Rabu, 07 Desember 2016

Penyebab Lahirnya Ekstrimisme dan Terorisme

Sumber gambar: http://www.activistpost.com/

Akhir-akhir ini di Indonesia memanas lagi pembicaraan tentang ekstrimisme dalam agama, terutama agama Islam. Pengeboman terhadap gereja masih terjadi, terakhir bom gereja di Samarinda. Hal itu terjadi – entah secara kebetulan atau tidak – bersamaan dengan gelombang tuntutan masyarakat Islam agar ditegakkan hukum pidana dalam kasus dugaan penodaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Jakarta.

Aksi massa yang di dalamnya terdapat berbagai kelompok umat Islam tersebut dituduh sebagai bagian dari ekstrimisme, dan ada yang menuduh sebagai upaya untuk menggulingkan pemerintahan yang sah meski akhirnya itu tidak terbukti.

Kasus penodaan agama memang sesuatu hal yang tidak mudah untuk dipikirkan solusinya, sebab itu menyangkut psikologi massa, adanya umat yang tersinggung perasaan keagamaannya. Saya juga menduga itu tak lepas dari “rasa diperlakukan tidak adil sebagai kaum mayoritas yang dikalahkan.” Jika dalam kasus seperti itu tak ada solusi hukum pidana, lantas solusi yang bagaimana yang dapat mereparasi luka perasaan umat tersebut? Jika Pasal 156 a KUHP dianggap ketentuan hukum yang bermasalah, lalu bagaimana cara menyelesaikan perselisihan terkait perasaan sosial tersebut? Ini menjadi tugas para terpelajar untuk memikirkannya, bukan sekedar tak suka dengan Pasal 156 a KUHP tapi tak ada substitusi solusi yang lebih baik yang bisa diterima banyak pihak. Harus diambil konsensus nasional untuk itu.

Dalam pembahasan artikel ini, saya tidak menggunakan istilah radikalisme, tapi saya memilih istilah ekstrimisme. Radikalisme berasal dari kata radical yang artinya of or going to the root or origin; fundamental. Definisi yang selama ini dipakai adalah: radical is representing  extreme  forms of religious fundamentalism. Saya tidak setuju dengan definisi tersebut sebab fundamentalisme agama itu sepadan dengan puritanisme, di mana akar ajaran agama tidak dapat dipastikan sebagai ajaran kekerasan, kecuali ajaran kekerasan terjadi dalam konteks untuk melawan penindasan atau serangan para musuh.

Jadi, pondasi dan akar ajaran agama dalam kondisi normal adalah bukanlah kekerasan atau bukan ajaran ekstrimisme. Oleh sebab itu maka saya menggunakan istilah ekstrimisme, yang berarti kelakuan atau tindakan ekstrim karena telah melampaui atau menyimpang dari ajaran dasar dari agama itu sendiri.

Agama Sebagai Respon Terhadap Kekerasan

Mengapa agama-agama tertentu mempunyai ajaran yang bernada keras? Agama Yahudi lahir dari jaman Nabi Musa yang memimpin Bangsa Israel (Bani Israel), pada waktu itu bangsa Israel diperbudak oleh rezim Firaun di Mesir. Musa menjadi nabi pada tahun 1450 SM dengan tugas untuk membebaskan bangsa Israel dari penindasan yang dilakukan oleh rezim Firaun. Pada jaman itu, pertarungan antar bangsa sedemikian kerasnya.

Maka Pada jaman Nabi Musa lahir pulalah ayat perang diantaranya Ulangan 20: 12-13 yang menentukan: “Tetapi jika kota itu tidak mau berdamai dengan engkau, melainkan bertempur melawan engkau, maka haruslah engkau mengepungnya; dan setelah Tuhan, Allahmu, menyerahkannya ke dalam tanganmu, maka haruslah engkau membunuh seluruh penduduknya yang laki-laki dengan mata pedang.” Berarti dalam perang ini perempuan dan anak-anak tidak boleh dibunuh.

Begitu pula agama Kristen lahir sebagai respon atas penindasan dan kekerasan yang dilakukan oleh imperialis Romawi yang bekerjasama dengan para pemuka Yahudi yang menjadi kaki tangan penguasa Romawi. Maka saat itu lahirlah ayat perlawanan diantaranya dalam Kitab Injil Matius ayat 10: 34 yang menyatakan, “Jangan anggap Aku datang membawa damai ke bumi ini. Aku tidak datang membawa damai. Aku datang membawa pedang.”

Pun ketika Pandawa berperang melawan Kurawa, di mana wangsa Pandawa yang ditindas, maka dalam Bhagavad Gita: Sloka 18.17 Sri Krishna menyatakan: “Orang yang tidak digerakkan oleh keakuan palsu dan kecerdasannya tidak terikat, tidak membunuh, meskipun ia membunuh orang di dunia ini. Ia juga tidak terikat oleh perbuatannya”. Artinya, manusia tidak terikat oleh perbuatannya meskipun ia melakukan pembunuhan dalam melawan angkara murka musuh-musuhnya. Ini sebagian ayat yang bermaksud menggerakkan semangat Arjuna agar tidak ragu-ragu dalam membunuh musuh-musuhnya dalam perang itu.

Barangkali hanya Budha yang tak mempunyai ayat tentang kekerasan. Tetapi dalam Panchavudha-Jataka (Jataka-1 no. 55) dikisahkan perjalanan Bodhisatta yang pernah berusaha menyerang Yaksa (yang sering membunuh manusia) dengan segala senjata yang dimiliki Sang Budha. Tetapi semua senjatanya gagal untuk melukai atau mermbunuh Yaksa. Namun Yaksa menjadi kagum atas keberanian Bodhisatta sehingga Yaksa yang jahat itu tunduk mengikuti ajaran Budha. “Tanpa kemelekatan yang menghalangi hati atau pikiran. Ketika kebenaran ditegakkan dengan damai untuk memenangkan, Ia yang melakukan hal demikian, akan mendapatkan kemenangan, dan semua belenggu musnah sama sekali.”

Agama Islam juga hadir di saat Jazirah Arab mengalami kegelapan, para pria menindas kaum wanita, anak-anak perempuan dibunuh karena tidak diharapkan kelahirannya, perang antar suku sering terjadi, kejahatan merajalela, sehingga lahir Islam sebagai revolusi sosial yang kemudian mengalami tekanan dan ancaman pembasmian sebab dianggap sebagai ancaman kekuasaan pada waktu itu. Nabi Muhammad dan para pengikutnya harus menyingkir ke Madinah karena menjadi target-target pembunuhan di Makkah.

Sesampainya di Madinah, Nabi Muhammad menyusun kepemimpinan, membuat perjanjian dengan umat Yahudi untuk hidup bersama saling melindungi. Namun ternyata tidak mudah, sebab ada saja kelompok-kelompok Yahudi yang mengingkari perjanjian dengan melakukan serangan-serangan yang bahkan serangan-serangan itu dibantu oleh kelompok-kelompok muslim munafik.

Umat Islam seringkali mengalami serangan sehingga turun pula Surat At Taubah ayat 123 yang menyatakan, “Hai orang-orang beriman, perangilah orang-orang kafir yang ada di sekitar kamu dan hendaklah mereka merasakan kekerasan darimu.” .Ayat ini sebagai perintah keberanian untuk melawan kaum nonmuslim yang selalu menyerang umat Islam.

Agama memang muncul dalam revolusi-revolusi sosial dalam merespon penindasan-penindasan panjang yang terjadi. Jika dikatakan bahwa ajaran-ajaran agama – seperti halnya ajaran suatu ideologi – merupakan sumber-sumber legitimasi internal masing-masing dalam melakukan kekerasan, sebenarnya kekerasan yang dimaksudkan bukanlah dalam kondisi sosial yang normal, tetapi kekerasan dalam arti perlawanan dalam merespon penindasan-penindasan.

Secara fundamental atau akarnya, ajaran Islam dapat dilihat ketika Nabi Muhammad membuat perjanjian damai dengan umat nonmuslim dengan prinsip saling melindungi, mengharamkan harta, darah dan kehormatan umat nonmuslim. Artinya, umat Islam diharamkan merebut harta nonmuslim, diharamkan menganiaya dan membunuh umat nonmuslim dan dilarang menyerang kehormatan mereka.

Tetapi agama juga mengajarkan respon terhadap serangan musuh. Terkait dengan respon terhadap imperialisme dan penindasan-penindasannya, ajaran agama terbukti menjadi sumber kekuatan perlawanan yang hebat. Prof. Daniel C. Maguire, pakar etika di Amerika Serikat mengistilahkan agama sebagai sacred energy yang mampu mengubah dunia dan melawan kekuatan “agama terkejam”, yakni kapitalisme. Meskipun ternyata dalam kenyataannya dalam sejarahnya banyak pemuka agama yang berselingkuh dengan para imperialis kapitalis, yang hal itu merupakan kecelakaan dalam praktik teologis.

Sejarah Eropa Abad Kegelapan merupakan contoh buruk peran agama yang justru menipu masyarakat, turut menghisap masyarakat, sehingga lahirlah gerakan dan ideologi sekularisme yang kapok melihat persekutuan antara agama dengan negara-negara monarki pada jaman itu. Trauma sejarah itu berbekas hingga sekarang, melahirkan doktrin pemisahan agama dengan negara yang dianut oleh kaum sekularis hingga sekarang.

Lahirnya Ekstrimisme

Djamaludin Ancok dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada dalam risetnya membeberkan relasi psikologis antara radikalisme dengan ketidakadilan, termasuk ketidakadilan dalam pembentukan opini dunia. Ia menyatakan, “Pemberian label yang sangat buruk pada Islam dan Rezim Islam yang berseberangan dengan kepentingan Barat dengan menggunakan istilah: Poros setan, Agama teroris, Agama barbar, Agama kekerasan, Islam agama berdarah-darah. Sementara kegiatan di negara beragama Kristen (negara di Amerika Selatan) yang melawan rezim Barat tidak pernah dilabel seperti itu. Menuduh pesantren sebagai sumber pengembangan terorisme di berbagai negara Islam, dan ingin mengganti kurikulum yang lebih akseptabel di mata pihak Barat. Mereka tidak melihat berapa banyak orang-orang keluaran pesantren yang tidak terlibat terorisme dan menjadi tokoh yang menonjol anti kekerasan, dan pendukung setia pihak Barat.”

Pakar perdamaian dunia, Johan Galtung, menguraikan akar-akar kekerasan secara lebih luas, dari masalah-masalah pembangunan dan primordialisme dalam pertarungan peradaban di mana bangsa-bangsa di dunia ini masing-masing berusaha menunjukkan eksistensi sebagai bangsa unggul. Dunia menjadi spiral kekerasan sejak lama, sehingga ekstrimisme Islam bukan sebagai fenomena baru yang eksis tanpa bersambung dengan sejarah dan masa lalu.

Kaum terpelajar juga pasti sudah mengetahui realitas bahwa kehancuran negara-negara Timur Tengah yang berpenduduk mayoritas muslim adalah akibat politik minyak dan doktrin National Security Amerika Serikat. Timur Tengah menjadi wilayah “permainan” tempat uji coba senjata-senjata baru dari luar Timur Tengah serta wilayah perebutan sumber daya minyak. Anda mungkin bertanya-tanya, mengapa kendaraan berteknologi energi listrik sulit berkembang, padahal sudah layak untuk dipergunakan? Jawabnya adalah tentang kekuasaan mafia minyak yang masih harus menghabiskan jatah keserakahan minyaknya.

Lalu apakah keadaan yang buruk, penindasan dan penistaan kemanusiaan tersebut tidak akan berakibat apa-apa? Jika semua manusia itu bisa dibuat bodoh dan penurut maka tak ada satupun pembalasan. Tentu saja akan terjadi pembalasan-pembalasan yang tergetnya juga menyasar kepada orang-orang tak bersalah. Tapi bagi para teroris pembalas itu, masyarakat yang diam melihat penindasan-penindasan yang tak terukur kekejamannya, itu dianggap telah memberikan legitimasi terhadap kekejaman-kekejaman struktural modern itu. Di situ dalil agama bisa menjadi pembakar kebencian dan dendam.

Oleh sebab itulah maka upaya-upaya de-ekstrimisasi dengan pendidikan-pendidikan tanpa dibarengi dengan pendidikan-pendidikan penyadaran kepada para states terrorist yang menyalahgunakan hukum internasional itu, hanya merupakan upaya-upaya pemadaman api-api kecil saja. Api besarnya tetap menyala. Belum lagi permainan jaringan politik internasional antar negara yang sepaham yang melakukan “pemeliharaan teroris” untuk alasan kepentingan mereka. Sebagai contoh, kasus Irak yang dituduh sebagai tempat penyimpanan senjata pemusnah massal, ternyata tuduhan itu fiktif. Setelah Irak hancur, tak pernah ditemukan senjata pemusnah massal yang digosipkan dengan menggunakan hukum internasional itu. Kasus peledakan Menara Kembar WTC yang kontroversial yang kemudian dijadikan alasan untuk pembasmian teroris di dunia dengan mengacak-acak Timur Tengah.

Jika ditelaah sejarah dunia secara umum, ekstrimisme sebenarnya timbul sebagai reaksi terhadap keadaan, terutama terhadap ketidakadilan. Kita pasti masih ingat apa sebutan bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia yang dilontarkan oleh penjajah Belanda, yakni “kaum ekstrimis”. Kaum ekstrimis ini dalam sudut pandang bangsa Indonesia adalah kaum pejuang, yang memang juga menggunakan cara-cara kekerasan dengan melakukan serangan-serangan mematikan dalam perang terbuka ataupun gerilya. Pemerintah Hindia Belanda menyebut itu sebagai tindakan kaum ekstrimis yang memberontak kepada rezim yang sah.

Lalu apakah terorisme dan ekstrimisme di dunia akan bisa berakhir? Rupanya sulit, sebab ini tidak seperti peristiwa saling teror antara kekuasaan Katholik dan Protestan di Eropa pada Abad ke-17 yang dapat diakhiri dengan kesadaran bersama dengan Perjanjian Westphalia tahun 1648. Pada saat terjadi kekerasan antar pemeluk agama Kristen di Eropa, banyak di antara mereka orang Kristen Eropa yang lari mengungsi ke Timur Tengah dan dilindungi oleh negara Islam (Kekaisaran Ottoman) serta diberikan kebebasan menjalankan ibadah agamanya.

Terorisme saat ini terjadi dalam pertarungan antara Grand Terrorist melawan musuh-musuhnya yang disebut sebagai para teroris (little terrorist), di mana banyak kaum terpelajar dunia yang memperoleh sokongan dana-dana pendidikan, humanisme (kedok) dan proyek-proyek riset untuk penguasaan sumber daya alam dari para grandmaster of terrorist itu. George Soros dalam pengantar buku Escaping The Resource Curse menyatakan bahwa perang saudara di Afrika termasuk akibat campur tangan korporasi-korporasi migas yang menginginkan dan memperoleh konsesi-konsesi dengan cara menyogok para penguasa.

Soros juga memberi contoh lainnya, pada tahun 1951, Mohammed Mossadeq dari Iran menasionalisasi Anglo-Iranian Oil Company. Akibatnya, dia dijungkalkan melalui sebuah kudeta yang dirancang badan intelijen AS, CIA. Tapi, 20 tahun kemudian gelombang nasionalisasi telah menyapu negara-negara produsen minyak utama dunia, sehingga menyebabkan krisis minyak global pertama. Sejak saat itu, kekuatan tawar menawar telah bergeser kepada negara-negara produsen minyak. Pemerintahan nondemokratis lalu bisa bergantung pada penerimaan dan dukungan dari pemerintah negara-negara pengonsumsi minyak. Inilah yang menjadi elemen penting dari lambannya perkembangan demokrasi di Timur Tengah. Jadi, benarlah bahwa negara-negara Timur Tengah menjadi hancur satu persatu akibat proyek para teroris besar yang berbentuk korporasi-korporasi migas di negara-negara maju di Amerika dan Eropa.

Tetapi  yang dilakukan oleh kaum terpelajar sekuler hanyalah mengutuk-ngutuk para little terrorist-nya, dan yang jelas mereka sungkan untuk mengutuk para majikannya yang menjadi grandmaster of terrorist. Artinya, kampanye antiterorisme tidak menyentuh pelaku-pelaku besarnya, tapi kampanye itu justru didanai oleh para pelaku besar terorisme.

Upaya-upaya yang selama ini dilakukan hanyalah upaya “penundukan” dalam doktrin-doktrin Hak Asasi Manusia (HAM), di mana tidak semua orang mau tunduk. Dominasi penghasilan dunia, yakni sekitar 80 persen penghasilan dunia dikuasai oleh sekitar 20 persen penduduk dunia selaku para orang kaya, melawan 80 persen penduduk dunia yang tertindas, tak akan pernah membuat seluruh dari 80 persen penduduk dunia itu tunduk kepada doktrin-doktrin para penindas yang disebarkan melalui rayuan para kaum terpelajar.
Tapi jika kaum terpelajar di seluruh dunia mau bersatu memaksa dihentikannya teror-teros besar termasuk berupa dominasi oleh 20 persen orang kaya itu, maka teroris yang kecil-kecil akan akan bisa jauh berkurang, sebab tak ada lagi alasan fundamental untuk berjihad dengan “hukum perang.”


Tidak ada komentar: