Kamis, 01 Januari 2009

Kiamat 2009


Malam tahun baru 2009, rintik hujan bagai air mata yang enggan meninggalkan masa lalu. Ada tanggungan masa lalu yang banyak belum terselesaikan dan akan menjadi beban di masa depan. Masa depan yang akan semakin menumbuhkan generasi pesta-pora, wujud pelarian atas beban berat yang diwariskan para pendahulu.

Oh iya, aku lupa tidak membawa jas hujan. Malam itu, dari posko relawan korban Lapindo di Desa Gedang Sidoarjo aku mau pulang ke Surabaya. Terpaksa membiarkan tubuhku dibasahi perlahan-lahan oleh rintik hujan yang tak deras. Sepeda motor kujalankan perlahan. Tubuh semakin basah di jalanan, mengingatkanku masa remaja di desa, sering kehujanan di tengah hutan ketika mencari kayu bakar.

Jalanan malam tahun baru, meski ramai kendaraan bermotor tapi tampak lesu. Kadang-kadang di beberapa bahu jalan tampak para remaja bergerombol. Semakin mendekati kota Sidoarjo, kelihatan para penjual terompet duduk lesu di dekat dagangan terompet mereka yang ditutupi plastik transparan pelindung hujan. Tak seperti malam tahun baru sebelumnya di mana para penjual terompet bisa lebih beruntung karena tak hujan, sehingga banyak orang yang membeli terompet.

Bukan maksudku menyalahkan hujan. Tidak. Hujan adalah komponen alam, turun atau tidak, bergantung pada hukum alam yang diciptakan Tuhan. Malam itu para pedagang terompet mungkin kesepian rezeki, siapa tahu di lain hari mendapatkan kelimpahan rezeki. Toh mereka berjualan terompet hanya menjelang tahun baru. Setelah itu kan berjualan barang lainnya.

Hari terakhir tahun 2008 terasa menyesakkan dada, mendengar berita-berita yang menyedihkan. Ada berita tentang terdakwa pembunuh mendiang Munir diputus bebas. Alangkah malangnya para korban ketidakadilan di negeri ini yang masih sulit mengungkap kebenaran untuk mencari keadilan yang selama ini seringkali tersembunyi di balik jubah kekuasaan. Ya kekuasaan politik, ya kekuasaan uang. Apakah Munir meninggal karena gempa Jogja?

Kadang para ahli memaksakan diri membuat logika ilmiah yang tidak logis. Ya ahli hukum (termasuk hakim), ahli geologi, ahli pemboran, ahli pers, dan lain-lain. Bungkusnya tentu ilmu pengetahuan. Biasanya karena konspirasi busuk. Kata tokoh sufi Indonesia, DR. Jalaluddin Rahmat, kalau menilai sesuatu tindakan orang yang berkaitan dengan pihak lain itu kuncinya UUD atau UUS. Jika ujung-ujungnya duit atau ujung-ujungnya seks, maka itu bukan jalan Tuhan.

Ada lagi Pak, UUP, ujung-ujungnya popularitas. Yang bahaya adalah UUTJ, ujung-ujungnya tidak jelas, seperti nasib korban Lapindo yang jelas tambah merana.

Akhir tahun 2008, malang pula bagi saudara-saudara bangsa Palestina yang semakin terpuruk dalam kepedihan hidup puluhan tahun digerus oleh kekuasaan yang tiran yang haus darah. Anak-anak Palestina pun harus menanggung beban berat, pundak mereka ditumpangi masa depan yang tidak pasti.

Setiap hari anak-anak Palestina disuguhi adegan kekerasan dan kematian. Bahkan mereka sendiri sewaktu-waktu terancam kematian dan cacat. Manusia adalah makhluk paling ganas, lebih ganas dibandingkan harimau paling ganas di dunia ini. Anehnya, meskipun manusia di dunia mempunyai tatanan, tapi seringkali tatanan itu tak berguna.

Konflik Palestina-Israel memang sisa dari konflik politisasi dan konservatifisme agama yang dilatarbelakangi politik kekuasaan dan egosentrisme kebangsaan. Bangsa Bani Israel merasa paling tinggi, bangsa pilihan Tuhan. Perebutan tanah berdarah itu memang diramalkan hanya bisa berakhir di akhir zaman. Tapi manusia sebagai pelaku zaman tentu harus mengusahakan meminimalisasi konflik itu.

Di akhir tahun itu pula posko korban Lapindo semakin sepi. Posko yang didirikan untuk memberikan edukasi dan menyatukan korban Lapindo kini mulai ditinggalkan para korban. Sejak peristiwa kesepakatan cicilan Rp. 30 juta antara para wakil (elite) korban Lapindo dengan pihak Lapindo dan Presiden SBY, banyak kekecewaan di kalangan grassroot korban Lapindo.

Kesepakatan di istana negara itu telah membawa perpecahan yang semakin meluas. Para wakil pengurus korban Lapindo dari berbagai kelompok yang biasanya rutin berdiskusi di posko, kini mereka mulai saling menjauh. Satu kelompok dengan kelompok lain saling curiga, saling membenci, meski ada pula yang sekadar saling acuh. Apakah keadaan seperti memang telah dikondisikan dan dirancang?

Lapindo telah memaksakan berbagai macam cara penyelesaian yang membuat para korban terpecah-belah. Alasannya bermacam-macam. Kami para relawan kesulitan menyatukan mereka, meski tak harus memilih satu cara penyelesaian. Terserah mereka mau memilih cara mana, tapi sayangnya justru terbelah-belah.

Anak-anak cucu kita dibebani oleh demokrasi yang telah rusak. Bagaimana tidak, seperti halnya kasus semburan lumpur Lapindo yang semestinnya menjadi tanggung jawab korporasi penambang, malah membebani rakyat dan negara. Bahkan hukum yang buruk seperti Perpres No. 14 Tahun 2007 masih bisa direduksi lagi (tidak dipatuhi) oleh Lapindo, anak Grup Bakrie.

Presiden SBY pun dibuat tak berkutik. Masyarakat korban Lapindo yang mendukung Perpres No. 14 Tahun 2007 pun harus menanggung kekecewaan sebab Presiden SBY tidak mampu berbuat apa-apa ketika Lapindo tidak patuh pada Perpres itu. Sebuah korporasi yang makan dan menghisap kekayaan rakyat malah bisa melangkahi dan merusak tatanan negara. Ini negara demokrasi jenis apa? Demokrasi model apa? Demokrasi cara apa?

Jangankan di soal transparansi pengelolaan migas, di soal kepatuhan dengan Perpres yang sudah melanggar hak rakyat itu saja tidak ada.

Ketika ada berita tentang pembunuhan sekitar 300 warga Palestina membahana, reaksi keras muncul di mana-mana terutama dari komunitas intelektual yang berembel-embel Islam. Tapi apakah mereka kelelahan dan tak punya tenaga selama lebih dari dua tahun melihat 70 ribu korban Lapindo yang kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan, menderita sakit, menjadi gelandangan, mati ngenes, sakit jiwa, terjerat dalam hidup yang tak pasti berkepanjangan?

Apakah kemanusiaan itu hanya diperjuangkan dalam lingkaran ideologi, agama, golongan, suku, bangsa yang sama? Apakah karena lawan bangsa Palestina itu bangsa Yahudi lalu para hamba Allah berteriak-teriak tidak terima? Apa reaksi kita melihat ratusan ribu bangsa Aceh dibunuh secara kejam? Apa tanggapan kita ketika isteri-isteri para tentara Fretilin diperkosa oleh saudara-saudara kita sendiri?

Apa reaksi kita ketika anak-anak kita dibohongi untuk mengonsumsi makanan produksi kapitalis yang diracuni dengan bahan pengawet, zat pewarna dan bahkan dicampuri melamin? Apa yang bisa kita berbuat ketika alam negeri ini dirusak para pemodal penambang dan perusak hutan sehingga menimbulkan bencana berkepanjangan dan memakan ribuan korban nyawa setiap tahun?

Apakah dengan mengenakan jilbab dan peci serta baju takwa lalu beteriak-teriak Allahu Akbar – Allahu Akbar, mengecam zionis Yahudi, tapi diam membisu melihat kejahatan kemanusia di sekitar kita, lantas Tuhan akan memberikan surga indah di akhirat?

Apakah kita diam saja jika yang melakukan kejahatan kemanusiaan itu golongan kita sendiri? Mengapa kita diam – tak ada tentangan dengan teriakan Allahu Akbar - ketika melihat pejabat yang mengeluarkan surat administrasi negara untuk membebaskan jerat pidana penjarah dan perusak hutan rakyat?

Ataukah diamnya kita karena kita malah bisa turut menikmati uang para penjahat kemanusiaan itu, dan bahkan lantas disumbangkan kepada para korban kejahatan yang berdalih atas nama kemanusiaan?

Jangan-jangan otak kita telah tertulari doktrin kemanusiaan yang bodoh? Bagaimana tidak bodoh, jika kita diam melihat kejahatan kemanusiaan karena kita turut menikmati uang penjahat kemanusiaan itu dan menyumbangkan kepada para korban dengan dalih kemanusiaan? Orang tidak sekolah pun tahu itu adalah kebodohan.

Menurut Slank, hanya orang stupid dan tidak sekolah yang membuang comberan lumpur sembarangan. Lalu apakah kita tidak lebih bodoh jika mau menyumbangkan kekayaan para penjahat kemanusiaan kepada para korbannya? Itu bukan sumbangan, tapi pengembalian bagian kecil dari sekian banyak yang telah dirampok para perampok.
----

Beberapa truk besar mendahului motorku. Beberapa kali pula coberan air hujan menampar wajah dan badanku dari arah ban truk-truk itu. Mulutku memaki, tapi hatiku menyadari bahwa aku sedang berada di jalan milik umum, bukan jalanku sendiri. Para sopir truk itu adalah para pekerja keras yang mengejar waktu, siapa tahu esok hari adalah jatuh tempo anaknya membayar uang sekolah, atau isterinya lagi sakit menunggu di rumah. Mereka yang dalam jalan kebaikan pekerjaannya adalah para syuhada, yaitu: orang yang bersungguh-sungguh berbuat di jalan Tuhan.

Bukan syuhada, tapi hanya makhluk jadi-jadian alias pura-pura jika mulutnya bicara atau berteriak tentang kebenaran, tangannya menggoreskan tulisan keadilan dan kebenaran, tapi memakan makanan dan menerima uang dari para penjahat kemanusiaan. Jika advokat ia adalah advokat sesat. Jika ulama ia adalah ulama murtad. Jika guru, ia adalah guru penipu. Jika budayawan, ia adalah budayawan kentut monyet. Jika wartawan ia adalah wartawan rombeng. Jika pengusaha, ia adalah pedagang nasib orang.

Intelektual seperti itu sebakat dengan para politisi yang biasa menjual otoritas atau jabatan, memboros-boroskan harta negara, membuat rakyat menjadi melarat.

Jika seandainya Tuhan kelak di akhirat memberikan surga para hamba sahaya penjahat kemanusiaan seperti itu maka aku akan memprotesNya dan lebih baik aku tidak usah masuk surga bersama-sama dengan para cecunguk kemanusiaan seperti itu!

Asalkan tidak berkumpul dengan para pengkhianat dan pembual kemanusiaan itu maka aku rela masuk neraka saja! Sekeras-keras sakitnya di neraka masih lebih menyakitkan melihat perilaku para penipu dan pembohong kemanusiaan itu yang mengenakan baju kemunafikan dengan bangganya, yang mereka berikan nama “profesi”.

Matanya buta ditutupi tabir materi dunia yang tak akan dibawa ke liang kubur. Jiwanya mati dan hanya menjadi drakula-drakula kemanusiaan bergentayangan berkampanye soal humanisme dan keadilan. Jarak antara dirinya dengan Tuhannya dihalang-halangi oleh pengabdiannya kepada materi.
---

Umurku semakin bertambah, tak setangguh waktu remaja. Ketika masih remaja aku malah senang diguyur hujan sewaktu memikul rencek kayu dari hutan, atau sedang mencangkul di ladang. Guyuran air hujan menambah badan mudaku menjadi segar. Tapi malam tahun baru kemarin itu aku sampai di rumah menggigil kedinginan. Isteriku sedikit memarahiku, gara-gara aku lupa tidak membawa jas hujan. “Kalau begitu kamu kan bisa sakit!” katanya agak galak. Aku suka melihat kemarahannya.

Anak-anakku yang masih kecil-kecil menyambutku dengan tawa riang. “Ayah kok gak bawa jas hujan sih? Jadinya basah deh,” kata Cempluk, anak perempuanku yang masih berumur lima tahun itu. Aku hanya menjawab dengan senyum.

Segera kubersihkan diriku. Mandi. Setelah itu, aku bermain dengan anak-anakku. Rasa lelah dan gundah sejenak punah.

Dalam hatiku bergumam, anak-anakku pun harus turut menanggung beban dosa yang telah dilakukan para penjahat kemanusiaan.

Anak pertamaku, Gam, terkena autis. Menurut dokter yang memeriksa hasil penelitian laboratorium atas darah, kotoran dan rambutnya, dalam tubuh Gam tercemar toksin yang diduga sejak masih di kandungan ibunya. Gara-garanya, isteriku senang makan kerang dan ikan laut dari pantai Kenjeran yang telah tercemar limbah industri. Kadar merkurinya tinggi.

Sewaktu isteriku hamil mengandung Gam, aku memang tak bisa menungguinya cukup, karena menjadi relawan di Pulau Buton, mengurusi para pengungsi korban kerusuhan Maluku.

Merawat Gam yang autis membutuhkan kesabaran yang ekstra. Kadang aku juga menjadi tidak sabar jika hiperaktifnya menyerang dan merugikan orang lain yang tidak bersalah.

“Bagaimana korban lumpur Lapindo?” tanya isteriku.

“Sudahlah, mari kita bicara yang lain! Untuk apa membahas korban Lapindo? Wong pemangku kewajibannya saja abai dan tidak peduli!” jawabku seolah serius.

“Lha untuk apa ke posko relawan sampai malam?” tanya isteriku.

“Hanya mau cari terompet di Porong apa sama dengan terompet Surabaya,” jawabku bercanda.

“Terus, kok nggak bawa terompet?” tanya isteriku.

“Nggak jadi. Mending biar malaikat Isrofil saja yang meniupkan terompetnya,” jawabku bergurau.

“Mau kiamat?”

“Jika seumpama Allah tidak iba melihat bayi-bayi yang menangis di malam hari, hewan-hewan melata dan orang-orang yang berurai air mata dalam sujudnya di tengah malam, maka Allah sudah murka melihat manusia-manusia yang telah banyak melakukan dosa.”

Jika dalam waktu yang sering kita sudah melihat murka Tuhan dengan banjir bandang gara-gara hutan dihabiskan secara legal dan ilegal, semburan lumpur Lapindo gara-gara motif ekonomi (penghematan), tsunami Aceh, tanah longsor, dan lain-lain, apakah berarti Tuhan sudah tidak iba lagi melihat ketiga faktor penyebab iba itu?

Apakah berarti kita sudah keterlaluan? Mungkin iya. Bahkan jangan salahkan siapa-siapa jika negara ini kelak akan bubar dan bercerai-berai jika ketidakadilan terus berkuasa.

Surabaya, 1 Januari 2009.
Matahari tergelincir ke arah Barat, terbitnya dari Timur. Utara dan Selatan poros bumi. Mata angin tak dapat bersatu kecuali di satu titik tak ada jarak. Ia adalah nol, netral, tawar, tak berasa, tak berwarna. Tapi dunia tak mungkin hanya itu.







.

Tidak ada komentar: