Senin, 09 Agustus 2010

Mengharap Badai, Agar Muncul Pelangi di Negeri Mimpi


Bismillah. Hanya karena kumpulan titik embun, cahaya matahari terurai hingga tampaklah jelas mana kuning, merah, jingga, ungu, hijau dan lain-lain dalam pelangi. Keanggunan pelangi yang menjulang tinggi di atas langit lantas dikira sebagai sebuah naga yang sedang meminum air di suatu danau, atau sebuah jalan para bidadari yang sedang mandi di telaga bumi. Entah siapa yang kali pertama mengatakan itu, tetapi kebanyakan orang jaman dahulu mempercayai cerita itu. Hingga kini kepercayaan itu masih tersisa di benak orang-orang tua yang tersebar di seluruh desa di negara ini.
            Kalau kepercayaan itu kali pertama terhembus dari kata-kata orang yang dipercaya masyarakat (raja atau pendeta) maka seharusnya mereka bertanggung jawab atas kebenarannya. Namun, kalau mereka sudah beratus-ratus tahun yang lalu mati, maka siapa sekarang yang harus bertanggung jawab untuk mengubah kepercayaan (alam pikiran) itu ke arah kebenaran?
            Kepercayaan tentang pelangi bersinggungan dengan ilmu pengetahuan. Aku ingat sewaktu masih anak-anak, ketika ada pelangi setengah lingkaran di langit Timur, aku bertanya kepada ibuku, “Pelangi itu apa Bu?” Ibuku yang miskin dan tidak pernah bisa sekolah itu menjawab, “Itu adalah jalan para bidadari yang sedang turun ke bumi untuk mandi di telaga.”  Sayangnya di desaku dan sekitarnya tidak ada telaga, yang ada hanya waduk, sehingga pupus harapanku untuk bisa mengintip bidadari yang sedang mandi.
            Di lain hari aku melihat pelangi yang tegak di langit di atas pepohonan hutan jati. Aku bertanya kepada ibuku, “Apakah itu juga jalan bidadari Bu?” Ibuku menjawab, “Bukan. Itu adalah sinar orang yang sedang bertapa.”
            Ketika aku mulai sekolah di SD, guruku menerangkan bahwa pelangi yang membentuk setengah lingkaran (dalam bahasa Jawa disebut kluwung) ataupun pelangi yang tegak (dalam bahasa Jawa disebut teja) adalah cahaya matahari yang diuraikan oleh titik-titik air. Atas penjelasan guruku itu, meski aku tidak berani membantah, aku merasa tidak percaya sebab apa yang dijelaskan guruku lain daripada yang dijelaskan ibuku. Waktu itu aku tidak sampai pada pikiran untuk membandingkan kualitas guruku dan ibuku dalam soal ilmu pengetahuan.
            Tetapi akhirnya aku justru tidak lagi percaya dengan penjelasan ibuku, sebab alam menjelaskan sendiri kepadaku. Ketika suatu saat aku sedang bermain-main di sebuah terowongan jembatan bangunan Belanda di sebuah hutan di dekat desaku, sambil menunggu kambing gembalaan, aku bermain-main air dengan cara menciduk air dengan kedua tanganku dan aku lemparkan ke dinding terowongan yang kebetulan diterpa sinar matahari agak sore. Ketika aku menghempaskan air di dinding terowongan itu aku melihat pelangi kecil buatanku sendiri. Aku terkejut sebab aku bisa membuat pelangi, maka aku lakukan hal itu secara berulang-ulang dan muncul pelangi kecil berulang-ulang.
            Kemudian aku memanggil teman-temanku penggembala kambing lainnya yang sedang mandi renang di sungai itu. Mereka kupameri dengan pelangi buatanku itu, lalu aku katakan kepada mereka bahwa pelangi ternyata bukan jalan bidadari yang sedang turun ke bumi, tapi hanyalah sinar matahari yang diuraikan oleh titik-titik air. Aku dan teman-temanku pulang ke rumah dengan membawa bukti yang mengubah kepercayaan kuno yang tidak ilmiah itu, meski para orang tua kami tetap saja kukuh dengan kepercayaannya bahwa pelangi adalah jalan para bidadari.
            Pelangi adalah keindahan alam yang terbentuk karena peran dari air di mana air telah mengurai fakta tentang warna. Keindahan itu terjadi karena adanya keragaman  warna yang membentuk suatu harmoni dan kebersamaan. Tetapi air pun tak dapat menjelaskan keragaman warna jika tidak dalam bentuk titik-titik yang terkumpul dalam satu area yang membutuhkan ruang yang cukup luasnya. Air yang ada di sungai dan lautan tidak menimbulkan pelangi tetapi mempunyai peran sendiri di alam ini. Air menjadi kebutuhan pokok alam, seperti halnya sinar matahari bagi kehidupan. Tetapi air bisa menjadi bencana banjir yang ganas dan menggulung kehidupan.
            Dalam kurun waktu enam puluh lima tahun Indonesia merdeka, alam pikiran bangsa  masih terperdaya seperti para orang tua yang kukuh mempertahankan kepercayaannya yang melawan akal sehat. Saya tidak berani mengatakan bangsa ini sebagai bangsa yang bodoh, tetapi alangkah malangnya nasib rakyat di negara ini yang tetap mempertahankan kebiasaan saling sikut, saling tendang dan bahkan saling bunuh hanya untuk membangun kepercayaan tentang kekuasaan dan kewibawaan serta menumpuk materi meski harus menghalalkan segala cara.
Dalam alam pikiran orang Jawa kuno (yang masih terbawa hingga kini) hidup ini diorientasikan dengan cita-cita untuk mukti ngawibawa, sehingga Ken Arok tega memfitnah Kebo Ijo setelah ia membunuh Tunggul Ametung guna menguasai Tumapel, Gajah Mada menumpahkan darah di saentero Nusantara untuk memenuhi sumpah Palapa-nya yang hingga sekarang dipuji-puji penulis sejarah, Karebet yang membuat Kebo Ndanu mengamuk di Pajang untuk bisa memperoleh kekuasaan. Bahkan Sultan Amangkurat dari Mataram rela menyerahkan Pelabuhan Semarang kepada VOC (asing) untuk membantu mengukuhkan kekuasaannya sebagai raja.
            Saya menilai bahwa banyak orang berilmu di negara ini yang merasa bertanggung jawab untuk mengubah alam pikiran kuno itu menjadi lebih rasional demi kemajuan bangsa ini. Undang-undang Dasar telah diamandemen termasuk untuk memerintah kepada Pemerintah agar memprioritaskan APBN pada pendidikan (sebesar minimal 20%). Tetapi alangkah terlihat sulitnya mencapai angka itu, sebab korupsi di negara ini terlalu sulit untuk diberantas. Kalaupun (andaikan) penyidiknya serius, tetapi pengadilannya masih dipenuhi oleh orang-orang yang alam pikirannya kuno, ingin mukti ngawibawa dengan memperkaya diri, sehingga: jangankan berharap para keadilan sosial, keadilan formal pun sulit diperoleh di negara ini.
            Tidak hanya sebatas itu, mental perpecahan dan insting korupsi telah lama menjadi bagian alam pikiran irasional bangsa ini. Masih banyak orang yang senang membakar gereja dan masjid untuk memperebutkan kebenaran dan begitu mudahnya orang di negara ini mengharamkan orang yang lainnya. Yang tak kalah parahnya, kemiskinan menjadi rebutan hingga menimbulkan pertikaian yang meluas gara-gara ingin memperoleh uang Rp. 300 ribu per tiga bulan dalam setahun dari Pemerintah.
            Itupun akibat pemerintahan yang irasional menaikkan secara drastis harga BBM serta tarif listrik yang menjadi kunci kenaikan harga barang lainnya. Kalau biaya produksi dan transportasi naik, akibatnya harga produk naik. Pengusaha membebankannya pada biaya produksi termasuk juga melakukan rasionalisasi dan ujung-ujungnya daya beli menurun, banyak pekerja diputuskan hubungan kerjanya, rakyat kecil pun terkapar dalam penderitaan panjang (sejak jaman kolonial). Pemerintah “menyuap” orang-orang miskin untuk memenuhi perintahnya, tetapi menimbulkan persoalan sosial yang baru.
            Di sekolah-sekolah para guru bercerita tentang kebanggaan bangsa ini yang terdiri dari beraneka ragam suku dan agama, tetapi tetap rukun bersatu. Tetapi di luar sekolah keberagaman itu ternyata tidak seindah pelangi yang menjulang di langit sebab tidak ada keharmonian dalam membangun negara. Perkumpulan-perkumpulan dalam kelembagaan negara lebih banyak menjadi tempat konspirasi untuk mengeruk keuntungan pribadi dan golongan sehingga hampir di seluruh wilayah Indonesia anggota DPRD serta pejabat eksekutif terlibat dalam korupsi.
Kekayaan alam negara ini banyak yang digali oleh orang asing atau orang domestik dengan modal asing, dengan membangun instalasi yang megah, tetapi masyarakat setempat tetap saja hidup terbelakang dan bahkan menjadi korban pencemaran lingkungan yang tidak bertanggung jawab. Sementara hukum lebih banyak berpihak kepada para pemilik kantong tebal. Keputusasaan dalam menghadapi penegakan hukum yang korup mengakibatkan tren main hakim sendiri dengan merusak, bahkan membunuh.
            Negara ini kelihatannya modern, tapi masih banyak diisi oleh alam pikiran primordial dan irasional. Setiap orang mempunyai kewajiban untuk mengubah pikirannya sendiri-sendiri. Tetapi langkah sulitnya mengubah mental bangsa ini. Rasa malu menjadi semakin langka, egoisme semakin merajalela.
Di negara ini, doktrin Pancasila hanya tinggal goresan di atas buku, agama hanya pelengkap identitas yang bahkan seringkali dijadikan justifikasi untuk membunuhi orang lain. Orang sudah tidak lagi percaya dengan sanksi hidup setelah mati, Tuhan hanya menjadi tempat bersembunyi dari kecurangan dan kebiadaban, tetapi kenyataannya yang seperti dikatakan Nietzche: Tuhan telah mati, sebab tidak lagi ditakuti.
            Meski alam sudah menjelaskan bahwa pertikaian, persekongkolan jahat, ketidakadilan sosial dan korupsi telah mengakibatkan negara ini terpuruk dan jauh dari kemakmuran, tetapi mereka tetap saja kukuh dengan pikirannya sendiri.
            Harapan kita sekarang ini adalah sekiranya kita masing-masing berhasil mendidik anak-anak kita agar bisa berpikir rasional dan adil serta mempunyai rasa kasih sayang, mau berkorban untuk kedamaian hidup bersama.
            Tapi bukankah bahwa buah kelapa akan jatuh tak jauh dari pohonnya? Semoga saja ada badai yang membawa buah kepala jatuh jauh dari pohonnya, bahkan biar saja pohon-pohon kelapa yang tidak baik itu tumbang semua. Badai itu adalah revolusi yang dikendalikan oleh sistem yang jujur dan adil. Setelah badai surut, muncul pelangi indah di atas langit negara ini yang makmur, adil dan damai. Ini mimpi yang harus menjadi kenyataan! Insyaallah !

Tidak ada komentar: