Selasa, 25 Januari 2011

Interpelasi Salah Objek: Cara Menjatuhkan Walikota Surabaya?

Polemik interpelasi DPRD Kota Surabaya kepada Walikota Surabaya terhadap terbitnya Peraturan Walikota (Perwali) Surabaya No. 56 dan 57 tentang reklame menjurus pada perdebatan legalitasnya. Soal adanya kecurigaan kekuatan kapital untuk menekan Bu Risma sebagai Walikota Surabaya, itu bukan ranah hukum. Wallahu’alam.
Beberapa pendapat ahli hukum bernada beda, ada yang mengatakan bahwa interpelasi itu sah dan ada yang menyatakan tidak sah. Topik perdebatannya ada pada tataran prosedur interpelasi.
Saya akan melihat dari perspektif berbeda, yaitu dari perspektif objek interpelasi tersebut. Apa sesungguhnya obyek yuridis dari interpelasi?
Penjelasan pasal 43 ayat (1) huruf a UU Pemda (UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008) menjelaskan definisi yuridis interpelasi: “Yang dimaksud dengan “hak interpelasi” dalam ketentuan ini adalah hak DPRD untuk meminta keterangan kepada kepala daerah mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis yang berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan negara.” Definisi yuridis interpelasi  itu juga dapat dibaca dalam pasal 349 ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Pertanyaannya adalah: apakah Perwali Kota Surabaya No. 56 dan 57 yang menjadi objek interpelasi DPRD Kota Surabaya tersebut merupakan KEBIJAKAN Pemkot Surabaya yang penting, strategis dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat Surabaya?
Kebijakan merupakan salah satu produk pejabat atau lembaga pemerintah (eksekutif/administrasi negara) berdasarkan asas freies ermessen (kebebasan bertindak). Prof. Philipus M Hadjon dkk (1995) menyatakan bahwa peraturan kebijaksanaan (kebijakan) bukanlah peraturan perundang-undangan. Peraturan kebijakan mengandung syarat pengetahuan tidak tertulis (angeschreven hardheidsclausule).
Dalam berbagai literatur ilmu hukum ada banyak penjelasan bahwa kebijakan pemerintah juga terkait kewenangan diskresioner yang boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dalam keadaan tertentu, demi kepentingan masyarakat. Contoh sederhana, seorang polisi punya wewenang diskresi untuk mengarahkan kendaraan lewat jalan yang ada rambu-rambu tanda larangan, untuk upaya mengatasi kemacetan lalu-lintas.
Perwali Kota Surabaya No. 56 dan 57 tersebut merupakan peraturan perundang-undangan. Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memang tidak menyebut Peraturan Kepala Daerah termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Namun pasal 49 ayat (2) menentukan bahwa Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota dimuat (diundangkan) dalam Berita Daerah.
Hal itu dapat dikaitkan dengan pasal 7 ayat (4) yang menentukan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Artinya, tidak semua jenis peraturan perundang-undangan disebut dalam pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004. Peraturan Mahkamah Agung termasuk salah satu bentuk peraturan perundang-undangan meskipun tidak disebutkan dalam UU No. 10 Tahun 2004.
Namun, Penjelasan Umum UU Pemda juga menjelaskan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah dapat menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan antara lain dalam peraturan daerah, peraturan kepala daerah, dan ketentuan daerah lainnya. Ini menandakan bahwa penyusun UU Pemda menganggap peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan.
Agar pengertian “kebijakan” tidak bertabrakan definisi “peraturan perundang-undangan” maka  kebijakan yang dimaksudkan Penjelasan Umum UU Pemda tersebut diartikan sebagai “politik hukum pemerintah daerah.” Sedangkan kebijakan yang menjadi obyek interpelasi adalah kebijakan berbentuk tindakan pemerintahan yang bukan merupakan peraturan perundang-undangan.
Mengapa harus ditafsir begitu? Jika peraturan perundang-undangan yang diterbitkan pejabat pemerintah dapat menjadi objek interpelasi maka itu preseden buruk yang dapat merembet ke mana-mana. Nantinya Peraturan Bupati, Peraturan Gubernur, Peraturan Menteri, Peraturan Mahkamah Agung, Peraturan Presiden dan seluruh peraturan perundang-undangan juga dapat diinterpelasi.
Unsur lain yang harus dipenuhi berdasarkan prinsip yuridis objek interpelasi adalah bahwa kebijakan objek interpelasi itu berdampak yang luas bagi masyarakat. Cara mengukurnya dengan melihat reaksi masyarakat luas. Artinya, kebijakan merupakan fakta, bukan ketika masih pada tahap norma hukum.
Berdasarkan uraian tersebut maka sebenarnya DPRD Kota Surabaya telah melakukan interpelasi yang keliru objek (error in objecto), sebab Perwali Kota Surabaya No. 56 dan 57 bukanlah kebijakan melainkan peraturan perundang-undangan. Selain itu juga tidak memenuhi unsur adanya fakta dampak yang luas bagi masyarakat Surabaya.
Andai Walikota Surabaya keliru dalam menerbitkan Perwali, entah itu prosedur atau substansinya, maka otoritas yang berwenang menguji adalah Menteri Dalam Negeri selaku otoritas administrasi (pasal 37 PP No. 79 Tahun 2005) dan Mahkamah Agung selalu otoritas yudisiil (pasal 31 UU No. 14 Tahun 1985 jis. UU No. 5 Tahun 2004 dan UU No. 3 Tahun 2009).
Selain itu, kekeliruan aspek formil dan materiil penyusunan peraturan perundang-undangan tidak dapat dipakai sebagai alasan permakzulan. Andaikan itu bisa, maka Presiden dan DPR juga dapat dimakzulkan sebab beberapa undang-undang produk mereka telah dikoreksi kesalahannya oleh Mahkamah Konstitusi. Tentu saja Bu Risma tak dapat dimakzulkan dengan alasan keliru dalam membuat Perwali.
Opera politik yang sedang terjadi itu hanya akan membuang energi dan uang negara yang tak akan jelas hasil baiknya apa. Banyak hal substansial yang perlu diurusi, daripada sekadar mengurusi periklanan yang selama ini tinggal menegakkan hukumnya, bukan malah mundur berkonflik pada penyusunan aturan baru. 
Apa karena para politisi berkepentingan untuk mengiklankan diri dengan pajak yang murah demi memperoleh atau mempertahankan kekuasaan politik mereka? Atau ada para pengusaha yang ada di balik kepentingan itu? Jelasnya, sosiologi hukum sudah menjawab: bahwa hukum dalam arti sempit, yaitu peraturan perundang-undangan, merupakan produk kepentingan kaum strata atas. 

Sumber foto: cari di internet via mbah Google

Tidak ada komentar: