Sabtu, 16 Februari 2008

Pendidikan: Menebus Dosa, Menolak Balak

Opini Daniel M. Rosyid, pakar dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya (Jawa Pos, 12/1) pada intinya mengonklusikan bahwa bencana yang terjadi di negara ini akibat dari pendidikan yang buruk. Kita patut memberi apresiasi terhadap ‘pengakuan dosa’ dunia pendidikan itu. Asal saja bahwa pengakuan dosa di ruang publik itu tidak bernasib sama dengan pengakuan dosa komunitas hukum yang tak ada manfaatnya sebab tidak mengarah para perubahan moral yang lebih baik. Hukum tanpa integritas moral menyebabkan ‘bencana.’ Begitu pula dengan pendidikan dan demokrasi.

Guru kencing berlari

Sejak Orde Baru setiap siswa diberi pendidikan moral Pancasila (PMP). Karena dianggap gagal maka pendidikan melirik ke belakang, sebelum Orde Baru, memandang pentingnya pendidikan budi pekerti. Jika dilihat substansinya, PMP sesungguhnya adalah pendidikan budi pekerti Pancasila yang digali dari nilai luhur bangsa Indonesia. Setelah Orde Baru runtuh, nasib PMP hilang, berganti dengan pendidikan kewarganegaraan. Moral dicoba untuk dilokalisasi dalam sebuah negara (Indonesia). Padahal, moral bisa hidup tanpa negara, tapi negara akan hancur tanpa moral. Budi baik manusia tak akan terhalang batas negara. Hanya saja, penting menghidupkan nasionalisme yang telah runtuh.

Departemen yang membidangi pendidikan dinamakan Departemen ‘Pendidikan’ Nasional. Tetapi di sekolah-sekolah dilakukan ‘mengajar-belajar’. Hal yang diajarkan diistilahkan ‘matapelajaran’ atau ‘matakuliah’, dan bukan ‘matapendidikan.’ Apa beda pendidikan dengan pelajaran? Saya bukan ahli bahasa, dan ini juga bukan otak-atik kosa kata, tapi mari kita urai rasionalitasnya, sebab kedua terminologi itu menjadi istilah yuridis!

UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mendefinisikan pendidikan berikut (pasal 1 angka 1): “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 3).

Jadi, pendidikan Indonesia juga bermaksud dan bertujuan pada pembentukan moral dan keterampilan dalam konteks kepentingan pribadi, sosial, bangsa dan negara. Jika ada intelektual output sekolah, kampus atau pesantren yang sibuk mengurus diri-sendiri, tapi apatis dengan persoalan masyarakat, bangsa dan negara, berarti intelektual itu produk gagal pendidikan, intelektual yang ‘belum matang’ alias masih mentah. Apalagi jika intelektual itu menjadikan sekolah atau kampus sebagai ‘lembaga ekonomi’ yang memburu profit pribadi atau kelompok.

Proses pendidikan itu menurut UU No. 20/2003 melalui ‘belajar dan pembelajaran.’ Namun perlu diingat bahwa guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya dalam sistem pendidikan nasional disebut sebagai ‘pendidik’, bukan ‘pengajar.’ (pasal 1 angka 6). Konsekuensinya, pendidik tidak hanya ‘mengajari’ ilmu pengetahuan tapi juga menjadi contoh atau teladan bagi para siswa. Maka dalam dunia pendidikan dikenal peribahasa: “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.”

Jika Daniel M. Rosyid mengatakan bahwa ‘mendewakan’ matematika dan sains menjadi (salah satu) buruknya pendidikan di negara ini maka saya berpendapat lain. Menurut saya, persoalannya ada pada praktik pembelajaran ilmu pengetahuan yang dispesifikasi dalam tiap-tiap matapelajaran atau matakuliah di kampus-kampus (yang sudah tepat), tetapi menjauh dari orientasi tujuan pendidikan tersebut. Anak-anak didik selalu didorong sebagai ‘alat pemenuhan kebutuhan pasar.’ Siswa dipersiapkan menjadi ‘obyek’ faktor produksi. Orientasi itu menyebabkan ‘ketidakmandirian.’ Mereka terjebak dalam game theory yang memertaruhkan nasib. Dalam sebuah permainan, mau tidak mau ada yang menang dan kalah. Tak ada win-win games. Mereka tak paham apa itu nasionalisme. Maka, teori permainan di dunia pendidikan adalah pelajaran yang buruk.

Selama ini para siswa belajar matematika dan sains, tapi tak ada penanaman nilai moral atau akhlak mulia (yang bersifat sosial), serta orientasi kemanfaatan matematika dan sains bagi masyarakat, bangsa dan negara. Muncullah produk pendidikan yang tidak memunyai ideologi moralisme dan nasionalisme. Itu masih diperparah lagi dengan tabiat para pendidik yang sering meninggalkan tugas mendidik untuk kepentingan ‘pribadi’ yang akhirnya diketahui para siswa. Jadilah lomba kencing berlari antara guru dengan murid.

Azab

Sistem pendidikan nasional di negara ini termasuk bermaksud membentuk spiritual keagamaan. Para pendidik pasti paham bahwa agama memeringatkan kita bahwa dosa akan berbuah pada azab atau hukuman. Itu hukum Tuhan yang rasional. Dahulu, orang menganggap tak ada korelasi antara asap pabrik atau asap rokok dengan angin puting beliung. Tetapi akhirnya kita semakin dapat mengetahui bahwa asap pabrik dan asap rokok yang terakumulasi dengan penyebab lainnya mengakibatkan pemanasan global sehingga terjadi kekacauan iklim yang juga mengakibatkan angin puting beliung. Tapi para ulama tidak menanamkan pendidikan fikih ekologi yang didasarkan QS Ar.Rum 41. Masyarakat beragama Islam yang mayoritas di negara inipun tak paham apa itu dosa ekologis.

Kita semakin paham bahwa dosa-dosa dalam bentuk pembalakan hutan (legal dan ilegal), keserakahan pengambilan kekayaan bumi, korupsi pembangunan, penataan ruang semata demi uang dan lain-lain telah menimbulkan bencana banjir dan longsor di mana-mana, pulau-pulau kecil tenggelam, pergeseran lempeng bumi yang menimbulkan gempa dan tsunami. Benar ajaran agama yang mengabarkan: jika manusia-manusia baik (berakhlak) membiarkan kemunkaran terjadi maka bencana (azab) yang menimpa tak akan pilih-pilih lagi. Yang baik dan yang munkar tersapu.

Pendidikan yang buruk menciptakan ketidakmandirian, mengarahkan pada pembentukan generasi jongos. Jika China, Malaysia dan Singapura menjadi cerdas, tak hanya menjadi majikan di negara sendiri sebab BUMN mereka merangsek menguasai kekayaan bangsa lain, tapi Indonesia menyerahkan dirinya kepada asing. Bahkan Pertamina pun mengakui dirinya hanya diposisikan sebagai ‘mandor’ atas melimpahnya kekayaan migas di Indonesia. Kata ekonom Faisal Basri, kekayaan migas kita menjelma menjadi kutukan. ‘Dosa’ itu berlanjut pada penyusunan dan penataan ruang serta penatagunaan tanah yang bersifat mencemarkan dan merusak alam karena untuk memenuhi ‘keinginan’ investor. Kemiskinan terpelihara dijadikan kuli tebang dan angkut dalam pembalakan liar.

UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengawinkan pembangunan ekonomi dengan pelestarian ekologis untuk keberlangsungan hidup generasi sekarang dan mendatang, merupakan pedoman pembangunan yang memerhatikan sunatullah. Tapi pedoman itu selalu dibokongi dalam praktik pembangunan sebab output pendidikan yang memegang kendali pembangunan tak pernah paham konsep perkawinan ekonomi-ekologi. Mereka berusaha menceraikannya. Akibatnya bencana. Kita bisa membukukan dalam akuntansi pembangunan, bahwa kita telah menderita kerugian sebab hasil-hasil pembangunan yang kita peroleh selama ini tidak sebanding dengan besarnya kerugian ekonomi, sosial dan budaya, materiil dan imateriil, yang ditanggung masyarakat akibat bencana yang mendera selama ini serta di tahun-tahun mendatang. Azab itu benar-benar menimpa akibat dosa ekonomi, politik, hukum dan sosial.

Jika bangsa ini masih memunyai sisa kesadaran, dosa-dosa itu harus ditebus dengan reorientasi pembangunan, baik dalam bidang pendidikan, politik, ekonomi, sosial, budaya (termasuk hukum di dalamnya) agar tidak menabrak sunatullah, sebagai tolak balak. Kita mbangun nikah, memerbaiki hubungan perkawinan ekonomi-ekologi. Membangun bukanlah menghancurkan, tapi menjadikan keadaan semakin baik. Kebaikan tidak hanya dalam konteks materiil tapi juga spirituil sebagaimana yang dituju dalam sistem pendidikan nasional di negara ini. Kita membangun untuk memenuhi kebutuhan (needs), bukan memanjakan keinginan (wants). Dalam konteks bernegara, bukan bisnis pribadi atau kelompok. Jangan pula konsep ‘kerjasama’ akan menjadi konspirasi kejahatan sebagai yang digambarkan Plato tentang sisi buruk demokrasi, jika menganggap cara bernegara adalah permainan. Kita satu, dalam keragaman, sebagaimana negara ini menurut Prof. Soepomo merupakan faham negara integralistik.

Tidak ada komentar: