja orang seperti itu. Jika Tuhan lalu memberinya petunjuk ya alhamdulillah. Kalau Tuhan nggak ngasih petunjuk, ya paling nanti mati-mati sendiri kalau sudah waktunya. Nggak usah dipikiri mendalam. Dulu di internet ada grup-grup yang membenci Islam, menghina Nabi Muhammad dari berbagai model hinaan. Toh akhirnya ya capek-capek sendiri. Koit juga. Kalau kau percaya Tuhanmu itu benar-benar Tuhan, buat apa kau risau bahwa Tuhan tak mampu menegakkan kehormatanNya sendiri? Meskipun seluruh isi alam semesta menghina Tuhan, lha Tuhan sendiri lo santai-santai saja.
Mungkin loh ya….mungkin….. orang-orang muslim yang dibesarkan di lingkungan heterogen sejak kecil, apalagi menjadi minoritas, yang biasa menerima penghinaan secara akidah sejak kecil, tidak akan mudah tersinggung. Seperti Nabi Muhamamad saat mulai berdakwah terang-terangan di Mekkah menjadi minoritas malah menghadapi tekanan, dihina-hina dan mendapatkan ancaman-ancaman pembunuhan. Tapi saat Islam menjadi besar dan berkuasa dari pusatnya di Madinah, beliau tidak membalas dendam kepada penduduk Mekkah yang memusuhinya saat penduduk Mekkah menyatakan berdamai dengan beliau. Saat Nabi Muhammad di Madinah, setiap hari dicaci-maki orang Yahudi yang buta – dalam kisah yang sudah terkenal itu – Nabi dengan kesabaran beliau setiap hari menyuapi makan si Yahudi buta itu hingga Nabi lebih dulu meninggal dunia. Akhirnya si Yahudi buta menyesal setelah tahu bahwa selama ini yang setiap hari dengan baik menyuapinya makan adalah Nabi Muhammad.

Orang Islam yang sejak kecil hidup di lingkungan homogen relijius, yang tak bersinggungan dengan dunia lintas akidah, dan tidak berbekal pengalaman-pengalaman atau ajaran tentang dialektika dan kontra-iman, mungkin akan kaget ketika suatu saat menerima semacam penghinaan atau suasana heterogen yang tak seideal yang dibayangkannya. Bahkan mereka mendistorsi moral hanya pada soal seksual, perkawinan, makanan, minuman, dan ibadah-ibadah ritual. Mereka tak punya bayangan bahwa moral juga terkait cara manusia berelasi dengan orang lain yang seiman dan tak seiman. Mereka menganggap bahwa menghargai bulan Ramadhan itu boleh dengan memusuhi orang-orang kecil yang makan dan berdagang makanan di siang hari di pinggir-pinggir jalan, dengan tuntutan agar orang-orang itu menghormati bulan Ramadhan. Sejak kapan nilai penghormatan terhadap bulan Ramadhan itu bisa diperoleh dengan jalan paksa, penindasan dan bukan atas kesadaran yang dibangun dengan rendah hati dan kasih sayang?

Bahkan sebenarnya cara berelasi dengan orang lain baik seagama dan tidak seagama justru menjadi salah satu ukuran stabilitas akidah (imannya). “Barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan Hari Akhir maha hendaklah memuliakan tamu, menghormati tetangga, berkata-kata yang baik!” Begitu kata Nabi Muhamamad. Kalau engkau tak menghargai tamumu, tak menghargai tetanggamu – meski tetanggamu itu tidak puasa –, perkataan-perkataanmu didominasi oleh ketidakbaikan, maka imanmu diragukan oleh junjungan Baginda Nabi Muhamamad! Jangan-jangan imanmu palsu! (Saya juga kadang masih memaki-maki; berarti akidahku juga mungkin kurang stabil).

Engkau seorang muslim sedang berpuasa Ramadhan, punya tamu nonmuslim yang miskin gak punya makanan, datang dari jauh, lalu apakah kau akan bilang, “Maaf kami tak punya makanan sebab sedang berpuasa, dan untuk menghormati Ramadhan maka di rumah kami tidak diadakan acara makan di siang hari. Jadi kami tak menyuguhi Anda makan dan minum.” Berarti engkau lebih menghargai bulan Ramadhanmu dibandingkan menghormati tamumu. Masalahnya, Nabi Muhammad tidak pernah bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Alloh dan Hari Akhir, hendaklah ia menghormati bulan Ramadhan.” Kalau misalnya ada yang menemukan hadits semacam itu, tolong saya yang fakir ilmu ini diberitahu!

Jadi, kalau hanya soal orang lain katakanlah pamer-pamer makanan di depan muslim yang sedang berpuasa, emang itu masalah? Dari sudut mana kita menganggapnya sebagai masalah? Itu mah soal kecil. Malah jika kau menilai bahwa orang-orang di sekitar kita adalah para tetangga yang wajib kita hormati, maka hormatilah mereka! Rugi besar, buang-buang waktu kalau muslim menyoal hal-hal yang tidak substantif itu. Memang Alloh Tuhannya umat Islam mewajibkan nonmuslim untuk menghormati Ramadhan? Percaya kepada agama Islam saja tidak, bagaimana disuruh patuh kepada Alloh Tuhannya umat Islam?

Kalau ada muslim sendiri yang mokong tidak puasa dan dia pamer-pamer makan di depan orang berpuasa, ya anggaplah dia itu Abdul Sun Go Kong yang diutus Tuhan untuk menggodamu. Santai saja! Wong Tuhan saja diimani katanya menciptakan Iblis dan setan untuk menggoda manusia. Lalu apa yang diperintahkan Alloh SWT dalam melawan Iblis dan setan? Apa kita disuruh membunuh Iblis dan setan, atau bagaimana? Yang diajarkan Alloh adalah manajemen pengelolaan pertahanan diri. Tuhan mengajarkan doa, “A’uudzubillaahi minasysyaithoonirrojiim!” Sudah harga mati bahwa orang beriman tak akan pernah bisa membunuh setan dan iblis. Bahkan manusia bisa menjadi setan bagi dirinya sendiri.

Jika engkau ingin menyusun hukum sebagai sarana menghormati bulan Ramadhan, maka susunlah hukum itu sebagai konsensus atau kesepakatan di antara warga, bukan sebagai hukum yang menindas. Sebelum hukum itu ditetapkan, undanglah masyarakat untuk berembug, berdiskusi, guna merumuskan kesepakatan tentang perbuatan apa saja yang tidak boleh dilakukan dan yang harus dilakukan. Jika rumusan hukum tersebut terdapat pihak-pihak yang paling dirugikan, lalu apa solusinya bagi mereka yang dirugikan, misalnya kaum ekonomi lemah yang bisa kehilangan penghasilan karena bisanya hanya berdagang di siang hari sehingga masyarakat muslim yang mempunyai bulan Ramadhan mampu menghormati bulan Ramadhan dengan cara mencukupi mereka yang kekurangan. Bukankah bulan Ramadhan juga bulan penggalangan zakat, infaq dan shodaqoh untuk mereka yang kekurangan, dan mengapa harus dibalik menjadi bulan yang memenggal leher akses ekonomi masyarakat yang kurang mampu?

Umat Islam juga tidak perlu mencari padanan dengan Perda-Perda tentang masyarakat mayoritas Kristen di Papua ataupun bagaimana Hukum Adat Nyepi yang cuma sehari di Bali. Islam mempunyai ukuran sendiri dan tidak akan mencontoh model lain. Jika perlu umat Islam seharusnya memberikan contoh yang lebih baik. Apalagi membandingkan aturan tentang “larangan berkegiatan ekonomi sehari” dengan aturan “larangan berkegiatan ekonomi sebulan” ya jelas tidak sepadan.

Menghormati bulan Ramadhan sebenarnya adalah adanya usaha-usaha yang sungguh-sungguh kaum muslim untuk mencapai tujuan puasa, yakni la’alakum tattaqquun (agar kalian menjadi orang bertakwa). Maka, coba tengoklah bagaimana ciri-ciri al-muttaqiin (orang bertakwa) itu? Cari sendiri – setidaknya itu ada di awal surat Al-Baqoroh! Yang jelas diantara ciri orang bertakwa itu tidak termasuk orang yang eksklusif secara relasi sosial, yakni termasuk berambisi agar agamanya dihormati umat lain tapi dengan cara-cara yang ribut-ribut.


Kalau kaum terpelajar muslim modern masih kalah sikap inklusifnya dengan guru ngaji kami, Kang Abdul Haji, yang ada di tengah hutan jati, kok ya kebangetan.