Jumat, 16 Januari 2009

Pengemis Kaya


Udara terasa panas menyengat di sekitar jam 11.30, hari Sabtu, 10 Januari 2009. Kawanan awan putih bergerombol-gerombol menggantung di langit muram.

Di jalan Kaliwaron Surabaya aku melintas. Sebuah jalan umum yang agak sempit di depan kampung bersebelahan dengan sungai kecil. Tampak seorang perempuan tua yang lusuh. Perempuan 70-an tahun itu berjalan menyusuri pinggiran jalan beraspal, dengan kaki telanjang.

Sekilas kulihat perempuan kumal itu menengadahkan tangan kepada seorang pekerja bengkel. Mengemis. Pekerja bengkel itu menggelengkan kepala. Mungkin pekerja bengkel itu tak menyimpan uang. Atau mungkin enggan memberi.

Tapi aku harus segera menjemput Gam yang jadual pulang sekolahnya jam 11.00 di hari Sabtu.

Setelah Gam kujemput dari sekolahnya, aku mencari pengemis itu. Ketemu. Aku melihat pengemis tua itu berjalan terus, tidak mencoba lagi meminta uang kepada orang-orang yang dilaluinya di kampung itu. Apa sudah terlalu banyak orang menolaknya sehingga ia mulai putus asa? Entahlah.

Aku berhenti sejenak, merogoh kantongku, tapi tak kutemukan uang. Lalu kuambil dompetku, kuambil uang secukupnya. Motor kujalankan lagi, mendekati pengemis tua itu. Aku ulurkan uangku kepadanya.

Matanya yang cekung sedikit berbinar. Sebelum habis ia mengucapkan kata terima kasih, aku tinggalkan dia. Nasibnya masih akan terus berjalan hingga malaikat maut datang kepadanya untuk membebaskan dirinya dari dunia yang terasa perih dan penuh adegan memuakkan ini.

Sekitar dua tahun lalu, aku pernah berjumpa dengan seorang pengemis perempuan tua di depan gedung BRI Tower Surabaya. Aku sedikit mengorek kehidupannya. Katanya, ia hidup sebatang kara, tak punya anak, suaminya sudah lama meninggalkan dunia. Ia tinggal sendiri, menyewa sebuah kamar di kampung Keputran.

Setiap hari pengemis perempuan tua itu berjalan keliling mengemis, memperoleh Rp. 10 hingga 20 ribu per hari. Jika beruntung kadang bisa mendapatkan Rp. 50 ribu. Tapi tak jarang juga kadang hanya sekadar memperoleh makan dan minum. Perempuan setua dia, yang jalannya sudah bongkok memakai tongkat, memang tak mungkin lagi bisa bekerja. Menyangga badannya sendiri saja susah-payah.

Dalam beberapa tahun ini tampaknya semakin banyak pengemis tua di kampung-kampung dan pinggir jalan raya atau di pinggir-pinggir perempatan jalan raya. Tapi dengan adanya program pemerintah untuk penertiban gepeng (gelandangan dan pengemis) serta anjal (anak jalanan), para pengemis itu tidak lagi berani mengemis di pinggir jalan raya. Jalan raya dibersihkan dari pemandangan pengemisan dan gelandangan. Mereka disembunyikan di balik ketiak pembangunan dan hukum yang menjijikkan.

Bagi pemerintah, kota tak boleh dikotori orang miskin. Kota milik kaum kaya. Kaum kaya pun mewajibkan diri mereka untuk memaki-maki para sopir angkot ataupun kopaja, bus kota, serta para pengendara sepeda motor yang sangat terampil menyusup-nyusup di sela-sela mobil kaum kaya, membuat jantung orang-orang kaya berdegup-degup kencang tanpa henti, takut cat mobilnya tersentuh dan tergores. Target pemerintah dan kaum kaya: kota harus steril dari penyakit yang bernama ‘kaum miskin’ yang menyakitkan mata mereka dan mengganggu kenyamanan mereka.

Kaum kaya yang tinggal di hunian-hunian moderen dalam perumahan-perumahan bagus juga memasang plang larangan masuk bagi para pengamen, pemulung serta pengemis. Tapi saya tak melihat ada larangan kepada para koruptor agar tidak masuk ke pemukiman kaum kaya itu. Mungkin, bisa jadi, tempat tinggal para koruptor memang di pemukiman yang bagus-bagus dan mewah.

Mereka tidak takut dengan penegak hukum sebab penegak hukum itu teman mereka sendiri. Meskipun banyak koruptor yang ditahan atau dipenjara, fasilitas dan kemewahan tetap saja mudah didapatkan, asalkan uang tersedia. Bahkan para penjahat ekonomi rakyat itu bisa dengan mudahnya menyuruh penegak hukum untuk melayani mereka, membelikan ini dan itu, menyediakan apa yang dimau. Asalkan uang tersedia.

Yang paling ditakuti para koruptor dan kaum kaya adalah pencopet, pencuri dan perampok. Dalam pikiran kaum kaya tertanam imajinasi, bahwa orang melarat itu adalah penjahat. Jika ada seorang pemulung membawa karung bekas dan tongkat pengorek tempat sampah maka orang kaya akan takut dan bergumam: “Jangan-jangan itu pencuri atau perampok?”

Dalam waktu yang sangat jarang, imajinasi itu benar. Saya yang tidak kaya kadang kehilangan ember atau sandal jelek di depan rumah ketika lupa tidak menggembok pagar rumah. Orang kaya atau orang berpendidikan tinggi tak akan mau mencuri ember dan sandal jelek. Yang mengambil kemungkinan besar orang miskin.

Soal curi-mencuri, orang kaya dan orang miskin, berpendidikan atau buta huruf, sama-sama ada yang menjadi pencuri. Tinggal menghitung, berapa besar hasil curian orang kaya atau orang berpendidikan, dibandingkan dengan besarnya hasil curian orang miskin atau tak berpendidikan. Target curiannya pun berbeda.

--------------------------

Sesampai di sebuah perempatan jalan di dekat kampung Mulyorejo, merah lampu lalu lintas menyala. Tampak di sekitar perempatan jalan itu persaingan iklan-iklan para politisi yang sedang merayu rakyat agar memilih mereka menjadi anggota dewan alias wakil rakyat. Di pinggir-pinggir jalan umum lainnya juga berderet persaingan iklan para politisi, berlomba besar dan tak mau kalah banyak dengan iklan promosi merek-merek dagang.

Seandainya persaingan iklan dalam bentuk spanduk dan baliho itu indah maka kota Surabaya itu akan menjadi tempat wisata senirupa politik. Tapi sayangnya iklan-iklan politik yang bersaing dengan iklan dagang di jalanan itu menambah pemandangan menjadi ruwet, ruwet dan ruwet. Kecuali ada gambar politisi di perempatan jalan yang sangat cantik memikat, yang pernah membuatku akan menabrak kendaraan di depanku gara-gara terpukau gambar cantik. Busyet!

Apakah pemerintah dan kaum kaya merasa terganggu dengan pemandangan iklan politik yang bersanding dengan iklan dagang itu? Bukankah yang bisa memasang iklan-iklan baliho besar itu mereka yang punya banyak uang?

Sebagian besar perasaanku muak melihat persaingan spanduk dan baliho para politisi di jalanan yang penuh dengan tulisan janji-janji, yang dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini terbukti hanya sebagai janji-janji palsu dan menjijikkan untuk didengarkan lagi. Mata ini terasa perih dan pedas melihat gambar-gambar para politisi yang seringkali dilalui para pengemis tua dan anak-anak jalanan yang tak bisa sekolah.

Belum lagi iklan produk-produk dagang di jalanan itu yang tak jarang hanya merupakan penipuan kepada masyarakat, bahkan bangunan iklan kadang tumbang mencederai dan membunuh orang di dekatnya.

Sementara itu masyarakat konsumen Indonesia masih sangat lemah dan mudah mau menerima begitu saja penipuan-penipuan yang dilakukan para saudagar. Setiap orang merasa hanya sedikit pulsa yang berkurang gara-gara mengikuti kuis SMS. Tapi jika terdapat sejuta orang yang masing-masing berkurang pulsanya Rp. 2.000,- per hari maka dalam sehari saudagar itu berhasil mendapatkan uang kuis sebesar Rp. 2 miliar per hari. Yang bodoh adalah alat memperkaya yang cerdik!
----------------------------

Lampu menyala hijau, motor bebekku melaju bersaing dengan kendaraan lain. Gam tampak menikmati perjalanan siang yang gerah itu. Tangannya mendekap erat pinggangku.

Aku sangat menyayangi Gam. Tapi aku menghukumnya jika ia berbuat nakal menyakiti temannya atau merusak barang secara sengaja. Bentuk hukumannya kadang berdiri dengan satu kaki selama setengah jam. Aku memang salah jika sekali waktu memukulnya dalam keadaan kesal.

Setelah hukuman itu selesai, aku menjelaskan kepadanya kenapa ia harus diberi sanksi atas perbuatannya yang merugikan orang lain atau merusak. Lalu aku memeluknya dan mengusap kepalanya. Jangan sampai ia berpikiran bahwa hukuman yang aku berikan itu sebagai kebencian.

Dengan cara begitu, ia menjadi sangat akrab dan dekat denganku. Autisnya semakin berkurang dalam kurun waktu empat tahun ini. Ia mulai dapat berkomunikasi dengan baik.

Dalam soal mengasuh dan mendidik anak, aku ingat petuah Suyoto sebelum menjadi Bupati Bojonegoro, yang rutin memberi ceramah agama melalui siaran JTV Surabaya. Ia mengatakan yang intinya begini: “Menjadi orang tua harus bersabar. Kalau ada orang tua yang marah-marah melihat anaknya yang nakal, berarti orang tua itu sudah kehilangan cara, kehilangan akal untuk mengarahkan agar anaknya tidak nakal.”

Selanjutnya Suyoto mengatakan: “Begitu pula dengan penguasa atau pemerintah. Pemerintah seharusnya bersabar dalam mengurusi rakyatnya. Jika pemerintah marah-marah kepada rakyat, berarti pemerintah sudah kehilangan akal.”

Petuah Suyoto itu sulit untuk diterapkan. Saya seringkali marah-marah kepada Gam yang seringkali nakalnya melewati batas dan sengaja seolah-olah meledek saya. Saya larang pipis di depan rumah dengan alasan kebersihan tapi malah disengaja kencing di dekat teras rumah. Saya larang membawa cacing tanah ke dalam rumah dengan alasan kotor tapi malah berteman dengan cacing-cacing tanah dibawa masuk ke rumah. Bukan hanya itu. Gam bahkan bermain dengan tawon, kelabang, kecoak, lalat, cicak, semut, dan serangga atau hewan apapun yang ia temukan ia jadikan mainan. Tentu saja itu membuat orang seisi rumah kami tidak dapat menyesuaikan diri dengan Gam dan marah-marah. Eyangnya yang paling sabar pun kadang dibuat marah, tapi setelah itu menangisinya.

Bahkan Suyoto sendiri tak mampu menjalankan petuahnya sendiri. Ketika ia sudah berhasil menjadi Bupati Bojonegoro, pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro mengeluarkan tindakan pemerintahan berupa pemberantasan para pedagang kaki lima (PKL) yang ada di pinggir-pinggir jalan umum dengan alasan ketertiban. Padahal selama ini para PKL di dalam Kota Bojonegoro membayar retribusi yang ditarik secara resmi oleh Pemkab Bojonegoro. Para PKL yang menolak di gusur paksa oleh pemerintahan Suyoto, dimarah-marahi dengan kekuatan gabungan satpol PP, polisi dan tentara.

Agar konflik antara Pemkab Bojonegoro dengan para PKL bisa diselesaikan dengan adil, terutama untuk keberlangsungan nafkah para PKL yang mandiri dan menyumbang pendapatan kepada pemerintah itu maka Komnas HAM mengupayakan mediasi. Saya belum tahu bagaimana hasil mediasi itu, hingga kini.

Berdasarkan informasi para relawan lokal di Bojonegoro, ternyata di antara para PKL ada yang orang kaya menjadi pimpinan paguyuban PKL, hanya memanfaatkan paguyuban PKL untuk kepentingan pribadinya, tak mau mengurusi masalah penggusuran PKL itu. Ia menjadi spion pemerintah untuk mengendalikan para PKL dengan imbalan.

Di manapun tempat perjuangan masyarakat, selalu ada para pengkhianat. Fenomena Londo Blangkon memang ada sejak jaman kolonial Belanda hingga neokolonial reformasi.

Barangkali Tuhan memang menyediakan manusia-manusia rendahan seperti itu sebagai alat uji pergerakan sosial menuju hijrah ke situasi lebih baik, sebagaimana perjalanan hijrah Nabi Muhammad dan umatnya yang juga diganggu oleh para pengkhianat. Para pengkhianat perjuangan sosial seperti itu dibahasakan oleh Quran sebagai kaum munafik. Tata lahirnya tampak bermoral, tapi suatu saat menikam dari belakang.
--------------------------

Bicara tentang hidup para pengemis, apa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat di negara ini adalah potret-potret karakter bangsa ini. Dahulu Bung Karno terpaksa menerima modal asing untuk mengelola minyak dan gas bumi Indonesia dengan alasan belum mempunyai para insinyur yang pintar.

Tapi setelah Indonesia punya banyak insinyur pintar sepeninggal Bung Karno, malah kekayaan alam Indonesia yang melimpah sebagian besar diserahkan kepada pemodal asing. Nilai-nilai Pancasila menguap oleh api panggang kapitalisme yang menjanjikan kemakmuran global. Setiap aset publik satu persatu diprivatisasi. Rakyat kecil tinggal punya tubuh-tubuh mereka sendiri bersama dengan nasib buruknya, yang setiap saat akan diambil Yang Maha Pemberi Hidup.

Indonesia yang kaya ini menjadi negeri pengemis, mengemis-ngemis utangan kepada bangsa-bangsa maju yang sejak dahulu telah menjajah dan menguras kekayaan bangsa-bangsa lain. Lebih dari tiga setengah abad Indonesia dikuras Belanda, Inggris dan Jepang dalam penjajahan kuno, dan berlanjut pada penjajahan moderen hingga sekarang.

Pemerintah negeri kaya yang pengemis ini membiarkan rakyatnya yang tua-tua renta dan anak-anak kecil menjadi pengemis di jalanan. Kalaupun melarang, dengan cara kasar, mengusir dan memidanakan, lalu membuang begitu saja tanpa jalan penyelesaian. Para pemegang kedaulatan negara diperlakukan seperti sampah setelah tak kebagian harta kekayaan negara yang banyak dicaplok para koruptor dan raksasa asing.

Padahal para pengemis tua itu lahir dan sejak kecil hidup berperih-payah, bersimbah darah, berlinang air mata, menjalani hidup sejak jaman kekerasan kolonial Belanda hingga jaman pasca kemerdekaan. Jika dahulu mereka lari dikejar peluru musuh, kini mereka merangkak meniti hidup yang suram.

Negara ini memang sudah lama diurus oleh para intelektual bermental pengemis, tidak punya kepercayaan diri dan gemar meminta-minta. Sejak masih mahasiswa sudah diberikan keterampilan mengajukan proposal-proposal dana, yang bahkan dana-dana itu diambilkan dari para pengusaha yang ada di lorong-lorong kejahatan kemanusiaan dan kemaksiatan. Sejak sekolah sudah belajar untuk mengarang penggunaan dana fiktif.

Jika proposal-proposal pengemisan dana itu menjadi jembatan menuju kemandirian maka mungkin masih ada nilai baiknya. Tapi dalam kenyataannya proposal-proposal itu terlanjur menjadikan diri bermental pengemis, kehilangan independensi. Mereka memasang target kebahagiaan ada pada penuhnya digit angka kalkulator penghitung uang. Senyum bahagia para korban kejahatan kemanusiaan dan tegaknya keadilan di negeri ini hanya menjadi tujuan imajinatif.

Para pengemis intelektual itu masih akan melanjutkan tongkat kekuasaan negara dan hanya akan memperpanjang sejarah pengemisan negeri kaya yang mengenaskan ini. Mereka tak akan peduli dengan banjir peluh rakyat yang menderita, bahkan membiarkan peluru kekuasaan menembus tubuh-tubuh rakyat miskin yang ringkih yang sedang mempertahankan diri sebagai manusia, agar tidak diperlakukan seperti binatang.

Rakyat kecil sudah jenuh mendengarkan janji yang tak pernah ditepati. Rakyat kecil sudah sadar bahwa mereka hanya obyek atau alat bagi para politisi untuk meraih jabatan kekuasaan. Rakyat kecil sudah sadar bahwa kelak para pejabat itu akan mengerahkan akal untuk mengembalikan biaya-biaya politik yang mereka keluarkan. Hampir seabad kampanye-kampanye politik negara ini adalah kata-kata sombong, kosong dan palsu. Palsu! Palsu! Sekali lagi: PALSU!

Kini, rakyat kecil pun mulai terampil bermain drama uang politik, mengambil uang politik dari para politisi untuk dibagikan kepada teman-temannya. Hari ini mereka membagi uang si Anu, hari esok mereka membagi uang si Ina, esoknya lagi mereka berbagi uang politiknya si Ino, dan seterusnya. Soal mau memilih siapa, itu terserah mereka. Bahkan ketika ditanya mau memilih siapa mereka enggan menjawab. Katanya bingung.
-------------------------------

Gerimis menghiasi sore yang agak riuh. Di pinggir jalan raya Dharmahusada aku berhenti di sebuah warung nasi pecel. Rasanya nikmat menyantap nasi pecel lima ribuan rupiah seporsi dengan minum jeruk hangat seharga dua ribu rupiah. Lebih nikmat jika kubandingkan dengan sebutir roti Rp. 25 ribu dan segelas plastik minuman hot chocolate seharga Rp. 35 ribu yang pernah aku makan di sebuah kafe. Lebih enak dibandingkan nasi pecel serupa seharga Rp. 17 ribu yang pernah kurasakan di pusat makanan di sebuah mal.

Merasakan hidup ini tergantung suasana hati dan selera. Aku tak terlalu berselera dengan harga-harga tinggi di tempat-tempat mewah yang menipu imajinasi, selain uangku terbatas. Enaknya makanan bukan karena tempat dan harganya, tapi apakah cara memasaknya dan formulanya tepat, serta suasana hati yang tenang. Bagiku dan bagi orang miskin lainnya, makan di kandang sapi, di tengah sawah becek, atau di pinggir kali, sudah biasa. Tapi orang-orang kaya tak akan bisa.

Selain itu, bangsa yang pintar seharusnya tidak suka memberikan rente kepada pengusaha asing yang menjual merek dagang di Indonesia. Bangsa pintar seharusnya mampu memberdayakan ekonominya sendiri, ekonomi rakyat Indonesia, agar tidak selalu menjadi budak dan permainan ekonomi asing.

Bayangkan! Kita makan roti, minum kopi atau coklat bermerek Amerika Serikat, Swis, Italia atau Inggris yang bahannya dari Indonesia. Pemodal asing membeli bahan pangan dan minuman dari kita dengan harga sangat murah, lalu diolah dan diberi merek asing oleh pemilik lisensi merek asing, lantas dijual kepada kita dengan harga yang sangat mahal.

Hahaha.... kita dibodohkan oleh kapitalis asing! Kita membayar mahal barang kita sendiri yang pernah kita jual murah kepada merek asing itu. Jadi bangsa bodoh! Pantas jika tetap menjadi bangsa pengemis! Orang yang bodoh pasti merasa bangga dengan kebodohannya itu. Sok hebat! Sok keasing-asingan! Sok berduit! Padahal bangsanya sendiri dihisap.......

Tinggal beberapa sendok nasiku tersisa, ketenanganku makan ‘diganggu’ oleh seorang pengemis perempuan yang belum terlalu tua. Umurnya mungkin 50-an tahun. Aku rogoh saku depan, kutemukan hanya seribu rupiah. Tapi sebelum ia menerima uangku mendadak cepat-cepat pergi. Aku heran.

“Sudah lama menunggu di sini Mas?” tanya isteriku tiba-tiba. Aku memang makan di warung nasi pecel itu sambil menunggu isteriku pulang kantor. Kantornya di dekat warung nasi pecel itu.

“Nggak! Sambil makan ini,” jawabku.

Kami pun pulang. Di perjalanan aku bercerita kepada isteriku tentang pengemis di warung nasi pecel, yang tidak jadi menerima uangku.

“Ooooo... Pengemis itu? Mungkin dia tahu aku datang, lantas dia pergi,” kata isteriku.

“Memangnya ada apa dia takut sama kamu?” tanyaku.

“Ya, nggak takut. Mungkin dia hanya malu sama aku. Sebab aku pernah ketemu dengannya saat dia makan bakso, lagi bercerita bahwa dia menikmati menjadi pengemis. Katanya sehari kalau untung bisa mendapatkan Rp 100,- ribu. Sebulan bisa mendapatkan antara Rp. 600 ribu hingga sejuta rupiah. Ia merasa enak menjadi pengemis, dibandingkan menjadi pembantu rumah tangga yang disuruh-suruh majikan. Nah, saat dia cerita begitu, lalu ia melihat aku yang mendengarkan ceritanya itu,” isteriku menjelaskan.

Ada juga pengemis yang menikmati pekerjaan sebagai pengemis, enggan untuk tidak jadi pengemis. Apa bedanya dengan para pengemis intelektual yang enggan melepaskan watak pengemis mereka?
------------------

Perjalanan masih akan panjang. Negeri besar ini sedang berada di masa-masa yang sulit. Namun bukankah kesulitan itu sudah menjadi hal biasa? Dalam sebuah novel karya Sidney Sheldon (aku lupa judulnya) ada tokoh cerita yang mengatakan bahwa ‘hal yang biasa dialami tak akan menggetarkan jiwa.’

Kesulitan yang dialami rakyat kecil Indonesia akhirnya bukan lagi dianggap sebagai kesulitan. Bagaimana orang akan merasakan dirinya menderita jika seumur hidupnya hanya keadaan serupa dan tetap yang dijalaninya? Bagaimana orang akan dapat membedakan antara keadaan sengsara dengan mudah jika tak pernah merasakan mudah? Paling-paling hanya bisa membayangkan bagaimana rasanya mempunyai rumah besar dan mobil yang bagus yang dilihatnya.

Tapi masyarakat Indonesia sejak jaman kuno hingga sekarang sudah memegang nilai dan kepercayaan bahwa kebahagiaan itu bersifat batiniah, tidak bergantung pada kepemilikan materi. Artinya, kebahagiaan bukan milik orang miskin atau orang kaya, tapi milik mereka yang mampu meraihnya.

Dan jika kelak rakyat mengalami sesuatu yang lebih baik maka jiwa mereka akan bergetar merasakan perubahan perasaan yang lebih baik. Siapa yang akan mampu menghantarkan rakyat Indonesia, tidak saja pada gerbang pintu kemerdekaan, tapi masuk ke dalam ruang kemerdekaan dan kesejahteraan serta keadilan sosial yang dituju oleh berdirinya sebuah negara Indonesia?

Lantas akupun bertanya-tanya: dengan cara apa bangsa yang kaya yang sedang bermental dan menjadi pengemis ini akan dapat berubah menjadi bangsa yang terhormat? Bagaimana caranya agar rakyat Indonesia ini terbebas dari sistem pendidikan formal dan informal yang menciptakan mental-mental pengemis?

Apakah bisa bulan depan ini sudah tak ada lagi para pengemis tua yang melanjutkan deritanya di jalanan, sebab toh dalam beberapa bulan atau tahun lagi mereka akan meninggal dunia? Apakah para pengemis tua renta itu akan mati di jalanan atau di kamar kumuhnya, mati sebagai pengemis?

Ini negara macam apa, sehingga setelah lebih dari 63 tahun membangun tapi belum juga bangun?

Jika seumpama ada satu pemimpin di antara seribu orang Indonesia yang rela menafkahkan dirinya untuk membangun Indonesia, setiap seribu orang Indonesia akan lebih mudah untuk mampu bangun dari kegelapan yang panjang.

Satu pemimpin di antara seribu itu mampu mengawal terwujudnya konsensus publik: tidak korupsi, mandiri, saling melayani, saling membantu, berjuang bersama mengembalikan kekayaan negara dari tangan asing. Siapa yang melanggar konsensus itu dihukum berupa hukuman hidup bercampur dengan gorila di kebun binatang Ragunan dan Wonokromo seumur hidup. Bagaimana ini?


Surabaya, 14 Januari 2008

1 komentar:

dek_bagoes mengatakan...

cerita yg bagus dan menarik