Sabtu, 06 Desember 2008

PERPRES TONG PES


Tanggal 3 Desember 2008 ada sebuah peristiwa sejarah hukum yang mengenaskan. Kacamata hukum memandang itu luar biasa. Apa itu? Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14 Tahun 2007) gugur di istana negara, menjelma dalam kesepakatan perdata di tangan orang-orang yang tidak mempunyai kedudukan hukum utuh.

Sembilan wakil korban Lapindo asal Perumahan Tanggung Angin Sejahtera (Perumtas) Sidoarjo, menyepakati tawaran Nirwan Bakrie yang mewakili Lapindo Brantas Inc, untuk mencicil sisa ganti rugi jual-beli tanah dan rumah korban lapindo yang masih 80 persen itu dengan cicilan sebesar Rp. 30 juta per bulan. Hasil itu disambut dengan demo korban Lapindo lainnya di Sidoarjo yang menolaknya.

Di luar kacamata hukum, itu sukses Lapindo kesekian kalinya memecah-belah warga korban Lapindo. Harus diakui, Lapindo lebih hebat dibandingkan para relawan pendamping korban Lapindo. Sebab, Lapindo dibantu kekuatan pemerintah.

Kronologi Perpres 14 Tahun 2007

Setelah semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei 2006 mulai menghancurkan pemukiman penduduk sekitarnya, pemerintah tidak mengambil kebijakan yang tegas dan tepat untuk menyelamatkan korban. Saat itu pemerintah menyatakan bahwa masalah itu menjadi tanggung jawab Lapindo. “Pemerintah tak akan mengeluarkan uang sesenpun. Itu tanggung jawab Lapindo,” kata pemerintah waktu itu.

Statemen pemerintah itu tampak dalam Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 (Keppres No. 13 Tahun 2006) yang membebani tanggung jawab semburan lumpur Lapindo seratus persen, sebagaimana disebutkan dalam diktum ke-lime Keppres itu: “Dengan terbentuknya Tim Nasional dengan tugas sebagaimana dimaksud pada Diktum Ketiga, tidak mengurangi tanggung jawab PT. Lapindo Brantas untuk melakukan penanggulangan dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup dan masalah sosial yang ditimbulkannya.”

Bahkan biaya pelaksanaan tugas Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo dibebankan sepenuhnya kepada Lapindo Brantas Inc. (diktum ke-enam Keppres No. 13 Tahun 2006).

Entah siapa yang menjadi pembisik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sehingga Keppres No. 13 Tahun 2006 yang menjadi ‘angka sial’ bagi Lapindo itu diganti dengan Perpres No. 14 Tahun 2007.

Eliminasi Keppres No. 13 Tahun 2006 dengan kelahiran Perpres No. 14 Tahun 2007 lebih menguntungkan anak Grup Bakrie itu sebab berdasarkan pasal 15 Perpres tersebut ditentukan bahwa masalah sosial kemasyarakatan korban pada peta terdampak 22 Maret 2007 akibat semburan lumpur itu dibebankan kepada Lapindo, sedangkan di luar peta 22 Maret 2007 itu menjadi beban negara.

Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur, termasuk penanganan tanggul utama sampai ke Kali Porong dibebankan kepada Lapindo, sedangkan biaya penanganan masalah infrastruktur termasuk infrastruktur untuk penanganan luapan lumpur di Sidoarjo, dibebankan kepada APBN dan sumber dana lainnya yang sah.

Cara penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan korban Lapindo dalam peta terdampak 22 Maret 2007 adalah dengan “jual-beli” tanah dan rumah korban Lapindo yang terkena dampak semburan lumpur. 20 persen dibayar di muka, sisanya 80 persen dilunasi paling lambat sebulan sebelum masa kontrak dua tahun habis. Demikian ketentuan pasal 15 Parpres No. 14 Tahun 2007.

Tong pes

Dalam pelaksanaannya, pembayaran uang muka 20 persen dilakukan dengan cara kelompok per kelompok berkas, dalam gelombang waktu yang berbeda-beda. Kini, jatuh tempo pelunasan pembayaran 80 persen itu sudah terlewati bagi sebagian besar kelompok korban yang ada, sejak Maret 2008 lalu.

Jangankan pelunasan 80 persen, ternyata masih ada ratusan berkas yang belum menerima pembayaran 20 persen, dipaksa Lapindo mengikuti cara relokasi. Di Desa Kedungbendo masih ada 182 berkas dan di Perumtas I Tanggulangin ada 48 berkas belum dibayar 20 persen, termasuk lebih dari 600 kepala keluarga yang mengungsi di Pasar Porong Baru. Belum lagi kelompok-kelompok korban yang ada di Gempolsari, Jatirejo, Renokenongo yang sama sekali belum menerima uang pembayaran 20 persen itu (data Posko Korban Lapindo di Desa Gedang).

Tak kalah mengenaskan, bagi korban yang kadung mau mengikuti program pembayaran tunai bangunan dan tukar tanah (relokasi) ternyata banyak yang menangis karena belum dibayar uang muka 20 persen dan tanah relokasinya belum jelas. Tidak cocok dengan yang diiklankan di media-media massa. Korban Lapindo yang ‘tertipu’ itu dalam kelompok Gabungan Korban Lapindo (GKLL) dan Pagarekontrak yang selama ini paling lama mengungsi di Pasar Porong Baru.

Korban yang belum dilunasi 80 persen datang ke Jakarta. Dengan dalih masalah ekonomi global, di hadapan Presiden SBY terjadi negosiasi yang membenarkan cicilan Rp. 30 juta per bulan. Sementara itu pemerintah menyatakan menutup pintu negosiasi, padahal gelombang korban Lapindo yang menolak hasil negosiasi di sitana negara itu jumlahnya juga masih ribuan, dari kelompok yang berbeda-beda.

Tragedi hukum yang terjadi adalah bahwa Perpres No. 14 tahun 2007 sebagai regulasi ternyata tidak dipatuhi oleh Lapindo, lantas digeser bentuknya dari hukum publik menjadi hukum perdata. Pun penggeseran tersebut belum dapat memenuhi kedudukan hukum para wakil korban Lapindo dari kelompok tertentu, yang tentunya tak dapat mewakili seluruh korban yang ada.

Dari segi hukum, bagi warga dalam satu kelompok pun yang tidak menyetujui hasil negosiasi dalam istana negara itu berhak untuk melakukan aksi opt out (memilih keluar) dari kelompok yang diwakili oleh orang yang tidak dipercayainya. Bagi kelompok korban yang tak terwakili tentu tak boleh dipaksa tunduk dengan hasil negosiasi wakil kelompok yang lainnya. Grup Bakrie dibiarkan Presiden SBY tidak patuh dengan Perpres, lalu apa korban lumpur mau dipaksa patuh hasil negosiasi yang menabrak Perpres?

Pemerintah telah kehilangan kewibawaannnya dalam kasus lumpur Lapindo, yang masih akan menyisakan persoalan dan jalan panjang. Jika terhadap ketentuan hukum publik berupa Perpres itu mudah disimpangi, apalagi terhadap produk hukum perdata berupa hasil negosiasi yang menabrak ketentuan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007. Lebih gampang lagi disimpangi.

Solusinya hanya satu. Pemerintahan yang tegas dan berwibawa. Kemarahan seorang Presiden atas penelantaran nasib rakyat korban seharusnya membuahkan garis kebijakan tegas. Perpres No. 14 Tahun 2007 harus dijalankan Lapindo. Jika tidak, diberi sanksi, sebagai ciri hukum yang adil dan pasti. Jika perlu Grup Bakrie dipailitkan oleh pemerintah untuk mempercepat pemberesan seluruh kewajibannya kepada korban Lapindo. Kepailitan bukanlah akhir hidup sebuah korporasi, sebab dalam proses kepailitan itu kegiatan usaha tetap berjalan atas izin Hakim Pengawas.

Apa guna membuat Perpres jika hanya dijadikan tong pes alias gentong kempes yang tak dihargai? Jangan sampai contoh buruk pelaksanaan hukum itu akan menjadi preseden yang berlanjut dalam pemerintahan selanjutnya. Jika ditiru, semua orang boleh dong tidak patuh regulasi pemerintah, dengan dalih ini dan itu?

Senin, 01 Desember 2008

Nasib Rakyat di Tangan Saudagar


Kita mempunyai presiden berlatar belakang militer-intelektual. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seorang purnawirawan jendral Angkatan Darat dan doktor dalam bidang ilmu pertanian. Setidak-tidaknya memahami bagaimana manajemen pertahanan negara, sekaligus memahami pembangunan pertanian yang juga menjadi tulang punggung ekonomi rakyat. Bagaimana kenyataannya di tahun penghujung jabatannya?

Wakil presidennya adalah Muhammad Jusuf Kalla (MJK), merupakan seorang pengusaha, pedagang (saudagar) tulen yang kaya-raya dengan seabrek pengalaman dalam mengelola perusahaan bermerek (keluarga) “H. Kalla” yang sangat terkenal kebesaraanya di Indonesia bagian Timur. Untuk itulah MJK selaku Wakil Presiden ditugasi untuk menyusun program pembangunan ekonomi.

Tak lupa, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (dahulu Menteri Koordinator Ekonomi dan Industri) adalah Aburizal Bakrie, juga saudagar kaya-raya dengan perusahaan yang bermerek “Bakrie” yang juga sangat terkenal itu yang konon terkaya di Asia Tenggara. Bagaimana peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Indonesia kini?


Resesi kemakmuran?


Saudagar yang menjadi pejabat negara tak selamanya terampil mengurus kebutuhan rakyat. Bisa jadi konsentrasinya terbelah. Tak tahu seperempat, setengah, dua pertiga, atau berapa kadarnya, kemampuan intelektualnya tak dapat meninggalkan nasib usahanya. Kemungkinan ‘selingkuh’ dari rakyat bisa terjadi.

Abu Bakar Shidiq ketika ditunjuk menjadi khalifah, ia tinggalkan dagangannya. Seratus persen mengurus negara. Konsenstrasinya tak boleh pecah, sebab mengurus negara itu amanat besar, tak boleh main-main dijadikan pekerjaan sampingan. Bahkan Umar bin Khatab ketika terpilih menjadi khalifah juga melarang anaknya menjadi pengusaha (peternak) sebab takut tercampur dengan penggunaan fasilitas negara.

Meninggalkan dagangan, atau melarang anaknya berdagang, yang dilakukan dua contoh pemimpin negara yang berpusat di Madinah itu tentu bukan akal-akalan. Bukan sekadar tidak tercatat memiliki saham atau tidak terdaftar sebagai pengurus perusahaan. Secara formil dan materiil memang benar-benar membersihkan diri dari potensi konflik kepentingan negara dengan pribadi atau keluarga.

Akibatnya, jika ada rakyatnya yang miskin tersembunyi di desa terpencilpun akan tahu dan segera diurus. Pikiran dan tenaganya fokus kepada rakyat, tak perlu menghubungkan nasib rakyat dengan kelangsungan usahanya.

Tetapi tampaknya kisah nyata masa lampau itu tak dijadikan contoh yang baik bagi para pengurus negeri ini. Jangankan rakyat miskin tersembunyi, puluhan ribu korban Lapindo yang sengsara selama lebih dari dua tahun, yang menjadi konsumsi kabar internasional pun tidak memperoleh penyelesaian nasib yang serius.

Korban Lapindo mengalami resesi kemakmuran. Meski menurut penelitian setidaknya separoh penduduk sekitar Blok Brantas hidup dalam ekonomi yang pas-pasan dan cenderung miskin, tetapi sebelum munculnya kasus semburan lumpur itu mereka masih hidup nyaman, anak-anak bisa sekolah, para orang tua masih bisa bekerja. Mereka pernah makmur dalam pengertian secara perasaan sebagai rakyat kecil yang biasa hidup apa adanya dan nerima ing pandum (tidak serakah).

Pada mulanya mereka tidak tahu jika di tempat tinggal mereka tersimpan kekayaan gas yang besar. Mereka tidak tahu adanya pemboran gas di Sumur Banjar Panji 1 Porong itu. Bahkan informasi yang mereka terima adalah rencana usaha peternakan, bukan pemboran migas.

Para korban Lapindo itu juga tidak mengetahui bahwa pemerintah kabupaten Sidoarjo hanya gigit jari, tidak memperoleh bagian apa-apa dari eksploitasi gas di wilayahnya. Mereka juga tidak mengetahui bahwa izin lokasi pemboran di Sumur Banjar Panji 1 itu melanggar kaidah jarak minimum dan menabrak Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Sidoarjo waktu itu. Itu semua menunjukkan bahwa pelaksanaan pemerintahan meninggalkan asas partisipasi rakyat.


Di tangan saudagar


Sejak dahulu banyak kalangan mengingatkan pemerintah, agar nasib rakyat korban Lapindo tidak diserahkan face to face dengan Lapindo. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporan auditnya tentang kasus Lapindo itu telah menyarankan agar nasib korban Lapindo ditangani pemerintah dengan dana negara lebih dulu. Selanjutnya pemerintah dapat meminta ganti kepada Lapindo jika memang Lapindo bersalah. Secara hukum, menyatakan Lapindo salah dalam pemboran tak perlu menunggu putusan pengadilan, tapi cukup dengan keputusan administrasi pemerintah didasarkan hasil investigasi.

Alih-alih begitu, kini setelah bisnis Grup Bakrie mengalami masalah keuangan, malah ribut dalam pemerintahan, menganggu kinerja pemerintah. Menteri kesejahteraan akan pusing memikirkan kejatuhan korporasinya. Nasib korban Lapindo yang menjadi tanggung jawab Lapindo menurut peta terdampak 22 Maret 2007 menjadi tidak jelas dengan alasan bahwa Grup Bakrie kesulitan finansial.

Ini menjadi negara aneh. Bagaimana nasib rakyat yang tertimpa bencana (akibat eksplorasi gas) diserahkan kepada saudagar yang mempunyai kepentingan mengamankan diri dari kasus semburan lumpur Lapindo? Kalau kebijakan itu dianggap dan terbukti sebagai sebuah kesalahan, apakah tak ada niat untuk merevisi kebijakan yang tidak bijak itu?

Jelas bahwa berlarut-larutnya nasib puluhan ribu korban Lapindo yang dibiarkan oleh pemerintah benar-benar menjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pemerintah mestinya mempunyai kewajiban untuk memenuhi, melindungi, menegakkan HAM (pasal 28 I ayat (4) UUD 1945).

Bahwa dengan sifat hukum HAM yang perlindungannya universal maka pemerintah Indonesia dapat dipersoalkan dalam forum HAM internasional sebab tidak dapat melindungi warga negaranya sendiri. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang sudah tidak lagi digubris oleh pemerintah seharusnya mulai membawa kasus itu ke forum hukum HAM internasional. Padahal para ahli geologi sudah melakukan forum ilmiah internasional dalam meneliti dan menilai penyebab semburan lumpurnya.

Di penghujung tulisan ini, saya hanya mengingatkan, bahwa di tangan para saudagar itu negeri ini telah dijual. Keselamatan rakyat dijadikan jaminan harga diri dan utang-utang mereka atas besarnya biaya pencalonan diri mereka selaku para pemimpin negara. Pembangunan dengan dana negara 100 persen hingga kini masih hanya memunculkan kualitas 40 – 50 persennya saja. 50 persennya dianggap keuntungan di muka yang mereka bagi beramai-ramai. Bukan hanya saudagar tulen. Meski itu prajurit, aktivis, akademis, jika kakinya menginjak altar kekuasaan, berubah menjadi saudagar. Nasib rakyat diperdagangkan.