Jumat, 28 Desember 2018

Adakah Korupsi dalam Divestasi Saham Freeport Indonesia?


Sumber gambar: ptfi.co.id

Sekarang saya akan membahas, adakah kejahatan korupsi dalam divestasi saham PT. Freeport Indonesia (PTFI)? Mengapa itu harus saya bahas? Karena ada sesuatu yang belum atau tidak beres. Apa itu?

Transaksi divestasi saham PTFI dilakukan pada saat belum ada penyelesaian hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa PTFI telah merugikan sebesar sekitar Rp 185 T.

Divestasi saham PTFI

Divestasi saham PTFI ini merupakan konsekuensi dari klausul Kontrak Karya antara Pemerintah Indonesia dengan PTFI tertanggal 30 Desember 1991, yang ditentukan di dalam article (pasal) 24. Di dalam ayat (2) Pasal tersebut ditentukan bahwa dari waktu ke waktu akan dilakukan penawaran saham kepada Warga Negara Indonesia, badan hukum yang dikendalikan oleh Warga negara Indonesia atau Pemerintah Indonesia.

Dalam kurun waktu selambat-lambatnya 10 tahun sejak ditandatangainya Kontrak Karya tersebut (berarti selambat-lambatnya akhir Desember 2001) akan ditawarkan sebesar 10% saham PTFI melalui Bursa Efek Jakarta atau kepada Warga Negara Indonesia, sejauh itu diminta oleh Pemerintah Indonesia. Untuk selanjutnya, setelah 12 bulan berikutnya hingga selama 10 periode (10 tahun) akan dilepaskan 2,5% saham, sehingga selambatnya di akhir 2011 akan mencapai 35% saham yang dilepaskan oleh PTFI, atau setidaknya mencapai 45% yang dilepas PTFI  sepanjang bahwa minimal 20%-nya saham yang dilepas tersebut dijual di Bursa Efek Jakarta dan setidaknya 20% saham tidak dijual melalui Bursa Efek Jakarta, atau selanjutnya hingga dilepaskan 51% saham atas permintaan Pemerintah, dengan harga wajar, selambat-lambatnya pada tahun ke-20 dari penandatanganan Kontrak Karya (berarti divestasi hingga 51% dijadualkan paling lambat tahun 2011).

Jadi, divestasi saham PTFI itu mestinya sudah terlambat. Mengapa kok terlambat? Apakah selama ini pemerintah Indonesia setelah tahun 2001 tidak pernah meminta dilakukan divestasi berdasarkan jadual menurut Kontrak Karya 1991 tersebut, sehingga tidak terjadi pelaksanaan tahapan divestasi seperti yang diperjanjikan di dalam kontrak tersebut?

Kini, pada akhir Desember 2018 baru dilakukan pembayaran divestasi saham PTFI. PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) melunasi pembayaran divestasi saham PT Freeport Indonesia (PTFI) senilai 3,85 miliar Dollar AS. Maka saat ini susunan pemegang saham PTFI adalah: 1. Inalum menjadi pemilik 26,2% saham PTFI, 2. PT lndocooper Investama (PTII) 25% dan 3. Freeport McMoran (FCX) sebesar 48,8%. (Inalum juga menjadi pemegang saham secara tidak langsung PTFI sebesar 15% melalui PTII, sehingga Inalum memiliki 41,2% saham PTFI. Yang 10% dibagi antara Pemkab Mimika 7% dan Pemprov Papua sebesar 3%).

Coba bayangkan! Lha Papua yang dieksploitasi, kok Pemerintah Daerah Papua hanya diberikan saham 10%. Apa itu adil? 

Sebelumnya, Pemerintah Indonesia hanya menjadi pemegang saham PTFI sebesar 9,36%.

Melacak riwayat PTII dan realisasi divestasi

Saya mencoba mencari riwayat PTII yang kini menjadi milik Inalum dan BUMD Papua itu, ketemu di Kontan.co.id, artikel tanggal 17-7-2018 dan CNBCIndonesia.com tanggal 12-1-2018, serta beberapa artikel pembandingnya yang bersumber dari dokumen PTFI.

Kontrak Karya antara PTFI dengan Pemerintah Indonesia tanggal 30 Desember 1991.  Divestasi pertama, Pemerintah Indonesia mendapatkan 9,36% dan PT. Bakrie Investindo (Bakrie) membeli 9,36% saham PTFI pada Januari 1992. Pembelian saham PTFI oleh Bakrie diatasnamakan PTII, dibeli dengan harga sekitar 213 juta Dollar AS, yang duitnya berasal dari pinjaman sindikasi utang bank luar negeri yang dijamin oleh PTFI sendiri.

Tahun 1992 itu Freeport mengakuisisi 49% saham PTII di PTFI. Tahun 1997, saham PTII di PTFI dijual ke PT. Nusamba Mineral Industri perusahaan milik Yayasan yang dipimpin Presiden Suharto, yang juga dimiliki oleh Bob Hasan dan Sigit Hardjojudanto. Mereka membeli saham PTII juga dengan duit utangan sindikasi bank yang dijamin oleh PTFI. Hingga akhirnya Nusamba gagal bayar utang sehingga tahun 2002 Freeport McMoran selaku penjaminnya melunasi utang Nusamba dan mengambil alih saham Nusamba di PTII.  Maka saat itu Freeport McMoran kembali menguasai 90,64% saham PTFI (dari semula 81,28%) dan 9,36% saham PTFI tetap menjadi milik Pemerintah Indonesia.

Oleh sebab itulah dalam divestasi ini dilakukan cara sebagai berikut: 1. Pemerintah mengakuisisi saham PTII yang tak lain dan tak bukan bahwa PTII semula adalah anak perusahaan Freeport McMoran, senilai 350 juta Dollar AS. 2. Pemerintah membayar hak partisipasi (participating interest / PI) Rio Tinto di PTFI sebesar 3,5 miliar Dollar AS, sebab selama ini PTFI menjual PI kepada Rio Tinto sebesar 40%.

Jadi demikianlah kisahnya berliku-liku nan ruwet seperti rambut gorila yang keriting kan?

Kekayaan PTFI dan Kerugian Ekologis 

Mengenai hasil pemeriksaan BPK tersebut, saya kutip pendapat Auditor Utama Keuangan IV BPK Laode Nusriadi (dengan sumber berita dari cnnindonesia.com, 22-10-2018), yang mengungkapkan bahwa perhitungan hilangnya jasa ekosistem tersebut berdasarkan analisis perubahan tutupan lahan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) 1998-1990 dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) pada 2015-2016. Analisis tersebut kemudian dikutip BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu Penerapan Kontrak Karya Freeport Indonesia Tahun Anggaran 2013-2015. Menurutnya, kerugian Rp 185 T itu bukan kerugian negara.

Pertanyaannya: setujukah Anda dengan pendapat bahwa kerugian akibat kerusakan ekosistem yang menjadi tanggung jawab PTFI tersebut tidak dikategorikan sebagai kerugian negara? Saya akan mengemukakan pendapatku pada bagian selanjutnya.

Baiklah, sekarang saya akan membandingkan kerugian lingkungan sebesar Rp 185 T tersebut dengan nilai aset PTFI. Menurut databoks KataData.co.id (saya akses tanggal 28-12-2018), aset PTFI per Desember 2017 mencapai 10,66 miliar Dollar AS atau sekitar Rp 153,53 triliun, tumbuh 1,19% dari tahun sebelumnya. Tapi ada data lain yang menyebut bahwa di tahun 2016 aset PTFI mencapai lebih dari Rp 200 T.

Menurut Detik Finance (30-8-2017), bila dihitung dengan metode Fair Market Value, berdasarkan nilai cadangan dengan masa kontrak sampai 2041, nilai 100% saham PT Freeport Indonesia adalah 15,9 miliar Dollar AS, alias kurang lebih Rp 211 T, maka nilai 51% sahamnya sekitar Rp 107 triliun.Tapi saya membantahnya, sebab Kontrak Karya II hanya berlaku sampai dengan tahun 2021, bukan tahun 2041.

Kalau memakai metode replacement cost (nilai yang diukur saat ini untuk mengganti aktiva dengan kapasitas produksi yang sama atau mendapatkan aktiva baru), nilai 100% saham Freeport adalah 5,9 miliar Dollar AS atau sekitar Rp 78 triliun. Maka 51% saham sekitar Rp 40 triliun. 

Saya belum tahu, berapa nilai aset PTFI saat ini. Namun dengan melihat data pertumbuhan sebesar 1,19% dari tahun sebelumnya, maka kemungkinan besar di akhir tahun 2018 ini nilai aset PTFI tidak mencapai sebesar Rp 185 T. Maka saya gunakan matematika nilai sahamnya saja. Tapi sayangnya saya tidak jago dalam menghitung. Baiklah saya akan gunakan logika perbandingan dengan pendekatan angka saja. Jika sebelumnya Pemerintah Indonesia sudah memiliki 9,36% saham, maka untuk mencapai angka 51,2% Pemerintah (melalui Inalum dan PTII) harus membeli 41,84% saham PTFI. Jika nilai saham 41,84% saham tersebut adalah 3,85 miliar Dollar AS, maka nilai 100% saham PTFI adalah 9,20 miliar Dollar AS. Dengan kurs per 1 Dollar saat ini sekitar Rp 14.527,- maka 100% saham PTFI senilai sekitar 9,20 miliar Dollar AS x Rp 14.527,- = Rp 133,6 T. Nah, rupanya pendekatan angka yang saya pakai ini lumayan jadi jalan tengah hehe....

Artinya, jika seandainya dilakukan penyelesaian atas kerugian ekologis yang diderita di Papua senilai Rp 185 T itu dikonversi menjadi “piutang negara” kepada PTFI, maka negara Indonesia untuk mengambil-alih dan mendapatkan aset PTFI tidak perlu mengeluarkan uang. Sebelum masa Kontrak Karya habis tahun 2021, Pemerintah Indonesia melakukan klaim ganti kerugian senilai Rp 185 T yang hal itu dapat dikonversi menjadi pelaksanaan Pasal 22 ayat 2 Kontrak Karya, yakni penghentian Kontrak Karya sesuai dengan jatuh tempo tahun 2021 di mana nilai aset PTFI dikompensasi dengan kewajiban PTFI untuk membayar ganti rugi kepada negara.

Tentu saja hal itu melalui perundingan, yang jika tidak membuahkan hasil maka penyelesaianya dibawa ke Arbitrase internasional sesuai dengan klausul penyelesaian perselisihan Kontrak Karya II tanggal 30 Desember 1991 tersebut.

Pemerintah Indonesia mempunyai cukup alasan untuk tidak memperpanjang kontrak sesuai dengan Pasal 32 ayat 2 Kontrak Karya bahwa Pemerintah mempunyai cukup alasan yang masuk akal untuk tidak menyetujui permintaan PTFI untuk memperpanjang Kontrak. Selain soal pelanggaran hukum ekologis, juga terkait kewajiban divestasi yang tidak berjalan sesuai dengan Kontrak Karya, serta masalah pemutusan hubungan kerja sebagian para pekerja yang hingga kini menyisakan masalah yang tidak terselesaikan. Tentu saja bukan hanya pihak Pemerintah Indonesia yang dapat menjadi pihak, melainkan rakyat Indonesia dapat menjadi pihak intervensi sebab kedudukan rakyat Indonesia disebutkan di dalam Kontrak Karya tersebut, yakni dalam Pasal 23 ayat 2 Kontrak Karya tersebut.

Apakah kerugian ekologis merupakan kerugian negara?

Tentu saja. Jadi, pendapat Auditor Utama Keuangan IV BPK Laode Nusriadi yang menyatakan bahwa kerugian lingkungan (ekologi) itu bukan kerugian negara adalah cara pikir yang keliru. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menentukan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan asas, salah satunya adalah asas tanggung jawab negara. Jadi, kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh perbuatan suatu subyek hukum itu berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang menjadi tanggung jawab negara untuk melindungi, memenuhi, menegakkan, dan memajukannya sesuai Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945.

Oleh sebab itu, jika PTFI melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, maka negara selaku penanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dapat meminta pertanggungjawaban PTFI untuk memulihkan atau membiayai pemulihan lingkungan hidup itu, meskipun untuk pulih sempurna seperti sediakala itu adalah hal yang hampir mustahil.

Kalau mau tahu lebih detil tentang bahwa urusan lingkungan hidup merupakan urusan negara, urusan publik, maka bisa dibaca Pasal 3 UU PPLH tersebut. Bahkan Pasal 90 UU PPLH menentukan wewenang gugatan negara (qq. Pemerintah). Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. Nah, banyak membaca itu bagus, bisa makin kaya ilmu, asalkan bukan membaca kitab ramalan togel. Memang mengherankan, oknum auditor BPK ini, yang kewenangannya menjadi auditor urusan negara, tapi setelah menemukan data adanya kerugian, tapi kok tidak berani mengatakan itu kerugian negara. Kalau mengaudit soal ekonomi yang bukan urusan negara, kan ya bukan tugas auditor negara, lalu mengapa BPK mengeluarkan hasil pemeriksaan kerugian lingkungan hidup jika itu bukan soal “kekayaan atau ekonomi negara”? Jika persoalan ekologi dalam kaitannya dengan kinerja investor itu bukan urusan ekonomi atau kekayaan negara, ya BPK jangan memeriksa! Biarkan Mukidi yang memeriksanya!

Cara menghitung kerugian lingkungan hidup tersebut menggunakan acuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup. Pasal 8 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup ini menentukan bahwa: (1) Pembayaran Kerugian Lingkungan Hidup merupakan penerimaan negara bukan pajak. (2) Seluruh penerimaan negara bukan pajak dari pembayaran Kerugian Lingkungan Hidup wajib disetor ke kas Negara. Nah, jadi jelas bahwa ganti rugi kerusakan ekologi itu juga merupakan hak negara. Ini soal paradigma atau cara berpikir saja. Mungkin selama ini ilmu ekonomi kapitalisme memang tidak memandang lingkungan hidup sebagai komponen ekonomi, sehingga yang dikatakan perekonomian atau kekayaan negara itu dipisahkan dari lingkungan hidup. Padahal lingkungan hidup itu merupakan kekayaan negara, harta negara, kekayaan publik, yang tidak ternilai harganya. Kalau orang sadar hal itu, maka dia berubah menjadi lebih cerdas.

Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dalam mengadili perkara korupsi Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, berpendapat bahwa beban kerugian ekologis dan biaya pemulihan lingkungan menjadi tanggung jawab perusahaan, bukan Nur Alam sebagai Gubernur (yang memberikan Izin Usaha Pertambangan / IUP). Dalam perkara tersebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berpendapat bahwa kerugian ekologis merupakan kerugian negara. Nah, apabila mengacu kepada pendapat Hakim tersebut, kan KPK bisa pula menjerat perusahaannya?

Mengapa divestasi saham PTFI minus penyelesaian kerugian ekologis?

Saya membaca pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman, Jenderal Luhut Binsar Panjaitan, yang ternyata juga tidak sekadar mengurusi kemaritiman, tapi juga mengurusi macam-macam urusan ini. Bagaimana jika di kabinet dibentuk Kementerian Segala Urusan? Sepertinya cocok. Biar urusan-urusan negara cepat terselesaikan. 

Jenderal Luhut Binsar Panjaitan mengatakan bahwa ia berjanji akan menyelesaikan temuan BPK terkait potensi kerugian negara sebesar Rp 185 T yang diakibatkan kegiatan PTFI itu. “Ya pasti akan saya selesaikan. Karena nanti divestasi selesai, bisa jadi tanggungan kita juga kan itu,” ujar Jenderal Luhut tanggal 4 April 2018 (dikutip dari CNBCIndonesia.com, 4-4-2018).

Nah, artinya itu memang sengaja bahwa tanggungan kewajiban lingkungan PTFI akan diurus setelah divetasi, sehingga kewajiban tersebut akan menjadi beban negara sebesar 51% sesuai dengan besarnya saham gabungan Inalum dan PTII. (Ingat, pemegang saham PTII adalah Inalum dan BUMD Papua milik Pemkab Mimika dan Pemprov Papua).

Apakah ada korupsi dalam divestasi?

Kalau soal kecurigaan bahwa dalam proses divestasi saham ada orang-orang “berjasa” yang memperoleh gratifikasi, itu tidak usah dipikirkan. Jadi orang tidak boleh buruk sangka. Jika ada dan tidak ketahuan, ya namanya juga tidak ketahuan. Mau apa? Di dunia ini tidak semua kejahatan dibuka oleh Tuhan. Jadi, tidak usah mikir itu!

Sekarang apakah dalam proses divestasi saham PTFI itu ada unsur korupsi yang terkait perekonomian negara, yakni ada perbuatan melawan hukum, memperkaya diri-sendiri atau orang lain dan merugikan negara?

Perbuatan melawan hukum meskipun telah diinterpretasi sebagai perbuatan hukum dalam arti formil oleh Mahkamah Konstitusi (MK), tapi Mahkamah Agung (MA) dengan pemikirannya sendiri tetap berpegang teguh pada makna perbuatan hukum formil dan materiil. Dengan interpretasi MA seperti itu maka perbuatan melawan hukum dalam proses divestasi saham PTFI tidak harus selalu dikaitkan apakah melanggar peraturan perundang-undangan atau tidak. Misalnya begini: Lha kalau pada tahun 2021 seharusnya Kontrak Karya PTFI dengan Pemerintah Indonesia berakhir, mengapa kok Pemerintah membeli saham PTFI? Padahal ada banyak alasan rasional untuk tidak memperpanjang Kontrak Karya itu.

Lha mengapa kok Pemerintah Indonesia tidak meminta tanggung jawab PTFI untuk menyelesaikan kerugian lingkungan hidup Rp 185 T, tapi malah membeli sahamnya 51% sehingga kewajiban pemulihan lingkungan itu harus membebani negara selaku pemegang saham 51% saham PTFI? Nah, artinya, perbuatan melawan hukum itu dapat dinilai dari apakah proses-proses yang demikian itu wajar atau sesuai dengan kepatutan atau tidak. Jelasnya unsur memperkaya PTFI dan Freeport McMoran dapat dilihat dari pengurangan beban kewajiban untuk membiayai pemulihan lingkungan atau tidak membayar penuh kerugian lingkungan hidup karena 51% sahamnya dijual kepada BUMN sehingga sekitar separoh beban PTFI beralih ke BUMN (Inalum dan PTII) selaku pemegang saham yang baru. Dengan demikian maka secara otomatis negara dirugikan.

Untuk menghitung kerugian negara ini menurut MK tidak harus dengan hitungan versi BPK atau BPKP, tetapi para ahlinya dapat memberikan penilaian. Dalam hal itu sudah ada hasil Pemeriksaan BPK yang tinggal dikuatkan dan ditambah dengan keterangan para ahli yang telah melakukan pemeriksaan kepada PTFI.

Nah, demikian pendapat saya. Pendapat ini tentu tidak karena saya mendapatkan pendapatan loh ya. Saya bukan advokat berdasi yang menerima bayaran supermahal seperti Hotman Paris atau Luhut M Pangaribuan dan yang selevel mereka. Pendapat advokat jalanan seperti saya hanya bermaksud menyumbangkan pemikiran alias urun rembug kepada yang mau disumbang.

Senin, 19 November 2018

Nasib Bu Nuril dan Budi Pego dalam Pertunjukan Dagelan Para Ahli Tua



Ini tentang dua kasus yang lagi mengemuka, meski mungkin banyak lagi kasus yang tidak atau belum terdeteksi publik. Kasus Bu Nuril, korban pelecehan seksual dan kasus Budi Pego yang dituduh menyebarkan ajaran komunisme. Dua kasus ini sebenarnya simpel, bisa dipecahkan oleh pemikiran anak remaja SMA. Jika sampai para orang sepuh di Mahkamah Agung (MA) yang notabene dianggap ahli hukum kok tidak mampu memecahkan kebenaran kasus-kasus tersebut, maka kebangeten. Ada sesuatu hal yang menjadi sebabnya. Terutama adalah “cara berpikir” atau paradigma. Di sisi lain juga ada faktor yang dapat membuat para ahli tua itu menyimpangi paradigmanya sendiri gara-gara faktor X.

Guru Honorer Ditelepon Cabul Kok Didenda Rp 500 juta dan Dipenjara 6 bulan ?

                                                   Foto: Detik.com

Bu Baiq Nuril Maknun, seorang guru honorer. Tentu saja perempuan. Dia ditelepon seorang lelaki, kepala sekolahnya, kepala sekolah SMAN 7 Mataram, omongannya menjurus seksuil. Bu Nuril merekamnya. Lantas dia curhat kepada temannya. Lalu temannya meminta rekaman itu dan menyebarkannya. Lha kok Bu Nuril diadili dan dihukum oleh MA, setelah sebelumnya Hakim Pengadilan Negeri Mataram memutuskan bebas. MA menghukum ibu guru honorer itu dengan hukuman penjara selama 6 bulan dan denda Rp 500 juta.

Saya mengutip berita di medan.tribunnews.com tanggal 19 November 2018, didasarkan isi putusan Pengadilan Negeri Mataram No. 265/Pid.Sus/2017/PN.Mtr. Bagaimana bunyi rekaman telepon Haji Muslim (Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram) kepada Bu Nuril? 

Rupanya dalam teleponnya Haji Muslim bercerita tentang peristiwa saat Haji Muslim melakukan persetubuhan atau hubungan badan dengan Landriati di hotel Puri Saron Senggigi. Menurut Bu Nuril, saat itu Haji Muslim tersebut mengajak Bu Landriati dan Bu Nuril untuk kerja lembur. Saat masuk kamar hotel, Haji Muslim menyuruh Bu Nuril dan anaknya agar bermain di kolam renang. Sekitar satu setengah jam kemudian Bu Nuril masuk kamar hotel bersama anaknya yang di dalamnya ada Haji Muslim dan Bu Landriati tersebut, ketika pintu kamar hotel terbuka Haji Muslim menunjukkan kain sprei tempat tidur yang terdapat ceceran sperma, lalu Haji Muslim berkata kepada Bu Nuril, “Ini bekas saya habis berhubungan sehingga sperma saya muncrat sekali, kenapa kamu cepat datang ke kamar?” dan seterusnya.

Saat Bu Nuril sudah pulang, sore harinya bulan sekitar Agustus 2012 jam 16.30 WITA, Haji Muslim menelepon Bu Nuril, Haji Muslim menceritakan tentang bagaimana gayanya saat dia berhubungan badan dengan Bu Landriati. Pada saat Haji Muslim menelepon tentang perbuatan asusilanya itulah Bu Nuril merekamnya.

Mungkin Bu Nuril bercerita adanya rekaman telepon tersebut, sehingga Haji Imam Mudawin mendesak Bu Nuril untuk memberikan rekaman telepon Haji Muslim tersebut dengan alasan untuk dilaporkan ke DPRD Kota Mataram sebagai bukti, dengan tujuan untuk membersihkan SMAN 7 Mataram dari manusia asusila.

Bulan Agustus 2015 Bu Nuril baru memberikan rekaman telepon Haji Muslim tersebut kepada Haji Imam Mudawin, dengan permintaan agar Haji Imam Mudawin tidak menyebarkan rekaman tersebut, tetapi boleh hanya untuk bukti laporan ke DPRD Kota Mataram.

Selanjutnya Haji Imam Mudawin memberikan hasil copy data rekaman tersebut kepada Bu Sri Rahayu dan Mulhakim. Selanjutnya Mulhakim memberikan copy rekaman tersebut kepada Muhajidin (guru Kimia SMAN 7 Mataram). Mulhakim juga memberikan copy data rekaman tersebut kepada Indah Deporwati selaku Pengawas SMAN 7 Mataram dan kepada orang lainnya di lingkungan SMAN 7 Mataram dan Dinas Pendidikan Kota Mataram seluruhnya sekitar 7 orang.

Saya tidak perlu bicara terminologi hukum tentang perbuatan “mendistribusikan” atau “mentransmisikan” serta “membuat dapat diaksesnya” informasi elektronik menurut UU ITE. Tetapi mari kita berangkat dari filsafat hukum pidana yang tujuannya adalah untuk menciptakan tertib hukum guna melindungi publik dari kejahatan. Jika MA menghukum pidana Bu Nuril dalam perkara tersebut, tertib masyarakat mana yang diciptakan, atau kepentingan hukum publik mana yang dilindungi oleh MA?

Dalam hukum pidana demikian itu ada istilah “korban”. Kepentingan korban yang bernama Haji Muslim itulah yang dilindungi oleh MA. Saya tidak habis pikir, jika fakta-fakta tersebut benar, mengapa MA melindungi seorang pejabat pendidikan (kepala sekolah negara) yang perbuatannya asusila, merobohkan marwah dunia pendidikan, merusak pagar pendidikan negara? Mengapa hukum Indonesia ini dikonstruksikan sebagai hukum yang sangat individual? Apakah MA tidak dapat memikirkan prinsip prima facy, antara lebih penting mana melindungi kepentingan hukum Haji Muslim yang seperti itu dengan kepentingan hukum Bu Nuril yang diperlakukan seperti itu?

Tentu saya tidak akan menuduh bahwa MA mempunyai pola pikir seperti Haji Muslim selaku pria yang menjabat sebagai kepala sekolah negara yang mengajak kerja lembur guru perempuan di kamar hotel yang ujungnya di situ bukan lembur kerja tetapi lembur menumpahkan nafsu birahinya. Dalam arti, tidak layak saya menuduh para pria Hakim Agung yang mengadili Bu Nuril itu adalah para pria sekelas Haji Muslim.

Para pria hakim Agung itu seharusnya bisa berpikir bahwa mereka bukan tipe Haji Muslim, sehingga para Hakim Agung itu tidak ikut tersinggung, tidak perlu menghayati perasaan derita Haji Muslim saat rekaman telepon pornonya  itu tersebar. “Pak Haji, kalau mau hohohihi di hotel, ya gak usah menggunakan dalih kerja negara lembur! Itu kan penistaan pendidikan? Hehehe....

Apalagi menghukum denda Rp 500 juta seorang guru honorer? Lha wong nasib guru honorer di negara ini kembang-kempis seperti nafas jerapah asma kok didenda Rp 500 juta. Hakim saja yang penghasilanya jauh di atas guru honorer kalau didenda Rp 100 juta ya kelimpungan kok. (Dalam arti hakim jujur, ahli surga,  yang tidak mau terima duit sogok. Bukan hakim ahli neraka yang kerjaannya terima sogok).

Budi Pego, Petani Ndeso Lulusan Tsanawiyah yang Memecahkan Rekor Nasional

                                           Foto: Kholik Mawardi 

Hal lain yang tidak kalah tak masuk akal adalah putusan Hakim yang menyatakan Budi Pego “melakukan tindak pidana menyebarkan ajaran komunisme.” Hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi menghukum Budi Pego dengan hukuman penjara 10 bulan dan putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Timur. Begitu kasus itu sampai di MA, lha kok MA menambah hukumannya secara drastis menjadi 4 tahun penjara.

Budi Pego konon dulunya pernah bekerjasama dengan perusahaan tambang emas Tumpang Pitu sebelumnya, yakni IMN. Itu isu yang terus disebarkan. Seandainya itu benar, apakah Budi Pego dalam melawan pertambangan emas Tumpang Pitu Banyuwangi yang dilakukan oleh PT. BSI dan PT. DSI selaku anak korporasi Merdeka Copper Gold itu adalah suatu sikap yang salah?

Saya tidak usah bercerita panjang lebar tentang bagaimana nasib masyarakat sekitar tambang emas Freeport di Papua, Newmont di Minahasa sulawesi Utara, maupun Newmont di Nusa Tenggara. Silahkan mencari kisah-kisah nasib mereka melalui internet. Makanya, rencana tambang emas di Silo Jember dinyatakan haram oleh Bathsul Masail Istimewa PCNU Jember. Pertambangan juga seringkali membuat masyarakat terpecah-belah. Mungkin itu merupakan agenda yang biasa dipakai para kumpeni.

Budi Pego bukan satu-satunya penolak tambang emas Tumpang Pitu. Banyak warga sekitar tambang yang menolaknya. Di Pengadilan Negeri Banyuwangi saya bisa mendengarkan bagaimana warga mengeluh akses pekerjaannya di hutan menjadi berakhir. Belum lagi gangguan debu, rusaknya jalan desa mereka, hasil panen buah naga yang menurun dan lain-lain.

Siapa yang mendapatkan keuntungan terbesar dari tambang-tambang emas itu dan siapa yang harus menanggung beban akibat kerusakan ekologi yang diakibatkannya? Apakah ekonomi tambang mineral dan batubara di negara ini merupakan ekonomi penting yang mampu menyejahterakan masyarakat? Jawabnya adalah: Yang sejahtera adalah para pemilik kapital, para makelar investasi dan para anteknya yang tidak bisa hidup jika tidak menjadi penjilat.

Budi Pego, seorang lelaki petani desa, lulusan tsanawiyah, dihakimi oleh Pengadilan, dinyatakan melakukan kejahatan “menyebarkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme. Kok keren? Lha dia, buku sejarah saja tidak punya. Kerjanya bertani, tidak punya organisasi, bukan anggota organisasi, kecuali paling-paling sesekali ikut jamaah yasinan.

Coba silahkan tanyai para tetangganya, apa yang Budi Pego kerjakan setiap hari? Apakah Budi Pego pernah bicara tentang komunisme? Di mana di mengajarkan ajaran komunisme? Jangankan Budi Pego yang hanya lulusan tsanawiyah (sederajat SMP), lha para sarjana di negara ini pada umumnya tidak paham apa itu komunisme. Mereka pada umumnya mengidentikkan komunisme dengan ateisme. Padahal komunisme itu pada umumnya bicara soal ekonomi masyarakat, sebagai kritik terhadap kapitalisme. Saya yang membaca berbagai buku yang mengulas komunisme juga tidak akan pede seumpama dalam suatu mimbar akademik disuruh bicara tentang apa itu komunisme. Kok Budi Pego dikatakan menyebarkan ajaran komunisme? Hahaha... jangankan saya, Nella Kharisma akan tertawa kalau tahu kisah pengadilan seperti itu. Begitu pula Thukul Arwana, akan langsung njungkel.

Delik penyebaran ajaran komunisme / marxisme-leninisme diciptakan dengan UU No. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Undang-Undang tersebut dibuat pada masa rezim BJ Habibie, pada zaman reformasi. Jadi, bayangkan, seorang Budi Pego yang merupakan petani ndeso lulusan tsanawiyah itu telah memecahkan rekor nasional, menjadi orang yang pertama kali menjadi terdakwa dan terpidana penyebaran ajaran komunisme/marxisme-leninisme. Dia dianggap sebagai orang yang “melakukan kejahatan terhadap keamanan negara.” Mbok mbok mbok....... Apakah negara adalah kumpeni tambang emas itu?

Dari kedua contoh kasus tersebut, saya sebagai warga negara Indonesia telah tertawa sendiri terbahak-bahak melihat betapa mengerikannya cara berpikir para orang tua ahli hukum itu, yakni menginjak nasib seorang perempuan lemah berpenghasilan kecil dengan memberikan perlindungan kepada lelaki kepala sekolah negara yang telah melakukan perbuatan penuh dengan lendir nafsu birahi dengan menggunakan dalih kerja pendidikan; dan menghukum seorang petani kecil ndeso lulusan tsanawiyah dengan tuduhan “menyebarkan ajaran komunisme / marxisme-leninisme”. Sepertinya itu bukan peradilan, tapi dagelan.

Kesimpulan saya hanya satu kata: “Cuuuuuuukkkkkkk!” 


Jumat, 09 November 2018

Membongkar Kejahatan Perkosaan Kepada Perempuan



Ilustrasi gambar: dari tehelka.com

Sekarang lagi ramai berita dan opini tentang kasus dugaan perkosaan di dalam tubuh UGM, sehingga UGM menjadi sorotan. 

Kaum lelaki memang kurang ajar. Laki-lakilah yang sering memperkosa. Daripada memperkosa, mbokyao mending dijepitkan ke pagar bambu sana, anumu! 

Ada juga, pernah seorang mahasiswi yang curhat kepada saya, dia mau diajak kencan dosen pembimbing skripsinya, tapi dia menolak. Dia curhat begitu ketakutan, tentang konsekuensi penolakannya itu apakah akan ada akibat terhadap kelancaran skripsinya. Saya bilang kepadanya, “Kamu tak usah cemas. Jika dia mempersulit skripsimu, saya akan menguliti kedoknya. Kamu sebut namaku di depannya, dia pasti akan bilang, “Siapa itu aku gak kenal, haha.....” Alhamdulillah kekhawatirannya itu tidak terjadi. Dia sekarang sudah sarjana.

Saya hendak berkisah tentang sebuah kasus dugaan perkosaan. Dahulu, kasus itu menjadi berita lokal yang cukup besar di Surabaya dan Gresik. Tapi karena kasus ini kasus rakyat kecil, ya tidak seheboh kasus perkosaan mahasiswa UGM yang gaungnya jadi internasional itu.

Jika tidak salah (saat menulis ini saya malas membongkar berkas), sekitar lebih dari tujuh tahun lalu, saya dimintai pendapat rekan kantorku untuk membela empat orang (anak) tersangka pemerkosa. Empat tersangka tersebut, yang dua orang berumur 16 tahun, yang dua orang berumur 18 dan 19 tahun. Korbannya seorang cewek berumur 21 tahun.

“Saya tidak mungkin mau menjadi pembela para pemerkosa. Biar saja mereka dihukum berat atas perbuatannya. Saya punya ibu dan anak perempuan. Saya bisa membayangkan betapa menderitanya perasaan perempuan korban perkosaan,” kataku. Aku menolak menjadi penasihat hukum empat tersangka yang sudah ditangkap dan ditahan.

“Jangan buru-buru menolak! Coba tanyai dulu mereka para tersangka itu. Ibu mereka yang datang kepadaku, menangis, meminta bantuan. Mereka orang-orang tidak mampu.” Saya biasanya kalau ada kalimat “orang tidak mampu membutuhkan bantuan hukum” ini jadi ingat kemiskinanku sendiri sejak lahir. Trenyuh.

Hatiku sedikit luluh. Aku datangi kantor polisi tempat empat tersangka itu ditahan. Kebetulan saya kenal dengan kepala unit kepolisian yang menjadi penyidik perkara ini. Saya dipersilahkan menemui empat tersangka itu. Masih remaja. Saya memandangi wajah-wajah yang lusuh dan letih.

“Kami diminta ibu kalian untuk bertemu dengan kalian. Mengapa kalian tega memperkosa seorang gadis? Itu perempuan. Ibumu juga perempuan kan?” tanyaku retoris.
“Tidak ada perkosaan Pak. Ini tuduhan bohong. Kami tidak memperkosa gadis itu.” Jawab tersangka yang berumur 19 tahun. Rupanya dia yang menjadi tersangka utama. Tuduhannya adalah “memperkosa dengan cara menggilir menyetubuhi korban.” Kejahatan yang sadis.
“Jika tidak memperkosanya, lalu apa yang kalian lakukan sehingga kalian ditangkap polisi dan ditahan di sini?” tanyaku.

Maka pemuda 19 tahun yang menjadi tersangka itu berkisah. “Pada mulanya saya sendiri Pak yang mengenal gadis itu. Dia bekerja sebagai penjaga toko asesoris HP. Saya bertukar nomor HP dengan dia. Saya seperti pacaran dengan dia. Lalu suatu saat saya janjian dengan dia untuk bertemu di sebuah tempat. Kami bertemu di tempat itu. Lalu saya SMS tiga teman saya ini, sehingga mereka datang. Saat itu saya memang meraba-raba tubuh cewek itu. Saya ngremponi dia (ngremponi = meremas payudaranya). Tadinya sebelum tiga teman saya ini datang, dia mau Pak. Tapi setelah teman-teman saya datang, dia tidak mau. Lalu teman-temanku ini ikut meraba-raba dia. Lalu ada seorang satpam yang lewat dan memergoki kami, sehingga kami lari.”

Saya pun bertanya kepada tiga tersangka lainnya itu. “Apa benar ceritanya seperti itu?” Maka tiga orang tersangka lainnya membenarkan cerita temannya yang paling gede itu.
Saya tidak percaya begitu saja. Saya menguji psikis mereka. “Baiklah. Saya percaya dengan kalian. Mungkin saya akan membela kalian, tapi dengan syarat bahwa saya yakin kalian tidak memperkosa cewek itu. Untuk itu, saya mau kalian bersumpah di hadapan saya dengan kalimat sumpah seperti ini: “Saya bersumpah, demi Allah, bahwa saya tidak melakukan perkosaan kepada gadis bernama ................ sebagaimana yang dituduhkan kepada kami. Jika sumpah saya ini tidak benar maka semogaa Allah mengutuk saya dan memberikan azab langsung, yaitu kami akan mati ditabrak truk jika perkara ini telah selesai diadili.” Bagaimana, kalian mau bersumpah seperti itu?”

Empat orang tersangka itu bersumpah di hadapan saya dengan sumpah yang kalimatnya telah saya tetapkan itu. Maka, saya menyanggupi menjadi penasihat hukum untuk membela mereka. Waktu itu saya berpikir, jika mereka tidak melakukan perkosaan maka mereka tidak boleh dihukum karena perkosaan. Tapi jika memerasi payudaranya dengan paksa, maka harus dihukum karena pencabulan. Jadi, hukuman harus dijatuhkan sesuai perbuatannya, bukan terhadap hal yang tidak dilakukannya.
Singkat cerita, kasus mulai disidangkan dalam sidang yang tertutup untuk umum, karena itu kasus asusila.

Gadis yang menjadi korban dihadirkan sebagai saksi korban. Terhadap pertanyaan majelis hakim dan jaksa penuntut umum, gadis itu menjelaskan bahwa dirinya telah diperkosa oleh empat orang terdakwa itu dengan cara disetubuhi paksa secara digilir, hingga peristiwa perkosaan itu berakhir setelah dipergoki oleh seorang satpam. (Hanya saja, sayangnya satpam tersebut tidak dijadikan sebagai saksi yang hadir dalam sidang perkara tersebut).

Saat tiba giliran saya bertanya, maka gadis korban tersebut saya berikan pertanyaan-pertanyaan guna menggali kebenaran keterangannya lebih lanjut.
“Saudari saksi korban... Sidang ini tertutup dan kami punya kewajiban menjaga kerahasiaan dari apa yang Anda terangkan. Jadi di sini bagi Anda tidak perlu ada ketakutan, kecemasan atau perasaan was-was. Saya ini seorang ayah dari anak saya yang juga perempuan. Saya punya anak perempuan. Saya bisa memahami rasa derita yang Anda rasakan. Saya turut prihatin dengan adanya kasus ini. Jika memang para terdakwa yang saya dampingi ini bersalah, mereka memang harus dihukum. Saya bukan pengacara yang asal membela orang, dalam arti jika klien saya bersalah ya harus dihukum,” kataku. “Maaf ya, saya punya pertanyaan dan ini pertanyaan sangat pribadi...  Apakah sebelum ada peristiwa perkosaan ini Anda sudah pernah punya pacar dan pernah melakukan hubungan badan?” tanyaku. “
“Saya belum pernah melakukan hubungan badan sebelumnya Pak,” jawabnya.
“Baik. Begini saudari saksi. Saya pernah membaca artikel tentang perempuan yang melakukan hubungan seks pertama kali di malam pertama setelah menikah. Katanya, bagi yang masih perawan ada yang mengeluarkan darah karena robeknya himen atau apa. Tapi ada juga yang tidak mengeluarkan darah. Maksud saya begini, pada saat Anda diperkosa oleh para terdakwa ini secara bergilir, saat itu Anda masih perawan, sesuai jawaban saudara tadi. Jika Anda digilir oleh empat terdakwa ini dalam perkosaan itu, maka saat itu ada keluar darah atau tidak dari vagina Anda?” tanyaku.
“Iya Pak, ada keluar darah dari vagina saya,” jawabnya.
“Nah, pada saat Anda mulai diperkosa, tentunya yang melepas celana dalam Anda adalah para terdakwa ini. Tadi Anda menerangkan bahwa perkosaan itu terhenti karena dipergoki oleh seorang satpam yang lewat di tempat kejadian. Para terdakwa ini lari, kabur. Lalu Anda ditolong oleh satpam itu. Pertanyaan saya, apakah setelah kejadian itu Anda sempat mengenakan kembali celana dalam Anda?” tanyaku.
“Iya Pak. Saya ambil celana dalam saya dan saya pakai lagi,” jawabnya.
“Apa warna celana dalam yang Anda pakai saat itu?” tanyaku.
“Warna krem Pak,” jawabnya.
“Anda tadi menerangkan jika vagina Anda berdarah setelah terjadi perkosaan. Lalu selanjutnya setelah peristiwa perkosaan berakhir, Anda mengenakan kembali celana dalam Anda. Selanjutnya setelah sampai di rumah, apa yang Anda lakukan dengan baju Anda, termasuk celana dalam itu?” tanyaku.
“Saya melepasnya Pak. Lalu dikemasi oleh ibuku. Lalu saya mandi,” jawabnya.
“Apakah Anda bisa melihat saat Anda melepas baju dan celana dalam Anda sewaktu di rumah itu, adakah bekas darah di celana dalam Anda?” tanyaku.
“Iya Pak. Ada bekas darahnya,” jawabnya.

Lalu saya meminta kepada majelis hakim untuk memerintahkan kepada jaksa penuntut umum guna menunjukkan dan memeriksa barang bukti, termasuk apakah celana dalam milik korban tersebut dijadikan barang bukti. Saya, korban, majelis hakim, jaksa dan para terdakwa bersama-sama di hadapan meja sidang memeriksa celana dalam milik korban.
“Saudari saksi.... Anda tadi menerangkan katanya ada bekas darah di celana dalam Anda. Benar ini kan celana dalam yang Anda pakai saat itu? Ternyata ini tidak ada bekas darahnya?” tanyaku.
Majelis hakim memerintahkan kami untuk kembali duduk di kursi kami masing-masing.
“Silahkan saksi menjawab pertanyaan penasihat hukum!” perintah Ketua majelis hakimnya.
“Iya Pak. Itu tidak ada bekas darahnya, karena sebelum diserahkan ke polisi celana dalam dan baju saya yang saya pakai waktui itu sudah dicuci oleh ibu saya,” jawab korban.
“Baiklah.. Pertanyaan saya selanjutnya adalah: Ketika terdakwa ini (saya menunjuk terdakwa yang umur 19 tahun) yang kata Anda pertama kali memperkosa Anda, saat terdakwa ini mulai menindih dan memasukkan kelaminnya ke vagina Anda, maka apa yang Anda rasakan pada waktu itu?” tanyaku.
Gadis itu diam sebentar, seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Lalu dia melihatku. (Setiap aku bertanya kepadanya aku selalu merendahkan suaraku dan tersenyum kepadanya, dengan maksud agar dia tidak merasa tertekan).
“Waktu itu saya tidak merasakan apa-apa Pak,” jawabnya. Saya mulai curiga dengan jawabannya itu.
“Pada saat Anda diperkosa, Anda sadar atau pingsan?” tanyaku.
“Saya sadar Pak,” jawabnya. Dia tampak mulia gelisah.
“Anda tidak merasakan apa-apa? Benar begitu? Bisakah Anda mengira-ngira dari rasa saat Anda ditindih dan diperkosa saat itu, apakah Anda bisa merasakan bahwa kelamin terdakwa ini masuk ke vagina Anda?” tanyaku.
Gadis itu diam sejenak. Lalu dia menjawab, “Ya rasanya dingin begitu Pak.”
“Tidak ada rasa nyeri?” tanyaku.
“Tidak Pak,” jawabnya.
“Setelah itu selanjutnya apa yang terjadi?” tanyaku.
“Ya itu Pak, setelah itu ada satpam lewat, lalu dia dan teman-temannya itu lari,” jawabnya.
“Loh.... Anda harus jujur loh ya. Tadi Anda menerangkan kepada Pak Hakim dan Pak Jaksa, katanya Anda ini diperkosa secara digilir oleh empat terdakwa ini? Kok sekarang keterangannya berubah? Kok jadinya hanya diperkosa satu terdakwa ini, terus dipergoki satpam, lalu para terdakwa lari. Jika demikian, anda hanya diperkosa satu orang terdakwa ini? Apakah begitu?”
Tiba-tiba terdakwa yang berumur 19 tahun menyela, “Dia memang bohong itu Pak! Saya juga tidak memperkosanya!”
Saya pun membentak terdakwa itu, “Diam kamu! Jika tidak disuruh bicara oleh Hakim, kamu jangan sembarangan menyela omongan!” semprotku dengan marah. Terdakwa itu pun diam menunduk.
“Silahkan Anda menjawab pertanyaan saya tadi. Jadi yang benar bagaimana? Saudara hanya diperkosa oleh satu orang terdakwa ini, atau digilir oleh empat terdaakwa ini?” tanyaku kepada gadis korban itu.
“Diperkosa oleh dia Pak. Teman-temannya itu tapi membantu memegangi saya,” jawab gadis itu.
“Baiklah. Jadi kalau begitu Anda tidak digilir oleh empat terdakwa ini ya. Berarti yang tiga hanya sebagai pelaku yang membantu perkosaan itu. Apakah benar begitu? Atau bagaimana?”
“Iya Pak. Teman-temannya hanya membantu memegangi saya,” jawabnya.

Setelah selesai memeriksa keterangan gadis korban tersebut maka ibunya yang berada di luar ruangan dipanggil masuk untuk memberi keterangan sebagai saksi. Setelah tiba giliranku bertanya, maka saya mengonfirmasi keterangan gadis korban tadi yang menerangkan peran ibunya yang katanya mencuci baju anaknya yang menjadi korban perkosaan tersebut.
“Saudari saksi kan ibu dari korban ya. Nah, pada waktu kejadian perkosaan Anda kan tidak mengetahuinya. Anda tahu saat anak Anda datang, katanya diantar oleh seorang satpam. Pertanyaan saya, saat anak Anda datang dalam keadaan demikian yang katanya habis diperkosa itu, maka apakah yang Anda lakukan untuk merawat dan menenangkan anak Anda tersebut pada malam hari itu?” tanyaku.
“Saya menyuruhnya segera  mandi Pak. Besoknya saya baru ke kantor polisi bersama dengan suami saya dan anak saya itu untuk melaporkan kejadian pemerkosaan itu,“ jawabnya.
“Ketika waktu itu Anda menyuruh anak Anda mandi, lalu siapa yang mengemasi bajunya, apakah anak gadis Anda sendiri, ataukah Anda?” tanyaku.
“Yang mengemasi bajunya ya saya Pak,” jawabnya.
“Apakah termasuk celana dalam yang dipakai saat perisitwa perkosaan itu?” tanyaku.
“Iya Pak,” jawabnya.
Lalu saya memohon untuk dilakukan pemeriksaan barang bukti celana dalam itu di muka sidang tersebut agar ibu korban tersebut melihatnya, dan dia membenarkan memang barang bukti tersebut adalah celana dalam dan baju korban yang dipakai saat terjadi perisitwa perkosaan tersebut.
“Apakah ibu pernah mencuci baju-baju anak ibu tersebut, termasuk celana dalamnya, sebelum diserahkan atau setelah diserahkan kepada polisi untuk barang bukti?” tanyaku.
“Tidak Pak. Malam itu saya kemasi bajunya, saya masukkan ke dalam tas plastik, lalu besok paginya saya bawa ke kantor polisi saat laporan masalah pemerkosaan itu dan saya serahkan kepada polisi tempat saya melapor itu Pak,” jawab ibu dari korban tersebut.
Dari keterangan saksi korban dan ibunya tersebut ada perbedaan. Korban mengatakan bahwa celana dalamnya terdapat bekas darah dan hilang bekas darahnya karena dicuci oleh ibunya, tetapi ibunya menerangkan bahwa dia tidak pernah mencuci celana dalam korban dan dalam pemeriksaan barang bukti di muka meja hakimnya ibu korban tersebut menerangkan bahwa memang celana dalam anaknya tersebut tidak ada bekas darahnya.

Pada akhirnya, majelis hakim perkara tersebut tidak yakin adanya peristiwa perkosaan secara bergilir. Saya setuju dengan pendapat majelis hakim bahwa dalam perkara tersebut yang terjadi adalah kejahatan pencabulan, sehingga terdakwa yang berumur 18 dan 19 tahun itu dihukum enam bulan penjara dan dua terdakwa yang berumur 16 tahun dihukum dengan pidana penjara enam bulan dengan masa percobaan selama satu tahun.

Hal yang hingga sekarang saya belum menemukan jawabannya adalah: mengapa kasus pencabulan itu dikonstruksikan seolah merupakan kasus perkosaan yang dilakukan dengan cara keji, yakni: diperkosa dengan cara disetubuhi bergilir oleh empat pelaku. Saya sempat mendapatkan informasi bahwa menjadi menjadi dalang skenario “pembengkakan” kasus itu adalah si anu... Tapi sayangnya saya kesulitan mendapatkan buktinya sebab saya sudah tidak bisa berkomunikasi lagi dengan keluarga korban setelah kasus itu diputus Pengadilan.

Kasus tersebut dramatis. Para orang tua remaja-remaja yang melakukan pencabulan itu didatangi oleh orang-orang yang mengaku pejabat, diintimidasi, disuruh membayar sejumlah uang dengan ancaman-ancaman. Tapi kami dengan telaten mendampingi dan mengarahkan mereka.

Kasus tersebut semula sudah menjadi berita media massa yang terkenal dengan isi berita yang memberi stigma seolah para pelaku telah melakukan perkosaan dengan cara yang kejam, yakni memperkosa secara menyetubuhi paksa secara bergilir empat orang. Tetapi setelah fakta-faktanya terungkap dalam persidangan dan setelah adanya putusan pengadilan, opini yang pertama kali muncul tentang adanya perkosaan secara keji itu tidak dapat dilenyapkan begitu saja. Kesembuhan luka sosial akibat informasi sesat itu berjalan perlahan-lahan seiring waktu berjalan.

Artinya begini, bahwa apa yang menjadi berita dan opini yang sudah terlanjur tersebar itu belum tentu merupakan opini dan berita yang menunjukkan kebenaran yang sejatinya, sebelum kebenaran itu benar-benar diuji dalam sebuah pemeriksaan yang fair dan berimbang.

Oleh sebab itu, saya menyarankan agar kasus perkosaan yang menimpa gadis UGM itu dibawa saja ke ranah hukum, agar dapat diuji secara fair untuk menemukan bagaimana kejadian yang sesungguhnya. Kasus tersebut bukanlah kasus tertangkap tangan, tetapi kasus yang kejadiannya tidak ada yang menyaksikan. Dibutuhkan teknik pemeriksaan yang mestinya harus dilakukan dengan cara-cara yang “kreatif” untuk membongkar peristiwa yang sebenarnya.

Mungkin nantinya putusan Hakim tidak akan memuaskan, tetapi dengan mengujinya melalui pemeriksaan yang fair di muka pengadilan maka di sana akan diperoleh fakta-fakta yang lebih jelas, daripada hanya menjadi gosip di medsos.

Pendamping korban harus meyakinkan korban atau keluarganya untuk meleporkan masalah itu ke Kepolisian, jika memang tim UGM yang telah melakukan investigasi tidak mau melaporkannya ke Kepolisian. Tapi tentu bukan dengan memaksanya.

Jika memang itu kejahatan, apakah itu kejahatan perkosaan ataukah pencabulan, harus dapat dipastikan. Ataukah jangan-jangan bukan keduanya? Korban perkosaan ataupun pencabulan harus direparasi hak-haknya, terutama mentalnya agar bangkit kembali bersemangat. Sebaliknya, korban kesesatan informasi juga harus direparasi haknya.

Orang yang melakukan kejahatan harus dihukum sesuai dengan perbuatan nyata yang dilakukannya, bukan dihukum dengan hukuman yang melebihi dari kadar perbuatan jahatnya. Itu salah satu prinsip keadilan.




Jumat, 13 Juli 2018

Divestasi Saham Freeport dan Kehebatan Rezim Jokowi - Kalla



Sumber foto: Indonesiachannel.com

“Lihat tuh! Belum sampai lima tahun jadi presiden, Jokowi sudah sukses mendivestasi saham Freeport sebesar 51 %. Hebat kan? Presiden sebelumnya tidak bisa sehebat Pak Jokowi. Ke mana saja SBY selama 10 tahun menjadi presiden kok tidak mampu melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Bapak Jokowi? Makanya jangan sibuk ngarang lagu saja!” Hehe…..

Hari ini ramai puja puji kepada Presiden Jokowi. Katanya pemerintah berhasil mendivestasi saham Freeport sebesat 51 % senilai 3,85 M dollar AS yang akan diserahkan kepada BUMN, Inalum. Untuk membeli 51 % saham Freeport itu maka pemerintah harus memberikan duit kepada Freeport sekitar Rp 55 T. Menurut berita yang tersebar, pemerintah (cq. Inalum) akan utang kepada bank-bank termasuk bank asing.

Sebenarnya Kontrak Karya Ke-dua antara pemerintah Indonesia dengan Freeport akan berakhir tahun 2021. Kontrak Karya Pertama berlaku tahun 1967 – 1991.

Terjadilah perundingan antara Freeport dengan pemerintahan Jokowi – Kalla. Tentu saja Freeport tidak akan membiarkan harta kekayaan yang berada dalam genggamannya lepas dengan mudah.  Hasil nego membuahkan hasil, pemerintah Jokowi – Kalla menyepakati diberikannya Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sebagai pengganti dari Kontrak Karya (sebagai konsekuensi berlakunya UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara), 2 x 10 tahun, atau berakhir hingga tahun 2041. Jadi, Kontrak Karya dengan Freeport yang sedianya berakhir tahun 2021, oleh pemerintahan Jokowi – JK telah diperpanjang dengan menggunakan IUPK sampai dengan tahun 2041.

Mengapa Tidak Diakhiri?

Para pendukung Jokowi mengucapkan selamat kepada Presiden Jokowi yang katanya mampu  “mengembalikan kekayaan emas Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi.” Namun ada sebuah pertanyaan yang terselip di benak saya: “Mengapa rezim Jokowi – Kalla tidak membiarkan Kontrak Karya Freeport itu berakhir saja tahun 2021? Mengapa diperpanjang dengan memberikan IUPK hingga tahun 2041?

Apakah jika tidak diberikan IUP hingga tahun 2041 maka pemerintah atau BUMN kita tidak punya uang untuk mengelolanya sendiri? Bukankah dengan divestasi saham Freeport toh pemerintah / BUMN harus mengeluarkan uang, membeli 51 % saham Freeport senilai sekitar Rp 55 T. Untuk mendapatkan uang tersebut juga dengan cara utang meskipun mungkin tidak seluruhnya?

Apakah uang Rp 55 T tersebut tidak cukup untuk membeli peralatan dan biaya operasional tambang emas dan tembaga tersebut? Apakah tidak bisa dengan cara mempekerjakan para kontraktor tambang jika memang tidak mampu membeli peralatan sendiri? Itu merupakan pertanyaan-pertanyaan saya sebagai awam teknik pertambangan dan ekonominya. Tetapi saya jelas ingat bagaimana para penambang tradisional yang mampu untuk mendapatkan emas dengan peralatan sederhana dan seadanya. Bahkan bos-bos mereka bisa kaya karena tambang tradisional itu. Saya tidak terlalu percaya jika negara sekelas Indonesia ini tidak mampu. Ingat bahwa Freeport itu memulai tambang di Papua itu dengan teknologi kuno zaman dulu dan modal bantuan kekuasaan Suharto. Apakah zaman sekarang Indonesia tidak mampu dengan teknologi kuno jika tidak mampu dengan teknologi modern?

Freeport menguntungkan?

Apakah ada yang ingat soal ini? Badan Pemeriksaan Keuangan pernah menyampaikan laporan hasil pemeriksaan terhadap pelaksanaan Kontrak Karya tahun 2013 – 2015 yang menyebabkan timbulnya potensi kerugian negara sebesar Rp 185 T.  Pelanggaran yang dilakukan Freeport menurut BPK, pertama adalah kerugian akibat pemakaian kawasan hutan lindung tanpa izin pinjam pakai lahan di tahun 2008 – 2015 seluas 4.535, 93 hektar. Kedua, kelebihan pencairan dana reklamasi kepada Freeport sebesar 1,43 dollar AS berdasarkan kurs tengah BI tanggal 25 Mei 2016. Ketiga, Freeport melakukan usaha tambang bawah tanah tanpa AMDAL dan tanpa Izin Lingkungan karena AMDAL yang dimiliki Freeport sejak tahun 1997 tidak termasuk untuk kegiatan tambang bawah tanah. Keempat, terjadinya kerusakan lingkungan akibat pembuangan limbah operasional di sungai, muara dan laut. Kelima, Freeport belum menyetor kewajiban dana pascatambang kepada pemerintah.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa pemerintah harus mencairkan dana reklamasi kepada Freeprot? Pada tahun 1996 diterbitkan Keputusan Dirjen Pertambangan Umum (zaman Menteri Kuntoro Mangkusubroto) No. 336.K/271DDJP/1996 sebagai pelaksanaan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1211.K/008/M.PE/1995 tanggal 17 Juli 1995 yang mewajibkan perusahaan-perusahaan pertambangan untuk menyampaikan perhitungan biaya reklamasi dan memberikan jaminan biaya reklamasi dalam bentuk deposito berjangka atau accounting reserve di mana usulan itu harus disetujui oleh Dirjen Pertambangan dan Energi. Kewajiban bagi korporasi tambang untuk melakukan pemulihan lingkungan tersebut juga ditentukan dalam Pasal 96 huruf c UU No. 4 Tahun 2009 tersebut. Jadi, Freeport tentu mempunyai deposit uang jaminan pemulihan lingkungan yang disetorkan dengan bentuk deposito yang dapat dicairkan untuk kegiatan pemulihan lingkungan.

Nah, dalam soal itu pada umumnya masyarakat tidak mengetahui tentang rencana biaya reklamasi dan berapa besarnya serta bagaimana dengan penggunaannya. Masyarakat selaku pihak yang terdampak sebenarnya berhak untuk mengetahui hal-hal seperti itu.

Selain masalah lingkungan hidup (ekologi), riwayat operasional Freeport juga berlumuran darah. Rezim Sukarno yang dinilai sebagai penghalang kebebasan korporasi asing dalam mengeruk kekayaan di negara ini dijatuhkan di tahun 1967. Selanjutnya pemerintah Orde Baru menandatangani Kontrak Kerja (KK) dengan Freeport. Kemudian Freeport melakukan eksplorasi tambang di Erstberg yang dilanjutkan dengan tambang Grasberg tahun 1988. Operasi tambang Freeport diperkirakan memakan korban penduduk tewas sekitar sebanyak 500 ribu orang dengan menggunakan kekerasan militer (Abigail Abrash dalam Human Rights Abuses by Freeport in Indonesia, 2002). Kasus tersebut seharusnya menjadi kasus pelanggaran HAM yang berat yang harus dibawa ke Pengadilan HAM.

Jadi, apa hebatnya negara ini dalam menghadapi Freeport? Menurut saya, kedamaian bangsa Papua lebih berharga dibandingkan hasil penjualan emas yang merusak ekologi dan sosial masayarakat Papua. Jika ingin Papua merasa nyaman sebagai bagian NKRI maka seharusnya pemerintahan Indonesia tidak melanjutkan penganiayaan itu. Sudahi derita masyarakat Papua yang dikalahkan oleh pertimbangan ekonomi yang sebenarnya menginjak-injak harga diri bangsa ini. Tanpa perusahaan tambang emas itu, Papua dan negara ini bisa mendapatkan kemudahan hidup lainnya dengan perekonomian yang tidak perlu melakukan kerusakan separah itu, mengorbankan masyarakat sekitarnya, meletakkan harga diri bangsa di bawah telapak kaki korporasi. Dengan ekonomi pertanian, perikanan  dan kelautan serta pariwisata, jika dikelola dengan baik dan jujur, maka itu sudah cukup bagi bangsa ini. Masalahnya adalah otak kita telah dicetak menjadi hamba korporasi atas nama isu kesejahteraan yang sebenarnya secara riil hanya memperkaya sedikit orang.

Andaikan tanpa perundingan apapun yang dilakukan oleh rezim Jokowi – Kalla dengan Freeport, maka derita bangsa Papua akan berakhir tahun 2021 dan harga diri bangsa ini bisa lebih tegak.