Jumat, 22 Mei 2009

PEMILU DAN KEMERDEKAAN NEGARA

Sejarah yang benderang memberi lampu pengetahuan bahwa penjajahan bangsa Belanda kepada Indonesia diawali oleh VOC, sebuah perusahaan dagang Belanda, yang oleh orang Indonesia dikenal dengan sebutan “kompeni” (company).

Guna meneguhkan kekuasannya di Nusantara maka kompeni menggunakan tentara yang ditempatkan sebagai anjing penjaga modal dan kepentingan kompeni di sini. Maka ada istilah “tentara kompeni.” Hingga selanjutnya kendali penjajahan diambil-alih oleh pemerintah Belanda.
Perjuangan bangsa-bangsa terjajah di seluruh dunia mendapatkan dukungan politik negara-negara penjajah baru semacam Amerika Serikat. Keprihatinan penindasan global setelah berakhirnya Perang Dunia Ke-dua membuahkan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia tahun 1948. Sejak itu, bangsa-bangsa terjajah di dunia satu persatu mulai dapat merdeka secara politik.

Tapi apakah setelah itu dunia bebas dari penjajahan?

David Korten, ekonom Amerika Serikat (AS) melihat gejala baru, bahwa dunia moderen sedang dicengkeram oleh tirani korporasi. Berdirinya lembaga semacam World Bank (WB), International Monetary Fund (IMF) dan Word Trade Organisation (WTO) dengan ideologi kapitalisme, ternyata berbuah pada penjajahan baru.

John Perkins mengatakan bahwa AS adalah korporatokrasi. Dia bersaksi bahwa ia termasuk ekonom yang dibayar mahal untuk membuat skenario penguasaan ekonomi kepada negara-negara dunia ketiga yang kaya sumber daya alam.

Johan Galtung menyatakan bahwa apabila rencana penguasaan ekonomi negara lain oleh AS secara lembut gagal maka aksi kekerasan militer AS akan dilakukan dengan alasan keamanan nasional (AS) dan internasional. Terbukti dalam kasus Panama dan Irak. Mungkin, itu juga bukan satu-satunya cara.

Statemen Bung Karno terbukti, bahwa kapitalisme kuno membuahkan imperialisme kuno, kapitalisme moderen membuahkan imperialisme moderen. Bung Hatta juga menyatakan, bahwa meskipun kita merdeka secara politik, namun jika secara ekonomi tidak merdeka maka tetap saja terjajah. Maka, kemerdekaan bukan hanya persoalan kebebasan secara politik, tapi juga secara ekonomi dan budaya.

Ada kecenderungan umum, bahwa kekuasaan politik disetir oleh kekuasaan ekonomi. Para penguasa modal menjadi donor para calon penguasa pemerintahan dengan kesepakatan gelap: apabila calon penguasa berhasil menjadi penguasa maka pemerintahan harus membalas budi, memenuhi kehendak sang donor.

Indonesia jelas, hingga hari ini tetap berkiblat pada poros kapitalisme dalam pembangunan ekonominya. Jeratan utang luar negeri selain membayar bunga dan jasa para ahli dari kreditor asing, juga dengan kesediaan membuka modal asing untuk menguasai kekayaan alam vital Indonesia, terutama energi fosil, yang dalam kenyataanya dipakai untuk memenuhi kebutuhan negara-negara lain di saat Indonesia sendiri mengalami krisis energi. Belum lagi menanggung akibatnya berupa bencana lingkungan hidup di mana-mana.

Imperium ekonomi asing tak hanya dengan bentuk tangan asing, tapi juga dengan persekutuan modal dengan konglomerat dalam negeri Indonesia sendiri, yang juga memperalat kekuatan keamanan dan pertahanan negara dalam negeri.

Putusan Mahkamah Agung AS 2008 menyatakan adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan Exxon kepada penduduk Aceh yang melibatkan tentara, serta laporan Global White tentang masuknya dana Freeport untuk para pejabat militer di Indonesia, menunjukkan bahwa di era moderen “tentara kompeni” bukan lagi berasal dari asing, tapi dari dalam negeri sendiri.

Hancurnya nasib rakyat korban Lapindo dan pembebanan kepada negara atas risiko usaha Grup Bakrie (Energi Mega Persada qq. Lapindo Brantas Inc) di Blok Brantas adalah salah satu bukti penguasa politik tidak berdaya (tidak merdeka) menghadapi dominasi penguasa kapital (ekonomi) domestik dan asing.

Sungguh tidak masuk akal dalam sebuah negara merdeka sampai ada penelantaran puluhan ribu korban kecelakaan kegiatan usaha migas di Sumur Banjar Panji 1 Sidoarjo selama tiga tahun. Semburan lumpur dibiarkan terus menyembur hanya atas dasar pendapat Lapindo.

Referensi para ahli pemboran permigasan internasional, laporan hasil audit kinerja yang dilakukan negara sendiri (BPK) serta kesimpulan hasil investigasi yang dilakukan oleh Tim Investigasi Independen yang dibentuk pemerintah sendiri (diketuai DR. Ir. Rudi Rubiandini), dianggap angin kentut.

Semua itu terjadi karena presiden dan struktur pemerintahan yang terlalu lemah, berada dalam penguasaan pemilik kapital. Penguasa kapital ini menjajah tak hanya dari dalam kekuasaan politik, tapi juga masuk secara lembut mengintervensi independensi kekuasaan akademik, hukum, budaya, seni, serta lembaga atau organisasi sosial maupun keagamaan.

Rekomendasi Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TP2LS) DPR RI yang berada di luar kompetensinya, yaitu menyatakan semburan lumpur Lapindo disebabkan gempa Jogja, adalah fakta abnormal, termasuk indikasi kuat telah dikuasainya kekuasaan politik oleh penguasa kapital. Sepinya suara intelektual dalam menanggapi kasus lumpur Lapindo yang merugikan negara, dan bahkan terlibatnya para intelektual - kampus dan luar kampus - yang menjadi “tim sukses” Lapindo Brantas Inc, menunjukkan pula fakta keterjajahan intelektual di negara ini.

Lalu, manfaat apa yang akan diperoleh rakyat dalam pemilu, termasuk Pemilihan Presiden dan wakilnya (Pilpres) Juli 2009 nanti?

Dengan calon-calon yang itu-itu saja maka rakyat masih hanya akan mengikuti undian politik yang kemungkinan besar masih akan menjadikan negara ini berada dalam ketiak penjajah asing dan domestik.

Partisipasi rakyat dalam pemilu belum akan membawa perubahan, kecuali hanya untuk melanjutkan tradisi demokrasi bohong-bohongan, sebab rakyat hanya dijadikan alat formal suksesi kekuasaan negara. Sedangkan kekuasaan negara de facto ada di tangan para pemilik kapital yang menjadi donor kekuasaan. Di tangan mereka inilah hitam putih negara ditentukan, terutama terkait pembangunan ekonomi.

Kecuali jika terjadi “pengkhianatan positif”, di mana presiden, gubernur, walikota/bupati dan para wakil rakyat terpilih meninggalkan kesepakatan gelap dengan para donornya, untuk benar-benar memihak rakyat, memerdekakan negara. Tapi mereka apa mau rela berkorban menjadi pejuang kemerdekaan negara Indonesia?

Mohon diingat-ingat, tampaknya itu kelak akan terjadi jika telah ada seorang perempuan yang mengeluarkan bau wangi kentut yang keluar dari lubang di punggungnya dan seorang lelaki yang kemaluannya tumbuh di kepalanya.

Tidak ada komentar: