Jumat, 22 Februari 2019

Membela Neno Warisman: Tuhan Dia Bukan Tuhanmu

foto ini diambil dari  makassar.tribunnews.com

Sebelum merenung mendalam, sedalam samudera planet Yupiter (emang ada?), orang-orang di medsos sudah ramai-ramai menghakimi Neno Warisman, politisi pendukung calon presiden – wakil presiden Prabowo – Sandi. Mengapa itu terjadi?

Memang, ada warga media sosial facebook yang abnormal. Banyak. Siapa mereka? Contohnya, mereka yang tidak mempunyai kapasitas dalam ilmu hukum, tetapi membuat argumentasi hukum alakadarnya berdasarkan logika yang dimilikinya. Bahkan mereka ini dalam perdebatan ilmu hukum merasa lebih hebat dibandingkan para sarjana hukum, master hukum, doktor hukum. Padahal sekolahnya tidak mendalami ilmu hukum. Mengapa itu bisa terjadi pada mereka? Mereka sedang mabuk kepayang dalam urusan dukung-mendukung dalam pemilu capres. 

Tapi ada baiknya lebih dulu saya beberkan riwayat atau latar belakang kemabukan massal itu. 

Latar Belakangnya: Siapakah Prabowo dan Jokowi?

Sebelum saya membahas doa Neno Warisman yang meniru doa Rasulullah Muhammad SAW dalam Perang Badar itu, saya akan membahas dulu latar belakang doa itu, yakni dengan menjawab pertanyaan: “Siapakah Prabowo dan siapakah Jokowi yang sebenarnya?” Apa kaitannya dengan doa Neno Warisman?

Para pembaca, yang baik dan yang jahat. Termasuk para intelejen: yang baik dan yang jahat. Siapakah Prabowo itu? Dia bukan siapa-siapa. Prabowo sesungguhnya bukan idola bagi masyarakat, bahkan tidak diidolakan oleh para pendukungnya sendiri. Kok bisa begitu? Iya.

Ayo kita buka memori politik masa lalu. Masa lalu itu kadang penting untuk dikenang dan diingat. Ketika pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) kali pertama tahun 2004, ada 6 pasang capres-cawapres, yakni: 1. Jenderal Wiranto – KH Salahuddin Wahid dicalonkan Partai Golkar; 2. Megawati Sukarnoputri – KH Hasyim Muzadi dicalonkan PDIP; 3. Amien Rais – Siswono Yudhohusodo dicalonkan PAN; 4. Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – Jusuf Kalla (JK) dicalonkan oleh Partai Demokrat, PBB dan PKPI; 5. Hamzah Haz – Jenderal Agum Gumelar dicalonkan PPP; dan KH Abdurrahman Wahid – Marwah Daud Ibrahim dicalonkan PKB.

Dari enam pasang capres-cawapres tersebut, pasangan Gus Dur – Marwah Daud Ibrahim dinyatakan tidak lolos oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebab Gus Dur tidak lolos tes kesehatan atas rekomendasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Gus Dur kecewa, menggugat KPU dan IDI ke Pengadilan, tetapi upaya hukumnya gagal. Pada waktu itu, oleh karena Gus Dur gagal lolos menjadi capres dalam pilpres 2004 itu, maka dia menyatakan mendukung adiknya, KH Salahudin Wahid sebagai cawapres yang berpasangan dengan Wiranto. Namun pasangan Wiranto – KH Salahuddin Wahid kalah dan tidak lolos ke putusan kedua dalam pilpres 2004 tersebut, sehingga Gus Dur memutuskan untuk golput alias tidak mendukung pasangan capres-cawapres yang lolos ke putaran kedua, yakni Megawati – KH Hazim Muzadi yang melawan  SBY – JK.

Dalam putaran kedua itu SBY – JK memenangkan pilpres 2004, sehingga SBY – JK menjadi presiden dan wakil presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat dalam sejarah politik di Indonesia.

Pada waktu itu, tahun 2004, Prabowo dan Jokowi di mana? Prabowo di tahun 2004 masih di Golkar. Tapi di internal Golkar itu, Prabowo kalah pengaruh melawan Wiranto yang lolos konvensi menjadi bakal calon presiden yang diusung Partai Golkar. Lha Jokowi di tahun 2004 itu baru menjadi pengurus DPC PDIP Solo. Tahun 2005 barulah Jokowi menjadi Walikota Solo berpasangan dengan FX Hadi Rudyatmo. Waktu itu Jokowi belum populer. Dia terpilih menjadi Walikota Solo dengan perolehan suara hanya sekitar 36,62%. Setelahnya, media massa gencar memberitakan “kehebatan” Jokowi sebagai Walikota Solo.

Pilpres tahun 2004 itu, siapakah yang tidak kenal Megawati, puteri Presiden Sukarno yang sangat populer sejak zaman Orde Baru itu. Bahkan saat masih mahasiswa, di zaman Orde Baru, saya pengagum Megawati, pernah berkirim surat dukungan kepadanya untuk terus memperjuangkan demokrasi Indonesia. Tapi ketika Megawati menjadi presiden setelah Gus Dur dilengserkan, saya agak sebel sama dia. Kebijakan-kebijakannya tidak sesuai yang saya harapkan. Saya juga pernah mengritiknya dengan opini di koran Jawa Pos saat pemerintahannya mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk konglomerat Sjamsul Nursalim dalam kasus korupsi BLBI, dalam rangka penghentian kasus korupsi BLBI yang diselesaikan dengan cara "cengli cengli" itu. Menyebalkan.

Namun, ternyata di pilpres 2004 itu Megawati kalah. Di putaran pertama, Megawati – KH Hasyim hanya memperoleh sekitar 26,6% suara, kalah dengan SBY – JK yang memperoleh sekitar 33,5% suara. 

Di putaran kedua pilpres 2004 itu, Megawati – KH Hasyim hanya mendapatkan 39,3% suara. Mereka kalah telak dengan SBY – Kalla yang meraup 60,6% suara. Rakyat mayoritas percaya kepada SBY – JK untuk menjadi presiden.

Mengapa Megawati yang populer sejak zaman Orde Baru itu tidak lagi dipercaya oleh mayoritas rakyat untuk menjadi presiden, dibandingkan dengan SBY yang tadinya di zaman Orde Baru adalah “jenderal yang tidak terkenal”, kecuali hanya dikenal di kalangan para aktivis demokrasi? 

Ya. Rakyat sedang mencari juru selamat negara, setelah Megawati dinilai tidak berhasil, sebagai presiden sebelumnya. Tetapi mengapa pilihan rakyat kok pada SBY – JK, kok bukan kepada Wiranto, atau para kyai NU semacam KH Salahudin Wahid dan KH Hasyim Muzadi yang juga populer di kalangan umat NU?

Ternyata, ketokohan NU dalam riwayat politik nasional ini, meskipun dipadukan dengan ketokohan nasionalis populer seperti contohnya Megawati itu, tidak terlalu menentukan suara rakyat mayoritas.
Lalu sosok yang bagaimana yang dicari oleh rakyat Indonesia ini? Ternyata tokoh populer semacam Amin Rais pun juga tidak diminati rakyat untuk menjadi presiden. Nah.....

Selanjutnya, di pilpres tahun 2009 inilah Prabowo muncul di pentas politik nasional dengan menggunakan Partai Gerindra yang didirikannya pada Februari 2008. Tahun 2009 adalah tahun kemesraan PDIP – Gerindra, yang mengusung Megawati – Prabowo sebagai capres-cawapres yang juga didukung oleh beberapa partai gurem seperti Partai Kedaultan, Partai Pakar Pengan, Partai Marhainisme, Partai Buruh, PSI (bukan PSI-nya Grace Natalie loh ya..), dan Partai Merdeka.

Pada waktu itu Megawati – Prabowo melawan para capres-cawapres lainnya, yakni pasangan JK – Wiranto yang diajukan oleh Partai Golkar dan Partai Hanura; serta pasangan SBY – Budiono yang dicalonkan oleh Partai Demokrat, PKS, PPP, PAN, dan PKB yang didukung oleh 18 partai kecil termasuk PBB, PDS, PKPI, dan lain-lain.

Lagi-lagi dalam pilpres 2009 itu SBY menang telak dari lawan-lawannya dengan memperoleh 60,8% suara. Megawati – Prabowo hanya memperoleh 26,79% suara. JK – Wiranto hanya mendapatkan 12,4% suara. Kemenangan SBY yang terpilih sebagai presiden selalu dengan perolehan suara yang meyakinkan. Dua kali Megawati selalu kalah telak melawan SBY yang pernah menjadi menterinya.

Bayangkan, Prabowo di tahun 2009 berpasangan dengan tokoh populer seperti Megawati itu, ternyata hanya mendapatkan 26,79% suara. Jadi, Prabowo itu tidak populer di mata rakyat. Dia bukan siapa-siapa. Prabowo bukan tokoh yang menjadikan masyarakat Indonesia tertarik kepadanya. Dia kalah jauh dalam kepopuleran dibandingkan SBY.

SBY-lah yang menjadi harapan rakyat mayoritas, dipercaya oleh rakyat mayoritas dengan perolehan suara yang cukup meyakinkan, karena SBY dinilai dapat diharapkan menjadi juru selamat bangsa. Meskipun akhirnya banyak kader tokoh partai Demokrat yang ditangkapi KPK dalam kasus suap (korupsi), seperti Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng dan Angelina Sondakh serta Nazarudin yang fenomenal itu. Inilah manusia. Godaan harta dan cinta asmara bisa menjatuhkannya. 

Pada saat itu, tahun 2009 Jokowi sudah sangat populer, menjadi aktor politik yang ditokohkan oleh media massa dengan kisah-kisah kesuksesannya. Pada waktu itu pemerintahan SBY memberikan penghargaan-penghargaan kepada Jokowi, seperti contohnya penghargaan Kota dengan tata ruang terbaik (ke-dua), Pelayanan Prima tingkat nasional, pelaksanaan pengelolaan keuangan yang baik, dan lain-lain. Majalah Tempo juga menobatkannya sebagai salah satu tokoh dari 10 tokoh nasional tahun 2008. Oleh karena itu, saat pemilihan Walikota Solo tahun 2010, Jokowi meraup suara lebih dari 90% dari suara pemilih. Tahun 2010 itu Jokowi sudah sangat populer citra ketokohannya di tingkat nasional. Saat itu, Prabowo masih bukan siapa-siapa, kalah jauh citranya dibandingkan dengan Jokowi.

Singkat cerita, karena ceritanya sudah panjang, Jokowi diorbitkan menjadi Gubernur DKI Jakarta dari usaha bersama kemesraan Megawati dan Prabowo. Bahkan Prabowo pernah mengatakan bahwa dialah yang meyakinkan Megawati agar Jokowi diusung menjadi calon Gubernur DKI Jakarta dengan pasangan Ahok selaku calon wakil Gubernur. Ada yang mengatakan bahwa itu dibiayai oleh Hashim Djoyohadikusumo. Baiklah, setidak-tidaknya waktu itu Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta dengan cara “mokel” dari jabatannya sebagai Walikota Solo adalah tidak luput dari peran Prabowo yang hal itu sudah diakui oleh Jokowi sendiri. Jadi, para pendukung Jokowi apa gak perlu cium tangan Prabowo nih...? Salim gitu? 

Waktu itu barangkali Prabowo memang berharap Megawati dan PDIP akan melaksanakan isi Perjanjian Batutulis 16 Mei 2009, di butir 7 menentukan bahwa Megawati dan PDIP akan mendukung pencalonan Prabowo sebagai capres di pilpres tahun 2014. Tapi ternyata yang namanya janji politik itu sering meleset. Rakyat sudah sering mengalami itu.

Nah, di tahun 2014 itulah, ketika hanya ada dua tokoh yang menjadi calon presiden, yakni Jokowi dan Prabowo, dengan latar belakang riwayat itu, maka mulai muncul polarisasi tajam. Yakni pendukung Jokowi melawan pendukung Prabowo. Para pendukung Jokowi adalah mereka yang mempercayai kehebatan Jokowi sebagai juru selamat rakyat. Maka dalam pilpres tahun 2014 dibuat hayalan oleh para pendukung Jokowi, bahwa kubu Jokowi – JK adalah Pandawa yang sedang melawan kubu Prabowo – Hatta Rajasa (HR) yang digambarkan sebagai pihak Kurawa. Para aktivis HAM dan demokrasi berkampanye agar rakyat tidak memilih Prabowo yang distempel sebagai pelanggar HAM, penculik para aktivis di zaman perjuangan reformasi.

Saya suka dengan tekad para aktivis ini saat mereka melihat di sekeliling Jokowi ada Jenderal Wiranto, Jenderal Hendropriyono, Jenderal Ryamizard Ryacudu, Jenderal Luhut Panjaitan dan tokoh-tokoh Orde Baru lainnya, termasuk JK. Para aktivis itu bertekad, "Kita akan merebut Jokowi dari oligarki itu?" Saya dalam hati meledek, "Yah...menolak orang yang dibilangnya penculik, kok menerima idolanya didampingi si anu si itu tuh... Coba bisa nggak kelak merebutnya." Tapi ledekanku itu tidak buruk juga. Ternyata hingga sekarang para aktivis itu sedikitpun tak mampu menarik tangan Jokowi. Mau merebut gimana?

Kembali pada hal kepopuleran Jokowi. Ada sebagian masyarakat yang tidak suka dengan Jokowi, karena Jokowi dianggap plin plan dalam omongannya. Saat sudah menjadi Gubernur Jakarta, katanya akan menyelesaikan  masa jabatannya selama 5 tahun, tetapi ternyata tidak. Belum lagi soal mobil esemka yang turut mengangkat citranya, ternyata tidak ada juntrungannya. Belum lagi ditambah adanya informasi fitnah bahwa Jokowi itu PKI dan sebagainya.

Jadi, dengan membaca riwayat tersebut, sesungguhnya para pendukung Prabowo itu dalam dugaan saya, pada umumnya mereka bukan orang-orang yang mengagumi Prabowo seperti para pendukung Jokowi yang mengagumi Jokowi yang sejak awal citranya dibesarkan oleh media massa. 

Para pendukung Prabowo pada umumnya adalah mereka yang “tidak menyukai Jokowi.” Seandainya lawan Jokowi bukan Prabowo, misalnya Cak Lontong atau Sukiman petani Desa Banggle yang tidak populer itu, lalu diorbitkan di pentas politik nasional untuk melawan Jokowi, maka orang-orang yang tidak suka dengan Jokowi akan mengelu-elukan Sukiman itu dan menganggap Sukiman sebagai pahlawan yang berani melawan Jokowi.

Dalam pilpres 2014, ternyata kemenangan Jokowi – JK hanya sekitar 53,15% suara dan Prabowo – HR dengan 46,85%. Pada waktu itu golput mencapai sekitar 30,4% dari suara pemilih terdaftar. Jumlah pemilih terdaftar adalah 190.307.134 orang. Orang yang tidak menggunakan hak pilih berjumlah 58.990.183 orang.

Nah, diantara orang yang mendukung Jokowi dan orang yang tidak menyukai Jokowi inilah ada yang mabuk kepayang, dengan halusinasi tinggi, penuh emosi. Bisa jadi kan Neno Warisman itu termasuk yang mabuk kepayang ingin ganti presiden 2019? 

Tuhan Neno Warisman

Doa Neno Warisman yang membuat dunia medsos ramai itu merupakan doa yang menirukan doa Rasulullah Muhammad SAW pada saat Perang Badar. Sekitar 300 orang pasukan Rasulullah SAW harus menghadapi sekitar 1.000 orang pasukan kafir Quraish dari Makkah. Mungkin saja bahwa Rasululullah SAW berpikir bahwa jika pasukannya kalah maka sudah tidak ada lagi orang yang percaya dengan Islam, dan umat Islam permulaan itu akan punah. Makanya Rasulullah SAW berdoa, itinya: “Ya Allah jika kami tidak menang maka tidak akan ada lagi orang yang menyembahMu!”

Apa makna dari doa Rasulullah SAW itu? Jadi, Tuhan orang Islam itu bukanlah Tuhan yang dipercaya oleh kaum kafir Quraish Makkah itu. Makanya di dalam Islam ada ayat lakum dinukum waliyaddiin. Bagiku agamaku, bagimu agamamu. Silahkan saja kau menyembah tuhan yang kau percaya, aku menyembah Tuhanku yang aku yakini. Jadi, Tuhan dalam pandangan Islam tidak sama dengan Tuhan yang diyakini oleh agama lain. Meskipun ada yang mencoba menganalogikan orang buta yang menilai bentuk gajah, ya itu tidak berguna, sebab memang tidak begitu adanya. Mana ada orang beragama dibilang buta dalam akidah?

Saat Tuhan umat Yahudi dinilai sudah berbeda karakter dalam pandangan golongan Yahudi lainnya, maka muncul Yesus yang kemudian diyakini sebagai juru selamat sehingga muncul konsep ketuhanan baru yang disebut Kristen itu. Tentu saja orang yang beragama Yahudi tidak menyembah Yesus yang dipercaya oleh orang Kristen sebagai Tuhan. Begitu pula orang Islam tidak mungkin menyembah Yesus. Orang Kristen juga tidak pergi ke kuil untuk menyembah Dewa. Jadi, Tuhan dalam keyakinan masing-masing agama itu berbeda. Lha wong Tuhan dalam agama yang sama saja bisa yakini berbeda. Orang Syiah menilai Allah meridhoi golongannya, tapi orang Sunni menilai Allah melaknat orang Syiah.

Nah, oleh sebab itu, Neno Warisman yang sedang berdoa dalam doanya itu, janganlah dinilai bahwa Tuhan yang diyakini olehnya adalah Tuhanmu. Belum tentu. Kalian para orang pintar ini kadang-kadang lucu dan GR, gegedean perasaan. Lalu kenapa kalian meyakini bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan Neno Warisman?

Mungkin ada yang bertanya, bukankah sila ke-1 Pancasila itu Ketuhanan Yang Maha Esa? Jadi Tuhan itu hanya satu. Iya. Tuhan Esa. Tak perlu harus Maha Esa. Jika ada Maha Esa, mengapa tidak ada maha dua yang bukan Tuhan? Jadi, andaikan perumus Pancasila itu cukup merumuskan “Ketuhanan Yang Esa” itu lebih pas. Kalau besar, layak jika Tuhan Maha Besar. Kalau kuasa, layak jika Tuhan Maha Kuasa. Tapi kalau Satu, kenapa harus ada Tuhan Maha Satu? Memang jumlah yang hanya satu itu bisa dibuat menjadi maha?

Tuhan Satu itu menurut keyakinan penganut monoteisme. Tapi siapa Tuhan Yang Satu itu, hal itu ada di dalam bayangan atau keyakinan masing-masing pemeluk agama. Tidak mungkin Tuhan Yang Satu itu mempunyai Kepribadian dan ciri yang berbeda dan bahkan berlawanan. Oleh sebab itu, bisa jadi pula bahwa Tuhan Yang satu dalam bayangan dan keyakinan Neno Warisman itu berbeda dengan Tuhan Yang Satu dalam bayangan dan keyakinan kalian. Jadi, hentikan ke-GR-an itu! Jangan ikut-ikutan dengan Neno Warisman yang sedang GR yang menganggap Tuhan yang dipercayai Neno adalah Tuhan kalian. 

Artinya, mungkin dalam keyakinan Neno Warisman, Tuhan para orang yang tidak menyukai Jokowi itu berbeda dengan Tuhan umat yang mendukung Jokowi. Jika sampai Jokowi menang maka orang tidak akan percaya lagi dengan Tuhan yang diyakini oleh Neno dan umat lainnya yang tidak menyukai Jokowi. Karena dalam pandangan Neno Warisman, Tuhan Neno Warisman itu juga tidak suka dengan Jokowi, bagaikan Tuhan yang tidak suka dengan Raja Firaun. Kira-kira begitu keyakinannya. 

Lalu apa kaitannya dengan riwayat kepopuleran Jokowi dan “ketidakpopuleran” Prabowo itu? Jadi begini. Saya sudah sampaikan bahwa para pendukung Jokowi banyak yang mabuk kepayang dan para orang yang tidak menyukai Jokowi juga banyak yang mabuk kepayang pula.

Zaman dahulu ada ulama yang mabuk kepayang dengan keyakinannya seperti Al-Hallaj yang di dalam ekstasenya dia bilang, “Ana Al-Haq.” Al-Haq itu ya Allah Yang Maha Benar. Akhirnya dia dipenjarakan, lalu dituduh sebagai penghasut pemberontakan kepada Kekhalifahan Abbasyiah yang berpusat di Baghdad, sehingga dia dihukum mati secara keji dan mengenaskan oleh kekuasaan politik. Padahal penguasa yang memenjarakan dan menghukum mati Al-Hallaj itu tidak mengetahui maksud perkataan Al-Hallaj itu. Tapi karena penguasa saat itu juga mabuk kepayang maka terjadilah seperti itu. 

Nah, Neno Warisman barangkali juga termasuk yang sedang ekstase, mabuk cita-cita, agar di pilpres 2019 ini nanti Jokowi kalah, sehingga Prabowo yang menjadi presiden. Coba perhatikan, tagar politik yang selama ini terkenal adalah “2019GantiPresiden” dan bukan tagar “PrabowoPresiden-2019.” Dilihat dari makna tagar “2019GantiPresiden” itu, artinya “yang penting 2019 ganti Presiden", "yang penting bukan Jokowi.” Tapi karena lawan tandingnya hanya Prabowo maka Prabowo lah yang dielu-elukan diharapkan menjadi pahlawan untuk menggantikan Jokowi.

Prabowo tidaklah seperti SBY yang tidak sekadar diharapkan masyarakat pendukungnya untuk mampu menghadang Megawati, tapi SBY itu juga dinilai gagah dan ganteng oleh banyak para wanita, menjadi idola, sesuai penilaian William Lidle, pengamat politik Indonesia saat itu. Prabowo adalah “alat” atau subyek tumpuan ganti presiden 2019 bagi para orang yang tidak menyukai Jokowi. Makanya para pendukung Prabowo tidak terlalu peduli amat siapa Prabowo itu.

Jika kemabukan massal itu terus berlangsung, ini akan menjadi NKRI = Negeri Kemabukan Rat-berat Indonesia. Oke. 

Selasa, 12 Februari 2019

Ahok Bisa Saja Jadi Presiden. Apalagi Hanya Wakil Presiden


 foto ini dari BanjarmasinPost.co.id yang nampaknya dari Oso TV ya? Embuh.

Sebenarnya saya malas menulis tema ini. Ini membicarakan nasib elite. Bukan kelas saya. Tapi rasanya juga tidak tega melihat banyaknya opini yang simpang-siur yang bisa membuat orang salah paham. Jadi saya pun membesarkan hatiku sendiri: "Bagy...Tak ada salahnya kamu urun rembug, siapa tahu berguna." Baiklah.

Selama ini saya banyak membaca di media sosial facebook, tentang kecurigaan bahwa pencalonan Mbah Kyai Ma’ruf Amin (MA) sebagai cawapres dipasangkan dengan Jokowi merupakan taktik untuk menaikkan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) sebagai wakil presiden pengganti Mbah Kyai MA di masa depan. Dalam amat hayalannya?

Sebenarnya kita ini tidak boleh berburuk sangka. Tapi karena yang dihadapi adalah realitas politik yang jauh dari lugu dan mungkin juga banyak ketidakjujuran, tidak hitam-putih, maka kecurigaan semacam itu muncul.

Ya. Jangankan untuk menjadi wakil presiden, Ahok itu bisa juga menjadi presiden. Selama Tuhan yang menakdirkan untuk itu. Iya nggak? Kecuali yang tidak punya keyakinan dengan kekuasaan Tuhan ya tidak percaya itu. Nggak usah melihat baik buruknya seseorang ya untuk melihat kansnya menjadi presiden. Kita tengok sejarah. Ada orang baik semacam Ratu Shima, Nabi Daud dan Nabi Sulaiman yang menjadi raja. Ada pula orang jahat seperti Namrud, Fir’aun dan Abrahah yang menjadi raja. Semua kan karena Tuhan mengizinkannya. Jadi, Ahok yang baik menurut para pendukungnya dan tidak baik karena menista agama menurut lawan-lawannya, bisa saja “diangkat” menjadi Presiden Indonesia oleh Tuhan.

Sekarang, tiba saatnya saya membahas dari segi hukumnya, apakah Ahok memang bisa menggantikan Mbah Kyai MA, seandainya memang Jokowi – Mbah Kyai MA terpilih di tahun 2019 ini nanti. Maaf, para pendukung Prabowo – Sandi jangan cemberut membaca hayalan ini. Kan masih April nanti, segala sesuatunya bisa terjadi, termasuk gagal semua karena sesuatu sebab. Kita doakan semuanya lancar demi keberlangsungan republik para koruptor yang harus ditlateni ini.

Dengan banyaknya komentar tentang kecurigaan itu, saya sebenarnya berharap ada pakar Hukum Tata Negara yang menjawabnya. Tapi kok ya belum ada ya? Makanya saya yang bukan pakar, tapi cuma “orang hukum” pinggiran, dengan gemetar karena belum makan malam, akan berusaha menjawabnya.

Sebenarnya jawabannya gampang, wong tinggal membaca pasal-pasal peraturan perundang-undangan. Tapi mungkin cara menafsirkan ketentuan peraturan perundang-undangan itu yang memang membutuhkan bekal ilmu hukum, ilmu tafsir. Bukan tafsir Al-Quran loh ya, meskipun ada beberapa kemiripan metoda.

Kalau di dalam ilmu tafsir Quran itu ada faktor asbabunnuzul (sebab turunnya ayat) sebagai salah satu dasar untuk memahami makna suatu ayat Quran, pun di dalam ilmu tafsir hukum ada tafsir historis dengan meneliti riwayat maksud pembuat peraturan. Dalam ilmu tafsir Quran juga harus ada bekal ilmu nahwu shorof. Dalam ilmu tafsir hukum juga ada pemahaman sususanan gramatikal dan makna leksikalnya.

Tapi untuk menafsirkan ketentuan hukum tentang syarat-syarat calon presiden dan wakil presiden serta tatacara pemberhentian dan pemilihan serta pengangkatan pengganti presiden dan wakil presiden, tidak membutuhkan ilmu tafsir yang rumit. Biasa saja.

Jadi begini ya. Mari kita tengok UUD 1945. Jangan hanya nengok UUD lainnya, yakni untung, untung dan duit. UUD lainnya itu penting, tapi UUD 1945 juga tak kalah penting. Gara-gara tidak memahami UUD 1945 maka orang tidak tahu apa saja hak dan kewajiban konstitusionalnya, tidak tahu bagaimana hukum dasar mengatur negara ini. Padahal saya sendiri ya tidak paham-paham amat, karena setelah membacanya jadi lupa. Maklum daya memori kurang sip dan IQ tidak pernah dites. Mau tes IQ ya malu. Jangan-jangan cuma di bawah 100. Gak mbois.

Maaf Mbah Kyai MA, saya doakan Mbah Kyai seger waras, sehat selalu dan panjang umur. Ini saya hanya membuat pengandaian, hayalan, dengan tujuan agar orang-orang yang curiga atau yang bertanya-tanya mendapatkan kejelasan. Andai saja nanti Mbah Kyai MA saat menjadi wapres kok ternyata tidak bisa menjalankan tugasnya, atau mungkin karena wafat, maka MPR akan memutuskan pemberhentiannya. Lalu apakah benar bahwa Ahok langsung dapat diangkat menjadi penggantinya? Tidak. Mengapa kok tidak bisa langsung?

Ayo kita buka UUD 1945. Baca Pasal 8 ayat (2). Di situ ditentukan: “Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu 60 hari, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.”

Nah, jelas ya bahwa mengangkat wakil presiden pengganti itu adalah urusan MPR. Terserah MPR. Andaikan dua calon wakil presiden yang diajukan oleh Presiden itu tidak disetujui oleh MPR maka ya terpaksa Presiden harus mengajukan calonnya lagi. Tapi untuk detilnya juga harus membaca Peraturan Tata Tertib Sidang Paripurna MPR yang dibuat oleh MPR.

Saya mengandaikan bahwa suatu saat Ahok (dan satu orang calon wakil presiden lainnya) diajukan oleh Jokowi selaku Presiden, untuk menggantikan Mbah Kyai MA selaku Wakil Presiden. Apakah MPR akan pasti memilih Ahok? Mungkin karena koalisi pemerintah yang berkuasa menguasai MPR?
Jadi begini. Anggota MPR adalah anggota DPR ditambah dengan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah).  Sebagai pendekatan saja ya. Untuk periode 2014-2019, anggota MPR berjumlah 692 orang terdiri dari 560 anggota DPR dan 132 anggota DPD.

Nah, untuk partai penguasa dan koalisinya adalah PDIP 109 orang, Golkar 91 orang, PKB 47 orang, PPP 39 orang, NasDem 36 orang dan Hanura 16 orang. Total 338 orang. Ternyata jumlahnya kurang dari separoh jumlah anggota MPR. Tapi kita belum bisa memetakan suara DPD berlabuh ke mana. Kita juga belum tahu bagaimana hasil pemilu DPR dan DPD tahun 2019 ini. Jadi semuanya masih berada di angkasa yang mendung di musim hujan ini. Belum klir.

Baiklah. Sekarang saya akan membawa pada persyaratan yuridis calon wakil presiden. Mari baca Pasal 169 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Di pasal tersebut ditentukan 20 butir syarat-syarat untuk dapat menjadi calon presiden dan wakil presiden.

Nah, rupanya Ahok tersandung di syarat huruf p yang menentukan: “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.” Jadi, di pasal ini jelas bahwa yang menjadi ukurannya “bukan berapa tahun hukuman penjara yang dijatuhkan oleh Hakim”, tetapi “berapa lama ancaman hukuman pidana penjara” dari tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana, yang diputuskan oleh Hakim.

Ahok telah divonis melakukan tindak pidana Pasal 156 a KUHP yang memuat ancaman pidana 5 (lima) tahun penjara. Meskipun Hakim menghukum Ahok dengan pidana penjara selama dua tahun. Sekali lagi, yang dijadikan ukuran bukan lamanya hukuman yang dijatuhkan oleh Hakim, tetapi lamanya ancaman hukum pidana terhadap tindak pidana yang dilakukannya.

Pasal 156 a KUHP buatan Sukarno itu (UU No. 1/PNPS/1965) menentukan: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan pada pokoknya bersifat pemusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”

Nah, dengan demikian Ahok tidak memenuhi salah satu syarat untuk menjadi calon wakil presiden, sehingga tentunya MPR dalam verifikasinya tidak akan menerima pencalonan Ahok untuk menggantikan Mbah Kyai MA sebagai wakil presiden. Jika MPR melanggar itu, ya akan bisa didemo berjilid-jilid. Jangankan cuma dua atau tiga jilid, mau demo seribu jilid juga sah-sah saja, tidak ada masalah. Toh demonya juga baik-baik, tertib, tidak merusak kantor redaksi koran, tidak membakar gedung pemerintah, tidak menumbangkan pohon-pohon yang tak berdosa. Ingat nggak? Hehe....

Secara pribadi sebenarnya saya tidak setuju penggunaan Pasal 156 a KUHP ini secara langsung. Seharusnya ada tahap-tahap non-hukum pidana yang dilakukan. Kecuali jika seseorang setelah dilakukan upaya-upaya pendamaian dengan umat tapi dia masih songong wal arogan menghina-hina agama orang lain atau agamanya sendiri (yang tentu dianut banyak orang), maka dia pantas dimasukkan RSJ, bukan dipidanakan. Mungkin jiwanya labil.

Demikian tanggapan singkat terhadap hayalan tentang Ahok dan Mbah Kyai MA. Para pendukung Ahok masih tetap berhak berdoa agar Ahok bisa menjadi presiden Indonesia, sebab toh hukum juga tidak mustahil untuk berubah.

Pun para lawan Ahok juga berhak berdoa agar Ahok hidup bahagia menjadi artis dan pengusaha, tidak perlu menjadi presiden dan wakil presiden.

Apa sih jabatan presiden dan wakil presiden? Wong cuma pelayan rakyat saja kok. Belum lagi kalau jadi presiden dan wakil presiden tapi hidup dibohongi sama orang-orang pintar dan licik di sekelilingnya, dimanfaatkan. Jadi kehilangan kewibawaan juga. Tapi itu hanya terjadi di negara Pinguin sana. Di Indonesia ini presidennya hebat-hebat.

Daripada ramai-ramai ribut dan tidak mampu memunculkan para calon presiden yang berkualitas  tinggi, karena sistem dominasi partai politik yang juga butuh kapital besar dalam berpolitik, ya mending yang jadi presiden Indonesia ini giliran saja per provinsi. Raja Malaysia juga digilirkan kan? Tapi apa mau para politisi DPR dan DPD itu mengubah UUD 1945 untuk menerapkan sistem giliran itu? Sudah, ini jangan ditanggapi serius!