Rabu, 02 Januari 2008

ADAKAH NEGARA INDONESIA?

Hingga hari ini masyarakat korban lumpur Lapindo dibiarkan dalam derita berkepanjangan, dibiarkan bertarung melawan Lapindo yang terus bisa secara gagah mendiktekan kehendaknya kepada masyarakat korban sehingga masyarakat korban menderita depresi dan hampir-hampir putus asa. Tidak ada tindakan pemerintahan yang tegas yang memihak kepada rakyat yang telah sengsara itu, kecuali hanya formalitas separuh hati. Keadilan tampaknya hanya ada di dalam mimpi. Dalam masalah korupsi, uang BLBI menguap ratusan triliun, uang APBN dan APBD dibuat kenduri, dana nonbujeter lembaga pemerintahan dijadikan pesta-pora. Para pelakunya adalah elit-elit politik dan kekuasaan. Uang negara selain digelapkan untuk memperkaya diri juga masuk ke kantong-kantong partai politik guna membiayai pesta kebohongan kepada rakyat saat kampanye. Kini kita juga dikejutkan berita tentang ‘mengendapnya’ pengembalian uang hasil korupsi di Kejaksaan.

Hak-hak rakyat banyak direduksi, diambil dalam konspirasi antara pemerintah dengan korporasi yang diberikan ijin-ijin eksplorasi dan eksploitasi atas kekayaan negara. Di sana juga terdapat persekongkolan penggelapan kekayaan negara (korupsi). BPK tahun 2006 menemukan ada lima korporasi usaha hulu migas yang merugikan negara Rp. 23 triliun dengan modus penyalahgunaan Production Sharing Contract (PSC). Padahal itu baru penemuan 5 dari 46 PSC di Indonesia. Ada banyak lagi fakta yang sejenis semua itu di republik ini.

Kalau melihat fakta-fakta seperti itu, lantas kita patut bertanya, apakah negara Indonesia ini nyata-nyata ada, ataukah kita sedang hidup berada di wilayah yang dikuasai geng penipu?

Eksistensi negara

Menurut Ilmu Negara, negara dibentuk oleh tiga unsur pokok, yaitu: wilayah, pemerintahan yang berdaulat dan rakyat. Dalam Hukum Internasional juga disyaratkan adanya pengakuan dari negara lain. Kita memang mempunyai wilayah dan kita adalah rakyat. Tapi, apakah pemerintahan Indonesia telah berdaulat?

Daulat artinya kekuasaan. Pemerintahan berdaulat adalah pemerintahan yang mempunyai kekuasaan, mandiri, merdeka, tidak terjajah. Jika dihubungkan dengan prinsip UUD 1945, kedaulatan ada di tangan rakyat. Artinya, pemerintah Indonesia diberikan mandat menjalankan kedaulatan rakyat.

Berdaulatkah pemerintah Indonesia jika dalam banyak hal kebijakan politik, hukum dan ekonominya terdesak hegemoni asing? Di mana kedaulatan itu jika selalu memenuhi permintaan asing untuk menangkapi rakyatnya sendiri yang didaftar oleh asing sebagai tersangka teroris tanpa ada kemandirian dalam penegakan hukum? Bagaimana ada kedaulatan pemerintahan jika kenyataannya sumber-sumber kekayaan alam yang penting bagi negara ternyata dikelola asing yang seringkali berbenturan dengan penderitaan rakyat sebagai korban?

Jangan-jangan negara ini telah masuk dalam perangkap praktik heraclitusisasi Barat, terutama Amerika Serikat (AS), yang menganggap perang (termasuk dalam konteks liberalisasi dan pasar bebas) sebagai otoritas penciptaan norma tertinggi, nilai tertinggi dan kebajikan, seperti yang dikatakan Heraclitus? Sadar atau tidakkah bahwa dalam perang itu kita yang menjadi kaum kalah (dikuasai) dan mereka (Barat) menjadi pemenang (penguasa)?

Ini bukan antimodal asing. Jauh lebih penting adalah melihat tujuan modal asing masuk ke negara ini dan akibatnya bagi rakyat atas pemenuhan hak-hak keadilan kepada rakyat sebagai pemilik hak kedaulatan negara. Jika kemudian kedaulatan itu dipersembahkan kepada asing, para pemilik kapital asing dan domestik, di mana pemerintah bukan menjadi pengendali tetapi malah dikendalikan, maka kita belum hidup dalam sebuah negara. Kita masih hidup di komunitas perampasan atas hak-hak rakyat.

Dari perspektif filsafat hukum, Saint Augustine mengatakan bahwa apa yang dilakukan secara tidak adil adalah melanggar hukum. Di mana tidak ada keadilan sejati maka di situ tidak ada hukum, sebab apa yang diperbuat hukum diperbuat oleh keadilan. Negara merupakan komunitas hukum yang tidak akan ada jika tanpa keadilan (Hans Kelsen, 1978).

Dengan melihat ketidakadilan yang ada; terlunta-luntanya korban lumpur Lapindo, banyaknya orang miskin hidup di wilayah-wilayah eksploitasi oleh korporasi, penggunaan alat kekuasaan negara untuk menyiksa dan membunuh rakyat kecil, korupsi merajalela dan contoh-contoh kepiluan sosial di negara ini, jika diteropong dari pandangan filsafat hukum dan serta teori negara tersebut, menunjukkan bahwa di sini juga tidak ada komunitas hukum yang bernama negara, sebab keadilan hanya menjadi bintang di atas langit yang tak dapat tersentuh ujung jari.

Rakyatlah yang telah memilih para pejabat negara yang membentuk pemerintahan. Tetapi ternyata pemerintah kehilangan kedaulatan dan sekaligus merampas hak-hak keadilan rakyat. Sesungguhnya rakyatpun telah gagal dalam menyusun negara. Rakyat telah keliru dalam menentukan pilihannya. Rakyat telah menyerahkan mandat kedaulatan kepada orang-orang yang tidak amanah, sehingga itu menjadi kesalahan kolektif rakyat di wilayah yang belum patut di sebut negara ini.

Pertanyaannya: adakah orang-orang di Bumi Pertiwi ini yang bisa amanah jika ia diberikan mandat untuk melaksanakan kedaulatan rakyat? Bisakah kemudian mereka memberikan hak-hak keadilan bagi rakyat, sehingga kita akan benar-benar mempunyai negara?

Jangan-jangan kita akan impor manusia untuk menjalankan kedaulatan dan keadilan, seperti halnya kita impor beras, bawang, gula dan kedelai, padahal tanah kita masih terlalu luas untuk ditanami segala jenis varietas, tetapi masyarakat petani tersingkir dan termiskinkan akibat industrialisasi koruptif dan tidak ramah kepada lingkungan (terutama kepada manusianya).

Jika terus begitu, kita tak akan pernah hidup di sebuah komunitas hukum bernama negara. Hanya para pemimpin negara yang amanah yang akan merealisasikan bahwa kita benar-benar mempunyai negara. Kalau ada rakyat di Aceh dan Papua yang menurunkan bendera merah putih, maka di pusat-pusat kekuasaan pemerintahan di Jakarta dan daerah-daerah ada banyak pengkhianat Pancasila dan UUD 1945 yang sok hormat kepada merah putih, tapi sesungguhnya mereka para perongrong negara.

Tidak ada komentar: