Sabtu, 21 Juni 2008

KEBOHONGAN LAGI DI LUMPUR LAPINDO

PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ) membuat model baru rencana pembayaran 80 persen dari harga jual-beli tanah dan bangunan warga korban lumpur Lapindo yang tergabung dalam Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL), dengan dalih melaksanakan Perpres No. 14/2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

Model baru tersebut adalah: (1) MLJ hanya akan membayar tunai kepada pemilik sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Hak Milik (SHM) yang bisa diakta jual-belikan (di-AJB-kan) oleh Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT), (2) Semua berkas yang tidak bisa di-AJB-kan oleh PPAT diberikan solusi resettlement semacam relokasi dengan formula: tanah ganti tanah dengan perbandingan 1 : 1 (sama dengan luas semula), ditambah bangunan rumah seluas standar yang ditentukan pembangunnya (PT. WAR), dan akan dilakukan pembayaran sisa harganya, jika ada, tanpa memperhitungkan uang 20 persen yang telah dibayar MLJ, dan (3) Bagi warga korban yang menerima program resettlement tetapi tidak berminat untuk tinggal menetap di rumah relokasi yang ditentukan dalam resettlement itu maka warga tersebut diberikan kesempatan untuk menjual kembali tanah dan rumah tersebut kepada PT. WAR (pembangun yang ditunjuk MLJ) dengan harga seperti semula dan diberikan hak untuk tinggal gratis di rumah tersebut selama 12 bulan (selama masa relokasi yang disetujui).


Masalah yang beruntun


Pada 1 Mei 2008 malam, dalam pertemuan antara GKLL dengan Komnas HAM di pendopo Kecamatan Tanggulangin Sidoarjo, warga GKLL ‘mencurigai’ bahwa model yang didisain oleh Lapindo melalui MLJ tersebut merupakan cara untuk memecah-belah warga korban lumpur Lapindo, sebab dalam pikiran mereka terlanjur mengira bahwa yang namanya pembayaran uang jual-beli 80 persen itu adalah tunai. Kalau dalam kenyataannya harus ada warga yang dibayar tunai dan ada yang direlokasi maka mereka menganggap itu tidak adil.

Lalu, apakah benar secara hukum bahwa ada tanah-tanah warga korban lumpur Lapindo yang sulit atau tidak bisa di-AJB-kan? Sebelum mengarah pada hukum substantifnya, saya coba analisis dengan hukum pertanahan positif lebih dulu, mengapa ada kesulitan meng-AJB-kan tanah korban lumpur Lapindo tersebut.

Saya mulai dari dasar yang digunakan MLJ, yaitu pasal 15 Perpres No. 14/2007 yang menentukan bahwa ‘cara penyelesaian sosial’ yang ditentukan adalah dengan ‘jual-beli’ tanah dan rumah korban lumpur di dalam peta terdampak 22 Maret 2007 dengan Lapindo Brantas Inc. (Lapindo). Dalam pelaksanannya Lapindo melakukan kerjasama dengan MLJ, di mana MLJ ditunjuk sebagai ‘pembeli’ atas tanah dan rumah korban lumpur dalam peta terdampak 22 Maret 2007.

Selanjutnya, yang menjadi masalah adalah bahwa berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) serta peraturan pelaksanaannya bahwa korporasi berbentuk Perseroan Terbatas (PT) berbadan hukum (seperti MLJ itu) hanya berhak memiliki Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pakai (HP), dan bukan subyek hukum Hak Milik. Padahal, tanah warga korban lumpur Lapindo kebanyakan adalah Hak Milik. Jika pasal 15 Perpres No. 14/2007 tersebut dihubungkan dengan UUPA dan peraturan pelaksanannya maka pasal 15 Perpres No. 14/2007 hanya dapat dilaksanakan terhadap tanah-tanah yang memungkinkan untuk dibeli MLJ, yaitu HGB, HGU atau HP. Perpres No. 14/2007 tidak dapat dilaksanakan (nonexecutable) terhadap tanah-tanah Hak Milik. Maka kelemahan Perpres No. 14/2007 tersebut dijadikan dalih MLJ untuk melaksanakan model baru pembayaran 80 persen tersebut. Apakah itu merupakan disain besar dari awal, ataukah kekeliruan Presiden? Wallahu’alam.

Namun jelasnya bahwa model atau skema baru yang disusun MLJ tersebut menjadi masalah baru yang menambah masalah penyelesaian sosial korban lumpur yang beruntun, tak kunjung selesai.


Kebohongan hukum


Jika dikatakan bahwa berkas tanah berupa Petok D, Letter C, SK Gogol; tidak bisa di-AJB-kan oleh PPAT, maka pernyataan itu merupakan akibat Perpres No. 14/2007. Bahkan Hak Milik yang bersertifikat (SHM) juga tak bisa di-AJB-kan dalam transaksi antara MLJ dengan warga korban lumpur Lapindo sebab memang MLJ secara hukum bukan subyek pemilik Hak Milik. Ini yang kemudian rawan menimbulkan kebohongan praktik hukum, terkait motif efesiensi korporasi, sebab keadaan-keadaan darurat tersebut terus dipaksanakan dengan menggunakan cara-cara hukum positivistik, apalagi dasar hukum yang dibuat (Perpres No. 14/2007) menjadi sabdo pandhito ratu yang mengalami sakralisasi, di mana Presiden SBY enggan untuk merevisi kekeliruan mendasar tersebut.

Dengan menggunakan cara-cara hukum positivistik yang kaku tersebut maka akhirnya masyarakat korban lumpur terus-menerus menjadi korban bulan-bulanan Lapindo melalui MLJ, dengan dalih-dalih formalistik. Maka tepatlah adanya sinyalemen dalam hukum bahwa hukum dalam praktiknya lebih banyak menguntungkan ‘yang besar’ dan merugikan (baca: tidak adil) bagi ‘yang kecil.’

Untuk mengantisipasi adanya gejolak baru, ketika adanya gelombang penolakan ‘diskriminasi’ antara pemilik SHGB, SHM dengan para korban pemilik petok, letter C atau SK Gogol dan bahkan bagi yang kehilangan berkas sekalipun, maka dibutuhkan diskresi hukum pertanahan guna menanggulangi kesulitan-kesulitan formalnya. Diskresi hukum tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, Presiden memerintahkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk membuat keputusan khusus yang isinya: (1) memerintahkan para PPAT untuk dilarang menolak pembuatan AJB antara warga korban Lapindo dengan MLJ. (2) menyetujui adanya peng-AJB-an tanah-tanah Hak Milik korban lumpur Lapindo dengan MLJ dengan ketentuan akan dilakukan konversi hak secara otomatis (setelah adanya AJB tersebut) dari Hak Milik menjadi tanah bukan Hak Milik sesuai dengan permohonan status hak atas tanah yang dikehendaki MLJ (misalnya HGU atau HP di atas tanah negara), sebagai konsekuensi bahwa MLJ bukan merupakan subyek hukum pemilik Hak Milik atas tanah. (3) Dalam pembuatan AJB tidak diwajibkan adanya kelengkapan berkas (ada dispensasi), tetapi cukup didasarkan pada Perjanjian Ikatan Jual-Beli (PIJB) yang sudah dibuat pada pembayaran pertana 20 persen yang lalu. Keputusan khusus tersebut bisa dibuat hanya dalam waktu paling lama dua hari. Kedua, jika mau, Presiden bisa mengamandeman Perpres No. 14/2007 sesuai kebutuhan sosial yang adil.

Gagasan ini hanyalah untuk mempermudah penyelesaian masalah tersebut, dengan tidak mengubah pada pendapat saya sejak awal bahwa seharusnya negara memenuhi dulu hak-hak warga korban lumpur Lapindo, lalu setelah itu negara bisa menagihnya kepada Bakrie Group, Medco Group dan Santos Australia selaku induk-induk korporasi pemegang kepentingan di Blok Brantas itu sesuai dengan besar tanggung jawab masing-masing. Masak negara Indonesia kalah dengan korporasi yang mencari kekayaan di dalam Indonesia, padahal pasal 6 ayat (2) c UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sudah menentukan tanggung jawab mutlak korporasi penambang migas? Ada apa?

Tidak ada komentar: