Jumat, 09 November 2018

Membongkar Kejahatan Perkosaan Kepada Perempuan



Ilustrasi gambar: dari tehelka.com

Sekarang lagi ramai berita dan opini tentang kasus dugaan perkosaan di dalam tubuh UGM, sehingga UGM menjadi sorotan. 

Kaum lelaki memang kurang ajar. Laki-lakilah yang sering memperkosa. Daripada memperkosa, mbokyao mending dijepitkan ke pagar bambu sana, anumu! 

Ada juga, pernah seorang mahasiswi yang curhat kepada saya, dia mau diajak kencan dosen pembimbing skripsinya, tapi dia menolak. Dia curhat begitu ketakutan, tentang konsekuensi penolakannya itu apakah akan ada akibat terhadap kelancaran skripsinya. Saya bilang kepadanya, “Kamu tak usah cemas. Jika dia mempersulit skripsimu, saya akan menguliti kedoknya. Kamu sebut namaku di depannya, dia pasti akan bilang, “Siapa itu aku gak kenal, haha.....” Alhamdulillah kekhawatirannya itu tidak terjadi. Dia sekarang sudah sarjana.

Saya hendak berkisah tentang sebuah kasus dugaan perkosaan. Dahulu, kasus itu menjadi berita lokal yang cukup besar di Surabaya dan Gresik. Tapi karena kasus ini kasus rakyat kecil, ya tidak seheboh kasus perkosaan mahasiswa UGM yang gaungnya jadi internasional itu.

Jika tidak salah (saat menulis ini saya malas membongkar berkas), sekitar lebih dari tujuh tahun lalu, saya dimintai pendapat rekan kantorku untuk membela empat orang (anak) tersangka pemerkosa. Empat tersangka tersebut, yang dua orang berumur 16 tahun, yang dua orang berumur 18 dan 19 tahun. Korbannya seorang cewek berumur 21 tahun.

“Saya tidak mungkin mau menjadi pembela para pemerkosa. Biar saja mereka dihukum berat atas perbuatannya. Saya punya ibu dan anak perempuan. Saya bisa membayangkan betapa menderitanya perasaan perempuan korban perkosaan,” kataku. Aku menolak menjadi penasihat hukum empat tersangka yang sudah ditangkap dan ditahan.

“Jangan buru-buru menolak! Coba tanyai dulu mereka para tersangka itu. Ibu mereka yang datang kepadaku, menangis, meminta bantuan. Mereka orang-orang tidak mampu.” Saya biasanya kalau ada kalimat “orang tidak mampu membutuhkan bantuan hukum” ini jadi ingat kemiskinanku sendiri sejak lahir. Trenyuh.

Hatiku sedikit luluh. Aku datangi kantor polisi tempat empat tersangka itu ditahan. Kebetulan saya kenal dengan kepala unit kepolisian yang menjadi penyidik perkara ini. Saya dipersilahkan menemui empat tersangka itu. Masih remaja. Saya memandangi wajah-wajah yang lusuh dan letih.

“Kami diminta ibu kalian untuk bertemu dengan kalian. Mengapa kalian tega memperkosa seorang gadis? Itu perempuan. Ibumu juga perempuan kan?” tanyaku retoris.
“Tidak ada perkosaan Pak. Ini tuduhan bohong. Kami tidak memperkosa gadis itu.” Jawab tersangka yang berumur 19 tahun. Rupanya dia yang menjadi tersangka utama. Tuduhannya adalah “memperkosa dengan cara menggilir menyetubuhi korban.” Kejahatan yang sadis.
“Jika tidak memperkosanya, lalu apa yang kalian lakukan sehingga kalian ditangkap polisi dan ditahan di sini?” tanyaku.

Maka pemuda 19 tahun yang menjadi tersangka itu berkisah. “Pada mulanya saya sendiri Pak yang mengenal gadis itu. Dia bekerja sebagai penjaga toko asesoris HP. Saya bertukar nomor HP dengan dia. Saya seperti pacaran dengan dia. Lalu suatu saat saya janjian dengan dia untuk bertemu di sebuah tempat. Kami bertemu di tempat itu. Lalu saya SMS tiga teman saya ini, sehingga mereka datang. Saat itu saya memang meraba-raba tubuh cewek itu. Saya ngremponi dia (ngremponi = meremas payudaranya). Tadinya sebelum tiga teman saya ini datang, dia mau Pak. Tapi setelah teman-teman saya datang, dia tidak mau. Lalu teman-temanku ini ikut meraba-raba dia. Lalu ada seorang satpam yang lewat dan memergoki kami, sehingga kami lari.”

Saya pun bertanya kepada tiga tersangka lainnya itu. “Apa benar ceritanya seperti itu?” Maka tiga orang tersangka lainnya membenarkan cerita temannya yang paling gede itu.
Saya tidak percaya begitu saja. Saya menguji psikis mereka. “Baiklah. Saya percaya dengan kalian. Mungkin saya akan membela kalian, tapi dengan syarat bahwa saya yakin kalian tidak memperkosa cewek itu. Untuk itu, saya mau kalian bersumpah di hadapan saya dengan kalimat sumpah seperti ini: “Saya bersumpah, demi Allah, bahwa saya tidak melakukan perkosaan kepada gadis bernama ................ sebagaimana yang dituduhkan kepada kami. Jika sumpah saya ini tidak benar maka semogaa Allah mengutuk saya dan memberikan azab langsung, yaitu kami akan mati ditabrak truk jika perkara ini telah selesai diadili.” Bagaimana, kalian mau bersumpah seperti itu?”

Empat orang tersangka itu bersumpah di hadapan saya dengan sumpah yang kalimatnya telah saya tetapkan itu. Maka, saya menyanggupi menjadi penasihat hukum untuk membela mereka. Waktu itu saya berpikir, jika mereka tidak melakukan perkosaan maka mereka tidak boleh dihukum karena perkosaan. Tapi jika memerasi payudaranya dengan paksa, maka harus dihukum karena pencabulan. Jadi, hukuman harus dijatuhkan sesuai perbuatannya, bukan terhadap hal yang tidak dilakukannya.
Singkat cerita, kasus mulai disidangkan dalam sidang yang tertutup untuk umum, karena itu kasus asusila.

Gadis yang menjadi korban dihadirkan sebagai saksi korban. Terhadap pertanyaan majelis hakim dan jaksa penuntut umum, gadis itu menjelaskan bahwa dirinya telah diperkosa oleh empat orang terdakwa itu dengan cara disetubuhi paksa secara digilir, hingga peristiwa perkosaan itu berakhir setelah dipergoki oleh seorang satpam. (Hanya saja, sayangnya satpam tersebut tidak dijadikan sebagai saksi yang hadir dalam sidang perkara tersebut).

Saat tiba giliran saya bertanya, maka gadis korban tersebut saya berikan pertanyaan-pertanyaan guna menggali kebenaran keterangannya lebih lanjut.
“Saudari saksi korban... Sidang ini tertutup dan kami punya kewajiban menjaga kerahasiaan dari apa yang Anda terangkan. Jadi di sini bagi Anda tidak perlu ada ketakutan, kecemasan atau perasaan was-was. Saya ini seorang ayah dari anak saya yang juga perempuan. Saya punya anak perempuan. Saya bisa memahami rasa derita yang Anda rasakan. Saya turut prihatin dengan adanya kasus ini. Jika memang para terdakwa yang saya dampingi ini bersalah, mereka memang harus dihukum. Saya bukan pengacara yang asal membela orang, dalam arti jika klien saya bersalah ya harus dihukum,” kataku. “Maaf ya, saya punya pertanyaan dan ini pertanyaan sangat pribadi...  Apakah sebelum ada peristiwa perkosaan ini Anda sudah pernah punya pacar dan pernah melakukan hubungan badan?” tanyaku. “
“Saya belum pernah melakukan hubungan badan sebelumnya Pak,” jawabnya.
“Baik. Begini saudari saksi. Saya pernah membaca artikel tentang perempuan yang melakukan hubungan seks pertama kali di malam pertama setelah menikah. Katanya, bagi yang masih perawan ada yang mengeluarkan darah karena robeknya himen atau apa. Tapi ada juga yang tidak mengeluarkan darah. Maksud saya begini, pada saat Anda diperkosa oleh para terdakwa ini secara bergilir, saat itu Anda masih perawan, sesuai jawaban saudara tadi. Jika Anda digilir oleh empat terdakwa ini dalam perkosaan itu, maka saat itu ada keluar darah atau tidak dari vagina Anda?” tanyaku.
“Iya Pak, ada keluar darah dari vagina saya,” jawabnya.
“Nah, pada saat Anda mulai diperkosa, tentunya yang melepas celana dalam Anda adalah para terdakwa ini. Tadi Anda menerangkan bahwa perkosaan itu terhenti karena dipergoki oleh seorang satpam yang lewat di tempat kejadian. Para terdakwa ini lari, kabur. Lalu Anda ditolong oleh satpam itu. Pertanyaan saya, apakah setelah kejadian itu Anda sempat mengenakan kembali celana dalam Anda?” tanyaku.
“Iya Pak. Saya ambil celana dalam saya dan saya pakai lagi,” jawabnya.
“Apa warna celana dalam yang Anda pakai saat itu?” tanyaku.
“Warna krem Pak,” jawabnya.
“Anda tadi menerangkan jika vagina Anda berdarah setelah terjadi perkosaan. Lalu selanjutnya setelah peristiwa perkosaan berakhir, Anda mengenakan kembali celana dalam Anda. Selanjutnya setelah sampai di rumah, apa yang Anda lakukan dengan baju Anda, termasuk celana dalam itu?” tanyaku.
“Saya melepasnya Pak. Lalu dikemasi oleh ibuku. Lalu saya mandi,” jawabnya.
“Apakah Anda bisa melihat saat Anda melepas baju dan celana dalam Anda sewaktu di rumah itu, adakah bekas darah di celana dalam Anda?” tanyaku.
“Iya Pak. Ada bekas darahnya,” jawabnya.

Lalu saya meminta kepada majelis hakim untuk memerintahkan kepada jaksa penuntut umum guna menunjukkan dan memeriksa barang bukti, termasuk apakah celana dalam milik korban tersebut dijadikan barang bukti. Saya, korban, majelis hakim, jaksa dan para terdakwa bersama-sama di hadapan meja sidang memeriksa celana dalam milik korban.
“Saudari saksi.... Anda tadi menerangkan katanya ada bekas darah di celana dalam Anda. Benar ini kan celana dalam yang Anda pakai saat itu? Ternyata ini tidak ada bekas darahnya?” tanyaku.
Majelis hakim memerintahkan kami untuk kembali duduk di kursi kami masing-masing.
“Silahkan saksi menjawab pertanyaan penasihat hukum!” perintah Ketua majelis hakimnya.
“Iya Pak. Itu tidak ada bekas darahnya, karena sebelum diserahkan ke polisi celana dalam dan baju saya yang saya pakai waktui itu sudah dicuci oleh ibu saya,” jawab korban.
“Baiklah.. Pertanyaan saya selanjutnya adalah: Ketika terdakwa ini (saya menunjuk terdakwa yang umur 19 tahun) yang kata Anda pertama kali memperkosa Anda, saat terdakwa ini mulai menindih dan memasukkan kelaminnya ke vagina Anda, maka apa yang Anda rasakan pada waktu itu?” tanyaku.
Gadis itu diam sebentar, seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Lalu dia melihatku. (Setiap aku bertanya kepadanya aku selalu merendahkan suaraku dan tersenyum kepadanya, dengan maksud agar dia tidak merasa tertekan).
“Waktu itu saya tidak merasakan apa-apa Pak,” jawabnya. Saya mulai curiga dengan jawabannya itu.
“Pada saat Anda diperkosa, Anda sadar atau pingsan?” tanyaku.
“Saya sadar Pak,” jawabnya. Dia tampak mulia gelisah.
“Anda tidak merasakan apa-apa? Benar begitu? Bisakah Anda mengira-ngira dari rasa saat Anda ditindih dan diperkosa saat itu, apakah Anda bisa merasakan bahwa kelamin terdakwa ini masuk ke vagina Anda?” tanyaku.
Gadis itu diam sejenak. Lalu dia menjawab, “Ya rasanya dingin begitu Pak.”
“Tidak ada rasa nyeri?” tanyaku.
“Tidak Pak,” jawabnya.
“Setelah itu selanjutnya apa yang terjadi?” tanyaku.
“Ya itu Pak, setelah itu ada satpam lewat, lalu dia dan teman-temannya itu lari,” jawabnya.
“Loh.... Anda harus jujur loh ya. Tadi Anda menerangkan kepada Pak Hakim dan Pak Jaksa, katanya Anda ini diperkosa secara digilir oleh empat terdakwa ini? Kok sekarang keterangannya berubah? Kok jadinya hanya diperkosa satu terdakwa ini, terus dipergoki satpam, lalu para terdakwa lari. Jika demikian, anda hanya diperkosa satu orang terdakwa ini? Apakah begitu?”
Tiba-tiba terdakwa yang berumur 19 tahun menyela, “Dia memang bohong itu Pak! Saya juga tidak memperkosanya!”
Saya pun membentak terdakwa itu, “Diam kamu! Jika tidak disuruh bicara oleh Hakim, kamu jangan sembarangan menyela omongan!” semprotku dengan marah. Terdakwa itu pun diam menunduk.
“Silahkan Anda menjawab pertanyaan saya tadi. Jadi yang benar bagaimana? Saudara hanya diperkosa oleh satu orang terdakwa ini, atau digilir oleh empat terdaakwa ini?” tanyaku kepada gadis korban itu.
“Diperkosa oleh dia Pak. Teman-temannya itu tapi membantu memegangi saya,” jawab gadis itu.
“Baiklah. Jadi kalau begitu Anda tidak digilir oleh empat terdakwa ini ya. Berarti yang tiga hanya sebagai pelaku yang membantu perkosaan itu. Apakah benar begitu? Atau bagaimana?”
“Iya Pak. Teman-temannya hanya membantu memegangi saya,” jawabnya.

Setelah selesai memeriksa keterangan gadis korban tersebut maka ibunya yang berada di luar ruangan dipanggil masuk untuk memberi keterangan sebagai saksi. Setelah tiba giliranku bertanya, maka saya mengonfirmasi keterangan gadis korban tadi yang menerangkan peran ibunya yang katanya mencuci baju anaknya yang menjadi korban perkosaan tersebut.
“Saudari saksi kan ibu dari korban ya. Nah, pada waktu kejadian perkosaan Anda kan tidak mengetahuinya. Anda tahu saat anak Anda datang, katanya diantar oleh seorang satpam. Pertanyaan saya, saat anak Anda datang dalam keadaan demikian yang katanya habis diperkosa itu, maka apakah yang Anda lakukan untuk merawat dan menenangkan anak Anda tersebut pada malam hari itu?” tanyaku.
“Saya menyuruhnya segera  mandi Pak. Besoknya saya baru ke kantor polisi bersama dengan suami saya dan anak saya itu untuk melaporkan kejadian pemerkosaan itu,“ jawabnya.
“Ketika waktu itu Anda menyuruh anak Anda mandi, lalu siapa yang mengemasi bajunya, apakah anak gadis Anda sendiri, ataukah Anda?” tanyaku.
“Yang mengemasi bajunya ya saya Pak,” jawabnya.
“Apakah termasuk celana dalam yang dipakai saat perisitwa perkosaan itu?” tanyaku.
“Iya Pak,” jawabnya.
Lalu saya memohon untuk dilakukan pemeriksaan barang bukti celana dalam itu di muka sidang tersebut agar ibu korban tersebut melihatnya, dan dia membenarkan memang barang bukti tersebut adalah celana dalam dan baju korban yang dipakai saat terjadi perisitwa perkosaan tersebut.
“Apakah ibu pernah mencuci baju-baju anak ibu tersebut, termasuk celana dalamnya, sebelum diserahkan atau setelah diserahkan kepada polisi untuk barang bukti?” tanyaku.
“Tidak Pak. Malam itu saya kemasi bajunya, saya masukkan ke dalam tas plastik, lalu besok paginya saya bawa ke kantor polisi saat laporan masalah pemerkosaan itu dan saya serahkan kepada polisi tempat saya melapor itu Pak,” jawab ibu dari korban tersebut.
Dari keterangan saksi korban dan ibunya tersebut ada perbedaan. Korban mengatakan bahwa celana dalamnya terdapat bekas darah dan hilang bekas darahnya karena dicuci oleh ibunya, tetapi ibunya menerangkan bahwa dia tidak pernah mencuci celana dalam korban dan dalam pemeriksaan barang bukti di muka meja hakimnya ibu korban tersebut menerangkan bahwa memang celana dalam anaknya tersebut tidak ada bekas darahnya.

Pada akhirnya, majelis hakim perkara tersebut tidak yakin adanya peristiwa perkosaan secara bergilir. Saya setuju dengan pendapat majelis hakim bahwa dalam perkara tersebut yang terjadi adalah kejahatan pencabulan, sehingga terdakwa yang berumur 18 dan 19 tahun itu dihukum enam bulan penjara dan dua terdakwa yang berumur 16 tahun dihukum dengan pidana penjara enam bulan dengan masa percobaan selama satu tahun.

Hal yang hingga sekarang saya belum menemukan jawabannya adalah: mengapa kasus pencabulan itu dikonstruksikan seolah merupakan kasus perkosaan yang dilakukan dengan cara keji, yakni: diperkosa dengan cara disetubuhi bergilir oleh empat pelaku. Saya sempat mendapatkan informasi bahwa menjadi menjadi dalang skenario “pembengkakan” kasus itu adalah si anu... Tapi sayangnya saya kesulitan mendapatkan buktinya sebab saya sudah tidak bisa berkomunikasi lagi dengan keluarga korban setelah kasus itu diputus Pengadilan.

Kasus tersebut dramatis. Para orang tua remaja-remaja yang melakukan pencabulan itu didatangi oleh orang-orang yang mengaku pejabat, diintimidasi, disuruh membayar sejumlah uang dengan ancaman-ancaman. Tapi kami dengan telaten mendampingi dan mengarahkan mereka.

Kasus tersebut semula sudah menjadi berita media massa yang terkenal dengan isi berita yang memberi stigma seolah para pelaku telah melakukan perkosaan dengan cara yang kejam, yakni memperkosa secara menyetubuhi paksa secara bergilir empat orang. Tetapi setelah fakta-faktanya terungkap dalam persidangan dan setelah adanya putusan pengadilan, opini yang pertama kali muncul tentang adanya perkosaan secara keji itu tidak dapat dilenyapkan begitu saja. Kesembuhan luka sosial akibat informasi sesat itu berjalan perlahan-lahan seiring waktu berjalan.

Artinya begini, bahwa apa yang menjadi berita dan opini yang sudah terlanjur tersebar itu belum tentu merupakan opini dan berita yang menunjukkan kebenaran yang sejatinya, sebelum kebenaran itu benar-benar diuji dalam sebuah pemeriksaan yang fair dan berimbang.

Oleh sebab itu, saya menyarankan agar kasus perkosaan yang menimpa gadis UGM itu dibawa saja ke ranah hukum, agar dapat diuji secara fair untuk menemukan bagaimana kejadian yang sesungguhnya. Kasus tersebut bukanlah kasus tertangkap tangan, tetapi kasus yang kejadiannya tidak ada yang menyaksikan. Dibutuhkan teknik pemeriksaan yang mestinya harus dilakukan dengan cara-cara yang “kreatif” untuk membongkar peristiwa yang sebenarnya.

Mungkin nantinya putusan Hakim tidak akan memuaskan, tetapi dengan mengujinya melalui pemeriksaan yang fair di muka pengadilan maka di sana akan diperoleh fakta-fakta yang lebih jelas, daripada hanya menjadi gosip di medsos.

Pendamping korban harus meyakinkan korban atau keluarganya untuk meleporkan masalah itu ke Kepolisian, jika memang tim UGM yang telah melakukan investigasi tidak mau melaporkannya ke Kepolisian. Tapi tentu bukan dengan memaksanya.

Jika memang itu kejahatan, apakah itu kejahatan perkosaan ataukah pencabulan, harus dapat dipastikan. Ataukah jangan-jangan bukan keduanya? Korban perkosaan ataupun pencabulan harus direparasi hak-haknya, terutama mentalnya agar bangkit kembali bersemangat. Sebaliknya, korban kesesatan informasi juga harus direparasi haknya.

Orang yang melakukan kejahatan harus dihukum sesuai dengan perbuatan nyata yang dilakukannya, bukan dihukum dengan hukuman yang melebihi dari kadar perbuatan jahatnya. Itu salah satu prinsip keadilan.




Tidak ada komentar: