Kamis, 29 Mei 2008

Dua Tahun Lumpur Lapindo

Saya masih ingat betul ketika Bupati Sidoarjo dan Gubernur Jawa Timur mengatakan bahwa pengungsi pasar porong baru sekitar 600 kepala keluarga itu melanggar HAM para padagang pasar Porong Lama yang seharusnya akan menempati pasar Porong Baru. Bahkan para pejabat itu mengkhawatirkan, bagaimana jika sampai terjadi konflik antara para pengungsi pasar Porong Baru dengan para pedagang pasar Porong Lama. Pernyataan itu untuk merespon konklusi Komnas HAM bahwa pemerintah dan Lapindo telah melanggar HAM warga korban lumpur Lapindo.

Kebetulan saya diajak Komnas HAM melakukan pemantauan dan investigasi, berkeliling. Ketika kami meminta keterangan pengurus Himpunan Pedagang Pasar Porong Lama, ternyata mereka memberikan tanggapan yang jauh diluar perkiraan para pejabat itu. Para pedagang pasar Porong Lama ternyata mempunyai hubungan emosi yang kuat dengan para pengungsi pasar Porong Baru. Mereka merasa sama-sama korban Lapindo, sama-sama senasib, mengeluh kepada Komnas HAM soal berbelit-belitnya Lapindo. Bahkan para pedagang pernah meminta dispensasi retribusi kepada Pemkab Sidoarjo tetapi ditolak, padahal dagangan mereka semakin tidak laku karena situasi kasus lumpur Lapindo yang bertambah parah itu.

Itu sedikit gambaran apa yang terjadi di balik pernyataan para pejabat yang sesungguhnya kurang bisa menyelami hati dan perasaan rakyat dalam kasus lumpur Lapindo itu.

Gubernur Imam Utomo lebih memilih tunduk kepada presiden dibandingkan tunduk pada undang-undang. Ia diberi wewenang melakukan paksaan pemerintahan oleh UU No. 23/1997 (pasal 25) tapi tak digunakan. Bupati Win Hendrarso juga lebih tunduk kepada presiden dibandingkan kepada undang-undang. Ia diberi amanat atau kewajiban urusan pemerintahan di soal lingkungan hidup dan sosial oleh UU No. 32/2004 (pasal 14) tapi malah mengabaikannya.

Presiden SBY juga memaksa seluruh rakyat Indonesia menyangga beban tanggung jawab Lapindo yang bos besarnya duduk di kabinetnya, dengan Perpres No. 14/2007 melalui dana APBN yang tak terbatas sampai dengan kapan semburan lumpur itu akan berhenti. Rakyat yang dikalahkan.

Dalam perjalanan kami juga menemukan fakta kematian dua orang warga Siring Barat akibat semburan gas dan lebih dari 10 orang termasuk anak-anak harus dirawat di rumah sakit gara-gara menghirup gas beracun.

Dalam areal yang sangat luas kami melihat penderitaan bertebaran, paradoks dengan kemewahan kekayaan Abu Bakrie Al-Lapindo, sang bos besar lumpur Lapindo yang menjadi orang paling kaya di Asia Tenggara. Sementara itu, tak jauh dari derita kolosal itu ada lebih dari 30 sumur Lapindo yang setiap hari menyedot gas bumi di Blok Brantas.

Dua tahun ini korban lumpur Lapindo dan rakyat Indonesia menderita sesak nafas nasib, akibat kepengurusan negara yang oligarkis, tidak memberi tempat kepada rakyat untuk hidup lebih baik.

Ditambah lagi penaikan harga BBM yang seolah merupakan satu-satunya cara dan tak ada akal lain selain kebohongan itu. Ini juga akan semakin membebani masyarakat korban lumpur Lapindo.

Merespon penaikan harga BBM itu, anak-anak muda menghendaki agar negara melakukan nasionalisasi kekayaan migas Indonesia yang dijadikan bahan permainan korporasi asing. Sebuah kehendak yang realistis dan mencerminkan ke-Pancasila-an anak-anak muda itu. Menyerahkan nasib rakyat dan kekayaan alam kepada asing adalah perbuatan yang tidak bertanggung jawab, mengkhianati Pancasila.

Lalu kita bertanya: bagaimana pemerintah bisa berani melawan korporasi asing yang didukung oleh negara-negara asal mereka jika melawan Lapindo saja tidak berani dan kalah?

Perubahan yang kita inginkan tak cukup dengan jalan reformasi yang gagal itu. Dalam sejarah perubahan dunia ini cara yang paling ampuh untuk perubahan yang lebih baik adalah: REVOLUSI.

Hari ini kita terpaksa tak menyalakan dua lilin indah di malam penuh bau gas menyengat, tapi menyanyikan tembang parau dalam suara yang kelu, tentang masa depan negara ini yang tampak jauh, samar-samar terhalang oleh tabir konspirasi.

Selasa, 27 Mei 2008

KEBOHONGAN SUBSIDI BBM DI NEGARA TERJAJAH

PROBLEM:

- Mengapa harga BBM dinaikkan?

- Benarkah adanya subsidi harga BBM?

- Apa solusi masalah BBM?

Kalkulasi produksi dan konsumsi minyak bumi Indonesia (metode Kwik Kian Gie)


Biaya

US $ / barrel

Jual

US $ / barrel

Untung /

Rugi (US$)

Jumlah

Untung/hari

(US $)

Produksi

15

77

62

1.000.000

62.000.000

Impor

140

77

- 63

200.000

-12.600.000

Untung





49.400.000

Dengan kurs 1 US $ = Rp. 9.200,- maka keuntungan minyak Indonesia per hari adalah sekitar Rp. 9.200,- x US $ 49.400.000,- = Rp. 454.480.000.000,-

Catatan pembanding:

- Indonesia impor minyak mentah rata-rata lebih 40 persen dari jumlah produksi minyak mentah Indonesia per tahun. Berdasarkan data Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), biaya impor minyak mentah lebih mahal 0,68-3,23 dolar AS per barel daripada harga ekspornya. Dalam kurun waktu 2000-2004 besar kerugian negara akibat perbedaan harga itu mencapai Rp 12,2 triliun. Makin lama, karena konsumsi BBM yang semakin tinggi, sedangkan produksi terus turun, perbandingan antara ekspor minyak mentah dan impor semakin dekat.

- LP3ES mencatat pada 2004 impor minyak mentah 406.000 barel per hari, sedangkan impor produk BBM 342.000 barel per hari. Untuk itu, berbagai kebijakan ekspor-impor minyak mentah kita perlu segera dikoreksi.

- Produksi minyak mentah Indonesia selama 2007 mencapai 0,910 juta barel per hari atau lebih rendah dibandingkan 2006 yang mencapai 1 juta barel per hari. Beban tersebut, antara lain, terlihat dari meningkatnya defisit APBN 2008. Tambahan total defisit APBN 2008 tersebut mencapai Rp 54,7 triliun dengan asumsi harga minyak USD 100 per barel . (Sunarsip, kepala ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI), dosen di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Jawa Pos, 17/3/2008).

- Konsumsi energi terus meningkat. Konsumsi BBM selama 2007 mencapai 378 juta barel, lebih tinggi dibandingkan 2006 sebesar 373 juta barel. Peningkatan konsumsi BBM domestik terutama terjadi untuk sektor transportasi yang didorong pertumbuhan penjualan kendaraan bermotor dan sektor listrik karena meningkatnya penggunaan energi untuk mendukung pertumbuhan kegiatan ekonomi. (Sunarsip, idem).

- Cost recovery migas yang pada 2006 lalu jumlahnya tak kurang dari US$7,5 miliar (hampir Rp. 70 trilyun!). Indikasi penyimpangan cost recovery sebesar Rp. 18,07 triliun yang ditemukan BPKP (Kompas, 24/1/2007) .

Alasan pemerintah menaikkan harga BBM: (sumber: Depkeu, 2008).

- Sejak setahun terakhir harga minyak dunia naik dua kaki lipat dari $ 60 dollar per barrel menjadi $ 120 per barrel pada bulan Mei 2008. Sedangkan harga BBM dalam negeri tidak berubah sejak Oktober 2005, yaitu harga Bensin Premium adalah Rp 4.500,- per liter, Solar Rp. 4.300 per liter, dan Minyak Tanah Rp 2.000,- per liter.

- Padahal harga sebenarnya (harga keekonomian internasional) dari Bensin Premium adalah sebesar Rp 8.600,- per litter, harga Solar adalah Rp. 8.300,- per liter, dan harga Minyak Tanah Rp 9.000,- per liter. Artinya subsidi yang ditanggung pemerintah, yaitu perbedaan antara harga dalam negeri dan harga sebenarnya untuk per liter Bensin Premium adalah (Rp 8.600,- - Rp 4.500,-) atau Rp 4.100,- per liter. Subsidi Solar adalah (Rp 8.300,- -Rp. 4.300,-) atau Rp 4.000,- per liter, dan subsidi minyak tanah adalah (Rp 9.000,- - Rp 2.000,-) atau Rp 7.000,- per liter .

- Pergerakan harga keekonomian BBM sangat dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak mentah di pasar dunia.

Catatan kritis :

- Apakah Indonesia pengimpor 100 % kebutuhan minyak dalam negeri? Tidak. Sehingga harga keekonomian internasional seharusnya hanya diterapkan pada impor minyak.

- Mengapa harus impor minyak, padahal kita ekspor minyak?

- Bukankah selain minyak Indonesia juga kaya sumber energi lainnya (batubara potensi sebesar 5 miliar ton, cadangan terbukti 5 miliar ton, gas alam yang terbukti 90,30 triliun kaki kubik (TCF), yang potensial 86,29, sehingga total 176,59 TCF: data dari Jaringan Advokasi Tambang / JATAM, 2006)?

KEKAYAAN MIGAS DUNIA:

Penghasil minyak bumi terbesar (Sumber: Wikipedia).

(Diurutkan berdasar jumlah produksi tahun 2005) dan total produksi1nya dalam juta barrel per hari

(Diurutkan berdasar jumlah yang diekspor di 2005) dan total ekspor dalam juta barrel per hari

Catatan:

1 Total produksi termasuk minyak mentah, gas alam, kondesat dan cairan lainnya.
2 Amerika Serikat mengkonsumsi seluruh minyak yang diproduksinya.
3 Yang dicetak tebal adalah negara-negara anggota OPEC.

Sumber: Statistika Energi dari pemerintah AS

Cadangan gas dunia (sumber: Wikipedia).

Total cadangan dunia (yang sudah dikonfirmasi) adalah 6,112 triliun kaki persegi. Daftar 20 besar negara dengan cadangan gas terbesar dalam satuan triliun kaki persegi (trillion cu ft) adalah:

  1. Rusia = 1,680
  2. Iran = 971
  3. Qatar = 911
  4. Arab Saudi = 241
  5. United Arab Emirates = 214
  6. Amerika Serikat = 193
  7. Nigeria = 185
  8. Aljazair = 161
  9. Venezuela = 151
  10. Irak = 112
  11. Indonesia = 98
  12. Norwegia = 84
  13. Malaysia = 75
  14. Turkmenistan = 71
  15. Uzbekistan = 66
  16. Kazakhstan = 65
  17. Belanda = 62
  18. Mesir = 59
  19. Kanada = 57
  20. Kuwait = 56

Total cadangan 20 negara diatas adalah 5,510 triliun kaki persegi dan total cadangan negara-negara diluar 20 besar diatas adalah 602 triliun kaki persegi.

Daftar ladang gas terbesar dalam satuan (*109 m³):

  1. Asalouyeh, South Pars Gas Field (10.000 – 15.000)
  2. Urengoy gas field (10.000)
  3. Shtokman field (3.200)
  4. Karachaganak field, Kazakhstan (1.800)
  5. Slochteren (1.500)
  6. Troll (1.325)
  7. Greater Gorgon (1.100)
  8. Shah Deniz gas field (800)
  9. Tangguh gas field , Indonesia (500)
  10. Sakhalin-I (485)
  11. Ormen Lange (400)
  12. Jonah Field (300)
  13. Snøhvit (140)
  14. Barnett Shale (60 - 900)
  15. Maui gas field (?)

RANKING KONSUMSI MINYAK DUNIA:

- Singapura: 59,5 barrel / orang / tahun (ranking 1) dengan GNP/kapita US $ 21.230,-

- AS: 25,8 barrel / orang / tahun (ranking 7) dengan GNP/kapita US $ 37.870,-

- Jepang: 15,6 barrel / orang / tahun (ranking 23) dengan GNP/kapita US $ 34.180,-

- Jerman: 12,4 barrel / orang / tahun (ranking 36) dengan GNP/kapita US $ 25.270,-

- Malaysia: 7,8 barrel / orang / tahun (ranking 47) dengan GNP/kapita US $ 3.880,-

- Botswana: 3,7 barrel / orang / tahun (ranking 87) dengan GNP/kapita US $ 3.530,-

- Namibia: 2,6 barrel / orang / tahun (ranking 98) dengan GNP/kapita US $ 1.930,-

- Indonesia: 1,7 barrel / orang / tahun (ranking 116) dengan GNP/kapita US $ 810,-

GNP (produksi nasional bruto) rata-rata setiap orang Indonesia berarti sekitar 810 x Rp. 9.200,- = Rp. 7.452.000,- / tahun atau dalam sehari = Rp. 7.452.000,- : 365 = Rp. 20.416,44.

(Tapi ternyata orang miskin absolut di Indonesia menurut data World Bank adalah sekitar 60 juta orang).

Perbandingan Harga Premium (bensin) di dunia:

Negara

US $ / liter

Rp / liter

Populasi

GNP/kapita/tahun

(US $)

Venezuela

0,05

460

26.000.000

3.490

Turkmenistan

0,08

736

5.000.000

1.120

Iran

0,09

828

68.000.000

2.010

Nigeria

0,10

920

129.000.000

350

Saudi Arabia

0,12

1.104

27.000.000

9.240

Kuwait

0,21

1.932

2.400.000

17.960

Mesir

0,25

2.300

78.000.000

1.390

Indonesia

0,65

6.000

220.000.000

810

Malaysia

0,53

4.876

24.000.000

3.880

Cina

0,64

5.888

1.300.000.000

1.100

AS

0,92

8.464

296.000.000

37.870

Jepang

1,01

9.292

128.000.000

34.180

INFO BISNIS SOAL SEBAB KENAIKAN MINYAK DUNIA (Antara, 24/05/08)

- "Sebanyak 85 juta barel adalah total produksi minyak yang bisa dihasilkan dunia sehari, padahal permintaan minyak dunia sehari 87 juta barel," kata T. Boone Pickens, spekulan minyak kelas atas AS yang dikenal di pasar energi global dan lingkungan pasar modal Wall Street, saat mengungkapkan alasan mengapa harga minyak dunia bakal terus naik.

- "Fundamental pasar yakni keseimbangan permintaan dan suplai memang sedang bermasalah. Tetapi faktor spekulasilah yang membuat harga minyak melonjak," demikian analisis Cambridge Energy Research Associates.

- "Ada bukti sangat kuat bahwa spekulasi skala luarbiasa besar telah membuat harga minyak meningkat tajam," klaim Senat AS dalam laporan bertajuk The Role of Market Speculation in Rising Oil and Gas Prices tertanggal 27 Juni 2006.

Catatan kritis: KEBOHONGAN SUBSIDI HARGA BBM

  1. Penguasaan migas nasional Indonesia dejure oleh Negara, tapi defacto dikuasai oleh korporasi asing (lebih dari 90 %). Maka data produksi migas Indonesia ‘PATUT DIRAGUKAN’, bisa jadi lebih besar daripada yang diumumkan pemerintah. INDONESIA MASIH TERJAJAH.

  1. Istilah SUBSIDI HARGA BBM itu adalah KEBOHONGAN sebab rakyat membeli BBM jauh di atas harga yang wajar. Contoh: hitungan biaya produksi bensin per liter adalah Rp. 630,- tapi dijual Rp. 4.500,- dan dinaikkan lagi harganya menjadi Rp. 6.000,- per liter. Pengertian HARGA SUBSIDI = HARGA BANTUAN. Sedangkan rakyat membeli BBM di atas harga wajar, malah memberi keuntungan besar kepada negara.

  1. Indonesia ekspor 70% batubara ke luar negeri, pengekspor gas likuid (LNG) terbesar di dunia, ekspor lebih dari 500 ribu barrel per hari minyak, tapi listrik sering padam, rakyat antri gas, minyak tanah dan bensin. Energi Indonesia untuk siapa?

  1. Perdagangan BBM diserahkan kepada korporasi asing seperti Petronas, Shell, BP, Caltex dan lain-lain mulai 23 November 2005. Harga BBM akan diatur oleh mereka, bukan pemerintah, apalagi rakyat.

  1. APBN tidak dibebani subsidi harga BBM (yang bohong itu), tapi justru dibebani oleh ‘subsidi’ kepada bank-bank rekapitulasi yang mencapai Rp. 645 triliun dan tahun 2008 ini obligasi serta biaya bank-bank rekap itu menggerus APBN sebesar Rp. 65 triliun. Selain itu APBN 2008 juga untuk membayar angsuran dan bunga utang yang setiap tahun mencapai sekitar Rp. 155 triliun. Padahal utang tersebut sudah masuk kategori black debt (utang haram) sebab terkait dengan kompensasi penguasaan sumber daya alam Indonesia oleh korporasi asing. (Silahkan juga dibaca Prof. Mubyarto, guru besar FE UGM dalam Ekonomi Terjajah (2006).

SOLUSI :

  1. PASTIKAN PENGELOLAAN KEKAYAAN SUMBER ENERGI (MINYAK & GAS BUMI, BATUBARA, DLL) DALAM PENGUASAAN NEGARA DEJURE & DEFACTO (NASIONALISASI).

  1. HANCURKAN KORUPSI DAN MAFIOSO PERMINYAKAN NASIONAL (BERKORELASI KE LUAR NEGERI).

  1. PASTIKAN PENGGUNAAN SUMBER ENERGI NASIONAL UNTUK KEPENTINGAN DALAM NEGERI LEBIH DULU (INWARD LOOKING ORIENTED).

  1. WAKTUNYA MENGEMBANGKAN ENERGI ALTERNATIF RAMAH LINGKUNGAN SECARA LEBIH SERIUS.

  1. GERAKAN NASIONAL DARI SELURUH UNSUR RAKYAT UNTUK MENDESAK PEMERINTAH MELAKSANAKAN KEBIJAKAN YANG MERDEKA DARI TEKANAN ASING DAN BENAR-BENAR BERORIENTASI PADA KEPENTINGAN RAKYAT.

SALAM PERJUANGAN !

Sumber data dan informasi:

- Tulisan Kwik Kian Gie,

- Wikipedia,

- Jaringan Advokasi Tambang,

- Koran Kompas,

- Republika online,

- Jawa Pos online,

- Antara online,

- Departemen Keuangan RI,

- Dan lain-lain.


Kamis, 22 Mei 2008

Hukum BBM, Kebohongan Subsidi dan Mafia Internasional

Minyak dan gas bumi (migas) merupakan sumber daya alam (SDA) yang oleh bahasa ekonomi disebut ‘kekayaan alam’ yang terbatas, tak dapat diperbaharui. Suatu saat migas akan habis dari perut bumi. Tak dapat dipungkiri bahwa migas merupakan sumber kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak, bahkan bagi masyarakat dunia. Ketika harga minyak mentah dunia mencapai di atas 100 dollar AS per barrel, ekonomi global menjadi panik.

Para pendiri Indonesia cukup cerdas ketika merumuskan pasal 33 UUD 1945 yang memberi aturan dasar bahwa SDA yang menguasai hajat hidup orang banyak ‘dikuasai negara.’ Pasalnya, kalau penguasaannya sampai jatuh ke tangan swasta maka nasib masyarakat banyak akan berada di tangan partikelir (swasta).

Tetapi tampaknya kecerdasan para pendiri Indonesia itu diotak-atik oleh para penerus pengurus negara ini. Istilah ‘dikuasai negara’ selanjutnya direformulasi maknanya, dengan mereduksi fungsi negara. Negara menguasai SDA yang menjadi hajat hidup orang banyak bisa dengan perijinan dan pengawasan. Negara tak harus menguasai dalam arti memiliki secara perdata. Sejak Pak Harto naik tahta sekitar 1967, liberalisasi ekonomi mulai dijalankan. Setelah menginjak reformasi, bukan reformasi yang terjadi tapi justru deformasi. Keluarnya UU No. 22/2001 tentang Migas semakin mengukuhkan cengkeraman korporasi asing atas kekayaan migas Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004 yang mengukuhkan UU No. 22/2001 tersebut juga menjadi alat pencengkeraman abadi oleh asing terhadap kekayaan migas Indonesia.

Ekonomi keserakahan

Hukum perminyakan nasional - bahkan hukum ekonomi Indonesia pada umumnya – telah terkontaminasi oleh doktrin ekonomi liberal yang mengajarkan bahwa negara tidak boleh campur tangan dalam ekonomi. Semuanya diserahkan kepada mekanisme pasar. Jika para pakar hukum meneliti cara kerja hukum ekonomi Indonesia maka mereka akan mendapatkan gambaran ‘hukum pasar’, yaitu hukum yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan pasar. Seolah-olah kebutuhan pasar adalah kebutuhan masyarakat. Namun kalau kita masuk lebih dalam ke jantung fenomena kultur market global maka kita akan mendapatkan kenyataan bahwa dominator pasar global adalah nafsu keserakahan yang tak peduli dengan humanisme. Para praktisi ekonomi mungkin juga mahfum bahwa ‘cara-cara hitam’ juga seringkali mewarnai praktik bisnis ekonomi.

Mari kita bandingkan antara kekayaan negara dengan korporasi. Sebagai salah satu contoh kecil, mari kita bandingkan keuntungan Exxon Mobil, salah satu korporasi Amerika Serikat (AS) yang beroperasi di Indonesia. Tahun 2007, Exxon membukukan keuntungan 40,6 miliar dollar AS (sekitar Rp. 373 triliun), padahal Exxon hanya ‘kutu kecil’ di Indonesia selain yang besar-besar seperti Cevron, Shell, ConocoPhillips, dan lain-lain. Sedangkan Pertamina sendiri hanya mengelola sekitar 8 persen migas nasional.

Korporasi-korporasi migas asing itu sangat diuntungkan oleh meroketnya harga migas dunia. Semakin tinggi harga minyak, semakin tinggi pula keuntungan mereka, sebab biaya produksinya relatif stabil (tidak naik). Pertanyaannya: lha wong yang punya minyak itu negara Indonesia yang dalam kontrak kerjasamanya berhak bagi hasil rata-rata 85 persen, tapi mengapa kok Indonesia menjadi terancam bangkrut gara-gara melambungnya harga minyak mentah dunia? Paradoks ekonomi seperti itu harus dipecahkan, bukan malah mengamini istilah ‘subsidi harga BBM’ yang sesungguhnya patut dipertanyakan itu. Misalnya, harga bensin saat ini Rp. 4.500,- per liter, padahal biaya produksinya sekitar Rp. 630,- per liter. Dari mana subsidi itu muncul jika rakyat harus membayar harga BBM lebih mahal daripada yang seharusnya mereka bayar? Yang disubsidi pemerintah itu rakyat atau korporasi produsen BBM? Rakyat dibohongi oleh hitung-hitungan para ekonom politikus pendukung penghisapan negara.

Celakanya, para ahli ekonomi pendukung kenaikan harga BBM itu tidak pernah secara kritis mempertanyakan: (1) dari mana asal angka subsidi BBM yang dikatakan pemerintah bisa mencapai Rp. 200 triliun itu? (2) mengapa kekurangan produksi minyak nasional tak pernah ditaksir dengan surplus produksi gas nasional? (3) bagaimana hasil kajian tingkat efesiensi nasional jika migas dikelola korporasi asing dibandingkan dengan apabila dikelola oleh perusahaan negara sendiri?

Perlu diketahui bahwa produksi minyak Indonesia rata-rata sekitar 1 juta barrel per hari. Sedangkan kebutuhan nasional rata-rata sekitar 1,2 juta barrel per hari. Jadi, kekurangannya adalah sekitar 200 ribu barrel per hari. Tetapi hitungan itu menjadi lain ketika sebagian besar (sekitar 60 persen) produksi minyak nasional diekspor. Jika demikian, mestinya ada devisa yang besar dari ekspor minyak tersebut. Belum lagi surplus kebutuhan gas nasional, di mana Indonesia merupakan produsen 35 persen dari total produksi gas dunia.

Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, tingkat konsumsi minyak rakyat Indonesia berada di peringkat 116 di bawah negara-negara Afrika seperti Namibia dan Bostwana (data Kwik Kian Gie, 2008) yang jarang terdengar di telinga kita. Berarti kita masih setara dengan negara-negara terbelakang itu. Artinya, produksi minyak Indonesia lebih banyak dikonsumsi asing, bukan oleh rakyat Indonesia yang sedang dilanda krisis energi ini.

Kalau kita tengok biaya produksi yang harus ditanggung oleh hasil produksi minyak (cost recovery / CR), rata-rata CR produsen minyak dunia maksimum sekitar 6 dollar AS per barrel (BPKP; Bisnis Indonesia, 24/1/2007). Sedangkan CR minyak Indonesia sampai dengan 15 dollar AS per barrel. Berarti CR di Indonesia selisih (lebih mahal) sekitar 9 dollar AS per barrel dari rata-rata CR di negara-negara produsen minyak lainnya. Coba kita ambil yang lebih rendah, misalnya selisihnya hanya 5 dollar AS per barrel, sehingga dengan lifting 1 juta barrel per hari maka dalam sehari kita kehilangan uang 5 dollar AS x 1 juta barrel = 5 juta dollar AS. Dalam setahun kita kehilangan 5 juta dollar AS x 365 hari = 1,825 miliar dollar AS.

Jadi, isu subsidi BBM kepada rakyat tersebut tampaknya hanyalah fakta yang ada di permukaan, merupakan kebohongan. Di balik fakta itu masih ada banyak kenyataan yang harus diungkap bahwa pengelolaan SDA migas nasional juga masih berada di tangan ‘para mafia internasional’ yang mempunyai kaki-tangan alias antek-antek nasional, yang tak jauh-jauh dari budaya korupsi Indonesia. Serangan kebohongan itu dari luar dan dalam. Seperti yang pernah saya dengarkan sendiri dari seorang guru besar, konsultan migas di Jakarta, yang mengatakan bahwa kita seringkali dipermainkan oleh asing dan pemerintah kita menjadi ‘penurut’ perintah asing. Kita masih terjajah.

Kekayaan Indonesia melimpah, tapi rakyatnya harus bersusah-payah. Kalaupun kekayaan itu hanya untuk memenuhi kebutuhan rakyat maka terlalu cukup dan berlebih-lebih. Tapi logika normal, akal sehat itu tak berlaku di sini. Hanya keserakahan yang membuat kita kehilangan banyak kekayaan dan hidup seolah-olah di negeri miskin yang tak punya apa-apa selain air mata. Mahatma Gandi berkata, dunia ini terlalu cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penghuninya, tapi tak akan cukup memenuhi keinginan satu orang yang serakah.

Harapannya, anak-anak muda tidak mewarisi mental terjajah, mental antek penjajah, tapi kelak mereka bisa menjadi para pemimpin negara yang benar-benar ngugemi Pancasila, punya perasaan yang kuat untuk memihak rakyat. Para kaum muda yang belajar teknologi juga harus mulai mencari cara: bagaimana agar peralatan yang kita gunakan sehari-hari tidak bergantung pada satu jenis energi, tapi dapat menggunakan berbagai jenis bahan energi, sehingga kelak bahan energi bukan lagi menjadi barang mahal yang bisa dijadikan alat para mafia ekonomi dunia untuk meremukkan bangsa Indonesia seperti sekarang ini. Kapan bangsa Indonesia bisa merdeka? Tergantung kesiapan mental bangsa ini.

Jumat, 16 Mei 2008

Harga BBM dan Harga Diri Bangsa

Hari-hari ini nafas Indonesia terasa sesak akibat meroketnya harga minyak mentah dunia yang mencapai 120 dollar AS per barrel. Pemerintah memutuskan akan mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM), yang berarti harga BBM akan naik. Kegerahan ekonomi mulai dirasakan, anak-anak muda mulai menggelar demo. Ada pihak yang menudingnya bahwa aksi demo itu ditunggangi. Politik biasa melontarkan kecurigaan.

Wacana pencabutan subsidi BBM dikaitkan dengan ‘kesalah-sasaran’ subsidi. Data Susenas tahun 2005 menunjukkan 82 persen subsidi jatuh kepada kelompok 60 persen berpendapatan teratas. Artinya, 18 persen subsidi tersebut jatuh kepada kelompok 40 persen terbawah. Seumpama benar hitungan pemerintah bahwa subsidi BBM saat ini bisa mencapai angka Rp. 250 triliun, berarti kelompok kaum kaya memperoleh subsidi Rp. 205 triliun dan sisanya Rp. 45 triliun untuk yang 40 persen berpendapatan terbawah itu. Yang kaya jelas konsumen terbesar BBM, sebaliknya yang miskin konsumen terkecil BBM. Berarti negara ini terancam bangkrut gara-gara kaum kaya?

Hitungan ekonom dan hukum

Ekonom Kwik Kian Gie tampak tampak kesal melihat cara pemerintah menghitung subsidi BBM. Menurut Kwik, dengan asumsi produksi minyak mentah Indonesia (lifting) 1 juta barrel per hari, dengan harga minyak mentah dunia 100 dollar AS per barrel, maka pemerintah Indonesia masih mempunyai kelebihan uang minyak sekitar Rp. 35 triliun. Kwik mengasumsikan bahwa Indonesia berhak atas 70 persen minyak produksi Indonesia. Biaya produksi (hingga pengangkutan) dihitung 10 dollar AS per barrel, atau dibulatkan sekitar Rp. 630,- per liter.

Jika dihitung dengan satuan liter (1 barrel = 159 liter) maka bagian Indonesia dari produksi minyak Indonesia adalah 70 % x (1,000.000 x 159 ) x 365 = 40.624.500.000 liter. Sedangkan konsumsi nasional adalah 60 milyar liter per tahun. Berarti kekurangan konsumsi nasional adalah 19.375.500.000 liter. Sehingga uang yang harus dikeluarkan pemerintah untuk impor minyak guna memenuhi kekurangan hitungan konsumsi nasional tersebut adalah: (19.375.500.000 liter : 159) x 100 x Rp. 10.000 = Rp. 121.900.000.000.000,- atau Rp. 121,9 triliun.

Ketika diambil dari harga minyak bensin premium per liter Rp. 4.500,-, berarti kelebihan harga premium per liter adalah: Rp. 4.500 – Rp. 630 (biaya lifting hingga pengangkutan) = Rp. 3.870,- . Sehingga total kelebihan uang bagi hasil minyak Indonesia adalah Rp. 35.316.815.000.000,- (Kwik Kian Gie, koraninternet.com, 11/4/2008). Apakah hitungan di atas kertas tersebut sesuai kenyataan?

Hitungan Kwik Kian Gie tersebut adalah yang mengambil angka bawah. Artinya, bahwa sesungguhnya secara normatif kita bisa menghitung lebih dari itu. Sebagai gambaran, PP No. 35/2004 tentang Kegiatan Hulu Migas (diperbaharui dengan PP No. 34/2005) juga menentukan kewajiban untuk menawarkan participating interest (partisipasi kepentingan) kepada daerah dalam usaha hulu migas. Maka bagian hasil nasional dan daerah untuk usaha hulu migas tentu di atas 70 persen. Bisa mencapai 85 persen.

Kwik berasumsi bahwa pemerintah Indonesia menerima bagi hasil minyak tersebut berupa minyak (bukan uang) yang dihitung berdasarkan lifting tersebut. Atau kalaupun harus dirupakan uang maka nilainya akan sama, menggunakan harga internasional. Berdasarkan kalkulasi tersebut seharusnya kita tak akan begitu terpengaruh dengan fluktuasi harga minyak mentah dunia.

Tapi kenyataannya bangsa Indonesia kelimpungan. Hasil yang diperoleh tak sesuai hitungan normatif. Mengapa? Penyebab mendasar dari semua itu – untuk saat ini - sesungguhnya bukan adanya subsidi BBM, tetapi ‘praktik’ pengelolaan kekayaan migas yang superlonggar kepada para investor. Persoalan klasiknya adalah penghitungan cost recovery atau biaya produksi yang diambilkan dari hasil produksi usaha hulu migas. Bolehlah di atas kertas kontrak menyebut bagi hasil untuk pemerintah adalah 85 persen (belum lagi bagian daerah selaku bagian partisipating interest minoritas), tapi ternyata hanya remah-remah yang diperoleh rakyat. Korporasi usaha hulu migas bahkan melaksanakan program tanggung jawab sosial korporasi kepada masyarakat atau corporate social responsibility (CSR) dengan dana yang dibebankan pada cost recovery.

Manipulasi tersebut - yang pernah ditemukan BPK dan BPKP – menyebabkan angka cost recovery minyak mentah Indonesia mencapai 9,03 dollar AS per barrel, sedangkan rata-rata cost recovery minyak mentah dunia sekitar 4 sampai 6 dollar AS per barrel. Jadi, cost recovery Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata negara produsen minyak mentah di dunia. Jika kita ambil selisih minimal 3 dollar AS per barrel, berarti Indonesia kehilangan hasil migas sekitar 3 dollar AS x 1.000.000 barrel per hari = 3 juta dollar AS per hari. Dalam setahun kita dirampok korporasi penambang migas 365 hari x 3 juta dollar AS = 1,095 miliar dollar AS. Tapi pemerintah terdiam seperti bebek kurang gizi.

Apakah itu tidak menunjukkan kita ini menjadi bangsa terhisap? Tak punya harga diri? Jadi, angka bagi hasil 85 persen yang tertulis dalam production sharing contract (PSC) merupakan angka imajinatif, angka bohong. Pemerintah memang mendapatkan 85 persen, tapi setelah hasil itu menjadi ampas, habis digerogoti keserakahan cost recovery.

Mari kita tengok juga kuota normatif untuk ketersediaan kebutuhan migas nasional. UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (migas). Pasal 22 ayat (1) UU No. 22/2001 tentang Migas menentukan: “Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan ‘paling banyak’ 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.” Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya nomor 002/PUU-I/2003, tanggal 21 Desember 2004 menyatakan bahwa kata “paling banyak” dalam pasal 22 ayat (1) UU No. 22/2001 tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum sebab dianggap bertentangan dengan pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Namun putusan MK tersebut masih menimbulkan probabiltitas politik ekonomi negatif sebab kuota penyerahan hasil produksi migas untuk kebutuhan nasional bisa saja tetap memakai angka 25 persen. Mau apa?

Kembali ke jalan benar

Benar bahwa subsidi BBM jangan sampai salah sasaran. Menyubsidi kaum kaya sama dengan nguyahi segoro (menabur garam di lautan). Padahal yang miskin masih terlalu banyak, ada jutaan orang. Silahkan pemerintah mencabut subsidi BBM, tapi khusus untuk kaum kaya. Caranya yang rumit, sebab kaum kaya dan miskin bisa membeli minyak dan kebutuhan lain di satu tempat. Jadi harus ada cara khusus. Misalnya kartu sosial (milik orang miskin) yang diterbitkan pemerintah yang dibuat belanja di tempat perbelanjaan, seperti kartu kredit atau kartu debit? Kaum miskin disubsidi biaya untuk kebutuhan hidup, pendidikan, dan kesehatan, sambil terus diurus agar tidak miskin terus. Bukan malah diusir dan ditembaki demi memberi tempat para investor.

Orang setengah kaya (tidak miskin) pun kesal jika harga BBM naik. Ekonomi juga biasa latah, kalau harga BBM naik semua ikut naik, padahal biaya produksi akan naik dan hampir mustahil para majikan menaikkan gaji para buruh. Nelayan yang memakai perahu ber-BBM juga akan mengeluh. Usaha penggilingan gabah akan menaikkan tarif giling padi bagi petani, dan seterusnya. Menaikkan harga BBM hari ini pasti menimbulkan kekacauan ekonomi baru, jumlah orang susah (miskin) bertambah. Bantuan tunai langsung tak akan bisa menanggulangi kemiskinan struktural, sedangkan bantuan beras miskin selalu dikorupsi, seolah tak ada cara menghentikan korupsi.

Pertama, harus ada langkah untuk menertibkan kegiatan usaha hulu migas Indonesia. Langkah paling moderat adalah seperti saran ekonom Joseph E Stighlitz: bernegosiasi ulang dengan pemodal agar PSC-PSC migas tidak merugikan Indonesia. Jika investor sulit dikendalikan maka langkah revolusioner ditempuh, yaitu nasionalisasi seperti yang dilakukan Bolivia dan Venezuela yang membawa berkah sebab setelah itu pendapatan migas mereka meroket naik dibandingkan ketika dikuasai asing. Jadi, kita tidak akan berputar-putar pada analisis ekonomi matematis yang tak pernah menyentuh masalah pokok pengelolaan migas nasional.

Kedua, kelangkaan migas pasti datang, harganya mahal, karena persediaan dalam bumi yang akan habis. Hari ini ada banyak sumber energi lain yang dapat digunakan tapi pasar teknologi yang menghambatnya. Apa dikira korporasi yang telah memproduksi massal kendaraan dan peralatan yang berbahan bakar minyak dan gas akan rela begitu saja adanya transformasi energi? Kaum kaya ini punya cara tersendiri untuk mengatur pola penggunaan energi suatu negara. Ini jaman tirani korporasi, kata David Korten dalam When Corporation Rule The World (1995). Penguasa dunia adalah NEO-KOMPENI.

Bagaimana kalau sekarang para teknokrat mulai mengembangkan peralatan, termasuk kendaraan (yang memerlukan bahan energi) yang multi suplai, bisa dijalankan dengan bahan bakar minyak, gas, tenaga surya, air (misalnya mulai ada teknologi ‘Banyu-Geni’), atau yang lain? Sehingga kelak migas, air, sinar surya, biofuel, dan sumber energi lainnya bukan lagi menjadi barang mahal? Jika sektor energi tetap dikuasai kompeni-kompeni, jangan harap teknologi bisa menjadikan rakyat mereguk kemudahan.

Jadi, kalau pemerintah harus menaikkan harga BBM sekarang, ini adalah pertarungan dengan rakyat, sama seperti masa-masa lalu. Sejak 10 tahun lalu hingga kini ekonomi rakyat Indonesia tak pernah secara riil membaik meski harga BBM dinaikkan. Mau berapa ratus kali harga BBM dinaikkan? Tapi tanpa menyentuh masalah dasar pengelolaan sumber kekayaan alam negara ini? Bagaimana Indonesia akan bangkit jika tidak berani mengambil langkah berani tersebut, untuk kembali ke jalan yang benar: membuktikan harga diri sebagai bangsa yang tak mudah dikibuli?

Bukankah yang sudah pasti bahwa akibat pertambangan itu rakyat di sekeliling tambang teracuni, terusir dan tambah miskin? Siapa pencaplok kekayaan rakyat itu? Mengapa bangsa kaya kok bingung ketika harga kekayaannya menjadi berlipat-lipat? Tidak tercapainya target produksi (lifting) bukan masalah pokok. Ini seolah hanyalah lelucon! Lelucon bangsa yang kehilangan kehormatan dan harga diri. Apa susahnya mengambil kekayaan bangsa sendiri dari tangan asing? Takut dengan lembaga penyokong NEO KOMPENI bernama WTO, World Bank, IMF, atau siapa? Takut kepada Amerika Serikat si korporatokrasi perusak dunia itu? Atau takut dengan mafia BBM? Wah... mana Pancasila sakti, kok terjajah terus?