Senin, 31 Desember 2007

Menyelamatkan Masa Depan

Di negara ini hingga hari ini tetap banyak cerita kemiskinan. Sama saja, orang miskin dan kaya bisa menipu dan mencuri. Tahun 1988 ketika saya menjadi gelandangan di Kota Surabaya, melamar pekerjaan door to door dari toko ke toko, pabrik ke pabrik, tak ada yang mau menerima. Siang terik saya istirahat di terminal Joyoboyo dekat kebun binatang Wonokromo (waktu itu terminal Bungurasih belum ada), didatangi seorang tukang becak. Ia menawari harapan, bekerja kepada juragan dengan upah Rp. 25 ribu sebulan. Remaja desa lulusan SMP seperti saya waktu itu belum berpengalaman ditipu orang sehingga setuju saja dengan tawaran tukang becak itu dengan membayar kepadanya Rp. 5 ribu. Padahal uang di kantong saya hampir habis, sebab berangkat dari desa dengan uang Rp. 25 ribu, hasil menjual sepeda onthel (kayuh).

Ternyata saya dijual tukang becak itu kepada seorang penyalur tenaga kerja ilegal di gang Bromo Jalan Arjuno Surabaya. Saya (dan banyak pemuda lainnya di situ) ditempatkan di penampungan di atas got dengan makan dua kali sehari pakai sayur asem tanpa lauk. Saya tak merasa itu sebagai derita sebab biasa hidup miskin di desa. Itu bukan apa-apa. Siapa bilang orang miskin menderita jika memang sejak lahir hidup seperti itu? ‘Penderitaan si miskin’ adalah kata-kata yang terlahir dari mulut orang-orang yang bisanya hanya membayangkan kemiskinan. Mungkin bisa jadi penderitaan akan dialami orang kaya yang jatuh miskin sebab biasa hidup enak berubah menjadi tidak enak. Jika sejak lahir hidup tidak enak – meminjam bayangan perasaan ‘orang hidup enak’ - maka bagaimana akan membedakan antara hidup enak dengan tidak enak?

Rel dan kemiskinan

Jangan dikira bahwa maraknya pencurian baut atau rel kereta api itu semata-mata karena kemiskinan. Itu tabiat sosial. Coba berikan pencuri rel kereta api itu jabatan, mereka akan korupsi jika tabiatnya mencuri! Dahulu ada anggota dewan di Surabaya yang berangkat dari hidup miskin, dinding rumahnya separoh anyaman bambu, tapi ketika ia menjabat anggota dewan maka rumahnya berubah menjadi sangat mewah. Dari mana ia memperoleh semua itu? Ia menjadi maling (koruptor). Pengadilan hanya menghukumnya penjara tak sampai dua tahun.

Hanya saja, hukum seharusnya adil dalam menghukum orang miskin dan orang kaya, keduanya tak boleh disamakan sampai pada titik kesadaran dan kesempatan yang sama agar asas equality before the law bekerja sempurna. Ketika ada orang miskin misalnya mencuri, negara harus mengurus dulu kecukupannya. Lalu berikan pemahaman kesadaran. Kalau ia tetap mencuri, hukum ia dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup. Jika belum ada, ciptakan hukum seperti itu. Orang seperti itu hanya menjadi penyakit sosial. Tapi ketika yang melakukan pencurian adalah ‘orang mampu’ – misalnya anggota dewan atau kepala daerah atau pegawai negeri, apalagi penegak hukum – maka beri hukuman mati atau minimal penjara seumur hidup sebab manusia seperti itu gembong penyakit sosial. Kalau itu konsisten dijalankan, negara ini akan lebih aman dari pencurian dan kemakmuran akan datang.

Tapi apa yang kita lihat di negara ini serba tidak rasional dan jauh dari keadilan. Orang-orang miskin dihajar dan ditahan di kantor-kantor polisi karena mencuri atau mencopet. Ada banyak masyarakat miskin yang berselisih dengan para tuan tanah juga disiksa habis-habisan. Tetapi para koruptor dan penjahat-penjahat kakap, terutama penjahat berdasi, termasuk perusak alam, diperlakukan lemah-lembut. Itu semua terjadi karena para penjahat teri tak mampu memberi penegak hukum sesuatu yang dapat diberikan oleh para penjahat berdasi. Para penjahat kakap diberikan hukuman ringan sehingga negara ini pun tak pernah bisa reda dari pencurian yang kakap-kakap. Hukum tidak berjalan pada rel keadilan sebagaimana mestinya karena hukum juga dijalankan para pencuri.

Keabadian kemiskinan di negara ini disebabkan terlalu banyaknya kekayaan negara yang dicuri para raksasa. Pemerintahannya lumpuh, tak mampu memberantas maling-maling negara sebab pemerintahan didominasi para maling. Benar kata Arif Budiman bahwa ini negara kleptokrasi. Roda negara tergelincir dari relnya. Salah satu kelemahan negara demokrasi adalah apabila rakyat memilih maling sebagai pengurus negara maka jadilah negara maling. Itu sama halnya dengan mempersilahkan maling untuk mencuri di rumah rakyat.

Mewariskan tabiat

Emile Durkheim mengatakan bahwa (watak) individu dibentuk oleh masyarakat. Bahkan sejak lahir. Manusia dibentuk lingkungannya, seperti kata Nabi Muhammad bahwa bayi dilahirkan seperti kertas putih kosong, ia nanti akan menjadi Muslim, Nasrani atau Yahudi tergantung orang tuanya.

Apa yang akan kita lakukan di masa depan di negara ini setelah kita tahu bahwa kita ini hidup di negara (masyarakat) maling? Para koruptor membesarkan anak-anak mereka dengan cara mencuri. Itu menjadi bahaya masa depan seperti pertanyaan Johan Galtung: mengapa orang membunuh? Sebab diantaranya karena ia dibesarkan dengan cara membunuh. Apakah kelak Indonesia juga akan didominasi generasi maling?

Bagaimanapun, anak-anak akan mampir di sekolah sebelum kelak mereka hidup dan berkarya di tengah-tengah masyarakat. Pendidikan antikorupsi menjadi sangat penting. Tapi runyamnya juga ada fenomena korupsi dan kekerasan di sekolah-sekolah. Pendidikan di negara ini juga dengan cara memasung kebebasan berpikir dan respon terhadap gejala monsterisasi kekuasaan. Kampus-kampus mulai dijadikan ‘ladang’ ekonomi oleh para pendidik. Regulasi pendidikan dirancang untuk kebutuhan komersial. Ini tragedi. Jika itu berjalan terus dan dibiarkan maka negara ini akan menjadi pasar yang dipenuhi para maling.

Jika rezim-rezim di negara ini menghadang komunisme karena alasan politis - sebab watak politis mereka bahkan mungkin lebih buruk dibandingkan komunis yang tidak selalu buruk – maka menghadang malingisme dan malingisasi di negara ini menjadi jauh lebih penting. Jika pemerintahan negara tak mau, maka hanya kesadaran sosial yang menjadi harapan agar bersinergi untuk menyelamatkan generasi negara ini agar tidak menjadi generasi maling yang mewarisi para pendahulunya. Kapan gerakan-gerakan penghadangan bahaya masa depan itu kita satukan?

Bukankah banjir bandhang dan longsor di mana-mana yang mengakibatkan kematian dan penderitaan itu juga karena dosa-dosa kolektif? Orang-orang besar membiarkan bahkan menjadi para pengulak hutan, rakyat kecil menjadi kuli-kuli penghancuran, dibodohi dan tetap miskin? Maka, para pemimpin adalah penanggung jawab utama, pemanggul dosa terbesar. Berat!

Jika mau serius, mari selamatkan masa depan, dunia dan akhirat. Jangan angah-angah serakah bahkan tak peduli dosa. Contohlah manusia-manusia mulia seperti Nabi Yesus, Rasulullah Muhammad SAW dan para khalifah rasyiddin yang hidup sederhana, tapi dikenang harum dalam sejarah manusia. Mereka teladan, pemberi inspirasi hidup yang jujur, sederhana, adil, tegas, belas kasih kepada yang lemah. Tak ada orang kaya-raya karena keserakahan di dunia ini yang tak dibenci manusia dalam sejarah peradaban. Tapi jika bisa, sembunyikan diri dalam karya yang besar, memberikan manfaat sebesar-besarnya semampu kita bagi kehidupan karya agung Tuhan. Jangan sampai menjadi bangkai-bangkai berjalan yang berbau busuk dalam kehidupan.

Sabtu, 29 Desember 2007

DPR (BUKAN) DEWAN PEMISKINAN RAKYAT

Berita kasus aliran dana Bank Indonesia (BI) ke kantong anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum mereda. Lagi, kita dikejutkan dengan penganggaran dana sewa rumah untuk setiap anggota DPR sebesar Rp. 13 juta perbulan, atau total Rp. 156 juta perbulan selama rumah dinas di Kalibata Jakarta direnovasi. Berarti, dalam setahun akan dikeluarkan uang negara Rp. 85,8 miliar. Para anggota DPR banyak yang meminta agar uang sewa rumah itu dirapel (dibayar di muka) masing-masing Rp. 70 – 80 juta setahun dengan alasan mereka tidak pantas tinggal di rumah petak.

Katakanlah diukur dari Surabaya, jumlah dana tersebut setara dengan anggaran beras untuk rakyat miskin (raskin) di Kota Surabaya selama 14,5 tahun (anggaran raskin Kota Surabaya pertahun adalah Rp. 6 miliar), setara dengan biaya pengentasan kemiskinan dan pengangguran di Sidoarjo (yang terjebak kasus lumpur Lapindo itu) selama 4 tahun, atau bisa untuk membangun 1.751 unit rumah sederhana dengan harga Rp. 49 juta perunit, bisa untuk membayar upah 106.650 orang buruh menurut upah minimum Kota Surabaya (Surya, 12/12/2007).

Lembaga ‘bisnis’

Sebenarnya anggaran DPR tahun 2007 dinaikkan hampir 50 persen, dari Rp. 1,085 triliun menjadi Rp. 1,519 triliun. Dengan 550 orang jumlah anggota DPR maka rata-rata seorang anggota DPR tahun 2007 ini dijatah sekitar Rp 2,760 miliar setahun, atau Rp 230 juta perbulan. Mengapa kehendak dan tabiat para pejabat wakil rakyat tersebut selalu paradoks dengan fakta kemiskinan di negara ini yang ditahun 2006 saja menurut Wolrd Bank adalah 49 persen dari total penduduknya?

Sesungguhnya tingkah laku tersebut tidak jauh-jauh dari tabiat korup bangsa ini. Jika kita melihat negara ini digarong habis-habisan dalam kasus penyelewengan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang masih menyisakan masalah, menjadi episode kisah korupsi yang panjang, itupun tak lepas dari korelasi disfungsi tugas kontrol para anggota dewan. Bagaimana mereka akan mengontrol pemerintahan untuk melaksanakan efesiensi ekonomi dan pemberantasan korupsi jika DPR ternyata menjadi dewan pemiskinan rakyat? Bagaimana pelaku korupsi mau mengawal pemberantasan korupsi, jika tak ingin bunuh diri?

Tabiat para anggota dewan tersebut mengukuhkan pendapat bahwa partai politik lebih banyak menjadi mesin pengerat terhadap uang negara. Benar nyatanya apa yang dikatakan Yudi Latif bahwa pertimbangan ekonomis seringkali mengalahkan aspirasi publik seperti diindikasikan oleh hasil jajak pendapat. Yang dilakukan parpol bukanlah menjaring aspirasi rakyat, melainkan menjaring sebanyak mungkin arus dana yang masuk (Gatra Nomor 33, Juni 2007). Kelakuan parpol tersebut adalah sebagaimana yang dilakukan para pengurusnya yang duduk di parlemen dan lembaga pemerintahan. Dengan demikian kita tak bisa mengharapkan agar DPR tak menjadi lembaga ‘bisnis’ tempat untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Racun hedonisme yang dahulu merambah ke otak para penganut feodalisme, otoritarianisme, kapitalisme, komunisme, kini juga menyerang di ruang-ruang demokrasi sehingga negara inipun mengalami kesesatan demokrasi, berubah menjadi hedonikrasi.

Penindasan yuridis

Johan Galtung (1996) berteorema bahwa dalam negara otoriter yang tertindas mungkin kaum kelas menengah, dan dalam negara demokrasi yang tertindas adalah kaum kelas bawah. Ini juga tampak di Indonesia. Dahulu di masa Orde Baru kecenderungan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) banyak terjadi terhadap hak-hak sipil dan politik yang biasa lebih mudah diakses kaum menengah dibandingkan rakyat jelata. Waktu itu Golkar menjadi parpol penguasa yang tak tertandingi sebab kekuasaan koersif mendesain keadaan seperti itu. Dua parpol lainnya, Partai Demokrasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan kesulitan hidup. Penindasan kepada rakyat jelata hanya terjadi ketika ada halangan-halangan politik kekuasaan dan kebijakan ekonomi yang terhalang. Cara penindasannya secara langsung, main ambil, tangkap, buang, siksa atau bunuh.

Tapi pelanggaran HAM di jaman Orde Reformasi (yang demokratis) dilakukan secara lebih cerdik dan sistematis. Hak-hak sipil dan politik dilanggar dengan cara penetapan aturan electoral threshold bagi parpol, tetapi tidak mempunyai akibat yang penting sebab para elite politik dapat menempuh jalan lain dengan mengubah nama parpol. Justru yang mempunyai akibat penting terhadap kesejahteraan rakyat adalah penindasan sistemik yang menggunakan instrumen hukum kekuasaan. Undang-undang dan regulasi lainya didesain untuk kepentingan elite yang mempunyai akibat tersingkirnya atau tereduksinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat kelas bawah yang selama ini dianggap ‘biangkerok’ ketakutan investor. Aturan-aturan dibuat sedemikian rupa sehingga para pejabat bisa leluasa memperoleh sebanyak-banyaknya uang dan fasilitas negara yang mempunyai akibat inefisiensi pengelolaan atau pembelanjaan uang negara, dan rakyatlah korbannya.

Maka di negara ini ada kecerdikan elite penguasa untuk meloloskan diri dari ilegalitas korupsi dengan jalan legalisasi korupsi. Kasus-kasus penganggaran belanja negara dan daerah-daerah dalam Undang-undang tentang APBN ataupun Peraturan Daerah tentang APBD dari tahun ke tahun yang menunjukkan tingginya angka belanja untuk keperluan para pejabat, mereduksi optimalisasi dana pengentasan kemiskinan dan investasi sosial, merupakan gejala legalisasi korupsi. Padahal konstitusi mengamanatkan agar kekayaan dan keuangan negara digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Inilah yang dapat dikatakan sebagai penindasan yuridis dalam negara demokrasi yang sesat, di mana hukum didesain untuk keuntungan ekonomi para pemain politik sehingga tetap memiskinkan rakyat, terutama yang sudah miskin. Demokrasi menjadi sesat sebab pemerintahan bukan lagi dari, oleh, dan untuk rakyat, tapi berubah menjadi pemerintahan dari rakyat (melalui pemilu atau pilkada), oleh dan untuk pemegang kekuasaan. Jadi, rakyat dirayu saat kampanye pemilu atau pilkada, lalu dikhianati setelah pemilu dan pilkada.

Menghadapi situasi seperti itu maka rakyat harus mulai menyusun kebersamaan untuk menguatkan partisipasi dan kontrol dalam/kepada pemerintahan. Pembentukan forum-forum rakyat di seluruh wilayah negara ini perlu dilakukan. Forum-forum tersebut terhubung sebagai jaringan rakyat. Kekuatan rakyat terorganisir sebagai alternatif mendorong jalanya pemerintahan yang baik, ketika parpol-parpol tak mampu mengendalikan perilakunya. Rakyat berhak untuk ‘memaksa’ para wakilnya dan penyelenggara negara untuk kembali ke jalan yang benar.

Pernyataan Sikap atas Putusan Pengadilan Kasus Lumpur Lapindo

www.lhkisby.blogspot.com :

Departemen Advokasi Lembaga Hukum & HAM Keadilan Indonesia (LHKI) Surabaya, dengan ini menyampaikan pernyataan sikap menanggapi putusan pengadilan dalam kasus Lumpur Lapindo sebagai berikut:

  1. Gugatan YLBHI dan Walhi dalam kasus Lumpur Lapindo ditolak pengadilan Jakarta Selatan dan Pusat. Pada putusan gugatan YLBHI dinyatakan bahwa Lapindo telah mengeluarkan uang untuk penyelesaian sosial dan semburan lumpur. Dalam hal ini dianggap tidak ada pelanggaran HAM. Pada putusan gugatan Walhi dinyatakan bahwa semburan lumpur Lapindo disebabkan oleh bencana alam karena pergeseran lempeng bumi. Hakim perkara tersebut menggunakan alat bukti Lapindo cs dan mengabaikan alat bukti yang diajukan penggugat (YLBHI dan Walhi). Dalam proses persidangan hakim sengaja memersulit Walhi untuk mengajukan para saksi ahli sehingga para saksi ahli tersebut ‘tersinggung’ merasa tidak dihargai pengadilan, sehingga ada yang tidak jadi bersaksi. Alat bukti berupa hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan hasil penelitian Tim Independen bentukan pemerintah yang menyimpulkan adanya kesalahan teknik dan pelanggaran berbagai ketentuan hukum telah diabaikan. Dengan demikian jelas bahwa pengadilan telah terang-terangan ‘memihak’ kepada Lapindo cs selaku Tergugat.

  1. Pengadilan di negara ini, dalam kasus-kasus pencemaran dan perusakan ekologis – termasuk kasus perusakan hutan, kasus Buyat, Freeport dan lain-lain – telah memihak kepada korporasi penjahat ekologis, mengabaikan keselamatan rakyat. Ini menunjukkan bahwa pengadilan belum menjadi tempat yang tepat untuk mencari keadilan. Hal ini bukan sekadar pesimisme, tapi teorema yang berasal dari fakta empirik cara kerja pengadilan di Indonesia yang belum mampu mengangkat pantatnya dari kubang kemaksiatan hukum dan keadilan.

  1. Kami menyatakan prihatin, sedapat mungkin mendorong revolusi badan peradilan segera dilakukan dan jika pemerintahan negara tidak melakukan hal itu maka hukum alam akan bicara bahwa rakyat yang terabaikan hak keadilan mereka di muka hukum akan menggunakan hukum mereka sendiri. Jika pengadilan telah kehilangan kewibawaan maka rakyat menganggap pengadilan hanya sebagai kandang hewan ternak. Itu sudah terjadi.

  1. Kami menghimbau agar pengadilan tingkat yang lebih tinggi (Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung) lebih bermoral dan memberikan keadilan dalam kasus tersebut, termasuk kasus-kasus pencemaran dan perusakan lingkungan hidup demi keselamatan negara ini yang setiap tahun didera bencana karena kemunkaran yang dilegalisasi oleh hukum serta kekuasaan.

  1. Kami menghimbau agar kaum intelektual dan pers terus mendorong agar dunia hukum di negara ini segera bertobat dengan taubatan nasuha agar bencana tidak bertubi-tubi menghancurkan negara ini.

Demikian pernyataan sikap ini. Terima kasih.

Surabaya, 28 Desember 2007.

Senin, 24 Desember 2007

Mendukung PLTK ?

Alex Komprang berkata...

Nolak PLTN itu hukumnya wajib menurut aktivis lingkungan, tapi haram menurut koruptor. Kalau menurut MUI ya halal asal tidak porno, tapi haram kalau sesat. Ingat kasus Ajinomoto kan?

Saya sih dukung PLTK = Pembangkit Listrik Tenaga Kuli. Kulibatu, kuliboto, kuliangkut, kulino korupsi. Kwek-kwek-kwek....!

2007 November 11 23:30

Kamis, 20 Desember 2007

MISKIN AWARD


Media heboh memberitakan kekayaan keluarga Aburizal Bakrie (Ical) tahun 2007 yang menurut hitungan Forbes berjumlah 5,4 miliar USD atau sekitar Rp. 50,22 triliun, terkaya di Indonesia, terkerek naik 4 kali lipat dari sebelumnya tahun 2006 sebesar 1,2 miliar USD atau sekitar Rp. 11,6 triliun, meski menurut data Lapindo Brantas Inc., salah satu anak perusahaan Grup Bakrie, hingga Desember 2007 ini mereka telah merogoh kocek Rp. 2,44 triliun untuk korban lumpur Lapindo (Surya, 15/12/2007). Mungkin, bisa jadi akan ada kyai atau mubaligh yang akan berdalil: “Benar bahwa Allah akan melipatgandakan pahala infaq!” Sebagaimana Lapindo merasa tidak bersalah dalam kasus semburan lumpur itu sehingga uang yang dikeluarkan kepada korban lumpur dianggapnya sebagai ‘santunan’ atau bantuan, salah satu bentuk infaq.

Kecil

Rp. 50,22 triliun milik keluarga Ical itu kecil, jika dibandingkan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang pernah ‘dipinjam’ para pemilik bank-bank di Indonesia senilai Rp. 699,9 triliun, tapi menurut catatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) di akhir masa tugasnya berakhir 27 Pebruari 2004 nilai uang itu menyusut menjadi Rp. 449,03 triliun sebab banyak aset yang nilainya digelembungkan. BPPN hanya berhasil mengembalikan kepada negara sebesar Rp. 172,4 triliun. Cuma, kekayaan keluarga Ical memang lebih banyak dibandingkan kerugian negara sebesar 2,53 USD atau sekitar Rp. 23 triliun temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan audit terhadap 5 kontraktor production sharing (KPS), yaitu Cevron Pasifik Indonesia, Conoco Philips Grissik, Petro China Internasional Jabung, Medco E & P Rimau dan BOB Pertamina – Hulu – PT. Bumi Siak Pusaka, dan menemukan (Jawa Pos, 4/11/2006). Kelak kita juga akan tahu bagaimana hasil audit BPK terhadap Grup Bakrie yang juga menjadi KPS di Blok Brantas dengan kasus lumpurnya itu.

Kekayaan keluarga Ical itu terlalu kecil dibandingkan data Bank Dunia tentang rakyat miskin Indonesia tahun 2006 yang persentasenya 49 persen dari sekitar 230 juta orang Indonesia. Indonesia yang dipenuhi rakyat miskin dan para koruptor ini patut bangga memiliki Ical, Sukanto Tanoto, R. Budi Hartono, Eka Tjipta Widjaja, dan orang-orang kaya Indonesia lainnya yang diumumkan oleh Forbes kepada dunia. Mereka mengharumkan Indonesia. Itu juga menunjukkan bahwa prinsip Bhineka Tunggal Ika di Indonesia semakin membanggakan, tidak terbatas pada kesatuan dalam multikultur, agama, adat, suku, warna kulit dan lain-lain, tapi juga kesatuan dan persatuan antara orang kaya, miskin, koruptor, orang jujur, pendosa, pemahala, penipu, perampok, pemangsa, korban, dan lain-lain.

Award

Keluarga Ical tak akan memberi award bagi dirinya sendiri, dengan Ahmad Bakrie Award atas kesuksesan ekonomi itu. Tapi, siapapun boleh memunyai ide untuk memberikan award kepadanya, sebab ideologi bangsa Indonesia semakin mengarah pada materialisme, termasuk penampilan. Saya mendengar protes ibu-ibu yang bertanya mengapa peraih Panasonic award bidang seni peran itu kok Agnes Monica, bukan misalnya Naysilla Mirdad yang aktingnya digandrungi ibu-ibu, mampu membuat air mata mereka meleleh-leleh. Suara ibu-ibu itu kalah jumlah dengan anak-anak mereka yang tak tertarik dengan peran-peran orang rendahan. Anak-anak muda sekarang lebih kagum dengan penampilan yang enerjik, menawan, elegan dan mewah. Lupakan peran orang miskin, kesan kuno, dan lugu! Itu penampilan outdated, tidak laku, hanya mampu menarik orang-orang yang mendekati ajal.

Tetapi lain dalam politik: Rakyat miskin merupakan daya tarik dan kebutuhan. Di setiap kampanye, baik di dalam jadual yang ditetapkan maupun di luar jadual seperti yang saat ini juga sedang berlangsung, rakyat miskin adalah kekuatan yang harus ditarik dengan magnet janji, tak peduli gombal. Jika perlu dengan mimik serius dan titik air mata. Siapapun politikus yang dapat menarik harapan kaum miskin mayoritas itu, akan memeroleh tongkat legal kekuasaan dalam negara demokrasi. Dalam masa kampanye itulah, ketika politikus belum berkuasa, atau sedang memersiapkan perpanjangan kekuasaan, rakyat miskin menjadi sangat berarti. Tak peduli bagaimana nasib mereka setelah memilih sang aktor politik. Rakyat miskin menjadi obyek penelitian, menjadi alat hitung anggaran negara yang harus dikeluarkan. Setelah puluhan tahun, nasib rakyat miskin tetap terjaga, aman tak goyah tetap miskin. Tetapi seringkali miskin secara tidak aman sebab sewaktu-waktu dihalau dengan pentungan serta letupan amunisi.

Menjadi rakyat miskin Indonesia merupakan prestasi luar biasa. Partisipasi demokrasi mereka tinggi. Di Papua yang kaya-raya tapi rakyatnya miskin itu, rakyat pedalaman rela berjalan kaki sehari dua malam, bermalam di hutan dalam perjalanan, untuk memberikan suara mereka dalam pemilu, dalam ritual demokrasi. Setelah itu rakyat miskin diuji kesabaran mereka, benar-benar teruji, karena janji kosong kampanye politik terus mengalun, menyeruak di setiap pori-pori kehidupan bernegara. Akhirnya, rakyat miskin menyadari: bahwa kebohongan adalah biasa terjadi, termaklumkan, menjadi tradisi, hukum adat korupsi. Rakyat miskin pun mulai meniru gaya itu, adat korupsi berkembang. Jika kelak ada di antara kaum miskin yang berubah nasib sehingga sanggup membangun gedung-gedung, mereka akan mengisinya dengan kebohongan pula, sampai penuh dan bahkan temboknya pecah, kebohongan itu tumpah berserakan memenuhi halaman, jalan-jalan raya, dan bertemu dengan serakan kebohongan yang tersemburat tumpah dari gedung-gedung kekuasaan. Jadilah negara ini bangunan kebohongan.

Keluarga Ical boleh menerima ‘Kaya Award’, tapi rakyat miskin lebih berhak menerima ‘Miskin Award’. Politikus mungkin membutuhkan uang, tapi negara ini akan mengalami ‘kematian’ demokrasi ketika rakyat miskin tak ada. Keluarga Bakrie hanya puluhan orang, tapi rakyat miskin Indonesia jutaan orang. Tanpa jutaan rakyat miskin itu, tak ada lagi kehidupan seni politik peran yang menangisi kemiskinan, tak ada lagi seni permainan anggaran kemiskinan, tak ada lagi pesta seni sunatan dana-dana bantuan, tak ada lagi … jika tak ada rakyat miskin itu.

Lalu bagaimana kelak nasib negara ini jika yang tua meneruskan pengembaraan mereka untuk terus memainkan seni politik peran dan merasa terlalu jauh dari kematian? Bagaimana pula jika kaum mudanya terlalu mengagumi kemewahan serta kekayaan, berusaha melebihi apa yang telah diperoleh kaum tua yang terus gemar bermain? Apa kelanjutan acara pidato kepemudaan di Jakarta sewaktu ‘bersumpah pemuda’ yang baru saja mengalun penuh semangat itu? Masak rakyat miskin akan mengalungkan bunga tanda Retorika Award kepada para pemuda itu?

Minggu, 09 Desember 2007

KISAH PERJALANAN SABUN

Sebuah sabun sangat senang ketika jatuh terbeli di tangan seorang artis cuuuantik dan semlohe… Sudahlah gak usah dikisahkan di sini bagaimana ia bersama artis itu di kamar mandi. Bayangkan saja kalau mau…!

Sudah takdir si sabun itu ketika akhirnya ia habis, menjadi busa dan tercampur air, mengalir mengikuti arus air yang membawanya. Alangkah sedihnya ia harus berhari-hari diam di selokan macet, hingga Tuhan menolongnya dengan guyuran hujan deras, membawanya ke sungai, pas di Kali Surabaya. Ia terkejut bukan kepalang, sebab di Kali Surabaya ia harus bercampur dengan kawan-kawan dari limbah pabrik-pabrik serta domestik.

Sabun itu menyesal, sebab dirinya harus menjadi bagian dari apa yang disebut oleh para manusia sebagai ‘racun’ atau limbah. Gara-gara ia dan teman-teman senasibnya, Walhi menggugat industri dan malangnya dimain-mainkan para hakim PN Surabaya dan Pengadilan Tinggi Jawa Timur yang hobi main petak umpet dan makan ‘limbah’ uangnya orang-orang berduit. Ecoton pun menggugat gubernur Jawa Timur. Si sabun menyesal dan bersedih. Andaikan Tuhan memberinya sayap maka ia akan terbang jauh ke alam bebas, tak mau menjadi penghuni sungai yang dibenci banyak orang, menjadi biang penyakit sosial.

Suatu saat si sabun yang telah menjadi limbah itu merenung, bertanya kepada dirinya sendiri, “Apakah ini memang salahku, apa salah artis cantik yang memakaiku, ataukah salah pabrik yang memroduksi aku?”

Sebelum ia tahu jawabannya, tiba-tiba ada larutan sabun yang terbatuk-batuk dan mau muntah-muntah. Si buih sabun bertanya, “Kenapa kamu kawan?”

“Waduh, nasibku apes! Aku terkena gangguan psikologis ini gara-gara jatuh ke tangan pemuda brengsek, setiap hari aku dipakai onani!”

Dari peristiwa itu, tak sengaja, si buih sabun akhirnya mendapatkan jawaban: “Oh iya ya… Ini yang salah manusia yang suka onani. Industri-industri dijadikan alat onani untuk memeroleh kenikmatan ekonomi. Manusia juga onani dan mansturbasi dengan membayangkan ketampanan dan kecantikan diri, membayangkan betapa nikmatnya kekayaan dan fasilitas. Jika perlu menjual diri, bahkan menjual masyarakat. Pokoknya gampang memeroleh uang, jual saja nasionalisme, jual saja nasib orang lemah, jual apa saja yang bisa dijual…. Seharusnya seseorang mendapatkan ‘kenikmatan’ dengan cara pernikahan yang sah, tapi tampaknya tak terpuaskan dengan apa yang dipunyai. Onani terus….., memaksakan diri, menipu diri dengan imajinasi…..

Bahkan demokrasi di negara ini juga alat onani ……

Akhirnya, si buih sabun suatu saat masuk ke perut-perut anak cucu cicit para pelaku onani politik, hukum dan sosial….. , menjadi bahan kanker dan penyakit thelo.

Cakbagio. Surabaya, 9/12/2007

Rabu, 05 Desember 2007

NEGARA HUTAN KONSPIRASI

Adelin Lis, bos PT. Keang Nam Development Indonesia (KNDI), terdakwa perusakan hutan Sumatera Utara (Sumut), diberi hadiah bebas oleh hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan. Berdasarkan pengamatan Walhi, ini adalah ‘prestasi’ penegak hukum yang ke-12, di mana para hakim juga membebaskan para terdakwa pembalak hutan ilegal untuk 11 kasus sebelumnya. Ini semakin mengukuhkan gelar Indonesia sebagai juara dunia kedua perusak hutan (setelah Brazil) yang ditempelkan Greenpeace di wajah Indonesia dan dipamerkan di etalase kerusakan ekologi global. Laju pembabatan hutan Indonesia dua persen per tahun, jauh di atas Brazil yang hanya 0,6 persen. Sebentar lagi kita pun akan bertepuk tangan karena berhasil menjadi juara dunia pertama, mengungguli Brazil. Bukan umat manusia Indonesia saja yang terancam bahaya, tapi umat manusia di muka bumi sebab hutan Indonesia adalah paru-paru dunia.

Hukum aliran sesat

Kepolisian menganggap putusan hakim PN Medan itu tidak obyektif dikarenakan hakim enggan melakukan pemeriksaan lapangan untuk melihat langsung bagaimana kerusakan hutan di tempat kejadian perkara (Republika, 7/11/2007). Masyarakat yang mendengar dan melihat informasi perkara tersebut tentu bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi. Mafia peradilan memang telah lama terjadi. Namun sejauh mana sisa jiwa kemanusiaan penegak hukum dalam kasus tersebut sehingga dengan sangat berani mengorbankan nasib umat manusia sedunia, sebab kasus itu menjadi preseden yang akan membuat para perusak nasib manusia tertawa terkekeh-kekeh di atas tumpukan kekuasaan uang mereka. Mereka telah menguji kesekian kali bahwa hukum di negara ini masih mudah ‘diatur’ sebagai boneka. Masyarakat korban mencari keadilan dengan meraba-raba dalam kegelapan, dan tak jarang terjerumus ke dalam jurang.

Kita sedang menyaksikan sebuah tayangan sandiwara tentang pembalakan hutan. Tanpa sadar ada penonton yang menangis sedih, ada yang benci melihat kejahatan tokoh antagonis, ada yang simpati dengan tokoh protagonis. Padahal, itu semua telah ada di skenario, disutradarai dengan cerdas dan diperankan oleh para aktor yang berpengalaman. Tayangan itu akan memperoleh rating tinggi. Masuk akalkah jika negara ini tidak sekata dalam memberantas kejahatan kepada publik yang terang-terangan di depan mata?

Kepolisian, Departemen Kehutanan dan Kejaksaan adalah lembaga suborganisasi pemerintahan di bawah presiden, tetapi mereka bertikai. Dalam kasus Adelin Lis, Kepolisian berpendapat bahwa negara menderita kerugian sebesar Rp 227,92 triliun (melalui dua perusahaan Adelin Lis: KNDI dan PT. Inanta Timber Trading). Tetapi kejaksaan menyatakan negara hanya rugi Rp 119 miliar dan 2,9 juta USD. Bahkan Menteri Kehutanan RI, MS Kaban membuat surat resmi yang isinya menyatakan bahwa dalam kasus Adelin Lis itu hanya ada pelanggaran administrasi dan bukan kasus pidana.

Kita patut mempertanyakan landasan wewenang Menteri Kehutanan untuk membuat surat formal yang substansinya sebagai intervensi proses hukum pidana, sebab menteri bukanlah pejabat yang menjadi bagian dari unsur Integrated Criminal Justice System dalam hukum acara pidana. Jika surat resmi itu kemudian digunakan sebagai alat bukti di muka pengadilan maka itu akan dianggap publik (termasuk hakim) sebagai sikap pemerintah, sebab sang menteri membuat surat itu dengan jubah jabatannya. Dalam wawancara dengan Majalah Tempo (edisi 10-16 September 2007) Menteri Kehutanan dengan tegas menyatakan bahwa Departemen Kehutanan yang paling tahu soal kehutanan dan tidak menghendaki pihak luar intervensi. Di sini ada fenomena tirani wewenang. Itu sikap yang tidak tepat di negara hukum demokratis. Lebih aneh lagi jika hal itu berlangsung tanpa dapat dikendalikan oleh presiden selaku kepala lembaga eksekutif. Maka tepat jika Republika (7/11) membuat judul tajuk: “Hutan Kekacauan” sebab memang ada pula kekacauan dalam manajemen pemerintahan.

Sebenarnya kasus perusakan hutan semacam itu (yang dilakukan perusahaan pemegang izin) sudah terang diatur dengan pasal 50 ayat (2) jo. pasal 78 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 50 ayat (2) tersebut menentukan: Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. Menurut pasal 78 ayat (1) ancaman pidananya maksimum 10 tahun penjara atau denda Rp. 5 miliar.

Kejaksaan pun telah menambah dakwaan dengan delik kejahatan korupsi sebab memang ada unsur perbuatan melawan hukum, memperkaya diri dan merugikan negara. Pelanggaran hukum administrasipun (seperti yang dinyatakan Menteri Kehutanan) jika mempunyai akibat kerusakan hutan, tetaplah menjadi delik kejahatan perusakan hutan. Aturan hukumnya sudah jelas, namun dilumuri oleh jelaga kepentingan subyektif dengan mengorbankan keadilan publik. Kekuasaan kehakiman yang telah dimurnikan kemerdekaanya dengan UU No. 4 Tahun 2004, sehingga tak boleh diintervensi kekuasaan eksekutif termasuk dengan surat sakti menteri. Tapi apa daya jika ternyata kemerdekaan kekuasan kehakiman tersebut dijadikan alat kebebasan untuk menggelar dagangan hukum dan keadilan? Ini merupakan kelanjutan tragedi di dunia hukum negara ini yang telah lama disesatkan oleh keserakahan manusia. Hukum dikendalikan oleh pikiran-pikiran sesat sehingga menjadi hukum aliran sesat.

Konspirasi

Karut-marut penanganan perkara Adelin Lis tampaknya belum akan berujung. Berita Jawa Pos (7/11) menginformasikan kekesalan Polda Sumut kepada Kejaksaan Tinggi Sumut yang diduga melepaskan Adelin Lis, padahal masih ada perkara lain soal tuduhan money laundering dan pengubahan fungsi hutan menjadi ladang kelapa sawit. Sementara itu, dalam kasus perusakan hutan yang dibebaskan hakim PN Medan tersebut belum selesai sebab jaksa masih mempunyai waktu untuk mengajukan kasasi atas putusan bebas tersebut (bukan banding). Inilah yang saya katakan bahwa kita sedang menonton tayangan sandiwara.

Integrasi penegakan hukum yang morat-marit itu tidak masuk akal. Bagaimana Adelin Lis yang putusan perkaranya belum mempunyai kekuatan hukum tetap bisa lolos dari pantauan kepolisian dan dilepas kejaksaan? Di mana letak keseriusan kejengkelan para polisi tersebut sebab mereka tahu betul bahwa Adelin Lis harus selalu diawasi dan diikuti ke manapun perginya sebelum seluruh perkaranya dituntaskan? Adegan-adegan seperti itu tentu akan mampu menelikung persepsi publik yang belum berpengalaman dalam proses upaya hukum. Jika itu dibiarkan, ini pemerintahan yang tidak serius.

Dalam hidup ini, ada fakta di balik fakta. Ada tayangan informasi entertainment selebretis di mana para pengacara artis perceraian mengeluarkan pernyataan saling serang. Publik melihat itu sebagai fakta, tetapi apakah mereka tahu jika di balik layar televisi yang gelap itu ada fakta lain yang tidak diketahui banyak orang, di mana dalam keremangan yang dibuai aliran suara musik ada gelak tawa konspirasi? Itulah yang juga seringkali terjadi dalam dunia penegakan hukum di negara ini. Apakah para polisi yang berangkat ke Tiongkok untuk memburu Adelin Lis kemarin itu menggunakan uang mereka sendiri? Jikapun seandainya bukan dengan uang negara, misalnya dengan uang pribadi para pejabat Kepolisian, lalu apakah cukup diambilkan dari gaji mereka?

Coba kita tengok jauh di altar sejarah bangsa ini tentang bagaimana cara Ken Arok dapat meraih jabatan sebagai Akuwu di Tumapel hingga bisa mendirikan Singasari. Atau bagaimana Panembahan Senapati pendiri Mataram itu meraih simpati Sultan Hadiwijaya? Atau bagaimana Karebet sendiri yang bisa menjadi Sultan Hadiwijaya setelah memikat perhatian Sultan Trenggono? Ilmu-ilmu strategi upaya pengangkatan pangkat, jabatan serta karir dengan cara-cara itu selalu digunakan dan diwarisi anak-anak generasi bangsa ini dari waktu ke waktu. Bangsa ini selalu dipenuhi kisah-kisah kospirasi dan kebohongan. Para pejabat punya segalanya, dan hanya dua hal yang jarang mereka miliki, yaitu: harga diri dan moral. Sekeras apapun suara mereka tentang nasionalisme, hanya berbuah suara yang menatap dari dinding ke dinding peradaban, menjadi gaung yang menipu pendengaran manusia.

Hingga hari ini, kita terus membesarkan anak-anak dengan kebohongan dan kecurangan. Rasulullah SAW bersabda bahwa anak-anak menjadi Muslim, Yahudi atau Nasrani tergantung orang tuanya. Emile Durkheim mengatakan bahwa individu dilahirkan oleh sosial. Johan Galtung juga bertanya, mengapa orang membunuh? Sebab diantaranya orang itu dibesarkan dengan cara itu. Kita seharusnya menyalahkan diri sendiri jika anak-anak kita kelak menjadi generasi pembohong dan tumbuh menjadi vampir-vampir sosial sebab kita membesarkan mereka dengan cara itu. Masyarakat sesat akan melahirkan generasi sesat. Sampai hari ini pembangunan terus mengejar pertumbuhan ekonomi, setiap hari mengamati angka, tetapi - sadar atau tidak – masyarakat di negara ini mengalami deklinasi sosial.

Hutan kita semakin habis, gunung-gunung es di kutub bumi mulai bergeser dan mencair akibat perubahan iklim. Dana reboisasi berapapun besarnya hanya akan lenyap ditelan keserakahan, tak mampu menumbuhkan pohon-pohon kayu harapan bagi manusia sebelum kita serius dalam bernegara. Kini negara hanya dijadikan sapi perah dan permainan politik karena keserakahan. Uang dan aset negara digarong, pasir laut dicolong. Tanah air dan udara pun diracuni terang-terangan di siang bolong. Hutan alam yang hijau, sejuk dan gagah berganti dengan hutan konspirasi keserakahan. Allah melihat itu: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS Ar-Rum: 41). Perusak lingkungan hidup tergolong sesat. Agar kembali ke rel kebenaran maka Allah akan menimpakan azab dalam hukum kausalitas alam. Sudah siapkah kita?