Minggu, 08 Februari 2015

KEBOHONGAN AJARAN TRIAS POLITICA

Perjuangan terbentuknya negara hukum demokratis di Eropa pada masa lalu ternyata tidak sekadar menumbangkan tirani monarki, melainkan babak baru terbentuknya tirani pemilik kekayaan. Dominasi kekuasaan negara oleh kaum ningrat (raja-raja) dan gereja, ditumbangkan oleh suatu upaya yang disebut demokratisasi. Upaya tersebut dimulai dengan dilontarkannya gagasan-gagasan tentang demokrasi dan negara hukum, harus dipisahkannya kekuasaan dalam suatu negara, agar tidak menumpuk di satu tangan. Ajaran itu kemudian dikenal dengan Trias Politica.

Namun, siapa yang mengira bahwa dalam gagasan Trias Politica terdapat “pesanan” dari kaum kaya (yang bukan dari golongan ningrat dan gereja) yang berusaha agar diberikan kedudukan dalam pemerintahan? Upaya-upaya borjuis atau kelas menengah itu berhasil. Monarki dipaksa untuk tunduk pada konstitusi yang dibuat pada masa revolusi, kekuasaannya dilucuti, atas nama demokrasi. Tentu saja di dalamnya terdapat janji-janji surga untuk menggerakkan rakyat agar mendukung gerakan yang mereka sebut sebagai gerakan pembebasan (liberty).

Perubahan memang terjadi. Tidak ada lagi hukum raja-raja yang tiran. Namun tanpa disadari – meski dalam Revolusi Perancis kekuasaan monarki dihabisi tuntas, kecuali Monaco – terdapat kompromi politik antara golongan ningrat, gereja dan borjuis. Kepentingan para borjuis diakomodasi negara untuk mengakumulasi kekayaan mereka. Ternyata penindasan kepada rakyat kecil hanya berpindah tangan dari penindasan oleh tirani monarki ke tirani baru yang disebut sebagai tirani borjuis atau tirani modal.

Jika zaman dahulu raja dapat membunuh rakyat yang menentangnya, dalam era tirani modal itu pembunuhan dilakukan dengan cara-cara yang lebih lunak dan secara tidak langsung. Meracuni lingkungan hidup yang berakibat pada penyakit-penyakit degeneratif merupakan salah satu cara baru untuk membunuh secara massal. Menyewa para preman untuk membunuh dengan cara menghilangkan jejak merupakan cara lama yang dimodifikasi lebih modern.

Ketika pemilik modal menghendaki tanah yang sulit dibebaskan maka dibuatlah kekacauan yang membuat warga masyarakat pemilik tanah tidak kerasan. Tak jarang aparatur negara – dengan alasan demi pembangunan negara – digerakkan untuk melakukan pengusiran paksa kepada warga. Putusan para birokrat dan para hakim merupakan alat baru untuk menindas kaum lemah, diberi label “atas nama hukum dan keadilan.”

Dalam perkembangannya, demokrasi hanyalah sebuah pantai indah yang hendak dituju, tetapi rakyat hidup dalam sebuah kapal di lautan ketidakpastian yang selalu dihempas gelombang. Seolah-olah rakyat sedang menuju ke pantai indah itu, sebagaimana para nahkoda dan calon nahkoda selalu menjanjikan bahwa mereka bersama-sama akan menuju ke pantai yang dijanjikan. Namun kenyataannya kapal itu dikendalikan sesuai dengan keinginan para pengendalinya yang mempunyai tujuan tersendiri.

Di Indonesia

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menyatakan, teori demokrasi pada abad ke-20 mengenal Trias Politica. Kekuasaan negara dibagi menjadi kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif, ditambah satu pilar lainnya, yaitu media massa.

Saat ini, terdapat tiga cabang kekuasaan lainnya, yakni pemodal, masyarakat sipil, dan media massa.
Jimly mengatakan, ada kecenderungan empat cabang kekuasaan akan bertumpuk di satu tangan dan itu sangat membahayakan. Misalnya, pengusaha besar menguasai industri media, lalu dia membuat partai dan kemudian jadi presiden. Itu sangat mungkin terjadi, trennya sudah begitu, hanya sekarang belum berhasil. Jika terjadi presiden memegang empat cabang kekuasaan, maka itu bukan demokrasi lagi. Jimly menyarankan perlunya kebijakan untuk mencegah terjadinya hal tersebut, yakni perlunya undang-undang tentang larangan konflik kepentingan.

Saya tidak sependapat dengan cara pikir Jimly yang mencampur-aduk konsep Trias Politica dengan realitas kekuasaan nonnegara yang menguasai negara itu. Sedari awal dalam sejarahnya telah terjadi upaya halusinasi pemikiran demokrasi. Pemisahan kekuasaan negara dengan ajaran Trias Politica adalah dalam rangka melucuti kekuasaan raja-raja dan ditujukan agar para raja membagi kekuasaannya dengan kaum borjuis. Warga masyarakat diperalat untuk menentang kekuasaan raja yang absolut itu. Sejak terbentuknya negara hukum modern, pemilik modal telah menjadi penguasa baru dengan segala kepentingannya.

Kekuasaan negara mungkin tepat jika dibagi menjadi beberapa urusan. Tetapi media massa bukanlah bagian pilar kekuasaan negara. Bagaimana media massa yang dikuasai kaum borjuis pemodal itu dikatakan sebagai termasuk kekuasaan negara? Konsep tentang media massa sebagai bagian kekuasaan negara adalah konsep tirani kapital yang bermaksud meneguhkan kekuasaan pemilik kapital itu sendiri.

Media massa dapat dipetakan, terdapat media yang menjadi alat perjuangan masyarakat dan terdapat media massa yang menjadi alat perjuangan penguasa modal, serta media massa yang menjadi alat pemerintah. Independensi media adalah konsep yang salah, sebab saham media-media massa bebas diperjual-belikan, diberikan badan hukum korporasi. Media massa adalah entitas subyek hukum tersendiri. Media massa menjadi seperti manusia yang berkepribadian robot yang dikendalikan oleh “pemberi hidupnya.”  

Pada masa kini ternyata upaya kaum borjuis untuk mendapatkan posisi dalam pemerintahan negara telah mengubah keadaan di mana borjuis mampu menjadi satu-satunya kekuatan baru yang menguasai negara. Borjuis menempatkan orang-orangnya di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, atau sekurang-kurangnya menguasai ketiga lembaga tersebut dengan kekuatan kekayaannya. Borjuis juga menjadi majikan media massa, juga menguasai otoritas akademik. Lalu apa yang tersisa?

Hanya tekanan rakyat yang dapat membuahkan hukum pembatasan kekuasaan itu agar tidak terjadi konflik kepentingan sebagaimana disarankan Jimly itu. Tapi apakah hukum yang diciptakan dalam kendali borjuis itu tidak akan menjadi kebohongan yang baru?

Misalnya saja seorang borjuis penguasa modal biasa saja secara formal namanya tidak tercantum sebagai pemegang saham korporasi dan bukan pengurus suatu badan usaha, namun dalam kenyataannya ia merupakan pengendali suatu konglomerasi perusahaan. Karena tak ada bukti bahwa ia merupakan pengurus dan pemegang saham suatu korporasi besar maka ia diperbolehkan menduduki jabatan penting pemerintahan. Kiranya itu dibutuhkan pemikiran yang lebih dalam.

Sebenarnya para pendiri negara ini cukup cerdas. Mereka membuat konstruksi ketatanegaraan dengan membuat MPR sebagai lembaga tertinggi negara. MPR ini sebagai “rumah rakyat” di dalamnya terdapat anggota dari golongan partai politik, utusan daerah dan utusan golongan. Utusan golongan tersebut tinggal dikembangkan dari berbagai golongan profesi, adat, buruh, petani, nelayan, dan lain-lain. MPR dapat disusun dengan menghindari dominasi partai politik yang biasanya didirikan dan dibiayai kaum borjuis.

Dalam susunan seperti itu presiden dari kalangan borjuis akan lebih sulit untuk menjadi kekuasaan yang menguasai legislatif, eksekutif dan yudikatif, sebab presiden diawasi dan dikendalikan oleh MPR yang lebih dapat menjadi representasi semua golongan rakyat. Barangkali tatacara pemilihan para wakil semua golongan di MPR itu dapat dihindarkan dari kemudahan campur tangan para pemilik kapital. Misalnya dengan sistem pemilihan berjenjang dari masing-masing daerah sampai ke pusat dengan pemilihan-pemilihan swadaya masyarakat.

Prof. Jimly dan kawan-kawan kini kebingungan dengan akibat sistem yang telah dibangunnya, yang telah berakibat pada perubahan fundamental struktur ketatanegaraan Indonesia yang kian liberal. Benar bahwa masa jabatan presiden harus dibatasi, tapi bukan dengan cara menjatuhkan daulat rakyat melalui MPR. Coba misalnya MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang disempurnakan bangunannya, Presiden tak perlu pusing bikin tim independen untuk memutuskan hal-hal yang menurutnya rumit. Cukup minta fatwa MPR.


Para pendiri negara Indonesia telah memberikan konstruksi ketatanegaraan sementara yang baik yang seharusnya disempurnakan, bukan dirusak dengan dibongkar secara fundamental meniru-niru bangunan negara orang lain yang memang bangunan kemenangan kaum borjuis.