Kamis, 30 Mei 2019

Makar dan Menghina Presiden: Mengapa Hukum Jadi Rusak?


Sudah biasa, saat di media sosial facebook saya berkomentar mengritik rezim Jokowi, maka saya dituduh sebagai kampret. Padahal saya ini tergolong batman (pria kelelawar), karena suka begadang malam, meski begadangnya di rumah. Jika tulisan ini dinilai sebagai tulisan kampret, ya silahkan. Saya harus memaklumi zaman aneh ini. Jika tidak maklum ya bisa ikutan stress. 

Memang. Demokrasi di masa sekarang ini selain harus menghadapi rezim yang tidak cukup demokratis ini, juga harus menghadapi serangan-serangan opini norak dari para pendukung Jokowi yang fanatik. Mereka gampang menuduh seseorang sebagai kampret (Pendukung Prabowo). Padahal kalau disuruh membuktikan di muka forum hukum seperti di pengadilan atau di kantor polisi, bahwa saya adalah kampret, mereka akan kejang-kejang otak karena tidak mampu, hanya mendasarkan pada prasangka.

Tapi masih ada waktu bagi mereka untuk menjadi manusia normal, minimal seperti zaman rezim SBY yang tidak ada kelompok manusia seperti itu. (Pendukung Jokowi yang rasional tentu tidak termasuk dalam kategori yang perlu diberikan konsultasi psikologi. Maaf ini kayak kalimat rayuan…. hiks hiks…. ).

Seharusnya cara pikir yang normal adalah: kebenaran itu tidak peduli ada pada siapa, golongan siapa. Meskipun seandainya ada orang yang karuan menjadi penjahat, maka si penjahat ini hanya boleh dihukum atas dasar perbuatannya, bukan dihukum terhadap hal yang tidak diperbuatnya.

Begitupun siapapun orangnya, apakah dia jokower, prabower, yudhoyonoer, gusdurer, suhartoer, sukarnoer, habibier, megawatier, dan lain-lain, jika mereka ini menjadi korban ketidakadilan, ya layak untuk dibela haknya. Mereka hanya boleh dihukum terhadap kesalahan yang diperbuatnya sesuai aturan hukum. Tapi bukan untuk dicari-cari kesalahannya, lalu dipaksakan hukum yang sebenarnya tidak pas. Jangan dzalim!

Kalau saya tanyakan kepada para pendukung Jokowi: “Mengapa Jokowi tidak mengeluarkan keputusan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk menindaklanjuti kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu, yang katanya Prabowo juga sebagai terduga yang terlibat? Apakah itu kesengajaan baginya untuk mengabadikan lawan politik yang secara opini cacat hukum dan moral sehingga lebih mudah baginya untuk mengalahkannya? Ataukah ada pertimbangan lain yang masyarakat tidak tahu? Kan tahun 2009 Prabowo juga bergandengan tangan politik dengan Megawati? “
Bahkan Jokowi  sendiri mengakui bahwa karir politiknya juga ada peran Prabowo, meski menurut Jokowi bahwa Prabowo bukan peran yang utama.” (Kompas.com, 27/3/2014).

Mengapa para aktivis HAM para pendukung Jokowi malah melupakan tugas dan misinya agar presiden yang didukungnya itu membereskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu? Termasuk jika perlu juga mengadili Prabowo, agar jelas dan tidak hanya menjadi bahan gosip politik? Padahal itu penting. Berani nggak? Mengapa tidak berani? Kalau sekarang gampang membuat isu “makar”, lalu mengapa tidak berani membuat Pengadilan HAM adhoc yang sudah jelas ada bahan dokumen penyelidikan dari Komnas HAM? Apa jawabmu? Pasti mbulet.

Sekarang saya akan bicara tentang makin rusaknya hukum di negara ini, yang barangkali gara-gara sentimen atau sensitivitas politik. Sepertinya hukum sudah menjadi alat politik, baik politik kekuasaan dan kepentingan ekonomi orang-orang besar.

Pertama, penerapan delik makar.

Masih ingat kejadian ditangkapinya para tokoh oposan seperti Sri Bintang Pamungkas, Rachmawati Sukarnoputri dan kawan-kawan tanggal 21 Desember 2016. Hingga sekarang kasusnya bagaimana, tidak jelas. Lalu pasal makar tersebut dipergunakan lagi untuk menahan Eggi Sudjana dan Kivlan Zen.

Saya juga membaca berita di iNews.id tanggal 21 Mei 2019 bahwa seorang bernama Miko Napitupulu melaporkan jenderal Djoko Santoso, dkk yang berada di grup politik Prabowo, ke Kepolisian dengan tuduhan melakukan delik menurut UU No. 1 Tahun 1946, pasal 110 jo. pasal 108 ayat (1) KUHP, dan atau Pasal 163 bis jo. Pasal 146 KUHP. Laporan Polisi nomor STTL/327/V/2019 Bareskrim. Katanya, dugaan makar itu terkait dengan seruan Amin Rais untuk melakukan people power.

Sebenarnya, apakah delik (tindak pidana) makar itu? Delik makar diatur di dalam Buku Kedua Bab I KUHP, yang dapat dikelompokkan dalam kategori sebagai berikut:
Pertama, makar dengan maksud membunuh atau merampas kemerdekaan atau menghilangkan kemampuan Presiden dan Wakil Presiden dalam memerintah. Ini ada di Pasal 104 KUHP. Kedua, makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh, atau memisahkan sebagian wilayah Indonesia. Ini ditentukan di Pasal 106 KUHP. Ketiga, makar dengan maksud menggulingkan pemerintah. Ini ditentukan Pasal 107 KUHP. Keempat, makar dengan cara pemberontakan bersenjata. Ini ditentukan Pasal 108 KUHP.
Perbuatan yang termasuk menjadi ciri-ciri makar juga disebutkan di Pasal 110 KUHP.

Tidak cukup hanya membaca pasal-pasal bentuk perbuatan makar tersebut. Tapi juga harus membaca Pasal 87 KUHP yang menggariskan: “Dikatakan ada makar untuk melakukan perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, seperti yang dimaksud dalam Pasal 53.”

Pasal 53 KUHP dikenal dengan pasal “percobaan”, yang pada intinya: “Mencoba melakukan kejahatan pidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan karena kehendak pelakunya itu sendiri.” Misalnya, Parto sedang mengarahkan senjata mau menembak presiden. Tapi ada Juminten yang menendang tangan Parto sehingga senapan Parto jatuh. Misalnya lagi, sekelompok orang yang jumlahnya seribu orang sedang menuju istana presiden dengan tujuan mau menculik presiden, tapi begitu di depan istana mereka dibekuk para pengawal istana (meski ini contoh tentang orang-orang yang bodoh, sebab bagaimana bisa sekelompok orang mau menculik presiden di istana yang dijaga berlapis, kecuali mereka kelompok Avengers).

Jadi, untuk dikatakan makar, perbuatan itu harus sudah dimulai dengan suatu tindakan. Kalau hanya seruan people power yang tujuannya hanya untuk demonstrasi, ya bukan makar. Jangankan hanya seruan people power yang tujuannya bukan menggulingkan pemerintahan, jika seandainya Mbah Amin Rais menyerukan agar rakyat menggulingkan pemerintah, tapi kalau tidak ada orang yang bergerak, maka Mbah Amin Rais hanya termasuk kategori “penganjur” yang disebutkan di dalam Pasal 55 ayat (2) KUHP yang menggariskan, “Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.” Jadi, jika seruan atau anjuran makar itu tidak menimbulkan akibat perbuatan makar, maka si penganjur tidak bisa dihukum. Sama halnya ketika saya misalnya meminta Parjo untuk membunuh Sumi, tapi Parjo hanya datang untuk menakut-nakuti Sumi, maka saya tidak bisa dipidana.

Apalagi ternyata Kapolri sendiri (Tito Karnavian) bersama dengan Menkopolhukam (Wiranto) telah mengumumkan bahwa ternyata tujuan aksi perusuh 22 Mei 2019 adalah untuk membunuh Jenderal Wiranto, Jenderal Hendropriyono, Kepala BIN (Jenderal Budi Gunawan), dan Komjen Gories Mere (staf khusus Presiden Jokowi). Artinya, pemerintah sendirilah yang  justru membuktikan sendiri bahwa kerusuhan 22 Mei 2019 yang dikaitkan dengan kata “people power” itu tujuannya untuk membunuh empat tokoh pemerintah itu, bukan untuk membunuh presiden dan wakil presiden atau menggulingkan pemerintah.

Kedua, delik penghinaan kepada presiden

Mahkamah Konstitusi (MK) No. 013-022/PUU-IV/2006  sudah melenyapkan Pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP tentang penghinaan kepada presiden dan atau wakil presiden. Mengapa? Zaman sekarang, presiden dan wakil presiden harus dipersamakan dengan orang-orang lain dalam soal citra diri. Jika misalnya presiden Jokowi dihina orang, maka kalau dia mau memidanakan si penghinanya, dia harus mengadu ke Kepolisian, menggunakan pasal 310, 311 atau 315 KUHP. Pasal eksklusif yakni Pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP bisa dijadikan alat tirani kekuasaan. Makanya dihapus. Harga diri pribadi presiden Jokowi dan wakil Presiden Jusuf Kalla sama dengan harga diri Miko, Siti dan Paijem yang rakyat biasa. Ini bukan zaman feodal.

Ketentuan Pasal pencemaran nama menurut UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang semula bukan delik aduan, diubah menjadi delik aduan dengan UU No. 11 Tahun 2016 (Pasal 45 ayat 6). Karena ancaman pidananya maksimum 4 (empat) tahun, maka berdasarkan pasal 21 KUHAP si tersangka pencemaran nama atau penghinaan melalui medsos juga tidak boleh ditahan selama masa pemeriksaan perkara dari kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan, hingga Hakim memutuskan yang bersangkutan salah atau tidak, terbukti melakukan penghinaan atau tidak. Penghinaan itu itu bentuknya serangan kepada pribadi, bukan kritik terhadap pekerjaan jabatan. Makanya pasal 310 KUHP menentukan, “Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri.”

Jadi, kalau ada orang yang menghina presiden melalui saluran media elektronik, misalnya melalui Youtube, facebook atau twitter, si penghina presiden Jokowi tidak boleh langsung ditangkap. Harus melalui proses: (1) adanya pengaduan presiden Jokowi ke Kepolisian, (2)  lalu atas dasar pengaduan itu penyelidik atau penyidik memeriksa persiden Jokowi untuk dimintai keterangannya sebagai saksi korban, (3) lalu memeriksa saksi-saksi dan bukti lainnya, dan terakhir melakukan panggilan tertulis kepada orang yang diduga menghina presiden Jokowi itu. Jika si terlapor / orang yang diadukan itu telah dipanggil oleh penyelidik atau penyidik Kepolisian tiga kali berturut-turut tetapi tidak mau datang tanpa alasan yang sah, maka polisi dapat menghadirkan secara paksa dengan menjemputnya, tetapi tidak boleh dilakukan penahanan kepada terduga penghinaan itu.

                                               Sumber foto: liputan6.com

Ingat nggak saat SBY dihina seorang politisi Partai Bintang Reformasi, Zaenal Ma’arif? Karena sudah ada putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 yang menghapus pasal penghinaan kepada presiden secara khusus tersebut, maka SBY tanggal 29 Juli 2007 datang ke Polda Metro Jaya membuat pengaduan dan dilayani Polisi seperti orang biasa pada umumnya, meskipun dia Presiden. Selanjutnya Zaenal Maarif pun diperiksa tanpa ditangkap dan ditahan.

Lalu mengapa sekarang ini selalu terjadi penangkapan kepada para penghina Jokowi tanpa melalui proses hukum seperti yang saya jelaskan di atas itu?

Bagaimana jika seandainya polisi menerapkan Pasal 45 A ayat (2) UU ITE untuk menjerat penghina Presiden? Itu dzalim. Menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Pasal 45 A ayat (2) UU ITE itu menentukan: “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Jadi, pasal ini berkaitan dengan kebencian atau permusuhan yang tekait SARA yang harus dibedakan dengan delik penghinaan.

Kepada orang-orang yang ditangkap dan ditahan dengan tuduhan penghinaan kepada presiden, orang-orang itu dapat menempuh upaya hukum praperadilan, yakni mengajukan permohonan permohonan pemeriksaan praperadilan melalui Pengadilan Negeri di wilayah hukum kepolisian yang melakukan penangkapan itu. Orang biasa menyebut “gugatan praperadilan.” Sebab, penangkapan dan penahanan demikian itu tentu tidak sah. Lalu bagaimana mereka bisa mengajukan gugatan praperadilan dalam keadaan dalam tahanan? Keluarganya bisa mengurus itu. Hakim yang jujur pasti akan mengabulkan permohonan praperadilan dan memerintahkan tersangka dilepas atau dibebaskan, karena proses yang salah itu.

Perbuatan menghina memang tidak baik. Penghina jelas buruk kelakuan. Tapi dalam perspektif hukum pidana, urusan penghinaan kepada presiden pun adalah urusan pribadi antara korban penghinaan dengan si penghina. Sesuai dengan dasar hukum yang sudah saya jelaskan di atas. Jika korban penghinaan (termasuk Presiden) tidak melapor/mengadukan ke kepolisian, maka polisi dilarang untuk sewenang-wenang melakukan penangkapan.  Ini negara demokrasi, bukan kerajaanmu!

Sebenarnya masih banyak yang perlu diulas, termasuk bagaimana delik penyebaran ajaran komunisme bisa menimpa seorang petani lulusan Madrasah Tsnawiyah seperti Budi Pego di Banyuwangi dan kasus-kasus kriminalisasi yang menimpa petani, nelayan dan para buruh yang tidak mau tunduk melayani kehendak kekuasaan ataupun para tuan kaya, termasuk yang menimpa Pak Darno dan Dian Purnomo di Surabaya, Mashuri, Dwi dan Sagung di Tuban, dan lain-lain.

Tapi anehnya pengadilan juga terkadang membuat putusan-putusan yang memang aneh, memperluas jangkauan hukum ke dalam area kepentingan kekuasaan politik dan ekonomi. Bagaimana misalnya orang yang tidak paham apa itu komunisme kok dihukum penjara dengan tuduhan menyebarkan ajaran komunisme, gara-gara orang itu menolak pertambangan emas yang mencemari lingkungan hidupnya? Bagaimana pula orang dihukum atas dasar keterangan saksi dari perusahaan yang bertentangan dengan keterangan banyak saksi dari masyarakat sendiri?

Hukum makin rusak, karena hukum dipakai untuk memuluskan kepentingan-kepentingan kekuasaan politik dan ekonomi. Ternyata republik ini adalah feodalisme yang dibungkus dengan kesan modernitas. Negara hanyalah alat orang-orang berkuasa secara politik atau ekonomi untuk meneguhkan dan menambah kekuasaan mereka dengan menjadikan rakyat sebagai tumbalnya.

Tidak ada komentar: