Senin, 21 April 2008

Lumpur Lapindo dan Kerugian Rakyat

Ketika lumpur Lapindo baru sekitar dua bulan menyembur, Aburizal Bakrie alias Ical, Menteri Koordianator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) - yang juga bos Grup Bakrie pemilik Lapindo Brantas Inc. (Lapindo) - mengatakan bahwa ia yakin Lapindo akan mampu menanggung seluruh biaya untuk mengatasi semburan lumpur panas itu, sehingga pemerintah sama sekali tidak mencadangkan anggaran untuk ganti rugi warga, relokasi maupun penanganan lumpur. Penjelasan Ical tersebut menanggapi pernyataan Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang mengatakan bahwa pemerintah tidak akan mengeluarkan dana sepeserpun dari APBN untuk penanganan kasus lumpur Lapindo itu (Jawa Pos, 13/8/2006).

Waktu berjalan, sebulan kemudian semburan lumpur tak kunjung berhenti. Saat itu Lapindo mengatakan telah menghabiskan dana 35 juta – 40 juta dolar Amerika Serikat (AS) untuk biaya penanggulangan luapan lumpur. Wacana relokasi penduduk korban mulai muncul. Tapi Lapindo menolak untuk membeli tanah warga yang terendam. Yuniwati Teryana, Kepala Divisi Humas Lapindo saat itu mengatakan bahwa Lapindo itu production sharing contractor (PSC), tidak bergerak di bidang properti. Sebagai perusahaan PSC Lapindo terikat kontrak dengan pemerintah. Untuk mengadakan aset pun Lapindo harus mendapatkan rekomendasi pemerintah sebab aset itu nantinya menjadi milik negara (Jawa Pos, 13/9/2006). Yuniwati benar. Pendapatnya sesuai prinsip UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (migas).

Tapi Yuniwati lupa bahwa Grup Bakrie juga mempunyai usaha properti di mana-mana. Singkat cerita, Presiden SBY mengeluarkan Perpres No. 14/2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang mewajibkan Lapindo membeli lahan korban lumpur, tapi dibatasi menurut peta terdampak 22 Maret 2007. Biaya relokasi, pengalihan infrastruktur dan lain-lain di luar peta itu akan ditanggung negara dan sumber lain yang sah. Hingga di sini, pemerintah pusat menjilat ludahnya sendiri.

Selanjutnya Lapindo memberi kuasa kepada PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ) untuk melakukan jual-beli aset terendam lumpur dengan korban di wilayah terdampak menurut peta 22 Maret 2007. Tapi kekisruhan demi kekisruhan terjadi termasuk soal formalitas bukti hak atas tanah, hingga Emha Ainun Nadjib meredakan kekisruhan itu dengan cara ‘sumpah’. Emha yang kebetulan punya kedekatan hubungan dengan keluarga Bakrie dipercaya oleh Lapindo dan diberi kuasa oleh ribuan korban lumpur.

Soal itu masih akan menjadi teka-teki untuk masa depan. Apakah tanah yang dibeli MLJ tersebut akan menjadi hak Lapindo atau MLJ? Jika seumpama tanah korban lumpur itu beralih menjadi hak MLJ apakah sah menurut UU No. 22 /2001 dan Perpres No. 14/2007? Bukankah MLJ yang diberikan kuasa oleh Lapindo adalah ‘wakil’ Lapindo? Apakah wakil boleh ‘memiliki’ urusan yang diwakilinya sebagai urusannya sendiri dengan akibat memperoleh hak yang berasal dari urusan yang diwakilinya? Apakah hukum membenarkan adanya klausul perjanjian jual-beli baku (standard contract) antara korban lumpur Lapindo dengan MLJ yang menyebutkan syarat untuk ‘tidak akan menuntut Lapindo’? Bagaimana jika kasus serupa terjadi di lain tempat di Indonesia yang kaya-raya migas ini, apakah akan diselesaikan dengan cara serupa? Apakah hukum yang adil membolehkan seluruh rakyat Indonesia dipaksa menanggung beban atau risiko semburan lumpur di luar peta terdampak 22 Maret 2007 yang dikonstruksikan dengan Perpres No. 14/2007 itu?

Wewenang daerah

Jika jawaban-jawaban atas seluruh pertanyaan tersebut adalah ‘ketidakpastian’ maka negara ini perlu merumuskan ‘kepastian’, khusus dalam model pertanggungjawaban pengelolaan kekayaan alam migas dan pertambangan lainnya. Jika pemerintah pusat terlalu sulit untuk memberikan kepastian itu maka pemerintah daerah harus segera merumuskan aturan main (rule of game) guna memberikan jaminan kepastian hukum atas nasib rakyat di daerah masing-masing, agar tidak menjadi bulan-bulanan permainan oligarki. Sebab, ketidakpastian itulah yang menjadi alat para pemilik kapital untuk terus menggunakan kuku-kuku kekuasaan ekonomi mereka, ‘membeli’ siapapun untuk memenangkan pertarungan melawan publik. Ujungnya, rakyatlah yang menjadi korban.

Pemerintah daerah mempunyai wewenang menurut UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang dan PP No. 16/2004 tentang Penatagunaan Tanah. Dengan instrumen hukum tersebut pemerintah daerah masing-masing seharusnya menata ruang dan menata guna tanah dengan berpedoman pada sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai pasal 33 UUD 1945. Setiap pelaku usaha tambang di daerah akan diberikan izin lokasi jika mau memberikan jaminan absolut atas risiko usaha mereka, seperti halnya korporasi asuransi modern yang berani menggaransi risiko kejadian-kejadian di luar kesalahan tertanggung sebab korporasi tersebut menggunakan kekayaan rakyat untuk mengeruk keuntungan.

Pemerintah daerah juga menetapkan ruang-ruang mana yang menjadi ruang pengaman rakyat, dikonservasi dan dilarang untuk dikonversi sembarangan. Penataan ruang dan penatagunaan tanah harus memperhatikan hak keadilan ekologis (eco-justice) dan keadilan sosial (social justice). Kedua prinsip keadilan itu selama ini diabaikan sehingga bukan hanya kasus lumpur Lapindo yang muncul, tetapi juga banjir serta longsor di mana-mana akibat konversi lahan sembarangan demi mendewakan pembangunan ekonomi yang tidak kunjung memakmurkan rakyat tetapi malah menimpulkan malapetaka berkepanjangan.

Para ekonom maupun teknokrat ekonomi harus mulai berpikir bahwa nilai guna ekonomi barang juga menyangkut nilai ekologis (eco-value atau eco-utility). Mengapa mereka tidak menghitung berapa nilai kerugian yang harus ditanggung rakyat dan negara akibat perusakan lingkungan hidup? Tahun ini saja pemerintah menghitung kebutuhan sekitar Rp. 60 triliun untuk biaya perbaikan infrastruktur akibat banjir di saentero Nusantara ini. Belum lagi tiap tahun APBN serta APBD Jawa Timur harus menanggung beban biaya semburan lumpur Lapindo selama semburan itu belum dihentikan atau berhenti. Lalu berapa hasil Blok Brantas yang dikelola Lapindo-Medco-Santos itu yang telah masuk ke negara?

Jika begitu, itu bukan membangun, tapi merusak. Negara menoleransi penguasa lumpur yang merusak hidup rakyat. Lalu apa guna negara bagi rakyat?

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Tulisan artikel di blog Anda bagus-bagus. Agar lebih bermanfaat lagi, Anda bisa lebih mempromosikan dan mempopulerkan artikel Anda di infoGue.com ke semua pembaca di seluruh Indonesia. Salam Blogger!
http://www.infogue.com/
http://www.infogue.com/masalah_politik/lumpur_lapindo_dan_kerugian_rakyat/