Selasa, 01 April 2014

Putusan MK Hadiah untuk Lapindo?

(Dimuat Jawa Pos, 28 Maret 2014)

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materiil UU No. 15 Tahun 2013 tentangi Perubahan UU No. 19 Tahun 2013 tentang APBN (UU APBN-P Tahun 2013), yang diajukan oleh korban Lapindo dalam Peta Area Terdampak (PAT) yang menjadi tanggung jawab Lapindo Brantas Inc. (Lapindo).
Jika diringkas, inti amar Putusan MK No. 83/PUU-XI/2013 tersebut menyatakan bahwa Pasal 19 ayat (1) huruf a UU APBN-P Tahun 2013 bertentangan dengan UUD 1945 sehingga akibatnya ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa Negara dengan kekuasaan yang ada padanya harus dapat menjamin dan memastikan pelunasan ganti kerugian sebagaimana mestinya terhadap masyarakat di dalam PAT oleh perusahaan yang bertanggung jawab untuk itu.

MK memandang bahwa dikotomi hukum antara korban dalam PAT yang menjadi tanggung jawab Lapindo dengan korban yang berada di luar PAT yang menjadi tanggung jawab negara telah menyebabkan absennya negara, terjadi ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, terjadi kesenjangan terhadap dua kelompok korban tersebut. Negara mempunyai kewajiban mengeliminasi kesenjangan itu.

Namun MK tidak memberikan pertimbangan secara eksplisit tentang bagaimana cara negara menjamin dan memastikan pelunasan ganti kerugian untuk korban dalam PAT tersebut. Untuk itu, diperlukan interpretasi dalam pengambilan kebijakan oleh negara. Namun karena pengujian tersebut terkait dengan UU APBN, maka dapat diambil inti maksud putusan MK tersebut, yakni: APBN juga harus dianggarkan untuk pelunasan korban Lapindo dalam wilayah PAT tersebut.

Dengan demikian, hal itu menjadi kabar gembira bagi para korban Lapindo dalam PAT yang selama ini nasibnya masih belum beres karena Lapindo masih terus ngapusi (ingkar janji) karena alasan ketidakmampuan finansial. Sekaligus hal tersebut juga menjadi kabar gembira bagi Lapindo, hadiah bagi Lapindo yang selama ini berusaha memperoleh “dana talangan” alias utangan dari pemerintah guna melunasi kewajibannya tersebut.

Tetapi hal itu juga menjadi kabar yang tidak enak bagi mereka yang menentang kebijakan pemerintah yang dianggap memanjakan Lapindo. Belum lama ini beberapa warga negara Indonesia (Letjen Marinir (Purn) Suharto, dkk.) juga mengajukan uji materiil UU No. 4 Tahun 2012 tentang Perubahan UU No. 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012. Mereka tidak sepakat jika negara melalui APBN harus dibebani untuk menanggung tanggung jawab Lapindo. Namun permohonan tersebut ditolak oleh MK dalam putusannya No. 53/PUU-X/2012 dengan alasan bahwa negara wajib menyelesaikan masalah korban Lapindo.

Dalam pertimbangan hukumnya, waktu MK masih tidak menyoal dikotomi hukum antara warga korban dalam PAT dengan warga korban di luar PAT. MK menyatakan bahwa terlepas apakah semburan lumpur Lapindo itu diakibatkan oleh bencana alam atau bukan, terdapat tanggung jawab perusahaan, yaitu Lapindo yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, dengan membayar ganti kerugian dengan membeli tanah dan bangunan milik rakyat yang rusak akibat lumpur Lapindo dan tanggung jawab negara di luar PAT (hal. 83). Intinya, MK membenarkan ketentuan UU APBN yang mengalokasikan dana ganti kerugian kepada korban Lapindo yang berada di luar PAT.

Bagi rakyat Indonesia dan bagi korban Lapindo, istilah di dalam dan di luar PAT sebenarnya juga merupakan istilah yang menyesatkan. Mengapa sampai muncul kebijakan berupa Perpres No. 14/2007 tentang BPLS yang beberapa kali diubah, yang memberikan istilah di dalam PAT dan di luar PAT?

Hal itu berkaitan dengan riwayat melemahnya kebijakan Presiden SBY, yang semula mengeluarkan Keppres No. 13/2006 tentang Timnas Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo, yang membebankan seluruh biaya penyelesaian yang dilakukan oleh Timnas tersebut kepada Lapindo. Namun tahun 2007 kebijakan Presiden SBY itu berubah, dengan membagi beban antara negara dengan Lapindo, dengan membuat garis pisah antara PAT dengan luar PAT. Meskipun akal sehat mengatakan bahwa di luar PAT itu juga wilayah area terdampak, sehingga yang paling tepat istilahnya adalah PAT yang ditanggung Lapindo dan PAT yang ditanggung negara.

Persoalan berikutnya adalah bagaimana pemerintah melaksanakan putusan MK No. No. 83/PUU-XI/2013 tersebut? Jika putusan MK ini dijadikan dasar bagi negara untuk menyusun APBN yang juga mengalokasikan dana pelunasan korban Lapindo dalam PAT  yang menjadi tanggung jawab Lapindo tersebut, maka negara harus merancang dan melaksanakan penagihan kepada Lapindo. Jangan sampai kasus tersebut menjadi legalisasi korupsi, di mana negara tekor dan Lapindo dilepaskan dari tanggung jawabnya.

Rancangan kebijakan pemerintah tersebut juga tentang teknis pelaksanaan di lapangan. Bagaimana kelanjutan Perjanjian Ikatan Jual Beli (PIJB) tanah antara PT. Minarak Lapindo Jaya (perusahaan yang ditugasi Lapindo untuk membeli tanah korban dalam PAT)? Apakah setelah dilunasi oleh pemerintah dengan menggunakan dana APBN maka PIJB tersebut dilanjutkan dengan pelepasan hak atas tanah kepada Lapindo, ataukah pelepasan haknya menunggu Lapindo melunasi kewajibannya kepada negara?

Apakah pelaksanaan putusan MK tersebut dapat dilakukan dengan cara cessie (pengalihan piutang) antara korban Lapindo yang belum dilunasi tersebut dengan pemerintah, baik pusat maupun daerah? Setelah dilakukan cessie, bagaimana dengan status tanah yang sebagian telah dibayar oleh Lapindo?

Apakah nilai tanah bekas milik korban Lapindo akan ditaksir harganya secara keseluruhan di mana sebagian akan diserahkan kepada Lapindo (untuk diberikan hak kepadanya) senilai dengan uang yang telah dibayarkannya kepada korban Lapindo dengan menggunakan metoda perbandingan luas, sebab sulit dengan cara metode penentuan harganya yang mungkin masih jatuh?

Ataukah pemerintah berani memailitkan Grup Bakrie agar dapat dilakukan sita dan lelang terhadap harta kekayaannya untuk melunasi kewajibannya, dengan menggunakan doktrin piercing the corporate veil dengan melihat siapa yang menjadi dalang Lapindo, sebab Lapindo yang didirikan di Amerika Serikat hanya sebuah unit bisnis khusus dari holdingnya?

Terpaksa pemerintah harus menanggung keruwetan yang sejak semula memang sudah seperti benang kusut. Andaikan negara ini tegas menghukum Lapindo bertanggung jawab tanpa harus disuruh membeli tanah korban Lapindo mungkin tidak akan menemui keruwetan-keruwetan teknis.

Minimal ada tiga hal yang mesti disusun dalam kebijakan hukum setelah putusan MK tersebut, yakni: 1. Korban Lapindo segera diselesaikan masalahnya; 2. Negara tidak dirugikan; dan 3. Lapindo diberikan sanksi karena telah melanggar hukum.