Minggu, 14 November 2021

Menanggapi Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 Sebagai Respon Terhadap Kekerasan Seksual Di Kampus

 

Sumber gambar: Tribunnews.com

Pemahaman Umum

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (disingkat Permendikbudristek No. 30), memanen polemik.

Rumusan bentuk Kekerasan Seksual yang menjadi polemik tersebut terdapat pada beberapa ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2), yaitu:
-    memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban; (huruf b)
-  mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; (huruf f)
- mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; (huruf g)
- menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; (huruf h)
-    membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
-  menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban; (huruf l)
-     membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban; (huruf m)

Selanjutnya Pasal 5 ayat (3) menegaskan:
(3) Persetujuan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal Korban:
a.  memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
c.  mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
d.  mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;
e.  memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;
f.   mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility); dan/atau
g.  mengalami kondisi terguncang.
 
Pihak yang menyoal Permendikbudristek No. 30 tersebut mempermasalahkan bahwa frase atau kata “tanpa persetujuan Korban” tersebut diartikan bahwa kegiatan seksual “dengan persetujuan Korban adalah diperbolehkan.” Nah, apakah pemaknaan atau penafsiran kalimat seperti itu sudah tepat?
 
Saya akan membahas Permendikbudristek tersebut secara lebih luas, tidak sekadar penggunaan istilah “tanpa persetujuan Korban.”

Guna menghindari kesalahpahaman pembaca, lebih dulu saya tegaskan bahwa “Perbuatan Kekerasan Seksual yang dilakukan oleh warga kampus memang bisa terjadi di dalam atau di luar kampus.” Masyarakat umum juga bisa melakukan Kekerasan Seksual kepada warga kampus.
Tetapi yang jelas, pendapat saya: “perbuatan gendakan seksual di dalam kampus juga merupakan perbuatan yang layak diberikan sanksi administratif, sebab kampus bukan tempat untuk bergendak.” Kalau mau gendakan seksual, jangan di kampus!” Mungkin di pinggir kali juga dilarang warga desa setempat. Jika ketahuan ya digropyok, disuruh kawin.

Yang dimaksud “korban” Kekerasan Seksual menurut Permendikbudristek No. 30 tersebut adalah Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, Warga Kampus, dan masyarakat umum yang mengalami Kekerasan Seksual.
Yang dimaksud dengan “Terlapor” (orang yang diduga sebagai pelaku Kekerasan Seksual) adalah adalah Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, Warga Kampus, dan masyarakat umum yang diduga melakukan Kekerasan Seksual terhadap Korban.
 
Penilaian Saya Terhadap Permendikbudristek No. 30
 
Pertama, definisi Kekerasan Seksual (disingkat KS) menurut Pasal 1 angka 1 Permendikbudristek tersebut, sebagai berikut:
Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.
 
Saya berpendapat bahwa definisi tersebut bermasalah. Jika perbuatan KS harus dilihat atau harus memenuhi unsur "akibat" atau harus ada “potensi akibat” dengan melihat frasa “dapat berakibat”, maka definisi yang bersifat “perbuatan materiil” tersebut dapat menimbulkan tafsir yang tidak tegas. Bisa saja orang beralasan bahwa “akibatnya” atau “potensi akibatnya” tidak terbukti.

Menurut saya, perbuatan KS seharusnya tidak dirumuskan sebagai perbuatan materiil, tetapi cukup dengan perbuatan formil, tanpa perlu melihat akibatnya. Misalnya, Joko bukan suami Fitri, tiba-tiba memperlihatkan alat kelaminnya kepada Fitri, maka perbuatan tersebut harus dianggap sebagai perbuatan KS, tidak perlu melihat akibatnya pada Fitri. Masalahnya akan timbul, jika semula Fitri mempermasalahkan Joko yang memperlihatkan penisnya kepada Fitri, tapi setelah kasusnya ditangani lalu Fitri "disuap" dan selanjutnya berbalik menyatakan "menyetujui", maka apakah KS dapat diselesaikan dengan metoda restorative justice, dan si Joko tidak jadi diberikan sanksi administratif, sebab unsur "tanpa persetujuan Korban" menjadi lenyap? 

Dengan rumusan perbuatan formil tersebut (hanya melihat perbuatannya), maka sudah otomatis korban akan terlindungi, baik si korban merasa menjadi korban atau tidak. Soal bahwa apakah Fitri harus diberikan terapi atau konseling, itu tetap harus dilakukan yang tentunya tanpa paksaan kepadanya. Karena kondisi psikologis itu sifatnya subyektif.

Saya membandingkan perbuatan KS dengan perbuatan kekerasan dalam bentuk “kekerasan secara bersama-sama” atau pengeroyokan dalam Pasal 170 KUHP, baik kekerasan kepada orang atau barang, dirumuskan sebagai delik formil. Tanpa melihat akibatnya. Hukumannya adalah  penjara selama paling lama 5 tahun. Jika menimbulkan akibat kepada korban (delik materiil), maka hukumannya menjadi lebih berat (di ayat 2).

Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual dirumuskan definisi KS:
Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”

Rumusan pidana KS dalam RUU tersebut juga delik materiil, yakni harus melihat akibatnya dulu untuk dikategorikan sebagai tindak pidana atau kejahatan KS. Jadi, delik semacam itu hanya melihat perasaan korban, tetapi tidak melihat perasaan norma atau nilai umum yang diakui oleh masyarakat, dan melawan nalar keadilan.

Meskipun seandainya korban tidak mengalami penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik, apakah perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa tersebut tidak layak disebut sebagai kejahatan KS?

Jika ada orang yang menjawab, “Perbuatan KS sudah pasti menimbulkan derita korban”, maka saya tanggapi, “Lantas, apa gunanya merumuskan “akibat” dari perbuatan yang membuat hukum acara bertele-tele harus membuktikan akibatnya? Seandainya akibat itu dianggap sebagai fakta yang tidak perlu dibuktikan (notoir feit), bukankah merumuskan akibatnya di dalam definisi KS itu adalah sia-sia dan pemborosan kata-kata?”

Orang yang tidak berpengalaman dalam praktik penegakan hukum mungkin tidak menyangka bahwa kelemahan kalimat dalam suatu Undang-Undang bisa menjadi bahan dan argumentasi untuk meloloskan orang dari kejahatannya. Jadi, enyahkan kalimat-kalimat yang sia-sia yang berpotensi menjadi dalih untuk membebaskan para pelaku kejahatan, termasuk dalam kejahatan seksual!
 
Kedua, terminologi “kekerasan” merupakan istilah “kejahatan.” Makna secara leksikal dari “kekerasan” adalah sama dengan “paksaan”. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan “kekerasan” ialah “perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.” (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011, hal. 677).
Definisi kamus tersebut juga bersifat perbuatan materiil, yakni melihat akibatnya. Padahal, andaikan si korban tidak mengalami cedera fisik, tetap saja perbuatan kekerasan merupakan kekerasan. 

Dalam perkembangan hukum, kekerasan tidak hanya berdimensi fisik, tetapi juga psikis, seperti contohnhya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Misalnya perbuatan seorang suami membentak-bentak isterinya atau pembantu rumah tangganya, itu sudah merupakan perbuatan KDRT yang dapat dipidana menurut Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 5 huruf b.

Oleh karena perbuatan KS dalam kategori perbuatan tertentu merupakan tindak pidana, maka dalam asas Hukum Pidana berlaku asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Dengan diterbitkannya Permendikbudristek No. 30 tersebut, maka dapat dikatakan bahwa “Hukum Administrasi dapat lebih dulu berjalan dibandingkan dengan Hukum Pidana.” Artinya, bisa ada pertanyaan hukum: “Mengapa hukum pidananya tidak dijalankan lebih dulu?”

Saya mencoba mengambil perbandingan dengan Hukum Ketenagakerjaan. Dahulu UU No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan memuat pasal tentang alasan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh Pengusaha atau Majikan dengan alasan bahwa pekerja melakukan tindak pidana (Pasal 158). Namun, Pasal 158 UU Ketenagakerjaan tersebut akhirnya tidak berlaku berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 012/PUU-I/2013. 

Salah satu pertimbangan hukum MK dalam putusannya tersebut adalah bahwa karena Pasal 158 (UU Ketenagakerjaan) memberi kewenangan pada pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan buruh/pekerja telah melakukan kesalahan berat tanpa due process of law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial, melainkan cukup hanya dengan keputusan pengusaha yang didukung oleh bukti-bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku.

Nah, seandainya seorang dosen atau mahasiswa laki-laki menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban (perbuatan KS menurut Pasal 5 ayat (2) huruf a Permendikbudristek No. 30), apakah tidak harus melalui due process of law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial sebagaimana menurut Putusan MK No. 012/PUU-I/2013 tersebut? Seharusnya pelaku dipidanakan lebih dulu, dan setelah adanya putusan Pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan pelaku bersalah, maka barulah si pelaku dijatuhi hukuman administrasi menurut Permendikbudristek No. 30 tersebut.

Ketika terbit dan berlaku Permendikbudristek No. 30 tersebut, di situ ada persinggungan hukum pidana dengan hukum administrasi negara. Namun, memang boleh suatu tindak pidana yang dijatuhkan oleh Pengadilan – dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap - dijadikan alasan untuk meneruskan dengan sanksi administrasi oleh Pejabat atau Lembaga administrasi yang berwenang, sepanjang memenuhi asas legalitas, apalagi sanksi yang  bersifat mencabut suatu hak, termasuk hak atas pendidikan.

Apakah seorang pelaku KS layak dan adil jika dicabut haknya atas pendidikan di suatu perguruan tinggi? Jika layak dan adil, apakah pencabutan hak tersebut harus permanen ataukah cukup untuk sementara waktu? Ini merupakan perdebatan filosofis yang saya sendiri belum bisa berpendapat secara tepat. Para ahli hukum pidana tentu akan bisa berdebat tentang konsepsi pemindanaan (penghukuman pidana) sebagai pembalasan ataukah sebagai pembinaan. 

Apakah sistem hukum di negara-negara Barat tertentu yang mengucilkan para pelaku KS itu sudah selaras dengan konsep pembinaan dalam Hukum Pidana? Jika dinilai bahwa "pelaku KS harus dibalas dengan cara dikucilkan", maka berarti konsep penjatuhan hukum pidana sebagai pembinaan tidak berlaku dalam perkara pidana KS. 

Hukum pun juga bisa bertanya: "Mengapa hukum harus membedakan perlakuan dalam konsep pemidanaan antara pelaku kejahatan pembunuhan, penganiayaan berat, dengan kejahatan KS?" Jika seorang penjahat KS dikucilkan, dilarang bekerja di manapun, apakah tidak lebih baik dihukum mati saja? Sementara hukuman mati juga ditentang para aktivis HAM.
Itu dibutuhkan pemikiran mendalam, tidak sekadar berlandaskan pada emosi. Tetapi di dunia selalu ada pertarungan dan dialektika ide. Saya sendiri harus berhati-hati dalam memutuskan pendirian di soal itu. 

Ketiga, saya akan turut menanggapi tentang keberatan orang-orang yang menafsirkan bahwa frasa “tanpa persetujuan Korban” dapat diartikan bahwa “KS yang dengan persetujuan Korban adalah diperbolehkan atau sah.”

Penyusun Permendikbudristek No. 30 tersebut mungkin lupa atau sengaja, bahwa terdapat ketentuan perbuatan KS dalam bentuk “membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban” di Pasal 5 ayat (2) huruf j yang tidak dimasukkan dalam kategori “Persetujuan tidak sah” menurut Pasal 5 ayat (3).

Artinya, apakah perbuatan KS dalam bentuk “membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban” yang dilakukan kepada korban anak di bawah umur, perempuan di bawah pengaruh alkohol atau narkotika, dan kondisi-kondisi “tidak normal” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (3) tersebut, maka persetujuan korban dinilai sah? Ini salah satu cacat Permendigbudristek No. 30 tersebut.

Kembali pada soal pelemik tentang frasa “tanpa persetujuan korban” tersebut. Saya ambil contoh perbuatan KS dalam bentuk “menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan Korban.” Secara a contrario atau makna sebaliknya, jika perbuatannya dalam bentuk menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut, maka perempuan tersebut “tidak dikatakan sebagai korban” atau “bukan korban” dan perbuatan tersebut bukan merupakan KS. 

Betul, memang perbuatan seksual yang dengan persetujuan perempuan seperti itu bukanlah merupakan KS, tetapi apabila perbuatan seksual alias “gendakan seksual” semacam itu dilakukan di dalam kampus maka tentu itu akan menyalahi fungsi kampus sebagai tempat pendidikan.

Perbuatan seksual berupa kegiatan seksual dalam kampus tersebut juga layak diberikan sanksi administrasi, misalnya dengan Surat Peringatan: “Kalian kalau gendakan cari tempat lain, jangan di kampus!” Jika mokong, diskorsing. Jika seumpama pasangan gendakan tadi melakukan kegiatan seksual di pinggir kali pun jika ketahuan orang ya bisa digropyok penduduk berdasarkan nilai dan kontrol sosial yang berlaku  di masing-masing masyarakat.
 
Kesalahpamahan sebagian warga masyarakat terhadap Permendikbudristek No. 30 tersebut masih dapat dipahami, sebab Permendikbudristek tersebut mengategori perbuatan KS adalah perbuatan yang “tanpa persetujuan korban”, tetapi di sisi lain tidak menentukan aturan tentang bagaimana dengan perbuatan seksual dalam kampus yang bukan kategori KS. Walaupun orang-orang tertentu paham bahwa terhadap perbuatan asusila yang tidak termasuk KS tetap dapat diberikan sanksi administrarif berdasarkan Peraturan Kampus yang sudah ada.

Permendikbudristek No. 30 tersebut seharusnya menentukan pasal khusus bahwa terhadap perbuatan seksual di dalam kampus yang tidak termasuk KS harus diberikan sanksi berdasarkan Peraturan Perguruan Tinggi masing-masing. Karena, sekali lagi, kampus dibangun bukan untuk tempat gendakan. Kecuali jika gendakan dilakukan di luar kampus, itu urusan yurisdiksi di luar kampus. Suatu peraturan perundang-undangan hendaknya memaksimalkan potensi untuk tidak disalahpahami. 

Saya yakin, bahwa semua orang tidak setuju dengan kekerasan seksual, termasuk para pelakunya sendiri juga paham bahwa dia melakukan perbuatan yang jahat dan kejahatannya harus diberikan hukuman yang berat. 
 
Demikian ulasan saya.