Minggu, 05 Mei 2013

Menindas Esensi Keadilan dalam Kasus Susno


Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) memutuskan bahwa Komjen Pol (pur) Susno Duadji terbukti bersalah dalam kasus korupsi PT Salmah Arowana Lestari dan korupsi dana pengamanan pilkada Jawa Barat. Mantan pembesar Polri itu divonis 3,5 tahun penjara. Kini Susno dinyatakan sebagai buron oleh kejaksaan setelah membangkang dari eksekusi.

Prof Yusril Ihza Mahendra dan "pasukan" Hizbullah dari Partai Bulan Bintang membantu pasukan polisi dalam "mengamankan" Susno dari jaksa eksekutor. Susno memasang dua dalih: Pertama, putusan pengadilan tidak mencantumkan perintah untuk tetap menahan Susno, sebagaimana ditentukan pasal 197 ayat (1) huruf 'k' KUHAP, berakibat putusan batal demi hukum. Kedua, pengadilan keliru dalam menulis nomor putusan kasus Susno.

Upaya penggagalan eksekusi kasus korupsi itu semestinya membuat lebih malu dunia hukum. Apalagi, alasan yang dikemukakan terhadap kelalaian mencantumkan pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP tersebut. Ketentuan itu telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya nomor 69/PUU-X/2012. 

MK memutuskan: "Pasal 197 ayat (1) huruf 'k' Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang a quo mengakibatkan putusan batal demi hukum." Artinya, tidak dicantumkannya perintah untuk tetap menahan terdakwa dalam suatu putusan hakim tidak menyebabkan putusan tersebut batal demi hukum. 

Latar belakang putusan MK tersebut adalah adanya Putusan MA No 1444K/Pid.Sus/2010 tanggal 8 Oktober 2010 dalam kasus eksploitasi kawasan hutan di Kalsel dengan terpidana Parlin Riduansyah, yang putusannya juga tidak mencantumkan perintah agar Parlin tetap ditahan. Prof Yusril dan kawan-kawan selaku kuasa hukum Parlin mengajukan uji materiil ketentuan pasal 197 KUHAP tersebut ke MK. Namun, MK menolak permohonan tersebut dan MK membuat tafsir konstitusional terhadap pasal tersebut. Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP justru dieliminasi oleh MK selama ketentuan itu diartikan sebagai penyebab batalnya putusan pengadilan.

Mengapa Prof Yusril yang pernah berproses dalam terbitnya putusan MK tersebut seolah-olah tutup mata? Sebagai praktisi hukum, bolehlah saya mengemukakan pertanyaan mendasar: "Apakah untuk menyatakan batalnya suatu putusan pengadilan, boleh dilakukan dengan cara penghakiman sendiri, tanpa memerlukan suatu putusan pengadilan yang berwenang membatalkan putusan pengadilan yang dianggap batal tersebut?" 

Jika setiap orang bisa membatalkan putusan pengadilan yang dianggapnya batal, kacaulah hukum di negara ini. Mereka lalu membangkang dari eksekusi dengan mengerahkan orang banyak. Perbuatan pelanggaran hukum semacam itu tidak dapat dibiarkan begitu saja. Termasuk aparat kepolisian yang membekinginya. 

Dalam kajian-kajian ilmu hukum di kampus-kampus selalu diajarkan tentang kenyataan ketidaksempurnaan hukum yang tertulis, sehingga membutuhkan para penegak hukum yang baik guna menyempurnakan hukum. Jika praktiknya ternyata sebaliknya: siapa profesor yang mengajarkan untuk menjadikan ketidaksempurnaan hukum tertulis itu sebagai dalih untuk melindungi para penjahat negara? 

Orang mungkin boleh curiga terhadap kekeliruan penulisan nomor putusan dalam kasus Susno, dalam korelasinya dengan praktik jahat mafioso hukum di negara ini. Namun, kekeliruan dalam menuliskan nomor putusan itu, disengaja atau tidak sengaja, bukanlah hal yang substansial untuk menggugurkan materi perkara yang penting, yakni kasus korupsi dalam kasus Susno dan kasus lain. 

Jika Anda hendak menelepon seseorang, ternyata keliru memencet nomor teleponnya, Anda bisa meminta maaf kepada orang yang keliru itu, lalu mengulanginya dengan memencet nomor yang benar. Urusan selesai. Semua orang bisa memahami bahwa keliru dalam menuliskan nomor itu dapat dikoreksi menjadi lebih benar. Kami yang biasa praktik di pengadilan biasa mengalami kekeliruan begitu, dan dapat dikoreksi. Itu disebut clerical error yang tidak mengubah substansi perkaranya. 

Jika cara pikir mazhab formalis sempit diikuti, siap-siap ada banyak penjahat yang tidak dapat dihukum hanya dengan alasan "salah ketik". Ini sebuah alasan yang sama sekali tidak keren. 

Prof Satjipto Rahardjo almarhum, pakar hukum yang dikenal berintegritas, bahkan memandang perlunya "menabrak" formalitas-formalitas yang bersifat menghalang-halangi dalam upaya menegakkan keadilan substansial. Dari perspektif praktik hukum, M. Yahya Harahap, mantan hakim agung, yang buku-bukunya dijadikan pedoman para mahasiswa dan praktisi hukum itu, juga menekankan agar soal "salah ketik" tidak dijadikan alasan untuk meruntuhkan substansi perkara. 

Mazhab pemikiran formalis yang mencari celah kekhilafan tidak esensial adalah musuh keadilan itu sendiri. Coba tanya ke siapa pun, apakah para penjahat negara boleh dibebaskan hanya dengan alasan "salah ketik" dan karena alasan-alasan formal? MK sebagai lembaga penafsir konstitusi sudah menjawab "tidak"! 

Dimuat di Jawa Pos, 01 Mei 2013