Kamis, 28 November 2013

Momen Introspeksi Kedokteran


Kemarin (27/11) para dokter mengadakan protes, bahkan ''mogok'', di banyak wilayah. Pemicunya adalah putusan Mahkamah Agung (MA) RI No 365 K/Pid/2012 tanggal 18 September 2012 yang menghukum penjara dr Dewa Ayu Sisiary Prawani, dr Hendry Simanjuntak, dan Hendy Siagian (dr Ayu dkk).

Kebetulan, saya mempunyai setidaknya dua kali pengalaman tidak terlupakan dengan dunia kedokteran. Kasus pertama, ayah tiri yang membesarkan saya meninggal karena operasi di sebuah rumah sakit. Saya selaku keluarga diberi rekam medis setelah berkirim surat kepada direktur rumah sakit tersebut. 

Dokumen rekam medis itu saya konsultasikan kepada dokter kenalan teman saya. Menurut dia, berdasar hasil rekam medis praoperasi, hasil laboratorium menunjukkan kekurangan albumin dalam tubuh. 

Saya berkirim surat kembali kepada direktur rumah sakit tersebut untuk menanyakan hal itu. Lalu, direktur tersebut menelepon saya dan meminta maaf. Saya bertanya, mengapa tidak diberikan albumin sebelum operasi? Jawabannya, rumah sakit khawatir keluarga kami tidak mampu membayar karena harganya mahal. Mereka melihat penampilan kusut kami sebagai orang desa, dianggap miskin tidak punya duit.

Kasus kedua, istri saya meninggal dengan diagnosis terakhir terkena infeksi selaput otak dalam keadaan yang sudah terlambat untuk ditangani. Mulanya, awal-awal istri saya mengeluh sakit. Saya periksakan ke dokter spesialis dalam (internis). Lalu, dilakukan pemeriksaan laboratorium lengkap, kecuali USG. Dokter itu menyatakan bahwa istri saya menderita kekurangan kalium. Tetapi, beberapa hari setelah minum obat resep dokter tersebut, ternyata sakitnya tidak reda sehingga saya bawa ke rumah sakit untuk rawat inap (opname).

Sekitar seminggu dirawat inap di rumah sakit tersebut, dokter yang menangani menyatakan istri saya sembuh. Tapi, saya kurang percaya. Sebab, keadaannya masih lemah dan kesadarannya menurun. Dokter bilang, nanti kalau sudah sampai di rumah makin sehat karena bertemu anak-anak kami. Setelah saya bawa pulang, kesadaran istri saya justru makin menurun sehingga saya bawa ke rumah sakit lainnya. Di rumah sakit lain itulah baru ketahuan istri saya menderita infeksi selaput otak. Akhirnya, dia meninggal setelah dirawat sekitar 10 hari.

Meski menerima dua pengalaman itu sebagai takdir, saya mencatat dua hal. Pertama, terkadang ada dokter yang terlalu meremehkan pasiennya sehingga tidak terlalu serius dalam menjaga nyawa pasien. 

Kedua, ada dokter-dokter yang ''tidak cakap'', tetapi terlalu yakin dengan kemampuannya. Diagnosisnya bisa meleset dari ilmu dan pengetahuan serta pengalaman yang seharusnya dimiliki seorang dokter yang sudah berani membuka praktik umum. Saking yakinnya, pernah anak saya muntaber. Ketika dikonsultasikan ke dokter untuk minta resep obat, anak saya malah disuruh opname. Tapi, ternyata sakitnya sembuh setelah saya turuti nasihat apoteker. 

Tanda Tangan Karangan 

Perlu diintrospeksi, apakah adil para dokter itu ''mogok'' untuk memprotes kasus yang menimpa dr Ayu dkk? Kita cermati putusan MA itu. Pertama, MA dalam memutus perkara tersebut tidak dilandasi pendapat hukum yang berdiri sendiri, melainkan juga berdasar penjelasan bukti ilmiah kedokteran itu sendiri. 

Ada surat keterangan dari RSU Prof Dr R.D. Kandou Manado No 61/VER/IKF/FK/K/VI/2010 tanggal 26 April 2010 dan ditandatangani dr Johannis F. Mallo SH SpF DFM. Dia menyatakan, sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung (VER). Pembuluh darah balik yang terbuka pada korban terjadi pada pemberian cairan obat-obatan atau infus dan bisa terjadi karena komplikasi dari persalinan itu sendiri.

Keterangan rumah sakit tersebut diperkuat keterangan para ahli kedokteran, yaitu dr Hermanus Jakobus Lalenoh SpAn, Prof Dr Najoan Nan Warouw SpOG, dr Robby Willar SpA, dan Johannis F. Mallo SH SpF DFM. Selain itu, kesembronoan tersebut dapat dilihat dari tanda tangan yang tertera di lembar persetujuan operasi (hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik pada 9 Juni 2010 No Lab: 509/DTF/2011) yang menyatakan bahwa tanda tangan atas nama Siska Makatey alias Julia Fransiska Makatey pada dokumen bukti adalah tanda tangan karangan/spurious signature.

Lalu, kenapa para dokter yang mogok sehari itu hanya meneriakkan protes: ''Jangan kriminalisasi dokter!'' dengan menunjukkan telunjuk jarinya kepada para penegak hukum? Mengapa mereka tidak juga menodongkan telunjuk jarinya kepada dunia kedokteran sendiri yang telah memberikan rekomendasi ilmiah kepada para hakim untuk memutus perkara tersebut?

Setiap kelompok masyarakat berhak mengemukakan pendapatnya di muka umum, termasuk para dokter, dan itu dijamin konstitusi. Tetapi, tindakan mogok melayani masyarakat menunjukkan sikap tanggung jawab profesi penting yang kurang memadai. 

Gawat bila golongan kelas menengah memandang bahwa menjalankan profesi mereka bukanlah kepentingan umum, tetapi kepentingan para pribadi dalam mencari nasib hidup masing-masing dan golongan. Juga, merasa harus dibedakan dalam perlakuan hukum sembari melupakan bahwa orang yang berelasi dengan mereka juga punya hak.

(dimuat Jawa Pos, 28 Nopember 2013)

Jumat, 18 Oktober 2013

Penjajahan Hukum Dalam Mobil Murah

Wakil Presiden Boediono menanggapi: penjualan mobil murah tidak perlu dihambat karena hal itu sebagai konsekuensi era industrialisasi. Boediono juga menyatakan bahwa solusi kecemasan adanya kemacetan jalan adalah peningkatan transportasi publik secepatnya. Untuk Jakarta, dia menyarankan agar digunakan sistem electronic road price (ERP) yang memberlakukan biaya ekstra bagi pemakai jalan-jalan utama di ibu kota pada saat-saat sibuk (Jawa Pos, 20/9/2013).

Disebut "mobil murah" tentu dari sudut pandang kantong si kaya. Bagi rakyat kecil mobil itu tetap saja mahal. Tapi, karena fasilitas kredit yang makin longgar, bisa saja banyak orang yang jungkir-balik untuk membeli, karena iklan "mobil murah" itu melekat di pikiran mereka. 

"Mobil murah" tersebut termasuk kendaraan bermotor yang dasar pengenaan pajaknya adalah 0 (nol persen) dari harga jual. Yakni, untuk kendaraan bermotor yang termasuk program mobil hemat energi dan harga terjangkau (selain sedan atau station wagon). Persyaratannya: motor bakar cetus api dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.200 cc dan konsumsi bahan bakar minyak paling sedikit 20 km per liter atau bahan bakar lain yang setara dengan itu; atau motor nyala kompresi (diesel atau semi-diesel) dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.500 cc dan konsumsi bahan bakar minyak paling sedikit 20 kilometer per liter atau bahan bakar lain yang setara dengan itu. Begitu teks pasal 5 ayat (1) huruf c PP No 41/2013 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor.

Peraturan Pemerintah No 41/2013 itu menentukan tarif pajak progresif teknis. Semakin tinggi kapasitas isi silinder kendaraan bermotor atau makin boros bahan bakar, pajaknya semakin tinggi. Sedan dan station wagon termasuk kena tarif pajak lebih tinggi. PP tersebut tidak menyuruh agar memproduksi mobil murah, tapi menjadi fasilitas pembebasan pajak bagi industri otomotif untuk memproduksi dan memasarkan low cost and green car (LCGC).

Bagi pengusaha otomotif, PP tersebut menjadi bagian alat strategi bisnis untuk keberlangsungan bahkan peningkatan kekayaan. Mereka melihat tuntutan hukum ekologis global dan kemampuan kelas menengah yang jumlahnya kian banyak. Sejarah hukum sejak zaman kuno hingga sekarang selalu menunjukkan adanya "kolusi" antara kaum borjuis dengan birokrat dan penguasa politik dalam penciptaan hukum untuk kepentingan mereka.

