Senin, 28 Januari 2008

Turut Berduka

Turut berduka atas wafatnya Pak Harto. Asaliro saka Gusti bakal mbalik marang Gusti. Diterima atau tidak tergantung Tuhan yang menjadi penguasa tunggal dan penilai tunggal atas eksistensi.

Turut berduka juga atas kematian Indonesia yang masih sulit dihidupkan dengan tirta perwitasari. Indonesia terdiam menyaksikan darah-darah yang tertumpah ruah menggenang di persadanya, atas penikaman keris Empu Gandring yang bermetamorfosis dalam senapan para prajurit Indonesia atas perintah Arok dan Senopati yang dirundung kecurigaan dan kekhawatiran terancamnya kekuasaan.

Kita berkabung, bukan atas kematian Pak Harto sebab Pak Harto juga manusia seperti almarhum Munir, Wiji Thukul, Marsinah, Udin, Mbok Sami, Pak Sakip, Mbah Marto, Mbah Muni, Suleman, Mat Rajab, Wayan Asta, La Amin, Wa Salimah, Mathius Womba dan lain-lain yang tak memerlukan pengibaran bendera setengah tiang. Kita berkabung atas kematian demokrasi Indonesia yang belum juga hidup kembali, sejak tahun 1950-an.

Sabtu, 26 Januari 2008

Garuda Kewalahan Lawan Tikus

Mengapa Garuda Pancasila Indonesia tidak mampu menghabiskan tikus-tikus yang bernama koruptor?

Tikusnya terlalu besar. Nasionalisme palsu.

Nasionalisme asli adalah kesatuan rasa dan nasib satu bangsa. Jika berkuasa atau bahagia dengan cara mengorbankan sesama anggota bangsa, itu individualisme dari manusia bermental terjajah yang tega menindas sesama anak Pertiwi.

Majapahit besar dengan cara menindas, seperti Indonesia hingga hari ini. Besar tapi terkuasai hegemoni asing. Cara pandangnya keluar dengan menutup mata terhadap nasib bangsa sendiri.


Moratorium spaneng: Resep Keberuntungan Orang Miskin

"Indonesia ini luas, kaya sumber daya alam, manusianya melimpah, ahlinya banyak, tapi kenapa to ya kok nggak maju-maju?" tanya Sarmin.

"Pengin maju? Ada resepnya!" timpal Paiyem.

"Apa resepnya Yem?" tanya Sarmin.

"Jangan lagi pakai nama Indo! Itu bukan asli sini, tapi campuran sama bule. Lagian, terlalu banyak Indo dipakai merek dagang. Nggak usah kusebut, ntar dikira aku tukang iklan!"

"Lha terus pakai nama apa? Kamu jangan ngacau, ditangkap BIN nanti, dituduh antinasionalis!"

"Lha kalau saya yang orang ndeso dan cengoh ini ya nggak bisa ngasih ide. Tapi kalau yang asli , tulen, produk sini ya onde-onde, krupuk upil, utri, gethuk, ... ya banyaklah."

"Gini Yem. Saya pernah dengar katanya orang bule pinter bernama Joseph E Stiglitz, mengatakan bahwa jadi sapi Eropa lebih beruntung dari orang miskin Indonesia. Jadi, sapi Eropa itu lebih maju daripada orang miskin Indonesia. Makanya, orang Indonesia harus impor banyak-banyak sapi dari Eropa. Kita tanya sapi-sapi itu, "Pi Sapi! Mengapa hidupmu lebih enak daripada kami?"

"Jadi, maksudmu, agar Indonesia bisa maju harus berguru kepada sapi Eropa?" tanya Paiyem.

"Loh, bertanya, bukan berguru! Kamu jangan menghina guru-guru Indonesia!"

"Lha buktinya, guru tambah banyak, Indonesia kok tambah bengep?"

"Ssst... kamu bisa kena pasal penghinaan KUHP kayak Mas Jaenal yang dilaporkan Gus SBY itu!"

"Wah, mumet aku Mas. Gini sajalah, daripada pusing-pusing mikir resep, besok kalau aku punya anak laki-laki aku beri nama Sapi'i, Eropa panggilannya Pi'i. Kalau perempuan Sapiyem Eropa, panggilannya Piyem. Sapi Eropa aja lebih beruntung, apalagi Sapi'i Eropa atau Sapiyem Eropa?"

"Kalau aku lain Yem. Anakku besok aku beri nama Suharto Sapi Amerika. Suharto aja kayanya ya ampun. Kamu nggak tahu juga, sapi Amerika nasibnya juga sama beruntungnya dengan Sapi Eropa."

"Wah Sampean urik, nakalan Mas. Lha kalau begitu, anakku juga aku kasih nama 'George Soros Unta Saudi Arabia Kuda Amerika Sapi Eropa.' Pasti kaya nggak karu-karuan!"

"Yo wis sak karepmu! Kita ini matrek. Untung kok disamakan dengan kaya."

Sementara itu, Indonesia yang kaya-raya, rakyatnya tetap buntung... Untung masih buntung, tidak linglung kecemplung kedhung...

Cakbagio... kwekkwekkwek....

Perubahan Pemasangan Casing Kasus Lapindo


Ini gambar perubahan rencana pemasangan casing dalam eksplorasi di Sumur Banjar Panji 1 Porong Sidoarjo oleh Lapindo. Kata ahli Lapindo itu biasa. Tapi menjadi luar biasa ketika menjadi malapetaka.
Tapi para ahli geologi umumnya mengatakan bahwa di bawah Porong terdapat lapisan diapir. Jadi, semburan lumpur itu bukan soal casing tapi karena mengebor bisul diapir itu.
Tapi, kedua jenis analisis itu sama arti kan? Bornya Lapindo yang bikin muncrat lumpur. Bukan salah Tuhan.

PESIMISME PENEGAK HUKUM SOAL LUMPUR LAPINDO


Pada mulanya penyidik Polda Jawa Timur sangat yakin bahwa penyebab semburan lumpur tersebut akibat kegiatan eksplorasi yang dilakukan Lapindo Brantas Inc. (Lapindo). Pada 8 Maret 2007, saya hadir dalam acara paparan untuk publik tentang perkembangan penyidikan perkara kasus lumpur Lapindo di Mapolda Jawa Timur, diselenggarakan Polda Jawa Timur. Dalam perkembangan berikutnya penyidik hanya mengeluh pada soal pengembalian berkas perkara oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dengan P-19 (berkas dinyatakan belum lengkap, disertai petunjuk), tetapi petunjuk-petunjuk yang diberikan Tim Penuntut Umum (kejaksaan) dinilai semrawut sebab memang terdapat 17 orang tersangka yang dipisah dalam tujuh berkas. Dalam soal pokok perkaranya Tim Penuntut Umum hanya mempersoalkan perbedaan pendapat ahli yang ada.

Penyidik Polda Jawa Timur pada acara 8 Maret 2007 itu menjelaskan telah memeriksa 59 orang saksi fakta, 16 ahli dan 13 tersangka. Barang bukti yang telah disita termasuk dokumen dan surat-surat (Production Sharing Contract, Drilling Program, Daily Drilling Report, instruksi kerja, Real Time Chart, survey seismic, perizinan, dokumen UKL-UPL, Pedoman Standard of Operation, kontrak kerja antara Lapindo dengan PT. Medici Citra Nusa (MCN) beserta sub kontraktornya dan lain-lain), 1 (satu) unit Rig beserta komponennya. Di luar itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menemukan bekas bor milik Lapindo di lokasi pertambangan migas Santos di Pasuruan, tapi ini tidak termasuk barang bukti yang disita penyidik.

Penyidik menemukan fakta bahwa eksplorasi di sumur Banjar Panji 1 (BJP-1) Porong Sidoarjo mengalami peristiwa kick dan stuck di kedalaman 4.241 kaki. Di kedalaman 9.297 kaki terjadi lost. Dalam keadaan kick and lost, dilakukan penarikan bor ke atas. Tetapi malapetakan terjadi ketika formasi di bawah casing shoe di kedalaman 3580 kaki pecah akibat tekanan dari bawah yang berlebih. Penyidik menyimpulkan: “Pada 29 Mei 2006 telah terjadi semburan lumpur yang berada di + 200 m dari lokasi pemboran sumur Banjar Panji 1 di Ds. Reno Kenongo, Kec. Porong, Kab. Sidoarjo yang diduga akibat dari kesalahan dalam penanganan Lost dan Kick yang menimbulkan tekanan melebihi kemampuan casing shoe sehingga menyebabkan retak / pecahnya formasi dibawah casing shoe (kedalaman 3.580 ft) pada kegiatan pemboran sumur Banjar Panji 1 yang dilakukan oleh Lapindo Brantas Inc beserta para subkontraktornya yang mengakibatkan terjadinya banjir lumpur dan kerusakan serta pencemaran terhadap lingkungan.” Kesimpulan itu bukan diperoleh dari theoritical proving, tapi fact evidence, sebab diperoleh dari keterangan para saksi pengeboran serta laporan pengeboran harian (daily drilling report). Penyidik mengatakan telah memeriksa ‘saksi kunci’ pelaksana pengeboran berkat informasi dari aktivis jurnalis dan Walhi.

Kepolisian memunyai data tentang tekanan selama pengeboran – sebagaimana juga dikatakan Prof. Rudi Rubiandini, ahli perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) (Kompas, 23/1/2008) – hal mana data tersebut juga merupakan salah satu alat bukti fakta (fact evidence). Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga punya surat dari Dinas Survei & Pemboran BP Migas yang dilampiri penjelasan tertulis dari Edi Sutriono (Senior Drilling Manager PT Energy Mega Persada, Tbk) yang menjelaskan bahwa proses pencabutan pipa dan mata bor dari kedalaman 7.415 kaki pada tanggal 28 Mei 2006 pagi telah menyebabkan well kick yang terlambat diantisipasi. Kick baru diidentifikasi pada kedalaman 4.241 kaki. Langkah penanganan dilakukan dengan menutup sumur dengan BOP (blow out preventer) dan selanjutnya membunuh kick dengan metode volumetric.

Silang pendapat

Pendapat hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Selatan serta Kapolda Jawa Timur berbeda dengan hasil audit BPK yang dilaporkan 29 Mei 2007. Itu sekaligus menunjukkan adanya silang pendapat antarpengurus negara, meski BPK dalam laporan auditnya implisit menghormati proses hukum. BPK melaksanakan wewenangnya menurut UU No. 15/2006, dalam rangka audit kinerja dan pemeriksaan untuk tujuan tertentu (pasal 6 ayat 3). (Hasil audit dapat dilihat dari www.bpk.go.id). Berkaitan dengan proses eksplorasi di sumur BJP-1 tersebut diantaranya BPK menjelaskan fakta bahwa laporan harian pemboran (daily drilling report) menunjukkan bahwa terjadi keterlambatan pekerjaan pemboran karena kerusakan dan perbaikan peralatan pemboran. Total hari perbaikan peralatan pemboran mencapai 667,9 jam atau kurang lebih 27 hari yang disebabkan suku cadang yang tersedia tidak memadai. Selain peralatan pemboran yang sering rusak, PT MCN (kontraktor pengeboran yang ditunjuk Lapindo) juga diduga menggunakan beberapa peralatan bekas, atau peralatan yang tidak memenuhi standar kualitas. Terjadi praktik kanibalisasi dan penggunaan suku cadang yang tidak asli antar mesin dan mud pump. PT MCN maupun subkontraktor penyedia drilling rig disimpulkan tidak memiliki kesiapan, peralatan dan personil yang memadai dalam melaksanakan pekerjaan pemboran Sumur BJP-1.

BPK juga menemukan dokumen Berita Acara Penanggulangan Kejadian Semburan Lumpur di sekitar lokasi Sumur BJP-1 tanggal 8 Juni 2006 yang ditandatangani oleh Lapindo dan BP Migas menyebutkan, BP Migas maupun Lapindo sepakat bahwa semburan tersebut sebagai akibat dari underground blowout. Sumber semburan diduga berasal dari 2 (dua) zona yang berbeda yaitu Formasi Shallow G-10 (overpressure zone) dan formasi Kujung (formasi batuan gamping) yang telah tertembus saat operasi pemboran berlangsung dan mengalir ke permukaan melalui zona patahan yang telah ada. Laporan final Loss Adjuster Matthews Daniel tanggal 5 Desember 2006 menyimpulkan bahwa semburan lumpur yang berkelanjutan merupakan hasil dari keluarnya cairan yang berasal dari Sumur BJP-1 dimana cairan tersebut berpindah ke permukaan melalui formasi geologis (rekahan).

Alat bukti faktual (fact evidence) kasus semburan lumpur Lapindo (yang diperoleh dari dokumen dan para saksi pihak Lapindo sendiri) membuktikan adanya kesalahan dalam proses eksplorasi yang mengakibatkan semburan. Alat bukti tersebut diperoleh dari factual proving, bukan sekedar theoritical proving. Sedangkan pendapat para ahli yang menghubungkan semburan lumpur Lapindo dengan gempa Jogja atau pergeseran lempeng bumi, hanya bersifat hipotesis (belum mengarah pada kebenaran teori), tidak berdasarkan factual evidence. Para ahli yang ‘membela Lapindo’ itu mengabaikan fakta adanya kesalahan dalam proses eksplorasi. Logikanya sederhana: ahli geologi disuruh menjelaskan ‘kesalahan eksplorasi’ terang tidak bisa. Ahli pengeboran perminyakan juga tak akan tahu apakah penyebab semburan lumpur itu gempa atau bukan. Tapi para tenaga pelaksana pengeboran Lapindo mengetahui dan mengalami sendiri apa yang telah terjadi dalam eksplorasi di sumur BJP-1 tersebut. Penyidik Polda Jawa Timur dan pemeriksa dari BPK telah meminta keterangan mereka beserta data-data proses pengeborannya. Apa lagi yang kurang?

Penegak hukum dalam kasus lumpur Lapindo itu sudah memunyai alat bukti lebih dari cukup, dan tidak seharusnya berkaca pada pendapat para ahli pembela Lapindo yang hanya bisa berhipotesis tapi bukan saksi fakta yang melakukan proses eksplorasi. Apalagi Indonesia yang semakin 'kaya' ahli yang menjadi prostitusi intelektual, menjajakan diri di ruang-ruang pengadilan karena permintaan korporasi atau orang berduit, bukan untuk kebenaran sejati.

Penegakan hukum tak hanya membentur perilaku korup penegak hukum sendiri, tapi juga para ahli penjaja diri yang merobohkan postulat dan prinsip keluhuran perikemanusiaan, hanya untuk keuntungan pribadi mereka. Jika generasi masa depan diberikan makan dari hasil kebohongan dan penjualan harga diri, mereka akan menjadi para pedagang diri. Ini benar-benar bangsa yang berlumpur.


Senin, 21 Januari 2008

MENEGARAKAN INDONESIA

Indonesia punya berita besar tentang kasus Soeharto, bencana banjir, longsor, amuk angin puting beliung, soal kedelai dan minyak goreng. Sebenarnya bukan hanya itu. Banyak juga masalah Indonesia yang belum terselesaikan seperti soal korupsi (termasuk mafia hukum), bencana (termasuk akibat perusakan lingkungan hidup), penyalahgunaan narkoba, kemiskinan, pengangguran, ketahanan pangan, kejahatan umum terorganisir (perampokan, pencurian), perdagangan orang, soal buruh migran, kasus HAM (termasuk kasus Munir, Trisakti-Semanggi) dan lain-lain. Dalam soal Pak Harto, ada kalangan yang berpendapat kita tak perlu menyibukkan diri dalam kasus Pak Harto, sebab itu masa lalu. Di depan kita menghadang lawan-lawan besar, para pesaing raksasa dalam globalisasi. Cuma, bagaimana kita dapat bersaing dalam globalisasi jika menyelesaikan kasus Pak Harto saja tidak bisa? Di mana ke-negara-an Indonesia?

Menurut Ilmu Negara, syarat berdirinya negara itu adalah: (1) wilayah, (2) rakyat, (3) pemerintah, dan (4) kedaulatan, disamping (5) pengakuan negara lain. Syarat-syarat tersebut bersifat komulatif, bukan alternatif. Contohnya suku Kurdi di Timur Tengah itu masih disebut ‘bangsa’ sebab masih merupakan kelompok komunitas yang belum memunyai wilayah pemerintahan. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia memunyai wilayah yang dua per-tiganya merupakan lautan. Wilayah Indonesia seluas sekitar sama dengan benua Eropa. Rakyat Indonesia sekitar 230 juta orang. Indonesia juga memunyai pemerintahan. Indonesia besar dalam hal penampilan kuantitas. Tapi kita boleh menguji, bagaimana dengan syarat ‘kedaulatan’, baik pemerintahan dan rakyatnya. Pemerintahan yang dimaksudkan tersebut adalah pemerintahan dalam arti luas yang dijalankan oleh seluruh lembaga negara yang ada, bukan hanya pemerintahan dalam arti eksekutif saja.

Kasus Pak Harto dapat dijadikan salah satu alat uji kedaulatan pemerintahan (bidang penegakan hukum). Di awal reformasi, ketika semangat reformasi masih menggebu, diterbitkan Ketetapan (Tap) MPR No. 11 Tahun 1998 untuk membersihkan negara dari korupsi. Dalam Tap MPR tersebut sudah ada ‘vonis’ kepada Pak Harto dan kroni-kroninya untuk diusut. Dengan demikian menurut logika hukum demokrasi, berarti rakyat – melalui MPR – telah memvonis Pak Harto (dan kroni-kroninya) bersalah. Sayangnya, forum hukum Indonesia di level yang lebih rendah dari MPR tidak berdaulat, tidak merdeka, meski UUD 1945 jelas merumuskan bahwa Indonesia merupakan rechtsstaat (negara hukum).

Pengadilan Indonesia ‘tidak berani’ menyentuh pendapat dokter Indonesia ketika Pak Harto masih segar bugar bisa salat Id dan membesuk Ibu Tin (almarhumah) di rumah masa depan (makam). Hukum Indonesia juga terlalu takut untuk berhermeneutika demi kepentingan publik, tapi malah menerobos hukum untuk kepentingan pribadi Pak Harto. Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) dalam kasus Pak Harto mengambil alasan ‘demi hukum’ di pasal 140 ayat (2) KUHAP. Sakit permanennya Pak Harto (kata dokter) menjadi alasan untuk tidak mengadilinya, demi hukum. Kata mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, itu prinsip hak asasi manusia (HAM) universal. Lalu, bagaimana HAM rakyat korban? Sudahkah dipikirkan?

Jadi, ‘demi hukum’ yang dipakai adalah ‘demi HAM-nya Pak Harto’ bukan demi hukum Indonesia. Bagaimana kalau hukum Indonesia melakukan hermeneutika untuk mengadili Pak Harto tanpa kehadirannya di pengadilan dengan membebaskan para pendukungya untuk membela Pak Harto di muka pengadilan? Tak akan berani, sebab hukum Indonesia tak berdaulat. Banyak contoh kasus lainnya soal perusakan dan pencemaran lingkungan hidup di Papua (oleh Freeport), Porong Sidoarjo (oleh Lapindo), Minahasa (oleh Newmont), Sumetera Utara (oleh perusahaan Adelin Lis), Riau (oleh perusahaan Sukanto Tanoto), dan lain-lain. Hukum tunduk kepada uang.

Lebih celaka, banyak orang pintar yang mencampur-adukkan pemberian maaf dengan ampunan hukum. Kata mereka, jasa Pak Harto besar bagi Indonesia maka harus dimaafkan, proses hukumnya dihentikan. Padahal ‘maaf’ merupakan urusan pribadi antara pelaku dengan korban. Tetapi pemberian maaf dalam hukum tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak menghukum kejahatan, kecuali ‘alasan pemaaf’ yang sudah ditentukan, misalnya orang gila (pasal 44 KUHP). Kalau ada si A mencuri barang milik si B, lalu si B memaafkan si A, maka hakim tetap berkewajiban menghukum si A sebab hukum pidana bukan hanya melindungi kepentingan privat tapi juga untuk menegakkan ketertiban publik. Jika mau memrivatisasi hukum pidana, ubah dulu asas dan aturannya! Lantas, apakah seorang presiden bekerja keras membesarkan negara itu merupakan ‘jasa’ ataukah ‘kewajiban’ hukumnya? Jangan-jangan kita tidak paham apa definisi ‘jasa’ dalam konteks soal Pak Harto?

Bukan hanya hukum yang tidak berdaulat, tapi pengelolaan sumber kekayaan alam Indonesia juga bergantung. Sejak Pak Harto melakukan liberalisasi ekonomi, Indonesia kehilangan kedaulatan ekonomi. Hutang itu biasa dalam ekonomi, tapi hutang luar negeri Indonesia membawa dampak masuknya kapital asing untuk mengeruk kekayaan Indonesia. Konon, tak ada makan siang gratisan! Sayangnya bukan investor asing yang bermanfaat bagi Indonesia, tapi Indonesia dikuras habis. Ekonom pro-rakyat, mendiang Prof. Mubyarto (2005) mengatakan bahwa jumlah penghisapan produksi Indonesia oleh investasi partikelir rata-rata lebih dari 50 persen. Ekonomi Indonesia terlalu besar ‘memberi’ hasil kepada investor swasta, tapi ratusan juta rakyat Indonesia membagi kurang dari 50 persen hasil produksi kekayaan Indonesia. Itupun tidak rata, tersudut di simpul-simpul kekuasaan ekonomi. Pantas jika kemiskinan tetap ‘terpelihara.’ Lebih parah lagi, kegiatan usaha ekonomi itu menimbulkan kerugian ekologis yang ujung-ujungnya mengorbankan rakyat Indonesia yang menerima bencana kekeringan dan banjir serta longsor, mengoleksi berbagai macam penyakit, akibat perusakan dan pencemaran lingkungan hidup mereka. Riilkah keberhasilan ekonomi Indonesia? Semu.

Ironis kalau dua per-tiga wilayah Indonesia lautan tapi rakyat nelayannya miskin. Sungguh absurd kalau negara agraris Indonesia tercekik harga kedelai dan bergantung impor kedelai dari Amerika Serikat (AS)? Malang benar rakyat Indonesia terjerat harga minyak goreng yang tinggi padahal tanah subur Indonesia dipenuhi pohon kelapa dan hutan gambut dihabiskan untuk perkebunan kelapa sawit? Apanya yang salah kalau anggaran Indonesia meringis kesakitan gara-gara meroketnya harga minyak dunia padahal Indonesia juga kaya migas? Tidak masuk akal. Itu karena Indonesia belum benar-benar memunyai kedaulatan. Lantas, bagaimana kita akan menghadapi globalisasi? Apakah kita sudah cukup puas sebagai bangsa jongos yang terhisap?

Kita harus me-negara-kan dulu Indonesia ini dengan cara merebut kembali kedaulatannya. Me-negara-kan Indonesia berarti membangun negara dengan melibatkan dan untuk tujuan rakyat Indonesia, secara berdaulat. Sudah waktunya Indonesia meninggalkan paradigma oligarki dalam pembangunan yang terbukti menjerembabkan Indonesia menjadi pecundang dalam persaingan regional (apalagi global?). Contoh sederhananya: Indonesia tak akan mampu merebut kembali Reog dari Malaysia tanpa ‘kehendak rakyat.’ Orde Baru memberi pondasi rapuh bagi Indonesia: mewariskan akumulasi hutang, meninggalkan kontrak-kontrak penanaman modal asing yang merugikan Indonesia, meninggalkan akibat buruk sektor pertanian akibat Revolusi Hijau meski pernah berhasil dengan swasembada pangan, menancapkan luka sejarah yang dalam, sehingga kita tak layak merindukan masa lalu itu sebab apa yang menimpa Indonesia saat ini juga akibat akumulasi ketidakbijakan pemerintahan Orde Baru.

Ke depan, globalisasi bisa menjadi air bah yang menenggelamkan Indonesia jika rakyat Indonesia lemah dan terbelah-belah, ketahanan pangan mereka rapuh, setiap tahun diburu bencana, ketidakadilan di mana-mana, penggusuran tanpa solusi, pendidikan diniagakan, narkoba meracuni di mana-mana, ekonominya digerogoti, lingkungannya dicemari dan dirusak, dan lain-lain. Bukanlah pembangunan jika hanya mengejar angka statistik tapi tidak mengurus satu persatu nasib orang Indonesia dalam persatuan Indonesia. Nggak tahu lagi kalau Indonesia ini hanya dijadikan ladang bisnis pribadi atau kelompok bagi para pengurusnya? Jika begitu, Indonesia tak akan pernah menjadi negara, sebab rakyat selalu kehilangan kedaulatan. Indonesia hanya menjadi (meminjam istilah Ben Anderson) ‘komunitas terbayang.’

(Subagyo, 22/1/2008)

Kamis, 17 Januari 2008

KEHILANGAN NEGARA

Suatu saat Rasulullah Muhammad SAW mengetahui penduduk Yahudi menghukum seorang terpidana zina dengan dijemur dan dipukuli. Lalu Rasulullah SAW memanggil ulama agama Yahudi untuk menglarifikasi aturan hukum dalam Taurat yang berlaku bagi kamu Yahudi. Ternyata hukuman yang seharusnya diterapkan bagi pezina menurut Taurat adalah hukuman rajam. Kaum Yahudi sengaja mengubah aturan hukum perzinaan itu karena adanya tabiat penyimpangan hukum Taurat yang dimotori para pembesar Yahudi. Jika para pembesar berzina, hukum diabaikan, tidak efektif. Persis seperti teori kurva kerucut efektivitas hukum, makin ke atas hukum makin tak berdaya. Lantas kaum Yahudi tersebut menciptakan aturan sendiri, yang mengandung sanksi lebih ringan, yaitu: dijemur dan dipukuli. Itu kisah dalam hadits riwayat Ahmad, Muslim dan lain-lain, salah satu asbabun nuzul (sebab turunnya) QS Al-Maidah: 42-47, di mana Allah memfatwa fasik, kafir dan zalim kepada orang-orang yang tidak menggunakan hukum Tuhan dalam memutuskan perkara.

Manusia modern mulai meninggalkan hukum Tuhan. Eropa Abad Kegelapan menjadi tolok ukur sejarah yang mengonklusi bahwa hukum Kitab Suci menjadi ’bahaya besar’ bagi rakyat sebab para ulama sebagai pemegang otoritas tafsir biasa bersekongkol dengan kekuasaan untuk menghabisi rakyat, terutama ’para pembangkang’. Galileo dihukum mati gara-gara membantah keyakinan geosentris gereja. Marthin Luther difatwa sesat, musuh Kristus, sekutu setan, gara-gara menentang otoritarianisme tafsir yang mengarah pada ’penjualan pertobatan’ dengan indulgensia itu. Ditambah lagi, sekularisme menganggap hukum Kitab Suci ’haram’ untuk mengurusi negara. Hukuman qishas, terutama hukuman mati bagi pembunuh, difatwa melanggar HAM oleh para pendekar HAM global. Terpaksa entah tidak, umat beragama membuang hukum Tuhan yang ada di Kitab Suci. Manusia modern memilih produk pikirannya sendiri. Tuhan dianggap kuno, ayat-ayatNya dianggap outdated atau dibumbui agar lebih sedap, serta diaransemen ulang, agar terwujud Tuhan yang baru yang lebih logis menurut jalan pikiran kaum modernis.

Tetapi berbagai eksperimen itu tak memperoleh hasil yang diharap. Hukum hasil pemikiran manusia juga bermasalah ketika diterapkan. Kita tak mempunyai bukti perbedaan akibat sosial ekstrim antara penerapan Hukum Islam di kerajaan Arab Saudi atau Republik Islam Iran dengan hukum sekuler di seluruh dunia. Semua akan tergantung moral penegaknya. Hukum sekuler mengalami nasib sama, ditafsir dengan otoritarianisme, oleh kepentingan. Bahkan dalam praktiknya muncul gaya baru interpretasi hukum yang disebut law interpretation by dollar.

Ambil contoh kasus-kasus korupsi dan kejahatan ekologis di negara ini yang menggunakan hukum sekuler. Apa yang terjadi? Pelajaran dari kegelapan Eropa abad pertengahan ataupun Arab di jamam jahiliah kita temui saat ini di sini. Hukum bukan hanya jauh dari perintah keadilan Tuhan, bukan lagi sekedar menjadi hukum fasik, kafir dan zalim, tapi mengarah pada penghilangan eksistensi ciri khas terpenting manusia, yaitu: berakal. Akal sudah tak lagi bekerja secara murni dalam penerapan hukum. Para penegak hukum tidak mau lagi berpikir apa yang akan terjadi jika hutan rusak di mana-mana, tak mau berpikir bagaimana nasib bangsa ini ketika terus digerogoti dan dihisap drakula-drakula sosial. Yang bekerja adalah akal yang terbelenggu nafsu, khususnya kepada uang atau kekayaan. Logika kolektivitas nasib rebah njrebabah.

Jika manusia kehilangan akal, tinggal nafsu, maka ia sudah jatuh ke level binatang. Dalam psikoanalisanya Sigmund Freud, itu merupakan orang dilevel kepribadian ’id’ atau hewaniyah, atau dalam bahasa Quran (Al-Furqan: 44) digolongkan lebih buruk dari hewan ternak, sebab menuhankan nafsunya. Ternyata tuhan baru hasil eksperimen manusia itu kalah dengan tuhan yang bernama nafsu itu. Orang Indonesia masa kini persis seperti masyarakat Quraish jahiliah; ketika ditanya siapa tuhanmu, mereka menjawab mantap, ”Allah!” Tapi setiap hari mereka menyembah berhala, mengkhianati Allah.

Lebih dari itu, hukum di negara ini juga dikendalikan oleh kaum yang lebih berbahaya dari Iblis. Mengapa? Dalam soal ini, Iblis lebih jujur dibanding manusia. Iblis telah ribuan tahun akrab dengan Allah, sebelum Adam diciptakan. Iblis disuruh Allah untuk tunduk hormat kepada Adam yang kemampuan akalnya lebih tinggi. Dengan ’jujur’ Iblis membangkang perintah Allah dan mendeklarasikan dirinya akan menipu-daya manusia untuk menyeret mereka ke dalam neraka. Iblis jujur mengatakan itu semua kepada Allah dan di hadapan Adam dengan gagah berani. Iblis tidak munafik, tidak menghancurkan manusia dengan tak memberitahu lebih dulu.

Kita melihat para penegak hukum itu tertib menjalankan ibadah ritual, konon untuk menyembah Tuhan. Tapi di balik itu ternyata mereka membangkang Tuhan dengan meminta atau menerima suap, menjungkirkan keadilan sosial ke dalam jurang kesengsaraan. Tempat-tempat ibadah tampaknya telah menjadi tempat pencucian tuhan lain mereka yang bernama uang (money laundering). Mereka adalah para pembangkang Tuhan sejati. Mereka berusaha menipu Tuhan. Mereka dari semula adalah penegak hukum yang telah terfatwa fasik, kafir dan zalim karena telah menerapkan ’cara lain’ daripada cara keadilan menurut Tuhan. Lantas fatwa apa lagi yang pantas diistilahkan untuk kaum pembangkang Tuhan yang lebih buruk daripada Iblis itu? Barangkali Majelis Ulama Indonesia (MUI) lebih tahu itu.

Robohnya keadilan sosial dalam berbagai kasus korupsi dan kejahatan ekologis, menandakan kita telah kehilangan negara. Sebab, seandainya negara ini ada maka akan ada para pengurus negara yang memberikan keadilan sosial bagi rakyatnya. Negara hanya ada jika hukumnya adalah keadilan, seperti juga kata Saint Augustine. Hukum Indonesia belum berdaulat sebab masih disetir oleh kekuasaan nafsu. Kalau kita hidup di negara yang setiap waktu marak dengan pencurian hak-hak keadilan publik yang bahkan dilakukan oleh para pengurus negara, maka apa bedanya dengan hidup di dalam wilayah genk perompak?

Pun dilihat dari kacamata syarat konstitutif negara, di sini hanya ada negara imajiner sebab kedaulatan rakyat telah dirampas, pemerintahannya tidak merdeka, dijajah oleh kekuatan uang. Indonesia kehilangan syarat sebagai negara. Maraknya demokrasi yang berbiaya mahal di negara ini hanyalah akan terus menelurkan perangai kekuasaan para pencuri yang berbau berhala. Alangkah malangnya Indonesia ini! Kita mestinya membutuhkan para nasionalis sejati seperti contohnya ulama pembebas di Burma, pengacara pejuang seperti di Pakistan dan Malaysia, para pejuang kemerdekaan Indonesia di masa lalu. Sebelum rakyat sendiri yang bergerak menuntut pengembalian status Indonesia sebagai negara, ketika para imam sosial pun hanya duduk menjadi makmum. Semakin kita abai dan toleran dengan keadaan itu, Indonesia semakin akan tenggelam.

KONSPIRASI EMAS DI BUYAT

Gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) kepada PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) dan pemerintah membentur tembok, digagalkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (18/12). Walhi menggugat NMR dan pemerintah, sebab ada dugaan pemerintah bersekongkol dengan NMR dalam kasus pencemaran dan perusakan lingkungan hidup di Buyat. Sebelumnya, Richard Ness, Direktur NMR dibebaskan hakim Pengadilan Negeri (PN) Manado, 24 April 2007.
Kasus pencemaran lingkungan di Buyat tersebut berbau anyir. Mantan Menteri Lingkungan Hidup, Sony Keraf menyatakan bahwa putusan PN Manado tersebut diduga merupakan hasil konspirasi antara NMR dengan pemerintah sebab NMR membayar 30 juta USD atau setara Rp 270 milyar kepada pemerintah, dengan syarat bahwa pemerintah mengakui tidak ada pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh NMR dan pemerintah tidak akan menggugat jika dikemudian hari terbukti ada pencemaran (Indosiar.com, 25/4/2007). Dana USD 30 juta tak otomatis masuk ke kas negara. NMR hanya menransfer USD 12 juta ke rekening penampung (escrow account) milik Kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Sisanya harus dicicil selama 10 tahun. Dana tersebut disepakati NMR dan pemerintah untuk keperluan pemulihan di kawasan Buyat (Jawa Pos, 1/5/2007).

Perjalanan kasus

Data dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menjelaskan bahwa kasus pencemaran Buyat oleh NMR diawali oleh pengaduan warga Dusun Buyat Pante, Bolaang Mongondow ke Mabes Polri di tahun 2004 ketika warga mengalami gangguan kesehatan diantaranya penyakit kulit (gatal-gatal), kejang-kejang, benjol-benjol, dan lumpuh selama beberapa bulan. 15 November 2004 pemerintah mengumumkan Teluk Buyat tercemar oleh tailing NMR. Dalam pemeriksaan pidananya Richard Ness ditetapkan menjadi tersangka.
Tanggal 9 Maret 2005, Kementerian Lingkungan Hidup RI mengerahkan 7 (tujuh) orang Jaksa Pengacara Negara dan 3 (tiga) advokat dari Kantor Widjojanto, Sonhadji & Associates untuk menggugat NMR melalui PN Jakarta Selatan dengan register perkara nomor 94/Pdt.G/2005/PN.Jak.Sel. Pemerintah menilai NMR telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga mencemari lingkungan hidup. Disamping tindakan pemulihan, pemerintah menggugat NMR ganti kerugian materiil sebesar 117.680.000,- USD dan imateriil sebesar Rp. 150 miliar. Apa dalil alasan gugatan pemerintah kepada NMR?
Pertama, Pemerintah dalam gugatannya menyatakan NMR telah melakukan pembuangan limbah tailing tanpa izin dari Menteri Lingkungan Hidup sebagaimana disyaratkan pasal 18 ayat (1) PP No. 19 / 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, terhitung sejak Pebruari 2001.
Kedua, berdasarkan hasil evaluasi laporan pelaksanaan Rencana Kelola Lingkungan/Rencana Pemantauan Lingkungan (RKL/RPL) yang dilakukan Menteri Lingkungan Hidup pada triwulan III/2000 dan triwulan I, III dan IV/2001, serta triwulan I/2002 ditemukan fakta pelanggaran oleh NMR terhadap syarat mutu limbah yang dibuang ke media lingkungan hidup berdasarkan Surat Menteri Lingkungan Hidup No. B-1456/BAPEDAL/07/2000. Mengenai detoksifikasi, tailing NMR sebelum dibuang ke laut juga mengandung logam berat (As, Fe, Cu, dan CN) di atas standar yang diizinkan menurut Surat Menteri Lingkungan Hidup No. B-1456/BAPEDAL/07/2000 tersebut.
Ketiga, Menteri Lingkungan Hidup telah melakukan evaluasi laporan periodik pelaksanaan RKL/RPL NMR triwulan I/1999 sampai dengan triwulan IV/2001 dan menemukan fakta diantaranya: hasil analisis kualitas air tanah pada sumur penduduk menunjukkan parameter kimiawi yang melebihi baku mutu yang telah ditetapkan. Lokasi ‘tercemar’ tersebut disebutkan dengan kode lokasi B.09, SP01, SP02, WB07, SW9, SW10, SW12, SW17, SW19, B, SP.
Keempat, Tim penanganan Kasus Pencemaran dan atau Perusakan Lingkungan Hidup di Desa Buyat Pantai dan Desa Ratatotok, Kecamatan Ratatotok Timur, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara yang dibentuk Menteri Lingkungan Hidup dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 97/2005 (diubah dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 191/2004) yang melibatkan BPPT, Puslabfor Mabes Polri, akademisi dari UI, Unpad, IPB, serta Universitas Sam Ratulangi, setelah melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa telah terjadi perubahan kualitas air sumur gali, udara, sedimen, bentos, plankton, phitoplankton dan ikan laut yang melebihi baku mutu lingkungan sehingga berakibat pada kualitas lingkungan serta kesehatan manusia. Tim Penanganan Kasus tersebut menemukan kadar Arsen total rata-rata pada ikan sebesar 1,37 mg/kg yang melebihi baku mutu kadar total Arsen yang ditetapkan Dirjen POM sebesar 1 mg/kg. Kandungan merkuri pada ikan yang dikonsumsi penduduk Desa Buyat Pante mengakibatkan asupan merkuri harian sebesar 82,82 % dari Tolerable Daily Intake (TDI) per-60 kg, sedangkan pada anak-anak berbobot badan 15 kg sebesar 80,98 % dari TDI. Tingginya kadar Arsen dan merkuri tersebut jika terus-menerus masuk terakumulasi dalam tubuh manusia tentu akan menimbulkan penyakit bagi manusia.
Dengan ‘transaksi’ 30 juta USD antara NMR dengan pemerintah tersebut maka gugatan pemerintah kepada NMR berhenti. Kasus publik yang menyangkut kepentingan rakyat berubah menjadi urusan ‘perdata privat’ antara pemerintah dengan NMR.

Tanggung jawab siapa?

Hakim PN Manado yang membebaskan Richard Ness dan NMR dalam kasus pidananya mengemukakan bahwa data pencemaran yang diajukan Jaksa Penuntut Umum dari Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri berbeda dengan sejumlah data pengujian lain yang dilakukan sejumlah instansi penelitian nasional maupun internasional yang menyatakan bahwa konsentrasi logam di dalam air, biota dan tubuh manusia berada di bawah baku mutu yang ditetapkan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Selain itu, hasil pengujian konsentrasi limbah tambang (tailing) yang dibuang ke laut bukan bahan beracun. Penempatan tailing di laut pada kedalaman 80 meter, tidak mengganggu termoklin dan selama ini tidak terbawa arus laut sehingga tidak mencemari perairaan. Soal tuduhan pembuangan tailing tanpa izin, sebelum beroperasi NMR telah membuat kajian Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang memuat pembuangan tailing ke laut, dan AMDAL tersebut telah disetujui pemerintah.
Hakim telah mengabaikan kenyataan materiil tentang penderitaan masyarakat akibat tercemarnya Buyat, sehingga putusan PN Manado tersebut telah menyimpang dari keadilan sosial dan moral (social and moral justice), disamping keadilan hukumnya sendiri (legal justice). Hukum kita dijalankan secara berputar-putar, membuat orang yang melihat menjadi pusing dan mual-mual. Mestinya sederhana saja, tinggal melihat adanya masyarakat korban dan mencari penyebabnya. Maka semakin banyaklah koleksi putusan pengadilan di negara ini yang ‘mendukung’ pencemaran dan perusakan ekologis. Dalam kasus pencemaran Buyat ini – dan kasus-kasus ekologis lainnya yang melibatkan para pemilik kapital – ternyata asas kemerdekaan kekuasaan kehakiman Indonesia terpenjara dalam terali kekuasaan para pemilik kapital.
Mau tidak mau masyarakat Buyat Pante dan sekitarnya harus menyingkir dari kondisi lingkungan tempat tinggal mereka yang berbahaya, jika mereka tidak ingin mengalami derita karena penyakit degeneratif. Dengan adanya pembiaran oleh pemerintah seperti itu maka ada bentuk bentuk kesalahan dollus (kesengajaan). Jadi, kasus pencemaran Buyat bukan lagi sekedar menjadi kasus pidana lingkungan hidup, tetapi telah menjadi kasus pelanggaran HAM (violation of human rights). Di sana ada konspirasi kejahatan kemanusiaan. Komnas HAM harus turun tangan. Hanya sebuah negara konyol dan tolol yang tak dapat menemukan siapa pelaku kejahatan yang mengorbankan rakyatnya. Apakah pencemaran lingkungan hidup Buyat dan sekitarnya akan dianggap ‘bencana alam’ seperti kasus Lumpur Lapindo?
Kasus-kasus pencemaran lingkungan hidup dan pelanggaran HAM yang menimbulkan korban rakyat tetap saja dapat bersembunyi di dalam ketiak persekongkolan kekuasaan. Pembangunan ekonomi yang bersifat kanibalistis, mengorbankan alam, menindas rakyat. Sementara forum hukum nasional juga terlalu gampang untuk tunduk dan terjajah pada kekuatan uang dan kekuasaan. Setiap hari negara ini menabung potensi-potensi bencana demi peningkatan statistik pertumbuhan ekonomi – di samping faktor-faktor pengayaan harta pribadi para pejabat - mengabaikan keselamatan rakyatnya. Innalillahi wainnailaihi roji’uun. (Subagyo)

KETIKA ALAM SELALU MENJADI TERTUDUH

Coba sekali lagi gugatlah pengurus negara ini ke pengadilan dalam kasus banjir dan longsor yang meluluh-lantakkan Jawa itu! Para hakim dijamin akan memutuskan bahwa itu merupakan bencana alam yang tak dapat dipertanggungjawabkan, bukan kesalahan manusia. Seperti ‘misterisasi’ kehancuran hutan di Sumatera Utara yang membebaskan Adelin Lis dari jerat hukum, pernyataan Menteri Kehutanan RI bahwa tak ada pembalakan liar di Riau, atau sulitnya mencari pelaku pembuangan limbah lumpur aktif (tailing) sebanyak 5 miliar ton di wilayah pertambangan Freeport sampai kini yang telah menghabiskan tiga buah bukit.

Atau, bebasnya pencemar dan perusak lingkungan Buyat Minahasa Selatan akibat pembuangan limbah tailing di wilayah pertambangan emas Newmont, serta ketiadaan penanggungjawab hukum semburan lumpur Lapindo di wilayah pertambangan migas di Sidoarjo. Atau, siapa penanggung jawab pengalihan fungsi lahan-lahan penyerap air hujan untuk keperluan pemukiman dan industri? Atau apa lagi? Kalau semua itu dianggap kesalahan alam maka ‘penghinaan’ itu akan terus dijawab oleh alam. Hanya kemurahan Tuhan jika tahun depan bencana tak akan datang lebih besar.

Dimangsa bangsa sendiri

Emosi bangsa memuncak ketika harga dirinya diinjak bangsa asing. Kita marah dijajah Belanda dan Jepang. Semangat juang berkobar-kobar. Para pengkhianat dapat dihitung jari. Ketika batik, angklung, lagu Rasa Sayange dan Reog Ponorogo dipakai Malaysia, kita marah, berontak di mana-mana, meski kita juga bebas menggunakan Barongsai Tiongkok dan suka memalsu merek asing dari sepatu, dompet, ikat pinggang, tas, sapu tangan, dan lain-lain. Sulit di negara ini untuk mencari barang yang tak dipalsu.

Tapi kedaulatan yang telah diperjuangkan dengan darah dan nyawa itu kini digunakan untuk menindas bangsa sendiri. Indonesia rupanya sedang membangun dengan cara menjajah. Kalau penjajahan Belanda dan Jepang dengan paksaan fisik, kini penjajahan menggunakan hukum produk demokrasi, tak tahu demokrasi aliran apa, sebab yang dipraktikkan mustahil demokrasi Pancasila. Mungkin demokrasi Buto Terong.

Pembangunan, menurut salah satu definisinya, adalah pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan siapapun (Johan Galtung, 1996). Sebuah negara membangun bertujuan untuk peningkatan keadaan rakyat. Kalau membangun dengan cara mengorbankan rakyat, meskipun sebagian kecil, tapi kalau ditoleransi maka seluruh pembangunan akan mengorbankan ’yang sebagian-sebagian’. Kalau sebagian-sebagian itu dikumpulkan, akan menjadi ’sebagian yang besar’. Korbankan sebagian rakyat Nusa Tenggara dan Minahasa Selatan untuk tambang Newmont, korbankan sebagian (besar) rakyat Papua untuk tambang Freeport, korbankan sebagian rakyat Sidoarjo untuk Bakrie Group (Lapindo)-Medco-Santos, korbankan sebagian rakyat Jawa Timur untuk penambangan pasir dan bukit serta industri, korbankan sebagian rakyat Aceh dan Bojonegoro untuk Exxon, korbankan sebagian rakyat Kalimantan dan Sumatera untuk tambang batu bara, dan seterusnya, maka rakyat akan menjadi korban di mana-mana. Tapi sesungguhnya siapa yang diuntungkan? ’Penjajah’, yang bentuknya merupakan konspirasi kekuasaan domestik dan asing dengan status hukum Indonesia, atas nama liberalisasi ekonomi dan payung globalisasi.

Siapa yang diuntungkan dengan keseolah-olahan ketololan BUMN di negara ini? Padahal banyak BUMN asing jauh lebih lihai: Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Singapura bernama Temasek yang bertiwikrama menjadi raksasa dunia padahal muncul dari sebuah negara seujung kuku Indonesia, Petrochina BUMN China yang merangsek dunia hingga merambah Amerika Serikat, Petronas BUMN Malaysia mantan murid Pertamina yang kini jauh meninggalkan ’gurunya.’ Korporasi-korporasi pembonceng lembaga kreditor dunia memanen berkah ketololan Indonesia. Dalam hukum bisnis para ’makelar’ proyek pasti memeroleh fee. Semakin besar proyek, semakin besar fee-nya. Di sana juga ada fee penjagaan investasi. Uang fee tersebut termasuk untuk membiayai politik kekuasaan. Negara ini tergadaikan, bahkan terjual. Kedaulatan Indonesia masih hanya utopia. Rakyat di sini dimangsa oleh bangsanya sendiri.

Lingkungan kematian

Bukan hanya kurap ekonomi dan kudis sosial yang diderita bangsa ini, akibat pembangunan ekonomi yang kasar, tapi juga wabah derita sosial, termasuk kematian rakyat, yang setiap waktu kambuh, yang juga muncul musiman, akibat menyepelekan alam (lingkungan hidup). Kita punya hukum lingkungan hidup. Tapi ya itu, ketika hukum itu sampai di tangan para hakim maka berubah menjadi Hukum Lingkungan Kematian. Hutan di Jawa hancur dijarah rakyat miskin, yang tetap miskin sehabis menjarah hutan, dirampok para pebisnis kayu yang bersekongkol dengan penegak hukum. Sel-sel penjara penuh rakyat miskin, tapi para penjahat kakap hanya beberapa saja yang dijadikan contoh dengan hukuman yang ternegosiasi. Pembangunan ekonomi Indonesia menerapkan ’Hukum Pasar’ di mana para investor atau pengusaha ’diupayakan untuk tidak dihukum’. Kali Surabaya tercemar lebih dari 25 tahun, tercemar abadi, sebab memang hukum tak mampu mencegah para pencemarnya. Kalau ada industri yang tertangkap, hukum bisa dinego. Penduduk Surabaya pun minum racun.

Kalau ekonom Faisal Basri yang sering menulis di Kompas itu mengatakan bahwa kekayaan migas Indonesia berubah menjadi kutukan, maka itu benar. Lebih benar lagi bahwa pembangunan ekonomi Indonesia menimbulkan kutukan. Indonesia terkutuk sebab selalu menyalahkan alam, termasuk putusan-putusan pengadilannya, padahal bencana-bencana itu akibat dari pembangunan yang mengabaikan keselamatan lingkungan, menabrak dan membedol fungsi-fungsi alamiah lingkungan hidup tanpa jalan penyelesaian, menyingkirkan kemampuan alamiah rakyat di sekitar wilayah pembangunan. Jika mau keluar dari bencana, sadari itu dan ubah paradigma pembangunan dengan lebih ramah ekologis!

Jika alam yang selalu disalahkan, pencemaran dikatakan bukan pencemaran, perusakan dikatakan pembangunan maka maunya tanggung jawab ada di tangan Tuhan. Apakah para polisi, jaksa dan hakim Indonesia akan menyidik, mendakwa, menuntut dan mengadili Tuhan yang telah menimpakan banyak ’bencana’ di negara ini? Kalau alam selalu menjadi tertuduh, padahal alam dioperasikan sistem Tuhan, maka terserah Beliau, mau diapakan Indonesia ini.


Kamis, 03 Januari 2008

Opini Lumpur - Opini Akrobat

Artikel Mochamad Toha (MT), watawan Forum Keadilan, yang dimuat Jawa Pos (3/1/2008) berjudul ‘Vonis Perdata Sama dengan Bebaskan Lapindo?’ ( bisa dilihat di: http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=319856 ). MT menjawab judul artikelnya itu pada pokoknya sebagai berikut: (1) Vonis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (27/12/2007) yang menolak gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) kepada Lapindo Brantas Inc. (Lapindo) bisa menjadi amunisi ‘status hukum’ Lapindo dalam kasus semburan lumpur. Lapindo bisa ‘terbebas’ dari segala kewajiban akibat dampak semburan lumpur. (2) Dua vonis perdata (PN Jakarta Pusat dan PN Jakarta Selatan) yang menolak gugatan YLBHI dan Walhi memerkuat posisi Lapindo di mata hukum. (3) Hak-hak ekosob (ekonomi, sosial dan budaya) korban semburan lumpur Lapindo telah dipenuhi dengan bantuan Lapindo kepada korban berupa bantuan sewa rumah, uang pindah, jatah hidup, biaya pendidikan dan kesehatan, relokasi 10 pabrik, bantuan usaha 306 UKM, perjanjian jual-beli, bantuan pekerja, sewa tanah gagal panen, transaksi ‘ganti untung’ lahan warga korban, biaya penanganan teknis dan nonteknis. Kita disuruh menghitung sendiri jumlahnya. Juga dikeluarkan Kepres No. 13/2006 dan Perpres No. 14/2007 untuk penanganan semburan.

(4) Gugatan Walhi dan YLBHI dianggap tidak mendasar dengan melihat fakta dan semua proses penanganan semburan lumpur, tak ada yang bisa memastikan bahwa semburan lumpur itu berasal dari sumur Lapindo, sehingga wajar hakim menolak gugatan Walhi dan YLBHI. (5) Upaya penutupan semburan lumpur yang dilakukan selalu gagal, mengartian bahwa sumber semburan bukan dari Sumur Banjar Panji-1 (BJP-1). (6) Konsekuensi vonis hakim tersebut Lapindo bisa lepas dari tuntutan perdata. (7) Secara pidana polisi cuma bergantung pada progress report Lapindo, sebab tempat kejadian perkara (TKP) sudah rusak, sehingga jaksa dan hakim pun tidak mungkin bisa sidang di TKP. (8) Dengan vonis hakim tersebut Lapindo bisa menuntut balik, harta Aburizal Bakrie senilai Rp. 50,22 triliun pun tak berkurang. “Mau?” tanya MT.

Keliru

Di level permukaan dasar-dasar ilmu, termasuk ilmu hukumnya MT sudah keliru, apalagi untuk masuk ke kedalamannya. Pertama, penggunaan istilah ‘tuntutan’ dalam upaya hukum perdata adalah tidak tepat. Sejak berlakunya KUHAP yang menggunakan istilah yuridis ‘tuntutan’ yang menjadi wewenang Jaksa Penuntut Umum maka istilah ‘tuntutan’ dalam hukum perdata dibiasakan (dilazimkan) dengan ‘gugatan’. Itu sudah menjadi istilah yuridis. Jika terjemahan BW (KUHPerdata) ataupun HIR dalam Bahasa Indonesia masih menggunakan istilah ‘tuntutan’ maka perlu dikoreksi.

Kedua, MT menganggap ‘bantuan’ Lapindo kepada korban sebagai pelaksanaan hak ekosob. Itu keliru besar. Bantuan Lapindo itu tidak mengikat secara hukum. Perbuatan ‘memberikan bantuan’ bukan kewajiban hukum, tapi bisa menjadi kewajiban moral. Kami berterima kasih atas ‘bantuan’ Lapindo itu kepada warga korban. Tapi bantuan tak menghilangkan pertanggngjawaban hukum. Di samping itu, hak ekosob itu merupakan bagian hak asasi manusia (HAM). Kalau warga korban memunyai ‘hak’ ekosob maka di pihak lain ada yang memunyai ‘kewajiban’ memenuhi hak ekosob. Dalam UUD 1945 (yang telah diamandemen) pihak yang berkewajiban memenuhi, memajukan dan menegakkan HAM adalah negara, terutama pemerintah (pasal 28 I ayat 4). Jadi, kalau ‘bantuan’ diopinikan sebagai pemenuhan HAM (hak ekosob), itu akrobat. Mungkin belum begitu paham soal HAM, atau ada apa?

Ketiga, putusan PN Jakarta Pusat dan PN Jakarta Selatan yang ‘memenangkan’ Lapindo belum memunyai akibat hukum apapun kalau YLBHI dan Walhi mengajukan upaya banding. Itu berkaitan dengan asas hukum acara perdata. Maka, keliru besar jika putusan pengadilan pertama yang belum memunyai kekuatan hukum tetap itu dianggap dapat menjadi amunisi, alat pembebas Lapindo, memerkuat posisi hukum Lapindo di mata hukum. Jika dilakukan upaya hukum sesuai dengan prosedur hukum yang tersedia (banding atau kasasi) maka sebuah putusan pengadilan tingkat pertama menjadi belum berkekuatan hukum tetap, dianggap ‘mentah.’ Mahasiswa Fakultas Hukum semester IV paham soal begitu. Pendapat MT seperti itu hanya akrobat, bisa ‘menyihir’ pemahaman sosial tentang hukum, terutama yang masih awam hukum.

Keempat, soal penanganan kasus pidananya, MT tidak harus seolah-olah menganggap polisi (penyidik) tolol hanya mengandalkan progress report Lapindo. Kami sudah pernah bertemu dengan Tim Penyidik Polda Jatim, mereka sudah bekerja keras, alat-alat buktinya sangat lengkap, termasuk melakukan pemeriksaan barang-barang bukti serta dokumen-dokumen yang tak terakses para ahli yang dipakai Lapindo. Dalam hukum acara pidana tak ada kewajiban bagi hakim untuk melakukan pemeriksaan perkara di TKP. Akibat kasus semburan lumpur itu sudah menjadi ‘pengetahuan umum.’ Penyidik sudah melimpahkan kasus itu ke Kejaksaa Tinggi Jawa Timur beberapa kali, selalu dikembalikan. Alasannya, pendapat ahli dari Lapindo berbeda dengan pendapat ahli lainnya. Lha iya, itu biasa. Para koruptor untuk membebaskan diri juga mengajukan keterangan ahli, tapi perkaranya tetap bisa jalan kan?

Kelima, soal ilmu teknik berkaitan dengan apakah semburan itu akibat kesalahan Lapindo atau bencana alam maka saya tidak berkompeten untuk menjelaskan karena bukan ahlinya. Nanti bisa keliru. MT juga bukan ahli petrolium geologis. Jadi, untuk menjelaskan soal itu saya harus ‘meminjam hasil penelitian’ ahli yang memunyai kompetensi keilmuan di bidang tersebut.

Kalkulasi alat bukti

Saya akan khusus membahas tentang apakah di pengadilan terbukti bahwa semburan lumpur Lapindo akibat kesalahan eksplorasi yang menjadi tanggung jawab Lapindo. Ukurannya adalah standar degree of evidence dalam hukum acara perdata, sebab gugatan YLBHI (soal HAM) dan Walhi (soal lingkungan hidup) menggunakan hukum perdata.

Kalau YLBHI dan Walhi (selaku penggugat) mengajukan alat bukti surat berupa Hasil Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyimpulkan bahwa semburan lumpur Lapindo akibat kesalahan eksplorasi maka alat bukti tersebut adalah termasuk akte otentik yang memunyai kekuatan hukum sempurna dan mengikat (pasal 1870 KUHperdata). Batas minimal pembuktian dengan akte otentik adalah cukup satu akte otentik itu sendiri (baca juga Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Gugatan – Putusan Pengadilan, 2007: 546).

Apakah hasil audit BPK itu memang tergolong akte otentik? Ukuran dasarnya pasal 1868 KUHPerdata, yaitu akte yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akte dibuat. Pejabat BPK jelas masuk kategori pejabat yang berwenang. Bentuk hasil kerjanya ditentukan UU No. 15/2006 tentang BPK. Tapi apa BPK berwenang menyimpulkan Lapindo melakukan kesalahan dalam eksplorasi?

Lapindo merupakan kontraktor production sharing (KPS) Blok Brantas yang menurut sistem UU No. 22/2001 tentang Migas mengelola ‘kekayaan negara’ (migas) sehingga BPK berwenang mengaudit KPS, sesuai fungsi BPK menurut UU No. 15/2006 dan dalam rangka audit tersebut BPK juga berwenang mengaudit kinerja dan pemeriksaan untuk tujuan tertentu (pasal 6 ayat 3). Bagi BPK, menyimpulkan salah atau tidaknya Lapindo dalam kasus semburan lumpur itu penting untuk keperluan kebijakan pemerintah, apakah nantinya uang yang akan dikeluarkan untuk menanggulangi masalah itu uang Lapindo atau uang negara. Kalau hasil audit BPK menyimpulkan Lapindo salah dalam kinerjanya maka itu menjadi tanggung jawab finansial Lapindo. Jadi, hasil audit BPK dalam kasus semburan lumpur itu tergolong akte otentik.

Nah, hanya dengan alat bukti hasil audit BPK tersebut maka secara hukum terbukti bahwa Lapindo bersalah. Lantas bagaimana hakim kok memihak Lapindo berdasarkan keterangan ahli yang diajukan Lapindo? Dalam hukum acara perdata, keterangan ahli (orang awam hukum menyebut saksi ahli) itu bukan alat bukti. Lihat pasal 164 HIR dan pasal 1866 KUHPerdata, di sana tidak mencantumkan ‘keterangan ahli’ sebagai alat bukti. Keterangan ahli tersebut bisa dalam bentuk tulisan atau lisan, tapi harus disumpah. Cara menilai kekuatan pembuktiannya tidak bisa berdiri sendiri sebab keterangan ahli bukan alat bukti, tapi hanya berfungsi ‘menjelaskan’ duduk perkara. Lapindo tidak memunyai alat bukti kecuali hasil analisis para ahli termasuk penelitian laboratorium. Bukankah hasil audit BPK juga termasuk keteragan ahli? Ya, tapi keterangan ahli yang dipakai BPK berada di konteks penelitian, tapi dokumen hasil audit BPK sudah menjadi akte otentik.

Apalagi keterangan ahli yang diajukan Lapindo berlawanan dengan keterangan ahli yang diajukan YLBHI dan Walhi sehingga posisi kekuatan hukum keterangan ahli pihak penggugat dengan tergugat menjadi ‘meragukan’. Akhirnya, hakim seharusnya terikat dengan alat bukti akte otentik, hasil audit BPK tersebut. Jadi, kalau hakim menggunakan keterangan ahli dari Lapindo sebagai alat bukti yang ‘menentukan perkara’ maka hakimnya harus belajar lebih banyak soal penerapan Teori Pembuktian. Atau, ada sesuatu lain yang membuatnya menjadi begitu, seperti kata Djoko Sarwoko, pejabat MA, bahwa 90 persen hakim Indonesia korup? (Jawa Pos, 6/12/2007).

Risiko KPS

Di luar perdebatan soal kesalahan Lapindo, orang hukum melupakan prinsip yang dianut dalam UU No. 22/2001. Pasal 6 ayat (2) huruf c UU No. 22/2001 menentukan bahwa kontrak kerjasama kegiatan usaha hulu migas harus menentukan syarat ditanggungnya modal dan risiko oleh pelaku usaha. Istilah ‘risiko’ dalam UU No. 22/2001 tersebut tidak bicara soal kesalahan, tapi yang jelas semburan lumpur tersebut berada dalam ‘kawasan risiko’ Blok Brantas. Definisi ‘risiko’ dalam doktrin Hukum Perikatan (menurut Prof. Subekti) ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak. Subekti juga berpendapat bahwa kata ‘risiko’ berarti kewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian (Subekti, 1982: 144). Lihat juga definisi di kamus-kamus hukum.

Penjelasan pasal 6 ayat (2) UU No. 22/2001 tersebut juga memuat penjelasan: “Modal dan risiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap adalah bahwa dalam Kontrak Kerja Sama ini Pemerintah melalui Badan Pelaksana berdasarkan Undang-undang ini tidak diperbolehkan untuk mengeluarkan investasi dan menanggung risiko finansial dalam pelaksanaan Kontrak Kerja Sama.” Kalau soal risiko tersebut dikaitkan dengan kesalahan Lapindo dalam kasus semburan lumpur tersebut (sesuai hasil audit BPK) maka Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memberanikan diri menjadi ‘pagar’ pembatas tanggung jawab Lapindo dan induk korporasinya dengan pasal 15 Perpres No. 14/2007 itu. Kelak bisa ada implikasi hukumnya, sebab menabrak prinsip penanggungan risiko oleh Lapindo selaku KPS di Blok Brantas.

Jadi, dengan bekal UU No. 22/2001 yang konon ‘pesanan asing’ itu, apakah semburan lumpur itu karena ‘perbuatan Tuhan’ (bencana alam) atau perbuatan sub-sub kontraktor dari kontraktor yang ditunjuk Lapindo, maka Lapindo tetap menanggung seluruh risikonya. Jika itu dianggap apes juga tidak, sebab katanya harta Aburizal Bakrie (yang lebih tepat: ‘keluarga’ Bakrie) sebesar Rp. 50,22 triliun, yang juga termasuk diperoleh dari menambang kekayaan rakyat Indonesia.

Mudah-mudahan penjelasan ini bisa menyadarkan yang membaca bahwa pemain akrobat itu kadang-kadang membahayakan masyarakat ‘konsumen’ akrobat. Minimal, agar tidak tergelincir dalam memahami ilmu hukum dan HAM.

Tolong juga kalau analisis ini keliru juga dibetulkan agar tidak tergelincir!

Beberapa ahli yang ‘dipakai’ Lapindo:

1. Ir Agus Guntoro, dosen Teknik Geologi Universitas Trisakti menerangkan bahwa fenomena Lumpur Sidoarjo merupakan mud volcano yang murni akibat aktivitas alam, tidak ada campur tangan manusia sama sekali. Kejadian itu menurut Agus tidak ada kaitannya dengan aktivitas pengeboran oleh Lapindo, melainkan dipicu oleh gempa Yogyakarta 27 Mei 2006.

2. Prof Dr Ir Sukandar Asikin, PhD, guru besar Teknik Geologi ITB. Dengan memaparkan teori tentang fenomena pergerakan lempeng benua – sesuai keahliannya sebagai pakar tektonik – Asikin mengarahkan pendapatnya bahwa peristiwa Lumpur Sidoarjo diakibatkan oleh gempa Yogyakarta.

3. Sofyan Hadi Djojopranoto, saksi ahli ketiga, yang juga merupakan Deputi Bidang Operasi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), staf ahli riset ITS. Sofyan juga sependapat dengan para saksi ahli sebelumnya bahwa Lumpur Sidoarjo disebabkan oleh aktivitas tektonik

4. Dr. Dodi Nawangsidi dari Teknik Perminyakan ITB, ahli di bidang pengeboran (drilling). Dodi mengakui ketidaksesuaian drilling dengan perencanaan, tapi hal ini dianggap wajar. Dodi membuat perumpamaan, “Jika naik mobil dari Bandung ke Jakarta, di awal sudah direncanakan jam segini nyampai Puncak, dalam kenyataannya bisa tidak sesuai…”

5. Prof. Agoes Sugianto ahli ekotoksikologi dari Fakultas MIPA Universitas Airlangga Surabaya. Agus mengatakan punya teman dari Puslitbang Geologi Kelautan, dia bilang lumpur Sidoarjo malah bisa dipakai untuk spa, bisa menyembuhkan penyakit.

( juga ada di: http://walhicourtcase.wordpress.com ).

Ahli yang diajukan Walhi di pengadilan:

1. Dr Rudi Rubiandini, ahli pertambangan ITB, mantan Ketua Tim Investigasi Independen yang dibentuk pemerintah yang meneliti kasus semburan lumpur Lapindo. Rudi telah membantah semburan lumpur Lapindo itu bukan fenomena alam belaka.

2. Ahli lainnya frustasi, tidak jadi memberikan keterangan karena dipersulit hakim beberapa kali.

Rabu, 02 Januari 2008

ADAKAH NEGARA INDONESIA?

Hingga hari ini masyarakat korban lumpur Lapindo dibiarkan dalam derita berkepanjangan, dibiarkan bertarung melawan Lapindo yang terus bisa secara gagah mendiktekan kehendaknya kepada masyarakat korban sehingga masyarakat korban menderita depresi dan hampir-hampir putus asa. Tidak ada tindakan pemerintahan yang tegas yang memihak kepada rakyat yang telah sengsara itu, kecuali hanya formalitas separuh hati. Keadilan tampaknya hanya ada di dalam mimpi. Dalam masalah korupsi, uang BLBI menguap ratusan triliun, uang APBN dan APBD dibuat kenduri, dana nonbujeter lembaga pemerintahan dijadikan pesta-pora. Para pelakunya adalah elit-elit politik dan kekuasaan. Uang negara selain digelapkan untuk memperkaya diri juga masuk ke kantong-kantong partai politik guna membiayai pesta kebohongan kepada rakyat saat kampanye. Kini kita juga dikejutkan berita tentang ‘mengendapnya’ pengembalian uang hasil korupsi di Kejaksaan.

Hak-hak rakyat banyak direduksi, diambil dalam konspirasi antara pemerintah dengan korporasi yang diberikan ijin-ijin eksplorasi dan eksploitasi atas kekayaan negara. Di sana juga terdapat persekongkolan penggelapan kekayaan negara (korupsi). BPK tahun 2006 menemukan ada lima korporasi usaha hulu migas yang merugikan negara Rp. 23 triliun dengan modus penyalahgunaan Production Sharing Contract (PSC). Padahal itu baru penemuan 5 dari 46 PSC di Indonesia. Ada banyak lagi fakta yang sejenis semua itu di republik ini.

Kalau melihat fakta-fakta seperti itu, lantas kita patut bertanya, apakah negara Indonesia ini nyata-nyata ada, ataukah kita sedang hidup berada di wilayah yang dikuasai geng penipu?

Eksistensi negara

Menurut Ilmu Negara, negara dibentuk oleh tiga unsur pokok, yaitu: wilayah, pemerintahan yang berdaulat dan rakyat. Dalam Hukum Internasional juga disyaratkan adanya pengakuan dari negara lain. Kita memang mempunyai wilayah dan kita adalah rakyat. Tapi, apakah pemerintahan Indonesia telah berdaulat?

Daulat artinya kekuasaan. Pemerintahan berdaulat adalah pemerintahan yang mempunyai kekuasaan, mandiri, merdeka, tidak terjajah. Jika dihubungkan dengan prinsip UUD 1945, kedaulatan ada di tangan rakyat. Artinya, pemerintah Indonesia diberikan mandat menjalankan kedaulatan rakyat.

Berdaulatkah pemerintah Indonesia jika dalam banyak hal kebijakan politik, hukum dan ekonominya terdesak hegemoni asing? Di mana kedaulatan itu jika selalu memenuhi permintaan asing untuk menangkapi rakyatnya sendiri yang didaftar oleh asing sebagai tersangka teroris tanpa ada kemandirian dalam penegakan hukum? Bagaimana ada kedaulatan pemerintahan jika kenyataannya sumber-sumber kekayaan alam yang penting bagi negara ternyata dikelola asing yang seringkali berbenturan dengan penderitaan rakyat sebagai korban?

Jangan-jangan negara ini telah masuk dalam perangkap praktik heraclitusisasi Barat, terutama Amerika Serikat (AS), yang menganggap perang (termasuk dalam konteks liberalisasi dan pasar bebas) sebagai otoritas penciptaan norma tertinggi, nilai tertinggi dan kebajikan, seperti yang dikatakan Heraclitus? Sadar atau tidakkah bahwa dalam perang itu kita yang menjadi kaum kalah (dikuasai) dan mereka (Barat) menjadi pemenang (penguasa)?

Ini bukan antimodal asing. Jauh lebih penting adalah melihat tujuan modal asing masuk ke negara ini dan akibatnya bagi rakyat atas pemenuhan hak-hak keadilan kepada rakyat sebagai pemilik hak kedaulatan negara. Jika kemudian kedaulatan itu dipersembahkan kepada asing, para pemilik kapital asing dan domestik, di mana pemerintah bukan menjadi pengendali tetapi malah dikendalikan, maka kita belum hidup dalam sebuah negara. Kita masih hidup di komunitas perampasan atas hak-hak rakyat.

Dari perspektif filsafat hukum, Saint Augustine mengatakan bahwa apa yang dilakukan secara tidak adil adalah melanggar hukum. Di mana tidak ada keadilan sejati maka di situ tidak ada hukum, sebab apa yang diperbuat hukum diperbuat oleh keadilan. Negara merupakan komunitas hukum yang tidak akan ada jika tanpa keadilan (Hans Kelsen, 1978).

Dengan melihat ketidakadilan yang ada; terlunta-luntanya korban lumpur Lapindo, banyaknya orang miskin hidup di wilayah-wilayah eksploitasi oleh korporasi, penggunaan alat kekuasaan negara untuk menyiksa dan membunuh rakyat kecil, korupsi merajalela dan contoh-contoh kepiluan sosial di negara ini, jika diteropong dari pandangan filsafat hukum dan serta teori negara tersebut, menunjukkan bahwa di sini juga tidak ada komunitas hukum yang bernama negara, sebab keadilan hanya menjadi bintang di atas langit yang tak dapat tersentuh ujung jari.

Rakyatlah yang telah memilih para pejabat negara yang membentuk pemerintahan. Tetapi ternyata pemerintah kehilangan kedaulatan dan sekaligus merampas hak-hak keadilan rakyat. Sesungguhnya rakyatpun telah gagal dalam menyusun negara. Rakyat telah keliru dalam menentukan pilihannya. Rakyat telah menyerahkan mandat kedaulatan kepada orang-orang yang tidak amanah, sehingga itu menjadi kesalahan kolektif rakyat di wilayah yang belum patut di sebut negara ini.

Pertanyaannya: adakah orang-orang di Bumi Pertiwi ini yang bisa amanah jika ia diberikan mandat untuk melaksanakan kedaulatan rakyat? Bisakah kemudian mereka memberikan hak-hak keadilan bagi rakyat, sehingga kita akan benar-benar mempunyai negara?

Jangan-jangan kita akan impor manusia untuk menjalankan kedaulatan dan keadilan, seperti halnya kita impor beras, bawang, gula dan kedelai, padahal tanah kita masih terlalu luas untuk ditanami segala jenis varietas, tetapi masyarakat petani tersingkir dan termiskinkan akibat industrialisasi koruptif dan tidak ramah kepada lingkungan (terutama kepada manusianya).

Jika terus begitu, kita tak akan pernah hidup di sebuah komunitas hukum bernama negara. Hanya para pemimpin negara yang amanah yang akan merealisasikan bahwa kita benar-benar mempunyai negara. Kalau ada rakyat di Aceh dan Papua yang menurunkan bendera merah putih, maka di pusat-pusat kekuasaan pemerintahan di Jakarta dan daerah-daerah ada banyak pengkhianat Pancasila dan UUD 1945 yang sok hormat kepada merah putih, tapi sesungguhnya mereka para perongrong negara.