Rabu, 10 September 2008

KEBEBASAN PERS, HUKUM, HAM DAN MASYARAKAT

Kejadian-kejadian yang menimpa pers belakangan ini, terkait dengan vonis pengadilan kepada insan pers akibat pemberitaan yang diduga “mencemarkan nama baik”, menunjukkan indikasi bahwa hukum belum berbuat banyak untuk melindungi kebebasan pers - terlepas benar atau tidaknya tuduhan tersebut - sebab cara-cara yang digunakan untuk menyelesaikan perkara pers masih cara yang konvensional.

Saya setuju untuk diadakannya mekanisme atau prosedur khusus dalam penyelesaian sengketa atau perkara di bidang pers, agar pers tidak gampang digeret-geret ke pengadilan, mengingat fungsi pers yang sangat strategis sebagai wahana komunikasi dan kontrol sosial. Apalagi sesungguhnya pengadilan itu adalah suatu jalan yang paling akhir (ultimum remidium) ketika jalan kooperatif menemui jalan buntu.

Namun yang menjadi persoalan adalah, apakah sistem hukum positif kita telah mendukung gagasan dan upaya itu? Apakah kualitas penegak hukum Indonesia telah mampu untuk memahami fungsi kebebasan pers (meskipun tidak dalam arti bebas tanpa batas)?


Lex specialis?


Banyak argumen yang mengatakan bahwa Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) merupakan lex specialis, sehingga seluruh kasus-kasus pers harus diselesaikan menurut UU Pers. Kalangan pers mengartikan bahwa sengketa atau perkara tentang pemberitaan pers harus melalui prosedur Hak Jawab.

Kalau dilihat secara utuh muatan UU Pers, sebenarnya tidak ada satupun ketentuan yang secara jelas mewajibkan ditempuhnya prosedur Hak Jawab. Batang tubuh UU Pers praktis hanya menyebut di dalam pasal 1 angka 11 tentang definisi Hak Jawab dan pasal 5 ayat (2) mengenai kewajiban pers untuk melayani Hak Jawab.

Hak Jawab merupakan semata-mata “hak” bagi subyek yang diberitakan dan merupakan “kewajiban” bagi pers untuk melayani permintaan Hak Jawab. Hak Jawab yang diatur dalam UU Pers tidak meliputi “prosedur”. Artinya, kalau sesuatu pihak mau menggunakan Hak Jawabnya maka pers harus melayani. Jika tidak mau melayani Hak Jawab maka pihak yang bertanggung jawab secara pidana adalah perusahaan pers dan bukan wartawan atau redakturnya (pasal 5 ayat 2 tersebut).

Dalam hal tersebut, jika ternyata pihak yang merasa dirugikan dalam suatu pemberitaan pers tidak menggunakan Hak Jawab dan langsung menempuh upaya hukum, maka tidak ada satupun ketentuan di dalam UU Pers yang dapat menjadi penghalang, sebab – sekali lagi – UU Pers tidak mengandung ketentuan rincian prosedur penyelesaian sengketa pers dengan masyarakat.

Jadi, dalam konteks hukum positif sesungguhnya argumen yang “mewajibkan” prosedur Hak Jawab dalam penyelesaian perkara pemberitaan pers, juga masih lemah. Pewajiban penggunaan Hak Jawab lebih dulu hanya dapat dijalankan dengan cara membuat kesepakatan penyeragaman penafsiran yang dirumuskan dalam kesepakatan antar penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung) yang selanjutnya dijadikan petunjuk pelaksanaan (juklak) dalam menangani kasus-kasus pers.

Bicara soal lex specialis, maka harus dihadapkan pada lex generalis-nya. Kalau kita bicara tentang “pencemaran nama baik” maka hal itu sudah jelas diatur di dalam Bab XVI KUHP dan pasal 1372 s.d. 1380 KUHPerdata sebagai lex generalis. Marilah kita hadapkan pada UU Pers yang selama ini dipersepsikan sebagai lex specialis-nya. Ternyata ketentuan pidana di dalam UU Pers yang berkaitan dengan “pencemaran nama baik” terdapat di dalam pasal 18 ayat (2) yang menentukan tanggung jawab hukumnya ada pada perusahaan pers.

Kalau hal itu dianggap lex specialis, ternyata tidak menghapuskan sama sekali tanggung jawab pidanannya sebagaimana ditentukan pasal 18 ayat (2) UU Pers tersebut. Artinya, pidana pencemaran nama baik pers tidak lagi menggunakan BAB XVI KUHP, tapi menggunakan PASAL 18 ayat (2) UU Pers tersebut, yang mewajibkan pers menghormati asas praduga tak bersalah dan tidak memasang iklan yang merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.

Tetapi perbedaan penafsiran oleh pengadilan tampak dari putusan-putusan dalam kasus Tempo dan Radar Jogja, yang berbeda dengan yurisprudensi dalam kasus Harian Garuda yang mewajibkan adanya penggunaan Hak Jawab dalam kasus perdata untuk membantah berita yang dirasa merugikan (sengketa antara Harian Garuda dengan PT. Anugerah).

Setelah itu Tempo juga pernah memenangkan perkara tuduhan pencemaran nama baik di tingkat Mahkamah Agung (MA). Tetapi MA juga pernah menghukum (perdata) Times atas gugatan Soeharto. Hal itu berkaitan dengan sistem hukum di Indonesia tidak mewajibkan para hakim untuk tunduk pada yurisprudensi. Ini termasuk yang menjadi penyebab timbulnya ketidakpastian hukum tersebut. Meski MA mempunyai setumpuk yurisprudensi tetapi tak kuasa untuk memaksa para hakim mematuhi yurisprudensi itu.


Hukum Pers dan HAM

Kalau misalnya para hakim mampu memahami sejarah serta makna kemerdekaan pers maka tidak sulit untuk membuat kesatuan penafsiran tentang makna kebebasan pers yang sesungguhnya juga dijelaskan dalam penjelasan UU Pers. Tapi kebanyakan hakim adalah “corong undang-undang” sebab kurang mampu memahami nilai-nilai keadilan dalam hukum moderen untuk menghormati pers yang di dalam dunia masa kini kedudukannya telah disetarakan dengan lembaga-lembaga negara (pilar keempat setelah lembaga legislatif, eksekutif dan yudisiil). Pasal 2 UU Pers menentukan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

Lalu, apakah berarti pers sewaktu-waktu memang gampang untuk dituntut melalui pengadilan? Selama ketidakpastian hukum tersebut masih berlangsung, maka tentu saja pers gampang berurusan dengan institusi penegak hukum, dan itu akan menjadi praktek buruk sebab setelah pers berhasil dibebaskan dari cengkeraman lembaga eksekutif-administratif (Departemen Penerangan), sekarang malah diborgol oleh vonis-vonis pengadilan dalam keadaan hukum yang masih gelap.

Oleh sebab itu, saat ini perjuangan dalam rangka memaksimalkan kemerdekaan pers perlu ditempuh ke arah amandemen UU Pers. Mengapa? Sebab kita telah melihat kenyataan bahwa kualitas penegak hukum kita terletak pada kemampuan “baca huruf” daripada “baca makna”. Perlu adanya desakan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyempurnakan UU Pers, terutama menyangkut aturan yang prosedural berkenaan dengan penyelesaian sengketa pers. UU Pers yang baru perlu mengatur secara tegas, apakah KUHP dan KUHPerdata dipergunakan atau tidak, dalam perkara-perkara pers.

Kita tidak akan membuat sistem yang menjadikan pers sebagai dewa yang tak tersentuh hukum, tetapi yang terpenting adalah melindungi kebebasan pers agar dapat berfungsi tanpa intimidasi yang dilakukan para “preman” maupun lembaga negara.
Di benua Amerika terdapat Mahkamah Hak Asasi Manusia Antar-Amerika (Inter-American Court of Human Rights) yang melindungi kemerdekaan pers. Tahun 2004 Mahkamah HAM Antar-Amerika ini pernah membatalkan vonis Pengadilan Kosta Rika yang memidana wartawan dengan tuduhan pencemaran nama baik. Pengadilan Kosta Rika dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM).

Jika kita mengacu pada hukum HAM, Indonesia telah mengadobsinya dalam amandemen UUD 1945, dan secara khusus diterbitkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pers tidak riil disebut dalam UU No. 39 Tahun 1999, tetapi menjadi bagian dari ketentuan pasal 14 yang menentukan: (1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. (2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.


Pers, Kepentingan Umum dan Hukum

Penjelasan pasal 6 UU Pers menjelaskan: Pers nasional mempunyai peranan penting dalam memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mengembangkan pendapat umum, dengan menyampaikan informasi yang tepat, akurat dan benar. Hal ini akan mendorong ditegakkannya keadilan dan kebenaran, serta diwujudkannya supremasi hukum untuk menuju masyarakat yang tertib. Jika hal itu dikaitkan dengan maksud kemerdekaan pers dalam pasal 2 UU Pers serta fungsinya, maka pers sudah menjadi kebutuhan publik.
Pers secara normatif melakukan kerjanya juga demi kepentingan umum terkait dengan kontrol sosialnya. Dengan posisi seperti itu, apakah berita investigasi yang menginformasikan keburukan suatu pihak (tentu dengan data dan sumber) yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dapat diketegorikan sebagai pencemaran nama baik?
Dasar khusus gugatan pencemaran nama baik atau penghinaan sebenarnya ada pada pasal 1372 KUHPerdata. Penggugat dapat meminta kepada hakim (menurut pasal 1372 KUHPerdata) agar tergugat dihukum memberikan ganti kerugian, pemulihan kehormatan dan nama baik.
Namun pasal 1376 KUHPerdata menentukan bahwa gugatan penghinaan (atau pencemaran nama baik) tidak dapat dikabulkan jika tidak ternyata adanya maksud untuk mencemarkan nama baik atau menghina. Maksud menghina atau mencemarkan nama baik dianggap tidak ada apabila perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri secara terpaksa.

Dalam konteks fungsi dan peranan pers tersebut maka semestinya hakim tidak dapat mengabulkan gugatan kepada pers dengan dalih pencemaran nama baik. Lalu apakah ini tidak akan menjadi tirani pers? Seharusnya tidak, sebab dalam dunia pers ada lembaga Dewan Pers (pasal 15 UU Pers) yang diantaranya bertugas menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik serta memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Artinya, pers juga tidak boleh dan tak bisa semaunya sendiri.


Peranan ahli

Hal lain yang menarik dalam kasus-kasus gugatan perdata korporasi kepada pers adalah penggunaan keterangan ahli (bukan saksi ahli) di muka pengadilan sebagai alat bukti dan acuan hakim dalam memutus perkara. Dalam konteks hukum acara perdata Indonesia, praktik itu menjadi sebuah kesalahan besar sebab standard pembuktian hukum acara perdata menurut ketentuan HIR (pasal 164) maupun KUHPerdata (pasal 1886) hanya mengenal jenis alat bukti tertulis (surat), keterangan saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Keterangan ahli hanya dibutuhkan manakala kecukupan alat bukti yang ada nilainya masih kurang kuat (Yahya Harahap, 2007: 795).

Keterangan ahli bukanlah keterangan saksi. Keterangan ahli biasanya berupa pendapat. Pasal 1907 alenia ke-2 KUHPerdata menentukan: “Pendapat maupun dugaan khusus, yang diperoleh dengan memakai pikiran, bukanlah suatu kesaksian.” Hakim bisa saja mengangkat ahli (bukan saksi ahli) hanya jika suatu perkara membutuhkan kejelasan duduk perkaranya karena sifatnya yang khusus yang tidak dipahami hakim. Tetapi fungsi ahli di sini untuk menjelaskan alat bukti yang ada. Dalam putusannya hakim tidak boleh menjadikan keterangan ahli sebagai alat bukti untuk memutuskan perkara. Kecuali dalam hukum acara pidana keterangan ahli menjadi salah satu jenis alat bukti (pasal 184 KUHAP).

Dalam kaitannya dengan kasus perdata pers terkait gugatan pencemaran nama baik, ahli yang dibutuhkan adalah ahli yang menjelaskan duduk perkara pers yang akan menguraikan penjelasan hubungan antara hukum pers dengan tuduhan pencemaran nama baik dan tatacara penyelesaiannya. Soal ini sebenarnya bisa menjadi keahlian dari hakim sendiri sehingga tidak membutuhkan keterangan ahli.

Apalagi jika dalam sebuah kasus perdata gugatan pencemaran nama baik terdapat keterangan para ahli yang saling bertentangan maka hakim tidak dapat menggunakan keterangan ahli yang saling bertentangan itu untuk menjadi bahan pertimbangan memutuskan perkara. Memang seharusnya keterangan ahli tidak boleh dijadikan pertimbangan putusan hakim perkara perdata, sebab keterangan ahli bukan alat bukti.
Saya mengingatkan bahwa kemerdekaan pers dalam sejarahnya pernah mengalami tekanan kekuasaan politik, dan kini mengalami tekanan kekuasaan ekonomi (korporasi). Dalam konteks hukum moderen dan HAM dalam korelasinya dengan kemerdekaan pers, sudah waktunya meninggalkan pasal-pasal KUHPerdata dan KUHP yang masih berwatak kolonial, produk abad penjajahan Barat itu.

Prinsip-prinsip hukum internasional dan HAM berkaitan dengan kemerdekaan pers sudah waktunya dilaksanakan. Tahun 2004 contohnya negara Etiopia sudah mulai melakukan proses penghapusan kriminalisasi pers. Hal itu juga terjadi di Eropa Timur, Amerika Latin dan Afrika.

Di sisi lain, untuk melindungi masyarakat dari pemberitaan yang buruk dan merugikan (tidak faktual), Dewan Pers harus aktif menjalankan fungsinya, termasuk menyosialisasikan fungsinya ke masyarakat, agar pengaduan tidak langsung menuju ke pengadilan dan kantor polisi.

Pers juga jangan sampai menjadi tirani baru. Kita ciptakan demokrasi chekcs and balance....... Bukan demokrasi cek dan giro seperti yang diterima para anggota DPR dan para ahli sewaan..... (yang juga menjadi rasan-rasan guyonan di komunitas advokat).... Pers juga jangan tidak berani memberitakan berita besar gara-gara terima cek atau giro yang balance.


Salam.

Sabtu, 06 September 2008

JALAN KELUAR PERSELISIHAN SOAL TANAH KORBAN LAPINDO

Meskipun pemerintah yang berwenang (Badan Pertanahan Nasional / BPN) telah memberikan jaminan kepada Lapindo bahwa untuk Lapindo akan diberikan sertifikat setelah selesainya proses jual-beli tanah korban Lapindo yang belum bersertifikat (petok D, letter C dan SK gogol), tetapi tampaknya Lapindo tetap ngotot tidak bersedia membayar tunai tanah korban Lapindo yang belum bersertifikat. Masalah itu telah dimediatori Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 29 Agustus 2009, tetapi Lapindo tidak dapat menerima penjelasan pemerintah dan tetap menolak.

Dalam milis Forum Pembaca Kompas (FPK) muncul penjelasan dari nama Singkirbayu yang mengaku sebagai korban Lapindo menjelaskan bahwa pertemuan di Komnas HAM tersebut positif MENEMUI JALAN BUNTU. Singkirbayu menyatakan: “Staf ahli Mensos (bukan mensos) yang hadir dan kepala BPN Joyo Winoto memang menyatakan tanah bukan sertifikat bisa di AJB (Akta Jual Beli) kan,meskipun melawan UU PA th. 1960. Caranya menurut Kepala BPN Joyo Winoto adalah dengan hak atas tanah yang dibayar Lapindo menjadi milik negara dulu kemudian Lapindo memohon hak atas tanah tersebut menjadi haknya. Solusi diatas buntu karena kalo dikuasai negara dulu hak atas tanah
tsb., lapindo maunya ya negara / pemerintah yang bayar bukan dia. Itu berita setengah buruk pertama. Terlebih Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang juga hadir di pertemuan tetap bersikukuh berpendapat tidak akan ada pejabat pembuat akta tanah yang akan mau memproses transaksi tsb karena jelas-jelas melawan hukum pertanahan yang masih berlaku. Secara profesi mereka mengaku takut ada apa-apa dibelakang hari karena melawan undang-undang. Rekomendasi kepala BPN belum terlalu kuat untuk melawan undang-unndang, begitu kesimpulan mereka.”

Kabar tersebut (jika seumpama benar – wong saya belum dikabari oleh para relawan lainnya), saya tanggapi sebagai berikut:

Benar bahwa JUAL-BELI tanah Hak Milik antara korban Lapindo perorangan dengan Lapindo (yang menunjuk PT. Minarak Lapindo Jaya / MLJ) menabrak pasal 21 UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA). Sebab, Lapindo atau MLJ adalah korporasi yang bukan merupakan subyek hukum pemegang Hak Milik atas tanah. Subyek hukum Hak Milik atas tanah menurut pasal 21 UUPA adalah WNI dan badan-badan hukum yang ditunjuk pemerintah, yang selanjutnya diatur dengan PP No. 38 Tahun 1963. Kesalahan bermula dari ketentuan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007 yang menentukan cara JUAL-BELI tanah antara korban Lapindo dengan Lapindo.

Namun, kesalahan hukum itu kemudian DILEGALKAN oleh Putusan Mahkamah Agung RI (MA) No. 24 P/HUM/2007 yang menguatkan tatacara penyelesaian sosial kemasyarakatan bagi korban Lapindo menurut pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 itu. Inilah yang di dalam hukum disebut DISKRESI HUKUM.

Contoh diskresi hukum lainnya adalah: Jaman dahulu UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing melarang modal asing masuk ke sektor tertentu yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetapi Presiden Soeharto menerbitkan PP No. 20 Tahun 1994 yang membolehkan modal asing masuk di sektor-sektor pelabuhan, produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik untuk umum, telekomunikasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kareta api umum, pembangkitan tenaga atom dan mass media, bahkan sampai dengan komposisi modal 95 persen asing dan 5 persen modal dalam negeri. Jelas bahwa PP No. 20 Tahun 1994 itu melanggar UU No. 1 Tahun 1967. Tetapi para pengusaha tidak takut menerapkannya sebab dalam hukum berlaku asas rechmatige. Artinya, selama PP No. 20 Tahun 1994 itu tidak diputuskan melanggar undang-undang oleh putusan MA yang berwenang melakukan uji materiil maka PP No. 20 Tahun 1994 itu dianggap legal, sah dan menjadi dasar hukum. (Meski secara akademis saya juga tidak setuju dengan PP No. 20 Tahun 1994 itu, tetapi secara praktis tak dapat dihindari).

Saya kembali pada cara JUAL-BELI tanah Hak Milik korban Lapindo yang WNI dengan MLJ yang merupakan badan hukum perseroan terbatas (PT). Cara itu dilegalkan dengan Perpres No. 14 Tahun 2007 (pasal 15 ayat 1 dan 2). Bahkan Perpres No. 14 Tahun 2007 sudah posisitf rechmatige (dianggap tidak melanggar undang-undang) sesuai putusan MA No. 24 P/HUM/2007.

Perlu diketahui bahwa dasar pengujian terhadap pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 itu dahulu juga UUPA. Argumentasi korban Lapindo dalam permohonan uji materiil Perpres No. 14 Tahun 2007 itu dikutip dalam putusan MA No. 24 P/HUM/2007 tersebut sebagai berikut: “... 72. Bahwa jelas, perjanjian berupa jual beli tanah yang diatur dalam PERPRES No. 14 Tahun 2007 secara nyata bertentangan dengan konsep hak milik atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dalam UUPA dikatakan bahwa yang dapat memperoleh hak milik atas tanah adalah Warga Negara Indonesia (WNI) dan badan-badan hukum yang ditunjuk oleh Peraturan Pemerintah. Sementara menurut Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 yang mengatur tentang badan-badan hukum mana saja yang dapat memperoleh hak milik, tidak memberikan kemungkinan untuk Lapindo Brantas Inc. sebagai pemegang hak milik atas tanah. Dengan adanya pertentangan dengan hukum agraria yang berlaku, jual beli atas tanah ini melanggar asas kebebasan berkontrak karena menyalahgunakan adanya prinsip ini, prinsip kebebasan berkontrak harus dijalankan dengan tidak boleh mengabaikan norma hukum yang berlaku. Undang-Undang merupakan tolak ukur yang pertama dan terutama, karena hukum mempunyai supremasi dan selalu dianggap bahwa ketentuan-ketentuan hukum merupakan bagian yang integral dalam setiap perjanjian. Karenanya para pihak tidak boleh memasukkan syarat-syarat yang bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu, perjanjian jual beli ini tidak sah menurut hukum ; 73. Bahwa dengan demikian ketentuan Pasal 15 ayat (1) PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo telah bertentangan dan tidak sesuai dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 jo. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tersebut di atas. Oleh karenanya Pasal 15 ayat (1) PERPRES No. 14 Tahun 2007 a quo harus dinyatakan batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum;...” (putusan tersebut, halaman 24).

Terhadap argumentasi hukum pemohon (yang diwakili advokat YLBHI) tersebut dalam pertimbangan hukumnya MA menyatakan: “Menimbang, bahwa oleh karena Pasal 15 Peraturan Presiden RI. No.14 Tahun 2007 tidak dapat diuji dan dinilai oleh Hakim, lagi pula Pasal 15 tersebut diterbitkan dalam rangka penanganan masalah sosial terdampak luapan Lumpur Sidoarjo dengan cara memberikan ganti/membayar nilai harga tanah dan bangunan para korban luapan Lumpur secara wajar dan proporsional seperti telah dipertimbangkan sebelumnya, maka Pasal 15 tersebut tidak bertentangan dengan Pasal-Pasal dari Undang-Undang yang dijadikan dasar atau tolok ukur oleh Para Pemohon keberatan Hak Uji Materiil ; Menimbang, bahwa dengan demikian permohonan keberatan Hak Uji Materiil dari Para Pemohon tersebut tidak beralasan, sehingga permohonan Para Pemohon harus ditolak ; (putusan MA tersebut, halaman 58).

Dengan demikian, putusan MA tersebut MENGANGGAP bahwa JUAL-BELI tanah korban Lapindo dengan Lapindo (dalam praktiknya dengan MLJ) tidak bertentangan dengan UUPA. Mengingat putusan MA tersebut sudah final, maka kekhawatiran Lapindo dan Organisasi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menabrak UUPA tersebut sudah tidak relevan lagi dikemukakan. Sedangkan secara profetik para PPAT itu menjalankan tugasnya dengan berpayung surat keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN (sekarang yang ada Kepala BPN), dengan telah adanya jaminan dari BPN tersebut mestinya sudah tidak ada lagi persoalan.

Kejanggalan

Saya menangkap adanya kejanggalan sikap dari Lapindo dan organisasi profesi PPAT yang menolak membuatkan akte jual beli (AJB) tanah-tanah Hak Milik korban Lapindo yang belum bersertifikat. Kejanggalan itu dilihat dari fakta sebagai berikut:

Pertama, PPAT/Notaris yang digunakan Lapindo telah bersedia membuat Akta Jual Beli untuk tanah yang bersertifikat padahal tanah bersertifikat itu termasuk ada yang berjenis Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Milik. Untuk yang HGB tak ada kejanggalan sebab memang MLJ boleh memiliki tanah HGB menurut UUPA. Tetapi Lapindo juga membayar tanah-tanah bersertifikat Hak Milik, padahal jika menngacu pada pasal 21 UUPA tersebut mestinya MLJ atau Lapindo tidak bisa memiliki tanah Hak Milik, sehingga jalan keluarnya adalah 'penurunan jenis hak” dari Hak Milik menjadi HGB, yang harus melalui mekanisme: tanah jatuh menjadi tanah negara lebih dulu. Lalu Lapindo memohon agar menjadi hak sesuai kebutuhannya (bisa HGB, Hak Guna Usaha/HGU atau Hak Pakai atas tanah negara).

Kedua, PPAT/Notaris Lapindo bersedia membuatkan akta peralihan dengan cara cash & resettlement terhadap tanah-tanah korban yang belum bersertifikat. Dibayar tunai bangunannya, tapi ditukar tanahnya. Padahal tanah korban Lapindo yang belum bersertifikat itu adalah tanah Hak Milik. Sedangkan tanah penukarnya adalah tanah hak MLJ atau tanah kavling hak dari developer yang ditunjuk (di lokasi Kahuripan Nirwana Village). Developer itu PT. Wahana Arta Raya (WAR). Perusahaan developer ini juga dilarang mempunyai Hak Milik. Maka jalan keluarnya adalah: MLJ bertindak sebagai pembayar ke WAR, sedangkan tanah Hak Milik korban yang ditukar itu nantinya menjadi hak Lapindo. Itu juga menabrak pasal 21 UUPA. Sehingga harus dulu jatuh menjadi tanah negara dan barulah dimohonkan hak oleh Lapindo sesuai kebutuhannya, apakah HGB, HGU atau Hak Pakai.

Artinya, dengan alasan bahwa jual beli tanah Hak Milik korban yang belum bersertifikat dengan cara cash & carry dianggap menabrak UUPA, maka cara cash & resettlement juga akan menabrak UUPA, bahkan lebih parah lagi juga menabrak pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007 jo. Putusan MA No. 24 P/HUM/2007.

Jika PPAT/Notaris yang dipakai dalam transaksi tanah kasus Lapindo itu takut dengan risiko profesinya yang kuatir menabrak UUPA, maka takutnya seharusnya tidak pilih-pilih. Seharusnya mereka takut membuatkan AJB cash & carry dan takut membuatkan akta peralihan atau tukar-menukar hak dengan cara cash & resettlement itu.

Jalan keluar

Jika sekadar mengatasi ketakutan para PPAT itu, BPN dapat secara khusus menunjuk PPAT Camat saja untuk membuatkan AJB tanah korban Lapindo tersebut, dengan membuat Surat Keputusan (SK) penunjukan. BPLS - selaku lembaga yang ditugasi melaksanakan penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan itu - harus mengawali inisiatif itu. Tetapi yang menjadi soal adalah: bagaimana jika Lapindo tetap tidak setuju setelah adanya penunjukan PPAT oleh pemerintah tersebut?

Persoalan itu tampaknya tidak akan selesai dengan cara gontok-gontokan segitiga antara korban – lapindo – pemerintah. Jika Lapindo memang tidak sanggup menjalani diskresi hukum yang sudah ke tahap putusan MA tersebut sebaiknya berterus terang kepada pemerintah. Hal itu untuk memudahkan bagi warga korban dan pemerintah dalam mengambil keputusan dalam rangka percepatan penyelesaian masalah sosial itu.

Pemerintah juga tidak boleh terus-menerus menyerahkan nasib warga korban kepada kesediaan Lapindo yang terbukti sudah tidak mau menggunakan diskresi hukum seperti itu. Ini juga harus menjadi perhatian pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Sidoarjo untuk merumuskan bersama-sama dengan pemerintah pusat guna memecah jalan buntu tersebut. Jika perlu pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberikan dana talangan sebagai pembayar tanah korban Lapindo. Hal itu dibenarkan oleh saran BPK dalam laporan audit kasus lumpur Lapindo tertanggal 29 Mei 2007 sehingga sudah ada landasan yang legal pula.

Sedangkan soal pertanggungjawaban Lapindo adalah pemerintah yang wajib mengurusnya, yang silahkan berhitung hak dan kewajiban dengan Lapindo. Warga korban jangan dibiarkan berhadap-hadapan dengan Lapindo berlama-lama sebab hanya akan membuahkan keputusasaan massal.

Jika berlarut-larut tanpa kepastian begini, pakar HAM atau hukum siapa yang bilang tak ada pelanggaran HAM?