Dari aspek hukum perdagangan, kalimat kunci "jangan menghambat penjualan" yang disampaikan Wapres Boediono tersebut merupakan prinsip perdagangan bebas ala World Trade Organization(WTO). Yakni, prinsip larangan adanya hambatan-hambatan perdagangan (nontrade barriers), terutama dalam bentuk regulasi dalam suatu negara. 

Ke depan, seperti yang dinyatakan Menteri Perindustrian M.S. Hidayat, Indonesia juga akan dibanjiri mobil murah dari luar negeri, termasuk dari India dan Thailand. Pertanyaannya: kapan pemerintah Indonesia benar-benar berniat membangun kendaraan bermotor nasional yang akan mampu bersaing di pasar global? 

Pembukaan UUD 1945, harga mati yang tak boleh diubah, menyatakan segala penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Kita dapat bertanya kepada diri-sendiri: apakah penggunaan merek-merek kendaraan Jepang, Eropa, dan Amerika yang dilakukan hampir semua pemilik kendaraan bermotor di negara ini bukan merupakan bukti penguasaan kebudayaan, pasar, teknologi, dan hak milik intelektual kepada bangsa ini? 

Kolonialisme dalam sepanjang sejarah sebenarnya bukanlah kebutuhan suatu negara menguasai negara lain, tetapi kebutuhan para pemilik kapital besar menguasai sumber daya alam dan pangsa pasar di dunia. Ekonom David Korten menyebut fenomena itu sebagai judul bukunya When Corporations Rule The World. Korporasi yang mengatur dunia, bukan negara-negara. Persis keprihatinan Oswaldo De Rivero, mantan diplomat Peru di WTO. 

Indonesia perlu mencontoh Malaysia yang gagah berani dan serius memproduksi mobil nasional mereka dan menjual ke dalam serta ke luar negeri. Jika Indonesia tidak mampu menjalankan amanah konstitusi untuk menghapus penjajahan di dunia, minimal bisa membebaskan dirinya dari penjajahan. 

Bertambahnya kemacetan jalan raya di kota-kota yang dipenuhi kendaraan bermotor juga akibat hukum yang diciptakan menjadi alat liberalisasi. Bukan menjadi alat untuk mengatur, mengendalikan, menertibkan, dan membatasi kebebasan perdagangan kendaraan bermotor yang di masa depan akan menciptakan keruwetan yang sulit diurus, seperti yang terjadi di Jakarta saat ini. 

Tidak mungkin terwujud politik hukum yang militansi untuk membela kepentingan negara jika para penyusun regulasi negara ini adalah para komprador. Atau, setidak-tidaknya tanpa sadar cara berpikirnya mengikuti sekian banyak teori dan postulat ilmuwan yang menjadi kaki-tangan para penguasa ekonomi dunia. 


Dimuat Jawa Pos, 23 September 2013

Sabtu, 07 September 2013

ANDAIKAN NAMAKU ABDULLAH ATAU MUHAMMAD

Konon, ketika masih belum ada listrik, dalam malam gelap yang hanya diterangi lampu minyak temaram, lahirlah bayi dari rahim ibu yang sedang ditinggal suaminya. Suaminya sedang berada di dalam penjara karena tertangkap mencuri kayu di hutan untuk menyambung hidup yang miskin. Lalu ibu tersebut memberi nama bayi itu: Subagyo. Itulah aku. 

Aku lahir dari orang tua yang tidak pernah sekolah, di lingkungan masyarakat miskin abangan, di desa di tengah hutan jati. Namanya Desa Banggle, dalam wilayah kabupaten Nganjuk. Oleh sebab itulah nama pemberian ibuku adalah Subagyo. Itupun masih beruntung, karena bapakku bilang, “Andaikan aku yang memberi nama, akan saya beri nama Sarmin, sebab ibumu bernama Sarmi.” Dengan berkelakar dalam hati aku mikir, “Untung saat aku lahir kok bapakku di dalam penjara. Jika ada bapakku maka kini namaku Sarmin. Wah, masih lebih bagusan nama Subagyo. Hehehe.....”

Subagyo itu nama Jawa. Katanya, Su artinya baik. Bagyo itu bahagia. Saat aku masih anak SD, Pak Parlim, tetanggaku yang pegawai Perhutani itu bilang, “Kamu akan menjadi bahagia karena kebaikanmu.” Aamiin. Andaikan saja aku dilahirkan dari orang tua muslim yang mendapatkan pendidikan agama Islam, mungkin saja namaku bukan Subagyo, tapi Abdullah atau Muhammad.

Meski di masa kecilku nakal, suka berkelahi, tetapi kata ibuku, sejak aku remaja digolongkan “anak yang manut, tidak punya tingkah.” Hanya, karena cita-citaku berseberangan dengan kehendak ibuku, akhirnya aku minggat keluar dari desaku.

Ibuku merasa jadi orang miskin yang tidak mampu membiayai sekolahku. Bahkan untuk bisa sekolah SMP saja aku harus bekerja berjualan kayu bakar. Aku ngotot pengin sekolah. Setelah lulus SMP, keinginanku untuk meneruskan ke SMA tak terbendung siapapun. Tuhan menolong aku dengan adanya orang-orang yang bersedia menerimaku untuk disekolahkan. Kisahnya panjang dan tidak mudah. Untuk bisa lulus SMA saja butuh waktu 5 tahun, karena keluar masuk sekolah, berpindah-pindah. Saya selalu menyalahkan diri-sendiri, anak muda miskin yang suka memberontak, tidak punya mental lebih sabar menjalani hidup.

Saya belajar agama lebih banyak secara otodidak. Namun untuk bisa membaca Al-Quran saya sudah mampu sejak masih SD, diajari oleh guru ngaji di desaku bernama Pak Abdul Haji. Guru ngaji di desaku itu benar-benar ibadah, tanpa upah. Beliau itu petani yang menjadi pemuka agama di desaku, menggantikan ayahnya yang sudah meninggal.

Setelah SMA saya banyak membaca buku agama milik orang tua asuhku. Selain itu juga dipinjami buku-buku agama Islam oleh kepala sekolah SMA-ku yang notabene beliau itu beragama Katholik. Jadi, kalau Anda mencurigai orang Kristen melakukan kristenisasi, saya justru punya pengalaman ada orang tua Katholik yang menginginkanku lebih bisa memahami agama Islam dengan meminjami aku buku-buku Islam. Namanya Pak John Deru Moy. Buku yang dipinjamkan ke aku salah satunya adalah buku karya Bey Arifin berjudul “Hidup Sesudah Mati” yang juga mengupas teori para filsuf kuno, termasuk Ariestoteles.

Belajar agama Islam dari berbagai macam buku, termasuk memahami sejarah perkembangan Islam, mengapa muncul firqoh-firqoh atau aliran Sunni, Syiah, Ahmadiyah, membuat saya tidak bisa lagi mengidentifikasi apakah saya ini muslim Sunni atau Syiah. Saya memutuskan bahwa saya adalah muslim tanpa aliran, sebab Islam-nya Nabi Muhammad adalah Islam yang tidak Sunni atau Syiah atau Ahmadiyah atau apapun.

Saya juga “mengaji” Kitab Injil milik keluarga Victor Sibarani, orang tua asuh saya di Surabaya. Pada waktu SMA saya juga dianggap keluarga oleh keluarga Protestan, keluarga dari teman karib saya Sanry Baralay yang sudah saya anggap saudara. Saya punya pengalaman khusus, bahwa para keluarga Kristen itu tidak pernah menyentuh iman saya agar saya memeluk Kristen. Bahkan mereka sangat menghormati saya sebagai muslim. Makanya jika ada orang yang curiga begini begitu tentang kristenisasi, saya bertanya, “Sampai seberapa jauh kekuatan akidahmu hingga mencurigai orang lain akan mampu mempengaruhimu?” Bertahun-tahun saya diasuh oleh keluarga Kristen, dan mereka sangat menghargai akidah saya. Itu pengalaman pribadiku.

Ada satu hal “kebengalan saya” dalam bersikap terhadap keluarga-keluarga Kristen itu, yakni: saya tidak pernah mau mengucapkan “Selamat Natal” kepada mereka. Saya jelaskan kepada mereka, “Iman Islam dengan iman Kristen dalam memahami Yesus atau Isa itu berbeda. Kami tidak menganggap beliau sebagai Tuhan. Jika saya memberi ucapan selamat Natal maka saya sama halnya mengakui kelahiran Tuhan, padahal menurut saya Isa itu Rasulullah, bukan Tuhan.” Ternyata, subhanallah, mereka para keluarga Kristen itu memahami sikap dan pendirianku itu. Hubungan kami tetap baik.

Tapi, akhir-akhir ini setelah makin tua, saya berubah pikiran. Apa salahnya saya sekadar basa-basi untuk menjalin hubungan baik. Toh iman itu ada di dalam hati. Niat saya mengucap Selamat Natal bukan untuk mengakui Isa sebagai Tuhan, tapi untuk memberi selamat perayaannya saja. Maka saya modifikasi bukan Selamat Natal, melainkan Selamat Merayakan Natal. Bagi mereka, kedua istilah itu tidak ada masalah.

Dalam pergaulan masa muda dengan para teman-teman Kristen terkadang juga terjadi perdebatan akidah yang seru. Tetapi ujungnya akan sama, bahwa kita sama-sama belum pernah bertemu dan bicara dengan Tuhan secara langsung. Oleh sebab itulah bahwa akidah itu tidak usah diperdebatkan, sebab itu berada dalam wilayah “keyakinan” dan bukan ilmu pengetahuan dunia. Perkara bahwa Kitab Al-Quran memuat dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi maka dalam muatan akidah (keimanan) tidak layak dibenturkan dengan akidah agama lainnya. Jelas tak akan ada ujungnya sampai matipun.

Dengan menyandang nama “Subagyo”, nama Jawa abangan ini, ketika menulis artikel (di blog Kompasiana) yang bernada kritik terhadap pragmatisme dan kedangkalan pikir kelompok-kelompok Islam di Indonesia dalam gerakan mereka, (seperti contohnya kasus petinggi PKS yang terbelit korupsi kuota impor daging sapi, maupun korupsi petinggi PPP, juga mengritik bagaimana gerakan Islam hanya mengurusi soal-soal permukaan seperti cara berpakaian, ajang Miss World), ada yang menilai kritik saya itu sebagai memihak Kristen, memihak PDIP, turut mengerdilkan Islam, turut mendukung pelacuran. Artikel-artikel saya dinilai tendensius.

Apakah mungkin akan beda jika sekiranya nama saya itu Abdullah atau Muhammad? Mungkin menurut mereka, nama-nama yang tidak “Arab” itu tidak islami? Sehingga kelihatan memusuhi Islam? Dikiranya muslim gadungan? Ya ya ya.... Mungkin saya memang harus belajar untuk MEMAHAMI TUDUHAN-TUDUHAN ITU.

Sekaligus saya semakin meyakini bahwa apabila slogan agama dijadikan alat politik maka semakin besar kerusakan dalam beragama, terjadi kesesatan yang makin jauh, sebab kecenderungan penyimpangan politik itu menjadi realitas tak terbantahkan. Bagaimana tidak, lha wong sudah jelas-jelas patronnya korupsi masih saja dibela dengan membuat tuduhan ngalor-ngidul yang makin membuat mereka tampak kehilangan pegangan?

Minggu, 05 Mei 2013

Menindas Esensi Keadilan dalam Kasus Susno


Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) memutuskan bahwa Komjen Pol (pur) Susno Duadji terbukti bersalah dalam kasus korupsi PT Salmah Arowana Lestari dan korupsi dana pengamanan pilkada Jawa Barat. Mantan pembesar Polri itu divonis 3,5 tahun penjara. Kini Susno dinyatakan sebagai buron oleh kejaksaan setelah membangkang dari eksekusi.

Prof Yusril Ihza Mahendra dan "pasukan" Hizbullah dari Partai Bulan Bintang membantu pasukan polisi dalam "mengamankan" Susno dari jaksa eksekutor. Susno memasang dua dalih: Pertama, putusan pengadilan tidak mencantumkan perintah untuk tetap menahan Susno, sebagaimana ditentukan pasal 197 ayat (1) huruf 'k' KUHAP, berakibat putusan batal demi hukum. Kedua, pengadilan keliru dalam menulis nomor putusan kasus Susno.

Upaya penggagalan eksekusi kasus korupsi itu semestinya membuat lebih malu dunia hukum. Apalagi, alasan yang dikemukakan terhadap kelalaian mencantumkan pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP tersebut. Ketentuan itu telah ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya nomor 69/PUU-X/2012. 

MK memutuskan: "Pasal 197 ayat (1) huruf 'k' Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, apabila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang a quo mengakibatkan putusan batal demi hukum." Artinya, tidak dicantumkannya perintah untuk tetap menahan terdakwa dalam suatu putusan hakim tidak menyebabkan putusan tersebut batal demi hukum. 

Latar belakang putusan MK tersebut adalah adanya Putusan MA No 1444K/Pid.Sus/2010 tanggal 8 Oktober 2010 dalam kasus eksploitasi kawasan hutan di Kalsel dengan terpidana Parlin Riduansyah, yang putusannya juga tidak mencantumkan perintah agar Parlin tetap ditahan. Prof Yusril dan kawan-kawan selaku kuasa hukum Parlin mengajukan uji materiil ketentuan pasal 197 KUHAP tersebut ke MK. Namun, MK menolak permohonan tersebut dan MK membuat tafsir konstitusional terhadap pasal tersebut. Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP justru dieliminasi oleh MK selama ketentuan itu diartikan sebagai penyebab batalnya putusan pengadilan.

Mengapa Prof Yusril yang pernah berproses dalam terbitnya putusan MK tersebut seolah-olah tutup mata? Sebagai praktisi hukum, bolehlah saya mengemukakan pertanyaan mendasar: "Apakah untuk menyatakan batalnya suatu putusan pengadilan, boleh dilakukan dengan cara penghakiman sendiri, tanpa memerlukan suatu putusan pengadilan yang berwenang membatalkan putusan pengadilan yang dianggap batal tersebut?" 

Jika setiap orang bisa membatalkan putusan pengadilan yang dianggapnya batal, kacaulah hukum di negara ini. Mereka lalu membangkang dari eksekusi dengan mengerahkan orang banyak. Perbuatan pelanggaran hukum semacam itu tidak dapat dibiarkan begitu saja. Termasuk aparat kepolisian yang membekinginya. 

Dalam kajian-kajian ilmu hukum di kampus-kampus selalu diajarkan tentang kenyataan ketidaksempurnaan hukum yang tertulis, sehingga membutuhkan para penegak hukum yang baik guna menyempurnakan hukum. Jika praktiknya ternyata sebaliknya: siapa profesor yang mengajarkan untuk menjadikan ketidaksempurnaan hukum tertulis itu sebagai dalih untuk melindungi para penjahat negara? 

Orang mungkin boleh curiga terhadap kekeliruan penulisan nomor putusan dalam kasus Susno, dalam korelasinya dengan praktik jahat mafioso hukum di negara ini. Namun, kekeliruan dalam menuliskan nomor putusan itu, disengaja atau tidak sengaja, bukanlah hal yang substansial untuk menggugurkan materi perkara yang penting, yakni kasus korupsi dalam kasus Susno dan kasus lain. 

Jika Anda hendak menelepon seseorang, ternyata keliru memencet nomor teleponnya, Anda bisa meminta maaf kepada orang yang keliru itu, lalu mengulanginya dengan memencet nomor yang benar. Urusan selesai. Semua orang bisa memahami bahwa keliru dalam menuliskan nomor itu dapat dikoreksi menjadi lebih benar. Kami yang biasa praktik di pengadilan biasa mengalami kekeliruan begitu, dan dapat dikoreksi. Itu disebut clerical error yang tidak mengubah substansi perkaranya. 

Jika cara pikir mazhab formalis sempit diikuti, siap-siap ada banyak penjahat yang tidak dapat dihukum hanya dengan alasan "salah ketik". Ini sebuah alasan yang sama sekali tidak keren. 

Prof Satjipto Rahardjo almarhum, pakar hukum yang dikenal berintegritas, bahkan memandang perlunya "menabrak" formalitas-formalitas yang bersifat menghalang-halangi dalam upaya menegakkan keadilan substansial. Dari perspektif praktik hukum, M. Yahya Harahap, mantan hakim agung, yang buku-bukunya dijadikan pedoman para mahasiswa dan praktisi hukum itu, juga menekankan agar soal "salah ketik" tidak dijadikan alasan untuk meruntuhkan substansi perkara. 

Mazhab pemikiran formalis yang mencari celah kekhilafan tidak esensial adalah musuh keadilan itu sendiri. Coba tanya ke siapa pun, apakah para penjahat negara boleh dibebaskan hanya dengan alasan "salah ketik" dan karena alasan-alasan formal? MK sebagai lembaga penafsir konstitusi sudah menjawab "tidak"! 

Dimuat di Jawa Pos, 01 Mei 2013