Selasa, 31 Januari 2012

HUKUM WADAL TAMBANG

Masyarakat mulai menolak pertambangan. Di Lumajang Jawa Timur warga Desa Wotgalih menolak pertambangan pasir besi. Di Minahasa Selatan Sulawesi Utara (Sulut) ada Aliansi Masyarakat Menolak Limbah tambang emas. Mereka belajar dari kasus Newmont di Buyat. Di Nusa Tenggara Timur masyarakat Kabupaten Lembata juga menolak kehadiran korporasi tambang.
Di Sidoarjo, Bupati Syaiful Illah juga menolak izin baru yang diajukan Lapindo jika tak ada persetujuan masyarakat. Sedangkan masyarakat trauma dengan kasus semburan lumpur Lapindo. Di Sulawesi Tengah masyarakat juga menolak pertambangan emas di Poboya, dan lain-lainnya.

Tambang dan nasib rakyat


Ada komentar menarik yang saya baca dari Berita Manado (11/10/2010), Ketua Komisi II DPRD Sulut, Steven Kandouw, mengatakan bahwa penolakan tambang tidak mempengaruhi investasi di Sulut. Tanpa kontribusi tambang emas, investasi Sulut tetap bergairah bahkan salah satu tertinggi di Indonesia.
Prof. Mubyarto dalam Ekonomi Terjajah (2005) mengemukakan hasil risetnya bahwa investasi di daerah-daerah telah melakukan penghisapan ekonomi daerah sebesar rata-rata 57 persen. Hanya 43 persen nilai produksi domestik regional bruto yang dinikmati rakyat di daerah, sedangkan yang 57 persen  dihisap ke kota-kota besar dan dibawa ke luar negeri. Selain itu, bukankah selama ini juga tak ada kebijakan yang mewajibkan preferensi penggunaan sumbar daya alam untuk kepentingan kebutuhan nasional?
Rupanya maraknya penolakan masyarakat sekitar dan di dalam wilayah tambang merupakan reaksi atas dasar pengalaman yang mereka. Hampir tak ada kisah di negeri ini penduduk yang hidup di sekitar wilayah tambang bisa berubah menjadi makmur. Yang ada justru lingkungan hidup mereka hancur dan terancam bencana.
Kisah pembebasan tanah tambang juga memilukan. Ambil saja contoh kasus tambang Newmont Minahasa Raya (NMR), dalam melakukan penguasaan tanah warga dalam area kontrak karya, NMR dibantu oleh tentara, polisi dan birokrasi sipil untuk mengambil-alih paksa tanah yang ganti-ruginya masih menjadi sengketa, sejak 1988 sampai dengan 1994 (Berita Kontras No. 04/VII-VIII/2004).
Pembebasan tanah oleh Lapindo di wilayah eksplorasi Sumur Banjar Panji-1 Porong Sidoarjo juga dilakukan dengan cara mengelabuhi masyarakat dengan menyebar gosip akan adanya perusahaan peternakan yang akan menyerap banyak tenaga kerja masyarakat setempat (wawancara dengan masyarakat korban).
Bagi masyarakat yang menolak tambang maka mereka akan dipidanakan, entah dengan tuduhan pencemaran nama baik seperti Yani Sagaroa di Sumbawa yang divonis penjara empat bulan karena menentang tambang emas Newmont Nusa Tenggara. Samsuri, Fendi, Mukin, dan Artiwan warga Wotgalih Lumajang dipenjara empat bulan karena menolak izin tambang pasir besi yang diperoleh Antam.
Modus-modus serupa terjadi di banyak tempat, tetapi penegak hukum termasuk para hakim tak punya keberpihakan terhadap keadilan sosial, selain buta terhadap daya rusak tambang. Contoh kasus Exxon di Aceh yang melibatkan militer sampai harus digugat melalui Pengadilan di Amerika Serikat ketika kepercayaan terhadap hukum nasional sudah sangat lemah.
Pertambangan dengan paradigma memanjakan investor telah membuat banyak penderitaan bagi masyarakat sekitar wilayah tambang, di mana-mana. Rakyat kecil menjadi wadal atau tumbal dalam pembangunan ekonomi.

Wadal

Pada waktu kecil kami di desa-desa di Jawa Timur terkadang menghadapi situasi cemas, para orang tua memberi kalung ‘jimat” anak-anak mereka ketika mulai tersebar kabar adanya para pemburu wadal (tumbal).
Konon, waktu itu para kontraktor membutuhkan wadal berupa kepala anak-anak kecil yang akan ditanam di lokasi proyek pembangunan, sebagai cara meminta izin roh penjaga lokasi proyek. Dalam perkembangannya wadal itu diubah bukan lagi kepala anak manusia, melainkan kepala kerbau. Kini kepercayaan itu dianggap tahayul.
Namun kini karakter penghalalan segala cara itu tak berubah. Investasi tak lagi membutuhkan kepala anak-anak manusia atau kepala kerbau untuk ditanam, tapi akan mengorbankan siapa saja yang dianggap sebagai penghalang, dengan alasan apapun. Senjatanya jika bukan kekerasan ya hukum.
Bagi masyarakat kecil yang tetap miskin di wilayah pertambangan, kini mulai merasa bahwa “janji kesejahteraan” itu juga tahayul. Zaman kuno dulu mereka kehilangan anak-anak dan tanah mereka, saat itu daya dukung lingkungan masih kokoh. Kini mereka justru kehilangan tanah, anak cucu mereka terancam dengan kian melemahnya daya dukung ekologi,  meracuni dan mematikan mereka seperti yang selama ini.
Dalam tatanan global kita sebenarnya punya Precautionary Principle (Asas Kehati-hatian) hasil Deklarasi Rio 1992 dengan pertimbangan tidak adanya kepastian ilmiah, kurang memadainya informasi ilmiah, sehingga apapun hasil kajian ilmiah tidak boleh digunakan (sebagai alasan) untuk menunda atau menghambat langkah preventif yang tepat untuk mencegah kerusakan lingkungan. Dalam kearifan lokal kita punya masyarakat adat yang selama ini berperan penting menjaga kelestarian fungsi lingkungan.
Tapi di mata hukum nasional, semua itu adalah omong kosong, sebab investor adalah tuan, sedangkan hukum, termasuk hukum lingkungan hanyalah hamba yang melayaninya. Jika perlu hukum dijadikan wadal!
Ini bukan lagi negara hukum, tapi negara uang dengan supremasi kapital, sehingga UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mewajibkan penerapan asas subsidiaritas. Para investor jangan dipidana dulu, gunakan dulu saluran lainnya! Tapi sebaliknya para penentang investor langsung diciduk dimasukkan penjara. Ini paradigma hukum kapitalisme kuno.
Seyogyanya paradigmanya adalah bahwa hukum lingkungan itu merupakan kaidah penuntun, penjaga, pengawas dan pemberi hukuman, agar pembangunan bisa berkelanjutan. Hukum yang peka aspirasi masyarakat, yang di dalamnya terdapat muatan prinsip-prinsip global yang bersinergi dengan kearifan lokal.