Kamis, 17 Januari 2008

KETIKA ALAM SELALU MENJADI TERTUDUH

Coba sekali lagi gugatlah pengurus negara ini ke pengadilan dalam kasus banjir dan longsor yang meluluh-lantakkan Jawa itu! Para hakim dijamin akan memutuskan bahwa itu merupakan bencana alam yang tak dapat dipertanggungjawabkan, bukan kesalahan manusia. Seperti ‘misterisasi’ kehancuran hutan di Sumatera Utara yang membebaskan Adelin Lis dari jerat hukum, pernyataan Menteri Kehutanan RI bahwa tak ada pembalakan liar di Riau, atau sulitnya mencari pelaku pembuangan limbah lumpur aktif (tailing) sebanyak 5 miliar ton di wilayah pertambangan Freeport sampai kini yang telah menghabiskan tiga buah bukit.

Atau, bebasnya pencemar dan perusak lingkungan Buyat Minahasa Selatan akibat pembuangan limbah tailing di wilayah pertambangan emas Newmont, serta ketiadaan penanggungjawab hukum semburan lumpur Lapindo di wilayah pertambangan migas di Sidoarjo. Atau, siapa penanggung jawab pengalihan fungsi lahan-lahan penyerap air hujan untuk keperluan pemukiman dan industri? Atau apa lagi? Kalau semua itu dianggap kesalahan alam maka ‘penghinaan’ itu akan terus dijawab oleh alam. Hanya kemurahan Tuhan jika tahun depan bencana tak akan datang lebih besar.

Dimangsa bangsa sendiri

Emosi bangsa memuncak ketika harga dirinya diinjak bangsa asing. Kita marah dijajah Belanda dan Jepang. Semangat juang berkobar-kobar. Para pengkhianat dapat dihitung jari. Ketika batik, angklung, lagu Rasa Sayange dan Reog Ponorogo dipakai Malaysia, kita marah, berontak di mana-mana, meski kita juga bebas menggunakan Barongsai Tiongkok dan suka memalsu merek asing dari sepatu, dompet, ikat pinggang, tas, sapu tangan, dan lain-lain. Sulit di negara ini untuk mencari barang yang tak dipalsu.

Tapi kedaulatan yang telah diperjuangkan dengan darah dan nyawa itu kini digunakan untuk menindas bangsa sendiri. Indonesia rupanya sedang membangun dengan cara menjajah. Kalau penjajahan Belanda dan Jepang dengan paksaan fisik, kini penjajahan menggunakan hukum produk demokrasi, tak tahu demokrasi aliran apa, sebab yang dipraktikkan mustahil demokrasi Pancasila. Mungkin demokrasi Buto Terong.

Pembangunan, menurut salah satu definisinya, adalah pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan siapapun (Johan Galtung, 1996). Sebuah negara membangun bertujuan untuk peningkatan keadaan rakyat. Kalau membangun dengan cara mengorbankan rakyat, meskipun sebagian kecil, tapi kalau ditoleransi maka seluruh pembangunan akan mengorbankan ’yang sebagian-sebagian’. Kalau sebagian-sebagian itu dikumpulkan, akan menjadi ’sebagian yang besar’. Korbankan sebagian rakyat Nusa Tenggara dan Minahasa Selatan untuk tambang Newmont, korbankan sebagian (besar) rakyat Papua untuk tambang Freeport, korbankan sebagian rakyat Sidoarjo untuk Bakrie Group (Lapindo)-Medco-Santos, korbankan sebagian rakyat Jawa Timur untuk penambangan pasir dan bukit serta industri, korbankan sebagian rakyat Aceh dan Bojonegoro untuk Exxon, korbankan sebagian rakyat Kalimantan dan Sumatera untuk tambang batu bara, dan seterusnya, maka rakyat akan menjadi korban di mana-mana. Tapi sesungguhnya siapa yang diuntungkan? ’Penjajah’, yang bentuknya merupakan konspirasi kekuasaan domestik dan asing dengan status hukum Indonesia, atas nama liberalisasi ekonomi dan payung globalisasi.

Siapa yang diuntungkan dengan keseolah-olahan ketololan BUMN di negara ini? Padahal banyak BUMN asing jauh lebih lihai: Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Singapura bernama Temasek yang bertiwikrama menjadi raksasa dunia padahal muncul dari sebuah negara seujung kuku Indonesia, Petrochina BUMN China yang merangsek dunia hingga merambah Amerika Serikat, Petronas BUMN Malaysia mantan murid Pertamina yang kini jauh meninggalkan ’gurunya.’ Korporasi-korporasi pembonceng lembaga kreditor dunia memanen berkah ketololan Indonesia. Dalam hukum bisnis para ’makelar’ proyek pasti memeroleh fee. Semakin besar proyek, semakin besar fee-nya. Di sana juga ada fee penjagaan investasi. Uang fee tersebut termasuk untuk membiayai politik kekuasaan. Negara ini tergadaikan, bahkan terjual. Kedaulatan Indonesia masih hanya utopia. Rakyat di sini dimangsa oleh bangsanya sendiri.

Lingkungan kematian

Bukan hanya kurap ekonomi dan kudis sosial yang diderita bangsa ini, akibat pembangunan ekonomi yang kasar, tapi juga wabah derita sosial, termasuk kematian rakyat, yang setiap waktu kambuh, yang juga muncul musiman, akibat menyepelekan alam (lingkungan hidup). Kita punya hukum lingkungan hidup. Tapi ya itu, ketika hukum itu sampai di tangan para hakim maka berubah menjadi Hukum Lingkungan Kematian. Hutan di Jawa hancur dijarah rakyat miskin, yang tetap miskin sehabis menjarah hutan, dirampok para pebisnis kayu yang bersekongkol dengan penegak hukum. Sel-sel penjara penuh rakyat miskin, tapi para penjahat kakap hanya beberapa saja yang dijadikan contoh dengan hukuman yang ternegosiasi. Pembangunan ekonomi Indonesia menerapkan ’Hukum Pasar’ di mana para investor atau pengusaha ’diupayakan untuk tidak dihukum’. Kali Surabaya tercemar lebih dari 25 tahun, tercemar abadi, sebab memang hukum tak mampu mencegah para pencemarnya. Kalau ada industri yang tertangkap, hukum bisa dinego. Penduduk Surabaya pun minum racun.

Kalau ekonom Faisal Basri yang sering menulis di Kompas itu mengatakan bahwa kekayaan migas Indonesia berubah menjadi kutukan, maka itu benar. Lebih benar lagi bahwa pembangunan ekonomi Indonesia menimbulkan kutukan. Indonesia terkutuk sebab selalu menyalahkan alam, termasuk putusan-putusan pengadilannya, padahal bencana-bencana itu akibat dari pembangunan yang mengabaikan keselamatan lingkungan, menabrak dan membedol fungsi-fungsi alamiah lingkungan hidup tanpa jalan penyelesaian, menyingkirkan kemampuan alamiah rakyat di sekitar wilayah pembangunan. Jika mau keluar dari bencana, sadari itu dan ubah paradigma pembangunan dengan lebih ramah ekologis!

Jika alam yang selalu disalahkan, pencemaran dikatakan bukan pencemaran, perusakan dikatakan pembangunan maka maunya tanggung jawab ada di tangan Tuhan. Apakah para polisi, jaksa dan hakim Indonesia akan menyidik, mendakwa, menuntut dan mengadili Tuhan yang telah menimpakan banyak ’bencana’ di negara ini? Kalau alam selalu menjadi tertuduh, padahal alam dioperasikan sistem Tuhan, maka terserah Beliau, mau diapakan Indonesia ini.


Tidak ada komentar: