Rabu, 19 Oktober 2016

Antara Riau, Perempuan Manja dan Pria Penggoda


Di kursi depanku diduduki seorang perempuan muda yang parasnya lumayan cantik. Di sebelah kirinya ditempati seorang perempuan berkerudung, mungkin seusiaku, ia tampak sedikit gembrot. Kursi itu jatah tiga orang. Di sebelah kananku seorang perempuan sekitar 60 tahunan, dan di sebelah kanan perempuan tua itu duduk seorang pemuda yang semula kukira anak perempuan tua ini.

Aku membisu, memainkan HP, ber-fesbuk-ria di dalam kereta api kelas ekonomi bernama Penataran dengan tujuan akhir stasiun Blitar. Berangkat dari stasiun Gubeng Surabaya jam 07.40 WIB, tanggal 18 Oktober 2016.

Hal yang tidak saya sukai, saat aku duduk di dekat perempuan muda yang tak aku kenali. Seperti biasa, saya tak akan pernah mengawali untuk mengajaknya bicara. Bahkan memandangnya pun tidak. Lebih baik jika di dekatku duduk perempuan tua atau lelaki, entah muda atau tua.

Biasanya aku justru mengamati pandangan lelaki di sekitarnya, yang nanar tanpa malu menatapi perempuan cantik. Atau seringkali mencuri-curi pandang. Saya hanya bisa menduga, mungkin para lelaki itu berpikir, “Bagaimana jika perempuan cantik ini aku yang memilikinya.”

Saya tak pernah mengagumi perempuan cantik. Dalam hidupku aku hanya kagum kepada para perempuan pejuang yang dalam banyak hal bahkan tak sempat melihat bentuk alisnya sendiri. Mungkin karena sejak kecil saya melihat ibuku yang pekerja keras dan mendidikku untuk tidak lama-lama meluangkan waktu istirahat. Jauh sebelum Presiden Jokowi punya slogan “kerja kerja kerja”, ibuku sudah punya prinsip itu sejak ia muda. Makanya kalau saya melihat perempuan dan pria yang kemayu dan manja, mentolo tak balang sandal! Tapi ya kasihan juga ya.

Saya pernah naik angkutan kota duduk berdampingan dengan seorang perempuan kusut yang bau badannya lebus, dia tampaknya pulang kerja selepas waktu Maghrib. Saya membayangkan dia habis bekerja di rumah untuk keluarganya, atau pulang dari tempat kerjanya. Bau lebusnya pun  tenggelam oleh nilai perjuangannya. Saya bisa memaklumi bau lebusnya, dibandingkan perempuan wangi yang cuma bisa gaya.

Apalagi para pria yang pernah kutemui menganggur, suka mabuk, lalu meggoda para perempuan yang ditemuinya. Tampaknya itu lebih buruk dibandingkan pemandangan kuda nil di kebun binatang. Ya sudahlah. Hidup memang tak ideal. Seperti diriku sendiri yang mungkin memuakkan bagi orang lain. Monggo, selamat muak….

Untungnya perempuan cantik di depanku itu turun di stasiun kota Malang. Saya serasa mendapatkan angin segar untuk bernafas. Langit pikiranku pun menjadi cerah. Alhamdulillah. Sejurus kemudian ibu tua yang duduk di sebelah kananku berpindah tempat, duduk di depanku, di kursi yang ditinggalkan perempuan muda itu tadi.

Ibu tua itu bernama Rahimah. Dia orang asal Minang, tampak dari logat bicaranya. Saya mulai berbincang dengannya saat ia bertanya kepada perempuan yang duduk di sebelahnya, bertanya tentang Blitar. “Apakah stasiun Blitar masih jauh ya Bu?” tanyanya. Tapi perempuan di sebelahnya ternyata tidak tahu. Lalu aku yang menjawabnya dan menjelaskannya.

Bu Rahimah merupakan pensiunan guru SMP di Riau. Dia sejak muda hidup di Riau, hingga berkeluarga di Riau dan menjadi orang Riau. Katanya, penduduk asli Riau adalah orang-orang Melayu, selain juga ada suku yang hidup di pedalaman yang jarang berkomunikasi dengan orang luar komunitas suku tersebut. Warga Riau juga banyak dari suku Jawa, mungkin karena program transmigrasi di era Orde Baru. Selain itu juga ada suku Minangkabau, Batak, Banjar, Tionghoa dan Bugis. Tapi penguasa ekonomi di Riau bukanlah orang asli Riau.

Saya bertanya, bagaimana gambaran Riau itu. Dia menjelaskan bahwa Riau yang merupakan salah satu provinsi di tengah Pantai Timur Sumatera itu merupakan wilayah yang cukup panas, banyak terdapat perkebunan kelapa sawit. Saat dia menceritakan perkebunan sawit itu, dia mengisahkan bagaimana penderitaan penduduk Riau yang seringkali dirundung bencana asap akibat kebakaran hutan dan perkebunan kelapa sawit. “Para penguasaha sawit dan para pejabat Riau kaya-kaya Pak. Tapi rakyatnya tidak ada kemajuan apa-apa, hidupnya pas-pasan. Kami hanya mendapatkan derita akibat perbuatan mereka yang menumpuk kekayaan.” Menurut Bu Rahimah, cara bersikap para pejabat di Riau juga masih bersifat kesukuan.

Riau boleh dikata sebagai wilayah provinsi yang terkaya di Indonesia. Selain hutannya, Riau juga mempunyai sumber daya minyak dan gas bumi, gas alam, perkebunan karet dan serat, serta kelapa sawit. Di jaman Orde Baru, di tahun 1970-an, produksi migas nasional di wilayah Riau, dikelola California Texas Indonesia (kini Chevron Pasific Indonesia), merupakan 70 persen dari produksi migas nasional. Betapa kayanya. Tapi apakah rakyat Riau menjadi makmur?

Investasi perkebunan kelapa sawit menyebabkan terjadinya deforestasi yang hebat. Hutannya habis. Pada tahun 1982, hutan di Riau masih tersisa sekitar 78 persen. Tapi pada tahun 2009, setelah 10 tahun reformasi, hutannya tinggal tersisa sekitar 22 persen. Setiap tahun hutan di Riau ditebangi rata-rata 160 ribu hektar. Tentu saja itu adalah ekosida alias pembasmian lingkungan hidup, sebab dengan dihabiskannya hutan maka selain sumber air yang kian menipis, maka adanya banyak keanekaragaman hayati yang lenyap.

Bu Rahimah menceritakan bahwa di perkebunan-perkebunan kelapa sawit dibuatkan pemukiman-pemukiman untuk para penduduk yang bekerja sebagai pekerja kebun sawit. Namun sayangnya tidak dibarengi dengan pembangunan sekolah-sekolah yang berdekatan dengan pemukiman-pemukiman tersebut. Para pekerja perkebunan kelapa sawit itu katanya juga banyak yang berasal dari Jawa.

Berbincang tentang perkebunan kelapa sawit itu, maka  saya pun juga mengisahkan perjalanan saya, setelah tumbangnya Suharto tahun 1998, di daerah Tulang Bawang Provinsi Lampung. Setelah lulus kuliah tahun 1997, saya sempat belajar tata cara berkebun sayur sawi di Jakarta dan cara berternak burung puyuh di Solo. Ada orang yang mengajakku bekerja di perusahaan peternakan dan pertanian sayuran yang akan didirikan di Bali. Tapi krisis ekonomi global menghantam perekonomian Indonesia, sehingga rencana mendirikan perusahaan itu gagal.

Tahun 1998 saya berkelana sampai ke Tulang Bawang Lampung, sempat akan bekerja di sebuah perkebunan kelapa sawit yang baru ditanam. Beberapa hari saya mengamati para pekerja perkebunan itu, saya berbincang-bincang dengan mereka. Ternyata mereka hanya diupah Rp 3 ribu per hari. Perkebunan tersebut merupakan perkebunan plasma, menggunakan lahan para transmigran dari Jawa yang tak punya modal untuk membuat perkebunan. Rencananya, setelah 25 tahun maka lahan perkebunan kelapa sawit itu akan dikembalikan kepada para petani. Begitulah perjanjian antara perusahaan perkebunan dengan para petani pemilik lahan.

Saya menilai itu sebagai eksploitasi kasar. Saya lihat para petani transmigran di Tulang Bawang memang mengenaskan dan tak punya banyak pilihan. Itu berbeda dengan para transmigran di wilayah Metro yang lumayan makmur karena tanahnya bisa ditanami padi yang tidak membutuhkan biaya besar.

Maka sayapun membatalkan diri, tidak jadi bekerja sebagai mandor perkebunan sawit tersebut. Lalu saya pergi ke kota Bandar Lampung menjadi pekerjaan sebagai guru, tetapi gagal, hingga akhirnya saya kembali ke Jawa, pergi ke Jakarta, di mana di Jakarta ini saya juga tidak mendapatkan pekerjaan setelah berusaha mencari pekerjaan selama sekitar sebulan.

Saya bertanya kepada Bu Rahimah, apakah warga Riau tidak mengadakan perlawanan atas penindasan yang terjadi di Riau itu. Bu Rahimah menjelaskan keadaan masyarakat Riau yang “penurut” dengan keadaan yang sedang mereka alami. “Kami memang tak bisa berbuat apa-apa. Kami tak tahu harus bagaimana.”

Lalu saya berusaha mengingat sejarah perlawanan orang Riau. Tullius Cicero mengatakan bahwa sejarah adalah guru kehidupan. Mengabaikan masa lalu berarti terus menjadi anak kecil.

Pada abad ke-13 memang Kesultanan Indragiri bersahabat dengan Belanda (VOC).  Demikian pula Kesultanan Siak di abad ke-18 terbelah menjadi dua kubu, di mana Raja Muhammad Ali bekerjasama dengan Belanda melawan Raja Ismail. Penguasa Kesultanan Siak bekerjasama dengan Belanda untuk menundukkan Pulau Penyengat yang dipimpin Raja Haji Fisabilillah. Mereka juga bekerjasama menundukkan Selangor. Jadi, secara sejarah memang Riau bukan merupakan basis perlawanan. Jika saya keliru dalam hal ini, ya tolong diluruskan.

Tak terasa kemudian sampailah kereta api di stasiun Kepanjen Kabupaten Malang. Di situlah saya berpamitan kepada Bu Rahimah, sebab saya harus turun di situ. Bu Rahimah melanjutkan perjalanan menuju Blitar. Ia akan berziarah di makam Bung Karno. Setelah masa pensiunnya, Bu Rahimah mengunjungi banyak tempat di pulau Jawa.

Siang itu di Kepanjen terasa panas terik. Saat itu saya masih memikirkan apa yang diceritakan Bu Rahimah tentang Riau yang kaya tapi dirundung malang. Ada beberapa gelintir orang yang kaya berkuasa, yang hanya memikirkan diri sendiri. Mereka tega menindas menyengsarakan masyarakat. Itu kebalikan dari apa yang dikatakan oleh  Cicero, negarawan Romawi yang lahir tahun 106 SM, bahwa kita tidak lahir untuk diri sendiri. Cicero juga mengatakan, biarlah kesejahteraan masyarakat yang menjadi hukum utama. Atau apa yang dikatakan oleh Augustinus, bahwa jika tak ada keadilan maka di situ tak ada hukum.

Suatu masyarakat yang biasa hidup tertindas mungkin akan merasakan itu sebagai kebiasaan yang tidak menggetarkan jiwa mereka. Setiap pemilu mereka hanya menjadi obyek penipuan dan kebohongan kekuasaan. Tetapi para terpelajar yang bertanggung jawab tentu tak akan membiarkan itu terus terjadi tanpa perubahan ke arah yang lebih baik.
Harus ada para provokator untuk menggedor kesadaran masyarakat, agar mereka terbangun dari alam bawah sadarnya yang dikuasai oleh tipuan-tipuan tentang rasa syukur yang membiarkan kemunkaran itu terus terjadi. Padahal rasa syukur itu berada di ruang yang berbeda dengan kewajiban untuk melawan ketidakadilan.

Tapi saya percaya bahwa ciri sejarah bisa berubah. Riau akan bisa menciptakan sejarah perlawanan itu di masa depan. Mungkin tak lama lagi. Di mana dominasi perkebunan sawit itu akan dihancurkan, dan hutan Riau dikembalikan, meskipun mungkin tak akan bisa pulih sempurna seperti sedia kala. Ini seperti membangun mimpi. Tapi itu lebih baik dibandingkan dengan mimpi tentang kenikmatan rasa jiwa ketika sedang melihat penindasan. Karena hidup bukan untuk memikirkan nasib diri sendiri. Kau bisa hebat dengan bersabar menerima penindasan terhadap dirimu sendiri. Tapi kau menjadi tak berguna jika diam melihat saudarmu dihinakan dan dilindas oleh para tiran.


Tidak ada komentar: