Selasa, 27 November 2007

PENGADILAN DAN PENGADALAN

Tak ada kaitannya antara adil dengan kadal. Adil merupakan cita-cita manusia, dirindukan setiap saat. Konon ia ditegakkan melalui pengadilan. Bicara pengadilan, bukan hanya soal hakim, tapi juga hukum serta penegak hukum. Penegak hukum terdiri dari hakim, jaksa, polisi dan advokat yang dikenal dengan caturwangsa penegak hukum.

Sementara itu, kadal merupakan binatang melata. Kadal dipandang rendah manusia, karena kebinatangannya. Tak jarang orang yang merasa jijik. Kita tahu kadal pemakan lalat, kecoak, nyamuk dan hewan-hewan kecil. Mungkin saja ada kadal dalam dunia peradilan. Sir Bernard Shaw bilang, di antara kumpulan manusia itu mungkin ada binatangnya. Maksudnya, binatang yang makanannya hot dog, sate, rawon, soto, minum vodka atau topi miring, nonton streaptease dan yang menurut mereka enak-enak. Bagaimana kalau kadal malah menjadi musuh atau penyakit kemanusiaan? Itu pasti kadal paling rendah dalam dunia perkadalan.

Pengadilan

Apa yang Anda rasakan semua tentang pengadilan? Apakah pengadilan telah membuat Anda aman? Sudahkah Anda merasa aman; bahwa anak-anak, cucu atau bahkan suami atau isteri Anda aman dari godaan mafia narkoba karena hukum benar-benar melindungi? Sudahkah Anda merasa aman bahwa hak-hak Anda tidak akan dicuri oleh maling dan perampok, terutama yang berdasi? Pertanyaan yang agak menyimpang: Menurut Anda, lebih menjijikkan mana antara hakim, jaksa, advokat, polisi dibandingkan dengan (maaf) kadal?

Baru-baru ini ada seorang warga menceritakan pengalamannya. Ia pernah berusaha meminta keadilan, sebab ditipu oleh rekan bisnisnya dengan nilai lebih semilyar rupiah. Ia seorang pedagang. Uang sejumlah itu dicari dengan tetesan keringat dan memeras otak. Uang halal, bukan uang instan haram seperti uang suap atau hadiah karena jabatan. Ia memakai jasa pengacara (advokat), membayar puluhan juta, lalu melaporkan perkaranya melalui Kepolisian.

Kali pertama orang itu dipanggil polisi selaku saksi pelapor, badannya gemetar. Psikisnya merasakan hipnosis kewibawaan kepolisian. Waktu demi waktu berjalan. Setelah makan waktu lebih setahun orang itu berkesimpulan; advokat menjijikkan dan kepolisian menjengkelkan. Ia merasa dipermainkan pengacara dan polisi. Ia trauma kalau melihat polisi, dan pengacara, termasuk dengan saya. Ia bilang ‘kurang percaya’ dengan saya, sebab saya pengacara. Maklum. Saya menjadi pengacara juga terpaksa – berat hati - daripada tetap menjadi sarjana penganggur yang tidak laku di bursa kerja, jawabku.

Seperti yang pernah saya baca di sebuah iklan biro jodoh; ada dokter yang mencari jodoh, tapi mengecualikan orang yang bekerja di dunia hukum. Ia terang-terangan mengatakan hukum itu kotor. Ia tidak mau mempunyai pasangan hidup kotoran. Banyak pula para pencari keadilan – utamanya orang tidak mampu - yang putus asas sebab dibelit-belitkan dengan lamanya proses, apalagi jika lawan mereka yang kaya membeli hukumnya. Masih banyak omong kosong.

Hingga sekarang pun, belum ada putusan pengadilan yang membuat kita kagum, kecuali beberapa butir pelepas dahaga keadilan. Apakah otoritas hukum kita telah terlalu merasa mapan dan bahkan ketakutan untuk keluar dari kejahatan itu sendiri - yang diistilahkan sebagai mafia peradilan? Para koruptor pun satu persatu menikmati putusan bebas dan ringan di berbagai pengadilan. Jadi, para koruptor bisa santai sebab di sini ada surga yang dapat dibeli dengan uang, bukan dengan kerja keras (amal saleh). Uang jarahan bisa dibagi-bagi kepada polisi, jaksa, pengacara, hakim, panitera, bahkan panti asuhan, panti jompo, dan tak lupa untuk naik haji.

Di sini juga surga kepalsuan. Setiap hari mungkin kendaraan kita berjalan dengan bensin palsu, oli palsu dan spare part palsu. Kita mandi dengan sabun palsu, keramas dengan shampo palsu, gosok giri dengan sikat dan odol palsu. Kita makan makanan pabrik berstempel sehat palsu, disahkan oleh otoritas kontrol kesehatan secara palsu, dan kesehatan kita pun didiagnosa secara palsu. Kita minum air kali yang dikategorikan layak minum dari laporan hasil laboratorium palsu. Ada banyak kejahatan pemalsuan itu. Ada banyak pula pemalsu yang berlenggang kangkung. Kalau ada pemalsu ditangkap maka dibawa ke pengadilan dengan alat bukti palsu dan diputuskan dengan pertimbangan hukum palsu sehingga putusannya pun palsu. Kita makan kepalsuan itu, setiap hari. Jangan-jangan ini negara palsu dan kita rakyat palsu? Jangan-jangan ini tulisan penulis pemalsu?

Pengadalan

Di pengadilan ada masjid. Biasanya, ketika waktu Dzuhur tiba, banyak para hakim, jaksa, polisi dan advokat yang shalat. Bisa jadi juga ada ‘profesi’ spesialis ‘makelar kadal’ yang shalat. Kita tentu tak dapat menilai tanpa mengalami, apakah orang-orang yang rajin shalat itu juga suka menerima uang suap atau tidak. Tapi, mungkin juga di antara mereka ada yang senang menerima suap dan setelah itu mengucap “Alhamdulillahirabbil’alamiin” dan berdoa kepada Tuhan agar rejeki suap itu terus mengalir ke kantong dan rekeningnya.

Tapi Allah mengingatkan - dalam sebuah hadits qudsi (riwayat Addailami) – bahwa Tuhan hanya menerima sembahyang dari orang yang merendahkan diri karena keagunganNya, menahan hawa nafsu dari perbuatan haram, tidak melakukan ma’siyat, serta melindungi orang musafir kelana. Jadi Allah tentu tidak sudi menerima shalat kaum penerima dan pemberi suap. Orang hendak shalat disuruh berwudlu, maksudnya bersuci diri. Menghadap Tuhan harus bersuci dulu. Dapatkah para pedagang hukum itu suci, padahal baju dan makanan serta minumnya tercemar barang haram yang berarti najis? Apalagi jika menjadi najis sosial? Agama di negara ini hingga sekarang masih dipalsu. Bukan hanya oli, obat dan makanan yang dipalsu. Belum tentu orang beragama itu agamis. Belum tentu yang tampak agamis itu amanat. Kebanyakan dari kita asyik dengan ‘permainan’ sendiri-sendiri, tidak peduli dengan amanat yang sedang dipanggul di pundak masing-masing. Para isteri atau suami jangan buru-buru senang melihat suami atau isterinya rajin shalat sebelum melihat dunia nyata yang ada di balik kepalsuan. Kata Nabi Muhammad (riwayat Bukhari), suatu kaum akan hancur ketika urusan atau amanat dipegang oleh yang bukan ahlinya. Ahli di sini bukan sekedar pintar, tapi juga amanat. Orang pintar tapi khianat adalah pembawa kehancuran. Seperti hancurnya ekonomi negara ini digerogoti kaum cerdik, pandai dan lihai. Tapi siapa yang masih percaya ajaran agama seperti itu?

Negara ini semakin tertinggal jauh, bahkan dari negara-negara yang dahulu kita anggap kecil. Para pejabat mengurus negara tidak serius dan sering salah urus. Amanat menegakkan hukum dan keadilan dibuat permainan. Hari ini, negara kaya ini mengalami kemiskinan, bukan sekedar ekonominya tapi juga etika, moral dan mentalnya. Ada banyak kekayaan negara ini yang dicaplok asing tapi kita tak pernah punya patriotisme sebab terlalu tekun dengan cita-cita kesenangan atau kekayaan pribadi. Jika hari ini kita merasa bukan korban, tapi siapa yang menjamin bahwa anak-anak cucu kita tidak menjadi korban? Jika sekarang kita menikmati mafia peradilan, siapa menjamin di hari tua kita dan nanti anak cucu kita tidak menjadi korbannya? Kelakuan buruk kita telah mengancam masa depan generasi kita sendiri.

Hukum dan agama di negara ini mengalamai pengadalan, direndahkan martabatnya oleh masyarakat sendiri. Banyak orang kaya hobi merebut paksa hak kaum lemah dengan membeli hukum di bursa keadilan yang ada di kantor-kantor penegakan hukum. Para pengurus negara ini tampaknya menikmati itu. Praksis, dunia hukum menjadi kadal sebab dikadalkan oleh para anggota komunitasnya sendiri.

Kerasnya suara kebenaran dibarengi dengan sunyinya langkah kebaikan. Hiruk-pikuknya pembangunan tempat ibadah serta kegiatan ibadah ritual dibarengi dengan senyapnya derap kebenaran. Yang tampak adalah tubuh-tubuh bersimbah peluh dalam persetubuhan dengan waktu dan pengkhianatan, bukan hanya kepada orang lain tapi juga dengan nurani mereka sendiri. Kita sadar bahwa kapal bangunan negara ini telah bocor, akan membawa kita tenggelam. Terus tenggelam, jauh meninggalkan peradaban, dan akhirnya menghilang ke dalam samudera yang tak terukur dalamnya. Lenyap. Sunyi.

Tidak ada komentar: