Senin, 31 Desember 2007

Menyelamatkan Masa Depan

Di negara ini hingga hari ini tetap banyak cerita kemiskinan. Sama saja, orang miskin dan kaya bisa menipu dan mencuri. Tahun 1988 ketika saya menjadi gelandangan di Kota Surabaya, melamar pekerjaan door to door dari toko ke toko, pabrik ke pabrik, tak ada yang mau menerima. Siang terik saya istirahat di terminal Joyoboyo dekat kebun binatang Wonokromo (waktu itu terminal Bungurasih belum ada), didatangi seorang tukang becak. Ia menawari harapan, bekerja kepada juragan dengan upah Rp. 25 ribu sebulan. Remaja desa lulusan SMP seperti saya waktu itu belum berpengalaman ditipu orang sehingga setuju saja dengan tawaran tukang becak itu dengan membayar kepadanya Rp. 5 ribu. Padahal uang di kantong saya hampir habis, sebab berangkat dari desa dengan uang Rp. 25 ribu, hasil menjual sepeda onthel (kayuh).

Ternyata saya dijual tukang becak itu kepada seorang penyalur tenaga kerja ilegal di gang Bromo Jalan Arjuno Surabaya. Saya (dan banyak pemuda lainnya di situ) ditempatkan di penampungan di atas got dengan makan dua kali sehari pakai sayur asem tanpa lauk. Saya tak merasa itu sebagai derita sebab biasa hidup miskin di desa. Itu bukan apa-apa. Siapa bilang orang miskin menderita jika memang sejak lahir hidup seperti itu? ‘Penderitaan si miskin’ adalah kata-kata yang terlahir dari mulut orang-orang yang bisanya hanya membayangkan kemiskinan. Mungkin bisa jadi penderitaan akan dialami orang kaya yang jatuh miskin sebab biasa hidup enak berubah menjadi tidak enak. Jika sejak lahir hidup tidak enak – meminjam bayangan perasaan ‘orang hidup enak’ - maka bagaimana akan membedakan antara hidup enak dengan tidak enak?

Rel dan kemiskinan

Jangan dikira bahwa maraknya pencurian baut atau rel kereta api itu semata-mata karena kemiskinan. Itu tabiat sosial. Coba berikan pencuri rel kereta api itu jabatan, mereka akan korupsi jika tabiatnya mencuri! Dahulu ada anggota dewan di Surabaya yang berangkat dari hidup miskin, dinding rumahnya separoh anyaman bambu, tapi ketika ia menjabat anggota dewan maka rumahnya berubah menjadi sangat mewah. Dari mana ia memperoleh semua itu? Ia menjadi maling (koruptor). Pengadilan hanya menghukumnya penjara tak sampai dua tahun.

Hanya saja, hukum seharusnya adil dalam menghukum orang miskin dan orang kaya, keduanya tak boleh disamakan sampai pada titik kesadaran dan kesempatan yang sama agar asas equality before the law bekerja sempurna. Ketika ada orang miskin misalnya mencuri, negara harus mengurus dulu kecukupannya. Lalu berikan pemahaman kesadaran. Kalau ia tetap mencuri, hukum ia dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup. Jika belum ada, ciptakan hukum seperti itu. Orang seperti itu hanya menjadi penyakit sosial. Tapi ketika yang melakukan pencurian adalah ‘orang mampu’ – misalnya anggota dewan atau kepala daerah atau pegawai negeri, apalagi penegak hukum – maka beri hukuman mati atau minimal penjara seumur hidup sebab manusia seperti itu gembong penyakit sosial. Kalau itu konsisten dijalankan, negara ini akan lebih aman dari pencurian dan kemakmuran akan datang.

Tapi apa yang kita lihat di negara ini serba tidak rasional dan jauh dari keadilan. Orang-orang miskin dihajar dan ditahan di kantor-kantor polisi karena mencuri atau mencopet. Ada banyak masyarakat miskin yang berselisih dengan para tuan tanah juga disiksa habis-habisan. Tetapi para koruptor dan penjahat-penjahat kakap, terutama penjahat berdasi, termasuk perusak alam, diperlakukan lemah-lembut. Itu semua terjadi karena para penjahat teri tak mampu memberi penegak hukum sesuatu yang dapat diberikan oleh para penjahat berdasi. Para penjahat kakap diberikan hukuman ringan sehingga negara ini pun tak pernah bisa reda dari pencurian yang kakap-kakap. Hukum tidak berjalan pada rel keadilan sebagaimana mestinya karena hukum juga dijalankan para pencuri.

Keabadian kemiskinan di negara ini disebabkan terlalu banyaknya kekayaan negara yang dicuri para raksasa. Pemerintahannya lumpuh, tak mampu memberantas maling-maling negara sebab pemerintahan didominasi para maling. Benar kata Arif Budiman bahwa ini negara kleptokrasi. Roda negara tergelincir dari relnya. Salah satu kelemahan negara demokrasi adalah apabila rakyat memilih maling sebagai pengurus negara maka jadilah negara maling. Itu sama halnya dengan mempersilahkan maling untuk mencuri di rumah rakyat.

Mewariskan tabiat

Emile Durkheim mengatakan bahwa (watak) individu dibentuk oleh masyarakat. Bahkan sejak lahir. Manusia dibentuk lingkungannya, seperti kata Nabi Muhammad bahwa bayi dilahirkan seperti kertas putih kosong, ia nanti akan menjadi Muslim, Nasrani atau Yahudi tergantung orang tuanya.

Apa yang akan kita lakukan di masa depan di negara ini setelah kita tahu bahwa kita ini hidup di negara (masyarakat) maling? Para koruptor membesarkan anak-anak mereka dengan cara mencuri. Itu menjadi bahaya masa depan seperti pertanyaan Johan Galtung: mengapa orang membunuh? Sebab diantaranya karena ia dibesarkan dengan cara membunuh. Apakah kelak Indonesia juga akan didominasi generasi maling?

Bagaimanapun, anak-anak akan mampir di sekolah sebelum kelak mereka hidup dan berkarya di tengah-tengah masyarakat. Pendidikan antikorupsi menjadi sangat penting. Tapi runyamnya juga ada fenomena korupsi dan kekerasan di sekolah-sekolah. Pendidikan di negara ini juga dengan cara memasung kebebasan berpikir dan respon terhadap gejala monsterisasi kekuasaan. Kampus-kampus mulai dijadikan ‘ladang’ ekonomi oleh para pendidik. Regulasi pendidikan dirancang untuk kebutuhan komersial. Ini tragedi. Jika itu berjalan terus dan dibiarkan maka negara ini akan menjadi pasar yang dipenuhi para maling.

Jika rezim-rezim di negara ini menghadang komunisme karena alasan politis - sebab watak politis mereka bahkan mungkin lebih buruk dibandingkan komunis yang tidak selalu buruk – maka menghadang malingisme dan malingisasi di negara ini menjadi jauh lebih penting. Jika pemerintahan negara tak mau, maka hanya kesadaran sosial yang menjadi harapan agar bersinergi untuk menyelamatkan generasi negara ini agar tidak menjadi generasi maling yang mewarisi para pendahulunya. Kapan gerakan-gerakan penghadangan bahaya masa depan itu kita satukan?

Bukankah banjir bandhang dan longsor di mana-mana yang mengakibatkan kematian dan penderitaan itu juga karena dosa-dosa kolektif? Orang-orang besar membiarkan bahkan menjadi para pengulak hutan, rakyat kecil menjadi kuli-kuli penghancuran, dibodohi dan tetap miskin? Maka, para pemimpin adalah penanggung jawab utama, pemanggul dosa terbesar. Berat!

Jika mau serius, mari selamatkan masa depan, dunia dan akhirat. Jangan angah-angah serakah bahkan tak peduli dosa. Contohlah manusia-manusia mulia seperti Nabi Yesus, Rasulullah Muhammad SAW dan para khalifah rasyiddin yang hidup sederhana, tapi dikenang harum dalam sejarah manusia. Mereka teladan, pemberi inspirasi hidup yang jujur, sederhana, adil, tegas, belas kasih kepada yang lemah. Tak ada orang kaya-raya karena keserakahan di dunia ini yang tak dibenci manusia dalam sejarah peradaban. Tapi jika bisa, sembunyikan diri dalam karya yang besar, memberikan manfaat sebesar-besarnya semampu kita bagi kehidupan karya agung Tuhan. Jangan sampai menjadi bangkai-bangkai berjalan yang berbau busuk dalam kehidupan.

Tidak ada komentar: