Jumat, 13 Juli 2018

Divestasi Saham Freeport dan Kehebatan Rezim Jokowi - Kalla



Sumber foto: Indonesiachannel.com

“Lihat tuh! Belum sampai lima tahun jadi presiden, Jokowi sudah sukses mendivestasi saham Freeport sebesar 51 %. Hebat kan? Presiden sebelumnya tidak bisa sehebat Pak Jokowi. Ke mana saja SBY selama 10 tahun menjadi presiden kok tidak mampu melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Bapak Jokowi? Makanya jangan sibuk ngarang lagu saja!” Hehe…..

Hari ini ramai puja puji kepada Presiden Jokowi. Katanya pemerintah berhasil mendivestasi saham Freeport sebesat 51 % senilai 3,85 M dollar AS yang akan diserahkan kepada BUMN, Inalum. Untuk membeli 51 % saham Freeport itu maka pemerintah harus memberikan duit kepada Freeport sekitar Rp 55 T. Menurut berita yang tersebar, pemerintah (cq. Inalum) akan utang kepada bank-bank termasuk bank asing.

Sebenarnya Kontrak Karya Ke-dua antara pemerintah Indonesia dengan Freeport akan berakhir tahun 2021. Kontrak Karya Pertama berlaku tahun 1967 – 1991.

Terjadilah perundingan antara Freeport dengan pemerintahan Jokowi – Kalla. Tentu saja Freeport tidak akan membiarkan harta kekayaan yang berada dalam genggamannya lepas dengan mudah.  Hasil nego membuahkan hasil, pemerintah Jokowi – Kalla menyepakati diberikannya Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), sebagai pengganti dari Kontrak Karya (sebagai konsekuensi berlakunya UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara), 2 x 10 tahun, atau berakhir hingga tahun 2041. Jadi, Kontrak Karya dengan Freeport yang sedianya berakhir tahun 2021, oleh pemerintahan Jokowi – JK telah diperpanjang dengan menggunakan IUPK sampai dengan tahun 2041.

Mengapa Tidak Diakhiri?

Para pendukung Jokowi mengucapkan selamat kepada Presiden Jokowi yang katanya mampu  “mengembalikan kekayaan emas Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi.” Namun ada sebuah pertanyaan yang terselip di benak saya: “Mengapa rezim Jokowi – Kalla tidak membiarkan Kontrak Karya Freeport itu berakhir saja tahun 2021? Mengapa diperpanjang dengan memberikan IUPK hingga tahun 2041?

Apakah jika tidak diberikan IUP hingga tahun 2041 maka pemerintah atau BUMN kita tidak punya uang untuk mengelolanya sendiri? Bukankah dengan divestasi saham Freeport toh pemerintah / BUMN harus mengeluarkan uang, membeli 51 % saham Freeport senilai sekitar Rp 55 T. Untuk mendapatkan uang tersebut juga dengan cara utang meskipun mungkin tidak seluruhnya?

Apakah uang Rp 55 T tersebut tidak cukup untuk membeli peralatan dan biaya operasional tambang emas dan tembaga tersebut? Apakah tidak bisa dengan cara mempekerjakan para kontraktor tambang jika memang tidak mampu membeli peralatan sendiri? Itu merupakan pertanyaan-pertanyaan saya sebagai awam teknik pertambangan dan ekonominya. Tetapi saya jelas ingat bagaimana para penambang tradisional yang mampu untuk mendapatkan emas dengan peralatan sederhana dan seadanya. Bahkan bos-bos mereka bisa kaya karena tambang tradisional itu. Saya tidak terlalu percaya jika negara sekelas Indonesia ini tidak mampu. Ingat bahwa Freeport itu memulai tambang di Papua itu dengan teknologi kuno zaman dulu dan modal bantuan kekuasaan Suharto. Apakah zaman sekarang Indonesia tidak mampu dengan teknologi kuno jika tidak mampu dengan teknologi modern?

Freeport menguntungkan?

Apakah ada yang ingat soal ini? Badan Pemeriksaan Keuangan pernah menyampaikan laporan hasil pemeriksaan terhadap pelaksanaan Kontrak Karya tahun 2013 – 2015 yang menyebabkan timbulnya potensi kerugian negara sebesar Rp 185 T.  Pelanggaran yang dilakukan Freeport menurut BPK, pertama adalah kerugian akibat pemakaian kawasan hutan lindung tanpa izin pinjam pakai lahan di tahun 2008 – 2015 seluas 4.535, 93 hektar. Kedua, kelebihan pencairan dana reklamasi kepada Freeport sebesar 1,43 dollar AS berdasarkan kurs tengah BI tanggal 25 Mei 2016. Ketiga, Freeport melakukan usaha tambang bawah tanah tanpa AMDAL dan tanpa Izin Lingkungan karena AMDAL yang dimiliki Freeport sejak tahun 1997 tidak termasuk untuk kegiatan tambang bawah tanah. Keempat, terjadinya kerusakan lingkungan akibat pembuangan limbah operasional di sungai, muara dan laut. Kelima, Freeport belum menyetor kewajiban dana pascatambang kepada pemerintah.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa pemerintah harus mencairkan dana reklamasi kepada Freeprot? Pada tahun 1996 diterbitkan Keputusan Dirjen Pertambangan Umum (zaman Menteri Kuntoro Mangkusubroto) No. 336.K/271DDJP/1996 sebagai pelaksanaan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi No. 1211.K/008/M.PE/1995 tanggal 17 Juli 1995 yang mewajibkan perusahaan-perusahaan pertambangan untuk menyampaikan perhitungan biaya reklamasi dan memberikan jaminan biaya reklamasi dalam bentuk deposito berjangka atau accounting reserve di mana usulan itu harus disetujui oleh Dirjen Pertambangan dan Energi. Kewajiban bagi korporasi tambang untuk melakukan pemulihan lingkungan tersebut juga ditentukan dalam Pasal 96 huruf c UU No. 4 Tahun 2009 tersebut. Jadi, Freeport tentu mempunyai deposit uang jaminan pemulihan lingkungan yang disetorkan dengan bentuk deposito yang dapat dicairkan untuk kegiatan pemulihan lingkungan.

Nah, dalam soal itu pada umumnya masyarakat tidak mengetahui tentang rencana biaya reklamasi dan berapa besarnya serta bagaimana dengan penggunaannya. Masyarakat selaku pihak yang terdampak sebenarnya berhak untuk mengetahui hal-hal seperti itu.

Selain masalah lingkungan hidup (ekologi), riwayat operasional Freeport juga berlumuran darah. Rezim Sukarno yang dinilai sebagai penghalang kebebasan korporasi asing dalam mengeruk kekayaan di negara ini dijatuhkan di tahun 1967. Selanjutnya pemerintah Orde Baru menandatangani Kontrak Kerja (KK) dengan Freeport. Kemudian Freeport melakukan eksplorasi tambang di Erstberg yang dilanjutkan dengan tambang Grasberg tahun 1988. Operasi tambang Freeport diperkirakan memakan korban penduduk tewas sekitar sebanyak 500 ribu orang dengan menggunakan kekerasan militer (Abigail Abrash dalam Human Rights Abuses by Freeport in Indonesia, 2002). Kasus tersebut seharusnya menjadi kasus pelanggaran HAM yang berat yang harus dibawa ke Pengadilan HAM.

Jadi, apa hebatnya negara ini dalam menghadapi Freeport? Menurut saya, kedamaian bangsa Papua lebih berharga dibandingkan hasil penjualan emas yang merusak ekologi dan sosial masayarakat Papua. Jika ingin Papua merasa nyaman sebagai bagian NKRI maka seharusnya pemerintahan Indonesia tidak melanjutkan penganiayaan itu. Sudahi derita masyarakat Papua yang dikalahkan oleh pertimbangan ekonomi yang sebenarnya menginjak-injak harga diri bangsa ini. Tanpa perusahaan tambang emas itu, Papua dan negara ini bisa mendapatkan kemudahan hidup lainnya dengan perekonomian yang tidak perlu melakukan kerusakan separah itu, mengorbankan masyarakat sekitarnya, meletakkan harga diri bangsa di bawah telapak kaki korporasi. Dengan ekonomi pertanian, perikanan  dan kelautan serta pariwisata, jika dikelola dengan baik dan jujur, maka itu sudah cukup bagi bangsa ini. Masalahnya adalah otak kita telah dicetak menjadi hamba korporasi atas nama isu kesejahteraan yang sebenarnya secara riil hanya memperkaya sedikit orang.

Andaikan tanpa perundingan apapun yang dilakukan oleh rezim Jokowi – Kalla dengan Freeport, maka derita bangsa Papua akan berakhir tahun 2021 dan harga diri bangsa ini bisa lebih tegak.

Selasa, 10 Juli 2018