Sabtu, 11 Juli 2009

Yang Dilupakan

Sabtu, 11 Juli 2009, pagi yang baik, aku tiba di stasiun Gubeng Surabaya. Membeli karcis hanya Rp. 5.500,-, harga tiket kerta api (KA) rakyat jelata dari Surabaya ke Tulungagung. Aku mau jemput anakku, Ima (5 tahun) yang sudah hampir seminggu di rumah neneknya di Tulungagung, berlibur di sana.


Perjalanan dengan KA ekonomi itu adalah perjalanan yang amat indah. Di dalam KA ekonomi para penumpang jelata berbincang satu sama lain, tentang kesulitan keluarga mereka masing-masing. Ada juga yang meletup-letupkan harapan kepada presiden baru yang terpilih, bagai letupan mesin KA rombeng yang kami tumpangi.


Di tempat duduk lain dekatku terjadi pertengkaran antara sesama penumpang. Seorang ibu setengah baya merasa tidak nyaman dengan anak kecil penumpang lainnya yang agak nakal. Cuma soal kurangnya solidaritas dan pemahaman hidup bersama.


Di depan tempat dudukku, ada seorang ibu seusia kakak perempuanku bersama dengan dua anaknya. Ia mau pulang ke kampung halamannya di Desa Prayungan, Nganjuk. Katanya, sudah sekitar sembilan tahun ia tinggal dan bekerja di Surabaya sebagai pedagang kecil di pinggir jalan, jualan nasi soto bersama suaminya yang orang Surabaya.


Ibu itu sambil sedikit tertawa menceritakan anak pertamanya yang hampir saja berhasil masuk ke SLTA negeri, tapi gagal gara-gara nilai ujian nasionalnya tak terlalu bagus. Tapi herannya, kata dia, ada sesama calon siswa yang nilai ujian nasionalnya sama, bisa masuk ke SLTA negeri tempat anakknya mendaftar itu.


Tentu ada yang aneh. Tetapi menjadi tidak aneh jika kita tahu bahwa korupsi dan kecurangan di dunia pendidikan negara ini sudah menjadi hal yang lumrah. Justru menjadi terasa aneh jika semuanya berjalan jujur dan adil. Di soal pendidikan ini, rakyat kecil menjadi korban. Mereka yang kemampuan ekonominya pas-pasan, dihantam oleh mental korup para pemegang kekuasaan di atasnya. Lalu tak berkutik. Menyerah. Menyingkir. Mencari tempat lain.


Meski diperlakukan tidak adil, rakyat jelata tetap mencurahkan isi hati sambil sesekali tertawa. Ketidakadilan itu berjalan sistemik, biasa dialami, tampak wajar, maka dianggaplah biasa, lumrah. “Sesuatu hal yang biasa dialami, tak akan menggetarkan jiwa,” kata seorang pelaku cerita dalam sebuah novel yang pernah kubaca.


Di luar KA, di banyak lingkungan di sekitar rel KA sepanjang perjalanan, banyak pemandangan spektakuler tentang kemiskinan rakyat jelata. Tampak dari rumah-rumah kumuh yang saling berdempetan. Banyak diantara mereka ini tinggal di tanah yang diklaim PT. KA sebagai tanah hak pengelolaannya.


Tanah tumpah darah siapa, atas tertumpahnya darah siapa, sehingga berjibun rakyat tinggal di negara sendiri tak punya tanah? Tanah air Indonesia. Tanah adalah tanah milik mereka yang punya uang, yang bisa membelinya. Air adalah yang secara perlahan dan pasti juga mulai dikuasai oleh para pemilik kapital raksasa. Lalu kenapa sampai ada rakyat yang tak punya tanah dan dituduh tinggal ilegal di tanah negara? Apakah negara ini pemilik tanah?


Lalu bagaimana negara tanpa rakyat? Bahkan para majikan besar-besar pasti butuh rakyat jelatan yang bodoh agar mau diupah murah untuk keuntungan para bos itu. Jika suatu saat tenaga rakyat jelata yang bodoh dan murah digantikan mesin-mesin yang efesien, maka negara yang disetir para pemilik kapital tak membutuhkan rakyat jelata yang bodoh. “Singkirkan mereka! Gusur mereka! Sampai mereka dapat “dijual” menjadi komiditas dengan diberi gelar Pahlawan Devisa di negara rezim devisa ini!”


Ini ciri hidup dalam negara liberal, dimana sistem politik, ekonomi, hukum dan kebudayaannya menjadi liberal. Agama pun ditafsir untuk menghamba kepada kapital. Ideologi Pancasila tersingkir. Sudah waktunya kita memperingati Hari Kematian Pancasila, sebab Keadian Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia makin terbukti hanya utopia: tahayul!


Roda kekuasaan negara ini bukan dijalankan dengan mesin pendorong liberalisme yang disokong dengan bahan bakar kapitalisme, hasil rampokan atas kekayaan negara-negara lemah dan terjajah, seperti juga Indonesia ini.


Kita mestinya 230 juta orang tertawa terbahak-bahak membahana memenuhi langit, sebab menyadari kebodohan diri sendiri, hidup di atas karpet minyak bumi, gas alam, emas dan tembaga nomor satu di dunia, serta batubara yang semuanya itu menggerakkan mesin ekonomi dan menerangi Asia, Amerika (Serikat) dan Eropa. Tapi kita hidup dengan penerangan lilin ekonomi sosial yang remang-remang.


Tapi ada daya, kebodohan itulah yang membuat kita merasa mapan. Para ulama mengajari kita untuk bersyukur dengan apa yang telah kita peroleh dari Alloh SWT, agar bisa hidup tentram dan tenang. Meski bangsa kita dirampok habis-habisan oleh para penguasa kapital, bukankah kita sudah diajari: jika pipi kananmu ditampar, berikan pipi kirimu! Kita juga diajari menjadi pemaaf: “Dengan memaafkan kejahatan kepada diri kita maka Tuhan akan memberikan pahala khusus dan surga.”


Hahahahahaha..... Tuhan kok bodoh? Pantas Karl Marx bilang bahwa agama itu candu sosial. Pantas jika Nietzche bilang bahwa Tuhan telah mati! Jika manusia menjadi bodoh, menyerahkan kekayaannya dirampok orang lain, membiarkan dirinya diperbudak, kepalanya diinjak-injak, rela ditipu mentah-mentah dengan dan atas nama rasa syukur dan menjalankan kesabaran - yang katanya itu ajaran agama - maka buang saja agama itu ke Kali Surabaya yang sudah lama diracuni total oleh para kapitalis perampok dan penipu raksasa itu!


Buang agama! Agama hanya menjadikan rakyat jelata semakin lemah, terus-menerus ditikam derita panjang yang mereka rasakan sebagai nikmat Tuhan! Hanya karena mengharap pahala dan surga maka manusia beragama diam membisu melihat perampokan massal di depan mata mereka, membiarkan kepalanya sendiri dan saudara-saudaranya diinjak-injak, anak-anaknya didlolimi, dipotong akses hak atas pendidikan mereka, lalu di sekolahan otaknya diracuni dengan doktrin: “kekayaan negaramu harus diurus oleh para pemilik modal partikelir!”


Jika agama membiarkan itu, maka aku akan menjadi murtad dan kafir. Aku akan mencari Tuhan lain yang mau mendidikku untuk berani menghancurkan para penindas dan pengobar kemunkaran di muka bumi. Tuhan yang mengajariku untuk ikhlas hidup tak perlu berpamrih pahala dan surga. Tuhan yang mampu mengobarkan semangatku untuk melenyapkan orang-orang yang telah meracuni otak sosial.


Atau, jangan-jangan umat beragama di negara ini telah menjadi kaum musyrik dan dlolim yang sudah lama menyimpang dari ajaran agama yang sejati? Hanya karena pamrih pahala dan surga itu maka mereka diam membisu melihat kemunkaran di depan mata mereka?


Pantaslah jika Robiah Al-Adawiyah, sufi wanita yang terhormat, hendak pergi membakar surga dan memadamkan api neraka. Mungkin karena dia melihat kaum Islam yang apatis dan egois, mau selamat sendiri. Sebab, sikap apatis dan egois demikian jelas meracuni agama yang benar. Dalam sebuah hadits qudsi dikisahkan Allah memerintahkan agar muslim yang apatis (tidak peduli dengan kaum susah di sekitarnya) dilemparkan ke dalam neraka.


***


KA yang aku tumpangi mogok di Papar Kediri. Tak ada penjelasan apapun, tak ada permintaan maaf. Satu persatu penumpang yang mulai lama didera ketidakpastian itu mengubah nasib mereka sendiri dengan meninggalkan KA rongsokan itu, mau pindah naik bis, termasuk aku. Apakah jika negara ini telah menjadi barang rongsokan yang pengurusnya tak bertanggung jawab pasti tak akan ditinggalkan? Atau, tak bolehkah kita merebut kendalinya untuk menyelamatkannya?


Aku bergurau dengan gaya bahasa kapitalis, “Bayar Rp. 5.500,- kok mau selamat!” Mungkin, hanya karena kami dianggap rakyat jelata yang recehan, maka penguasa KA merasa tak perlu minta maaf atau memberi penjelasan. Berbeda sekali dengan ketika mereka sedikit saja lalai dalam melayani para penumpang eksekutif. Hukum Perlindungan Konsumen ternyata juga tak diberlakukan kepada para konsumen jelata.


Inilah ciri khas negara budak dan penghamba kapitalisme yang berciri liberal, yang secara substansial tidak jauh beda dengan negara tirani monarkhi.


Dalam negara tirani monarkhi yang menjadi tiran adalah sang raja dan para punggawanya. Dalam negara kapitalisme yang menjadi tiran adalah para penguasa kapital yang didukung para anteknya.


Dalam berbagai perjalanan, kita bisa melihat, ada banyak yang dilupakan dari tujuan didirikannya negara ini.


Tanpa eksploitasi kekayaan alam yang melimpah dan mahal, Khalifah Umar bin Abdul Aziz bisa melenyapkan kemiskinan di negaranya hanya dalam waktu dua tahun, dengan alat ekonomi berupa zakat (ditarik dari penduduk kaya muslim) dan pajak (ditarik dari penduduk kaya nonmuslim). Dalam waktu dua tahun itu ditandai dengan kembalinya zakat kepada pemilik atau pembayarnya.


Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khatab, Umar bin Abdul Aziz, Raja Jalaluddin Muhammad Akbar (di Hindustan) biasa menyamar menjadi rakyat jelata, berkeliling melihat keadaan rakyatnya, tanpa pasukan pengawal khusus, tak mau ada satupun rakyatnya yang menderita tak bisa makan, tak pernah percaya hanya menerima laporan dari para gubernur maupun para birokrat saja.


Tapi, Indonesia yang terus mengeksploitasi kekayaan alamnya yang mahal-mahal dan melimpah, justru didera oleh masalah ekonomi dan sekitar separoh penduduknya tetap miskin dalam kurun waktu hampir 64 tahun merdeka. Kekayaan alam yang melimpah itu malah menjadi kutukan bagi kita (meminjam Joseph E. Stiglizt dalam Escaping The Resource Curse), karena hanya dilahap para penguasa kapital dan bersekongkol dengan para penguasa negeri ini.

****


Setelah sekitar setengah jam, aku baru bisa naik ke sebuah bis yang sudah penuh. Terpaksa berdiri dalam bis dari Papar Kediri hingga di Tulungagung. Sampai di Tulungagung sudah jam satu siang.


Hanya sekitar setengah jam aku di rumah Tulunagagung. Aku segera Pulang ke Surabaya bersama Ima, naik bis patas. Di dalam bis Ima sedikit rewel, minta diputarkan lagu. Aku putarkan lagu dari telepon selulerku, yang kebetulan muncul lagu “PadaMu Kubersujud.”


Lagu itumengalun, mengalir, menghibur waktu yang penat dan makin melelahkan. Aku tengok Ima....., aku kaget, .... tampak air matanya meleleh di pipinya yang bening. Aku tanya dia, kenapa menangis. Dia tak menjawab, hanya nampak isak tangisnya sesenggukan kian tak terbendung. Matanya yang basah menatapku, tanpa kata, lalu tertunduk.


Aku baru sadar, Ima rupanya sedang menghayati lagu “PadaMu Kubersujud”. Aku peluk anakku itu. Aku matikan saja lagu di HP-ku. Sejenak kemudian dia tertidur lelap di pangkuanku.


Ya Tuhanku, jalan masih akan panjang......

Tidak ada komentar: