Senin, 21 Juli 2008

Skandal Ekosida Lumpur Lapindo

Ekosida merupakan istilah yang digunakan dalam bidang lingkungan hidup. Jika genosida diartikan sebagai pembasmian seluruh atau sebagian bangsa, ras, kelompok etnik ataupun kelompok agama, maka ekosida diartikan sebagai pembasmian atau perusakan sistem ekologi normal, yang tentu berakibat pada nasib buruk manusia.

Tama Leaver (1997) menjelaskan tulisan William Gibson dan Ridley Scott, bahwa ekosida merupakan efek buruk dari upaya-upaya ekonomi untuk mencapai kesejahteraan global (akibat globalisasi), penerapan faham ultra-utilitarianisme serta eksploitasi dari cara-cara produksi mutakhir yang dilakukan kaum kapitalis.

Ekosida sebenarnya tak jauh dari model genosida, misalnya terjadinya ‘pembasmian penduduk’ akibat toksinasi atau kehancuran fungsi lingkungan hidup seperti yang terjadi pada komunitas penduduk sekitar tambang emas Newmont di Buyat dan lain-lain, serta kematian massal dalam banjir besar atau longsor akibat perusakan fungsi lingkungan hidup. Dalam kasus lumpur Lapindo, ekosida telah terjadi sebagai fakta notoir (tak perlu dibuktikan lagi, sebab telah menjadi pengetahuan umum).

Zat beracun

PBB melalui United Nations Disaster Assessment and Coordination sejak Juli 2006 telah merekomendasikan untuk adanya penelitian dan monitoring secara reguler terhadap soal lingkungan dalam kasus lumpur Lapindo. Tetapi tampaknya pemerintah Indonesia tidak terlalu memperhatikan hal yang berkaitan kesehatan masyarakat dalam jangka pendek dan panjang akibat semburan lumpur tersebut. Contohnya, gas semburan lumpur Lapindo itu sudah menewaskan dua warga Siring Barat (Sutrisno, meninggal 14/3/2008 dan Luluk, meninggal 26/3/2008) serta puluhan orang serta anak-anak dirawat di rumah sakit.

Guna mendeteksi bahaya akibat pencemaran dan perusakan ekologi karena semburan lumpur Lapindo itu, September 2007 sampai dengan Januari 2008, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur bekerjasama dengan beberapa ahli dan laboratorium melakukan penelitian lumpur Lapindo di Sidoarjo di berbagai titik hingga ke wilayah terluar akibat semburan lumpur Lapindo. Penelitian yang dilakukan Walhi tersebut juga dalam rangka untuk ‘meneguhkan keyakinan’, apa benar hasil penelitian beberapa laboratorium kampus di dalam negeri yang menyatakan tak ada masalah dengan kandungan lumpur Lapindo, dibandingkan dengan hasil penelitian sementara (awal) pemerintah RI dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyebutkan adanya kemungkinan fatal akibat gas semburan lumpur Lapindo.

Penelitian Walhi tentang logam berat akibat lumpur Lapindo menunjukkan hasil sebagai berikut:

Parameter

Satuan

Kep.MenKes No. 907/2002

Hasil Analisa Logam Pada Materi

Lumpur Lapindo

Air Lumpur Lapindo

Sedimen Sungai Porong

Air Sungai Porong

Kromium (Cr)

mg/L

0,05

Un-detetected (nd)

nd

nd

nd

Kadmium (Cd)

mg/L

0,003

0,3063

0,0314

0,2571

0,0271

Tembaga (Cu)

mg/L

1

0,4379

0,008

0,4919

0,0144

Timbal (Pb)

mg/L

0,05

7,2876

0,8776

3,1018

0,6949

Perbandingan parameter ambang batas logam berat sebagai berikut:

Parameter

Satuan

Kadar maksimal yang diperbolehkan

Per. MenKes No. 416/1990

Kep.MenKes No. 907/2002

WHO 1992

Masy. Eropa

Kanada

USA

Kromium (Cr)

mg/L

0,05

0,05

0,05

0,005

0,05

0,05

Kadmium (Cd)

mg/L

0,005

0,003

0,005

0,005

0,005

0,005

Tembaga (Cu)

mg/L

1

1

1

0,1

1

1

Timbal (Pb)

mg/L

0,05

0,05

0,05

0,05

0,05

0,05

Selain logam berat, Walhi juga meneliti kandungan polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH). Karena mahalnya biaya, Walhi hanya menguji kandungan Benz(a)anthracene dan Chrysene yang hasilnya mencapai ribuan kali lipat dari ambang batas. Beberapa senyawa lain yang tergolong dalam PAH adalah acenaphthene, acenaphtylene, anthtracene, benz(a)antracene, benz(a)pyrene, benz(b)fluoranthene, chrysene, dibenz(a,h)anthracene, fluoranthene, fluorene, indeno(1,2,3cd)pyrene, naphthalene, phenanthrene dan pyrene (Liguori et al, 2006), dan masih terdapat ribuan senyawa lainnya.

Sebagai perbandingan, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 menetapkan baku mutu PAH dalam air laut untuk wisata bahari sebesar 0,003 mg/liter. Sedangkan baku mutu Hidrokarbon dalam udara yang diizinkan berdasarkan PP No 41 tahun 1999 adalah 160 ug/Nm3. Namun dalam temuan Walhi, kadar Benz(a)anthracene di titik tertentu ada yang mencapai 0,5174 mg/kg (sampel terendah 0,4214 mg/kg). Sedangkan kadar Chrysene ada yang mencapai 806,31 μg/kg lumpur kering (sampel terendah 203,41 μg/kg).

Dalam jangka pendek, akibatnya hanya tampak adanya penduduk yang keracunan gas dan bahkan sampai ada yang meninggal dunia. Namun dalam jangka panjang, lumpur Lapindo tak hanya menjadi nasib buruk masa depan para korban langsung, tapi juga masyarakat yang setiap hari melintasi sekitar semburan lumpur Lapindo yang terancam oleh penyakit kanker akibat senyawa PAH yang bersifat karsiogenik. Pasalnya, zat beracun yang termasuk PAH bersifat bebas tempat, bisa bercampur udara, air, tanah dan seluruh media yang ada.

Dahulu, Chief Operating Officer PT Energi Mega Persada Tbk., Faiz Shahab menyatakan pihaknya serius membangun pabrik batu bata skala besar di lokasi bencana. Namun, Kepala Unit Pusat Studi Bencana Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) Ir Amien Widodo mengatakan bahwa lumpur Lapindo itu bisa memicu kanker. Sifat-sifat karsinogenik ini terutama dipicu oleh kandungan logam berat yang terdapat dalam lumpur (Kompas, 14/7/2006). Itulah mengapa pabrik batu bata yang direncanakan itu tidak ada kabarnya lagi, sebab bisa jadi mereka takut dengan sifat bahaya lumpur Lapindo.

Logam berat juga bisa menimbulkan penyakit degeneratif (kelainan fisik) dan menimbulkan keturunan penderita slow learner (lambat berpikir), sedangkan zat-zat beracun PAH mengakibatkan kanker, permasalahan reproduksi, membahayakan organ tubuh seperti liver, paru-paru, dan kulit. Setidaknya lima hingga sepuluh tahun ke depan baru akan tampak akibatnya.

Peran negara dan korporasi

Artikel ini tidak bermaksud ‘meneror’ masyarakat, tetapi didasari hasil penelitian laboratorium. Para ahli yang turut dalam penelitian Walhi tersebut berpesan agar Walhi ‘merahasiakan’ identitasnya sebab kampus tempat mengajarnya rupanya sudah tidak bisa independen. Ini semakin menunjukkan bahwa hegemoni korporasi telah menyerang kemerdekaan intelektual.

Terlepas dari semua itu, setidak-tidaknya pemerintah RI seharusnya lebih serius dalam upaya menyelamatkan masyarakat dari akibat buruk lumpur Lapindo yang dalam banyak hal selalu ditutup-tutupi. Jika tidak, sama halnya pemerintah terlibat dalam skandal ekosida, sebagaimana banyak laboratorium domestik yang membuat kesimpulan berdasarkan ‘pesanan’ sehingga tidak lagi obyektif. Inilah fenomena kekuasaan kapitalis yang menerapkan faham ultra-utilitarianisme, tidak peduli dengan nasib sosial.

Para pejabat pemerintah dan seluruh pengambil keputusan korporasi kasus semburan lumpur Lapindo, termasuk ‘laboratorium palsu’ mungkin bisa mengelak dan bersembunyi pada hari ini dalam kejahatan ekosida itu. Tetapi kelak kasus ini akan membawa mereka ke pengadilan hak asasi manusia (HAM), bahkan dalam forum hukum internasional, jika mereka tidak mau bertanggung jawab mulai hari ini untuk tunduk pada hukum internasional dan nasional dalam rangka memenuhi hak-hak para korban lumpur Lapindo yang sudah lama menderita dan terancam menjadi korban ekosida.

Sebagai pihak yang telah mengambil ‘manfaat’ (utilitas) dari negara ini, berlakulah adil dan santun kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara ini! Jangan hanya mau enaknya, lalu lari dari tanggung jawab!

Percepatan penyelesaian sosial hendaknya segera dilakukan agar warga korban lumpur semakin bisa diselamatkan dari kejahatan ekosida tersebut. Alangkah malang nasib warga korban lumpur yang diombang-ambingkan oleh pihak Lapindo. Dahulu Lapindo bersuara lantang akan patuh kepada model penyelesaian menurut pasal 15 Perpres No. 14/2007, tapi kini malah membangkangnya dengan memaksakan cara cash & resettlement dengan alasan bahwa tanah-tanah Petok D, letter C dan gogol tak dapat dibuatkan akte jual beli. Padahal sudah ada pedoman berupa Surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) c.q. Deputi Bidang Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Tanah kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo tertanggal 24 Maret 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo.

Jika Lapindo si anak korporasi Grup Bakrie itu bisa ‘mempermainkan’ diskresi hukum yang dibuat pemerintah, lalu Presiden yang membuat diskresi hukum itu diam saja, maka kepala negara ini telah diinjak-injak. Jika begitu, bagaimana kewajiban pemerintah untuk melindungi korban lumpur Lapindo dan menegakkan hukum?

Jumat, 18 Juli 2008

PERJALANAN DI ATAS KARPET MIGAS

Pagi sekali, 6 Juli 2008, hari Minggu, aku mulai naik angkutan kota (angkot). Mau ke Madura.

Dalam angkot T2 jurusan terminal Joyoboyo ada dua perempuan berbincang. Bicaranya mengalir dalam pusaran hidup kota yang sesak. Satu perempuan itu menceritakan tentang adiknya yang bercita-cita menjadi tentara. Keluarganya kelihatan rukun, sebab kakaknya yang menjadi TKI di Malaysia membantu Rp. 20 juta, lantas perempuan itu juga membantu adiknya dengan menjual sawah, laku Rp. 40 juta. Untuk apa uang itu? Katanya untuk ‘jalan’ menjadi tentara. Konon, pamannya yang telah menjadi Kapten, sebagai ‘tim sukses’, meminta untuk disediakan sekitar Rp. 80 juta, untuk bisa menjadi bintara.

Cerita itu mengingatkan kisah seorang pemuda di Desa Banggle, Nganjuk, bernama Podho. Pada jaman Orde Baru dahulu, ia ingin menjadi tentara. Orang tuanya yang petani terpaksa menjual habis sawah dan beberapa ekor sapi. Tetapi nasib tak beruntung yang hinggap, sehingga Podho memupus cita-citanya untuk menjadi tentara setelah orang tuanya kehilangan sawah dan beberapa ekor sapi yang menjadi penopang hidup keluarganya. Podho kini bekerja sebagai petani, mewarisi orang tuanya.

Tak semua kisahnya seperti itu. Di Desa Banggle itu, ada Sampun dan Sutono yang hanya menjual beberapa sapi dan bisa menjadi tentara. Ada pula Samidi yang tidak menjual apa-apa tapi bisa menjadi tentara lewat jalur di Kalimantan.....

Menjadi tentara, polisi, pegawai pemerintah, anggota dewan, bupati, walikota, gubernur dan presiden di negara ini harus mengeluarkan uang yang tak sedikit. Apakah pengorbanan itu hanya sekadar untuk mengejar cita-cita, mimpi, harga diri, ataukah di dalamnya ada misi pengabdian yang tulus? Jawabannya ada di onggokan dan bahkan gunung kasus korupsi, mafia peradilan, suap-menyuap, dan lain-lain yang semakin memuakkan. Tuhan hanya dijadikan ornamen hidup, ditertawakan dan dibokongi dalam kegelapan. Dia tak lagi menjadi Maha Yang Ditakuti, Maha Yang Disopani, tapi digantikan dengan kesenangan dan keangkuhan hidup yang tidak lagi peduli dengan nasib sesama. Tempat-tempat ibadah dibangun megah seiring kemegahan penyelewenangan moral. Upacara keagamaan dimeriahkan dengan kemeriahan penyimpangan tata hidup. Masjid, gereja dan kelenteng menjadi tempat pencucian tuhan. Tuhan masa kini adalah uang. Jika kita dengan istilah money laundering, maka akan terdengar: god laundering.

Kisah perjalanan dalam angkot itu membuat waktu terasa singkat, tiba-tiba aku harus pindah ke bus kota jurusan Tanjung Perak. Tak ada pemandangan yang berubah sejak dahulu, para seniman jalanan terus mendendangkan lagu di atas bus kota dan mengumpulkan satu persatu koin penyambung hidup. Laju bus kota yang kencang membuat semua orang di dalamnya sia-sia jika bicara. Tak lama kemudian sampailah aku di atas kapal feri di Selat Madura.

Angin Selat Madura setengah siang terasa hangat. Masih sama seperti sepuluh tahun lalu hingga beberapa bulan lalu. Perubahan hanya tampak pada air laut Selat Madura yang kian keruh dan kadang-kadang kapal menerjang arus laut yang ternoda oleh tumpahan-tumpahan minyak. Sesekali waktu penumpang kapal membuang puntung rokok serta botol plastik air mineral ke laut yang tak berdosa itu. Lautan yang telah setia menyangga hidup manusia jutaan tahun, tak pernah mengeluh atas penodaan yang dilakukan manusia.

Tiba di Kamal, aku naik bus, menuju Sumenep. Di sebelahku duduk seorang ibu empatpuluh tahunan bersama anaknya yang berumur empat tahun. Aku kira dia orang Madura yang mau pulang, ternyata orang Jawa yang mau bersilaturahmi ke besannya di Pamekasan. Saya coba mengakrabkan diri dengan mulai bertanya tentang bagaimana kisah ibu itu memperoleh menantu orang Pamekasan.

Jawaban yang banyak terungkap adalah kisah tentang perempuan itu. Ia berasal dari sebuah desa di Nganjuk. Dahulunya ia menikah dengan laki-laki dari Pamekasan. Suaminya tidak berbakat bertani, lalu pergi merantau ke Bangka, bekerja sebagai penggali tambang timah. Tidak bekerja di perusahaan resmi tapi bekerja kepada seorang ‘bos’ pemilik tambang. Pekerjaannya menggali tanah, berkubang di kedalaman yang seringkali berendam di air. Begitu katanya.

Belum setahun suaminya bekerja di tambang timah, terdengar kabar bahwa suaminya sakit. Perempuan itu ‘mengambil’ suaminya dari Bangka, dibawa pulang ke Nganjuk. Lalu suaminya meninggal. Terpaksa perempuan itu harus bekerja keras sendiri sebagai petani di desanya untuk menghidupi tiga anaknya. Anak keduanya menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Malaysia, lalu menikah dengan pemuda TKI asal Pamekasan.

Kini anak pertamanya yang pernah menjadi TKI sudah pulang ke desanya, sebab termasuk menjadi TKI ilegal (tanpa visa kerja) yang diusir oleh pemerintah Malaysia tahun lalu.

Kadang saya menjadi heran. Di Jawa Timur ada sekitar 34 blok tambang minyak dan gas bumi yang rata-rata dikelola korporasi asing. Belum lagi kekayaan lautnya. Tapi seolah-olah menjadi wilayah miskin sehingga sepertiga penduduknya hidup dalam kemiskinan dan harus berbondong-bondong pergi mencari nafkah ke luar negeri sebagai kuli dan pembantu rumah tangga dengan risiko tinggi. Dalam bulan Januari hingga Juni 2008 ini saja terhitung sekitar 40 orang buruh migran yang meninggal di luar negeri dengan kasus penganiayaan atau penyiksaan, bunuh diri, terjatuh dari apartemen, sakit, dan lain-lain.

Menjadi orang miskin di Indonesia bukanlah karena nasib buruk, tapi karena masalah struktural negara di mana kebijakan pemerintah dan pembangunan yang tidak memihak kepada rakyat kecil. Programnya ada, janjinya banyak, tapi realisasinya omong kosong. Rakyat kecil hanya dibohongi, dijadikan obyek kampanye politik. Setelah pesta upacara demokrasi usai maka ‘selamat tinggal, silahkan hidup sendiri-sendiri.’ Sekali waktu dihibur dengan bantuan beras miskin yang dikorupsi aparat desa dan kecamatan, atau uang kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang tak dapat mengejar laju tingkat kemahalan harga-harga kebutuhan pokok.

Perempuan desa yang menanggung beban hidup berat itu turun di Terminal bus Pamekasan.

Di bangunan terminal dipasang spanduk Dinas Perhubungan yang bertuliskan “DILARANG KERAS BERJUDI, MIRAS DAN PELACURAN DI DALAM TERMINAL”. Apa berarti di luar terminal boleh? Apa berarti korupsi di dalam terminal boleh sebab yang dilarang hanya berjudi, miras dan pelacuran? Meski tak ada tulisan spanduk itu, semua orang juga tahu bahwa maksiat di dalam dan luar terminal itu dilarang.

Bus terus melaju ke arah Sumenep. Saya menjuluki Madura sebagai karpet migas, sebab bahkan sumur warga di Sumenep ada yang mengeluarkan minyak. Di sawah-sawah yang terhampar luas tampak hijau tanaman tembakau, bahan rokok yang asapnya mengandung polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) yang membahayakan kesehatan manusia. Madura memang juga terkenal dengan hasil tembakaunya. Tetapi tetap saja yang kaya bukan petani tembakau melainkan para tengkulak dan pabrik-pabrik rokok. Madura kaya-raya dengan migas, tetapi yang mengambil kekayaan itu korporasi tambang dan para mafia permigasan. Rakyatnya tetap miskin.


Turun dari bus, aku dijemput seorang kawan, mampir di warung sebentar, lalu menuju ke sebuah desa para petani garam di Kalianget. Sungguh mengagetkan jika ternyata hamparan tambak garam di sekitar desa mereka bukan merupakan tanah mereka sendiri melainkan tanah yang sudah dibebaskan PT. Garam, sebuah BUMN produksi garam. Menurut cerita mereka, sekitar tahun 1976 tanah-tanah rakyat di situ dibebaskan paksa oleh pemerintah untuk program modernisasi. Tanah-tanah rakyat itu lalu diserahkan kepada PT. Garam.

Setelah reformasi konon warga petani garam itu menuntut tanah mereka melalui cara-cara aksi damai. Tetapi jalan penyelesaiannya bukan mengembalikan tanah rakyat tambak garam itu. PT. Garam hanya mau memberikan hak garap yang sewaktu-waktu dapat diambil kembali oleh PT. Garam. Kini masyarakat petani garam itu hanya sebagai penggarap. Lebih runyam lagi ternyata para pengurus Yayasan para petani garam itu mulai bertingkah menyewakan tambak-tambak garam itu kepada ‘orang luar.’

Tampaknya kasus itu masih akan berlanjut, meski tak ada kehendak para wakil petani itu untuk melawan PT. Garam. Mereka merasa bisa menerima status sebagai petani penggarap. Tetapi saya belum menjajaki jalan pikiran seluruh petani garam di sana.

Setelah memberikan penjelasan kepada perwakilan petani garam di Kalianget itu, saya kembali ke Surabaya. Sekitar jam tujuh malam bus dari Sumenep mulai berjalan. Penumpang bus berjejal, maklum malam Senin.

Setiba di Selat Madura, angin laut malam agak kencang, sehingga kapal terasa meronta-ronta, hal yang belum pernah aku alami selama naik kapal feri di Selat Madura sebelumnya. Dari jauh tampak lampu-lampu gemerlap kota Surabaya yang kian angkuh.

Sampai di Tanjung Perak aku coba cari taksi. Rasanya ingin segera sampai ke rumah. Sudah jam 12 malam lebih. Dari deretan taksi yang ada, aku pilih yang kelihatannya paling tua dan jelek. Pikirku: jika semua orang pilih taksi yang baik, lalu siapa yang akan memesan taksi yang kurang baik, di mana sopirnya juga membutuhkan rejeki untuk menghidupi keluarganya.

Sopir taksi menawarkan harga borongan, tapi aku ngotot minta pakai argo. Sopir itu mengalah. Mobil sedan taksi itu berjalan dengan sempoyongan. Belum setengah perjalanan si sopir taksi minta aku pindah taksi sebab rupanya taksi itu tak mampu berjalan lebih jauh lagi. Takut mogok. Tanpa protes aku bayar sesuai angka argo, lebih sedikit, lalu aku pindah taksi.

Dalam hidup ini terkadang niat membantu sesekali waktu akan berbuah kesusahan. Tetapi hal itu tak harus membuat cemberut dan marah, sebab dalam membantu yang utama adalah yang dibantu. Jika suatu saat orang yang dibantu meninggalkan kita yang membantu, barangkali ia sudah tak perlu bantuan kita. Dalam pergaulan hidup akan lebih baik jika 'aku' menjadi lenyap dan tak penting lagi siapa 'aku.'

Sampai di rumah hampir jam satu malam. Petualang sepertiku selalu membawa kunci rumah sendiri ke manapun pergi. Setelah membersihkan diri dan menebus shalat Isya’, aku tengok anak-anakku dan isteriku yang tertidur pulas.

Pelan-pelan kuangkat Gam, anak pertamaku yang menderita autis itu. Kupindahkan ia ke kamar atas. Gam biasa tidur bersamaku di kamar atas. Kurebahkan ia di atas tempat tidur kami, kucium kening dan pipinya. Aku ingat neneknya selalu menangis jika aku berlaku agak keras kepada Gam yang sudah sembilan tahun itu menderita auitis. Kata dokter, setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium, di dalam darah, rambut dan kotoran Gam terkandung logam berat: timbal, kadmium dan merkuri.

“Kamu tahu? Kalau kamu pergi jauh nggak pulang beberapa hari, Gam selalu bertanya, kenapa ayah tidak pulang-pulang! Tapi setelah kamu di rumah kok malah seperti itu!” kata ibu mertuaku sambil mengusap matanya yang basah, jika melihat aku marah kepada Gam yang hiperaktif dan terkadang melakukan hal-hal berbahaya.

Rasanya aku tak sanggup untuk memanggul harapan hidup yang terlalu tinggi. Apa yang aku lakukan adalah menjalankan apa yang sebisanya aku lakukan. Dalam hati, aku tak berharap Gam akan menjadi orang sepertiku. Kelak, ia seharusnya bisa lebih baik dariku.

Tetapi Gam telah menjadi korban keserakahan manusia yang sembarangan menumpahkan sisa dan kotoran keserakahannya hingga meracuni sesama hidup. Gam juga korban ketidaktahuan kami sebagai orang tuanya atas persoalan kejahatan terhadap lingkungan hidup itu. Membimbing anak seperti Gam, jauh lebih berat dan harus bersabar dibandingkan dengan membimbing anak-anak normal. Dengan semakin pandainya si Cempluk (adik Gam) yang sudah berumur empat tahun itu maka kami menjadi semakin terbantu, sebab di rumah ada teman bermain Gam.

Aku tak tahu, bagaimana 10 atau 15 tahun ke depan: Bagaimana pula dengan nasib masyarakat petani garam Kalianget yang telah kehilangan tanah-tanah mereka? Bagaimana nasib masyarakat korban lumpur Lapindo? Bagaimana perkembangan Gam?

Hidup ini masih akan berjalan mengarungi waktu yang tak berbatas kecuali dibatasi oleh hidup itu sendiri..... Ia mengalir seperti arus air lautan yang berawal dari akhir pertemuan semula, di mana awal menjadi akhir dan akhir itu menjadi awal. Awal hidup hanyalah pintu-pintu, sebagaimana kematian adalah pintu menuju hidup selanjutnya.

Dalam ruang dan waktu yang telah disediakan itu, apa yang telah kita lakukan? Apakah menjadi beban, ataukah menjadi kemanfaatan? Biarkan waktu yang menjawab....

Sabtu, 05 Juli 2008

Kemerdekaan Pers dan Lumpur Lapindo

Bukan rahasia lagi jika dalam kasus semburan lumpur Lapindo itu muncul fenomena yang sebenarnya tidak baru, yaitu ‘jual-beli’ informasi. Jika dalam dunia hukum ada fenomena mafia peradilan yang melibatkan polisi, jaksa, hakim serta advokat (pengacara) selaku makelar kodok, tampaknya dalam dunia jurnalistik juga ada mafia jurnalistik. Ada kawan wartawan yang bisa menjelaskan konspirasi antara pihak Lapindo Brantas Inc. dengan para jurnalis. Ia memetakan kelompok konspirasi itu ada tiga, yaitu: konspirasi dengan jurnalis secara pribadi, konspirasi dengan perusahaan media dan konspirasi dengan redaksi media. Wallahu’alam.

Sudah berbulan-bulan ini tampaknya media (pers) seolah enggan memberitakan keadaan riil para korban lumpur Lapindo. Yang lebih banyak menjadi bahan berita adalah perundingan antara para pengurus Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) dengan PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Pers juga sudah enggan mengulas tentang peran pemerintah ketika MLJ tapi kini berbalik arah ‘membangkang’ Perpres No. 14 Tahun 2007 dengan kemunculan skema penyelesaian sosial cash and resettlement, yang dengan sendirinya melanggar klausul cash and carry perjanjian ikatan jual-beli (PIJB) antara MLJ dengan korban lumpur Lapindo.

Tetapi justru yang sering muncul di beberapa media adalah berita advertorial atau advertorial terselubung dengan judul yang sama, yaitu: “Sidoarjo Bangkit.” Dalam advertorial – baik yang terang-terangan maupun terselubung – itu isinya sama: mengulas bahwa seolah-olah skema relokasi ke Kahuripan Nirwana Village (KNV) adalah ‘masa depan’ yang baik. Pers tidak memuat informasi yang benar tentang keluhan para korban lumpur Lapindo sendiri, baik yang ‘terpaksa’ menerima skema cash and resettlement maupun yang menolak. Pers hanya mengutip komentar para petinggi MLJ, menteri, aparat dan pengurus GKLL, memuji model cash and resettlement sebagai cara terbaik. Pers tidak menampilkan kritikan atas ‘pembangkangan’ Lapindo dan MLJ tersebut.


Idealisme pers


Hal menyedihkan semacam itu tidak saja terjadi dalam kasus lumpur Lapindo. Dalam perpolitikan misalnya juga terjadi di mana dengan dalih profesionalisme pers ada para jurnalis jebolan dari berbagai perusahaan media yang bergabung membuat media baru yang khusus menjadi corong salah satu calon gubernur. Mereka berdalih bahwa yang mereka jual adalah jasa profesi sebagai jurnalis.

Menurut UU No. 40 Tahun 1999, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik (pasal 1 angka 1). Dalam penjelasan pasal 3 ayat (2) dijelaskan: Perusahaan pers dikelola sesuai dengan prinsip ekonomi, agar kualitas pers dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya. Lantas bagaimana cara melaksanakan prinsip ekonomi dengan kewajiban sosialnya?

Saya coba korelasikan hal itu dengan kewajaran atau kepatutan yang menjadi asas hukum. Apakah wajar dan patut misalnya perusahaan pers menerima iklan yang sifatnya subyektif dari pihak Lapindo untuk menjalankan prinsip ekonomi korporasi pers, padahal Lapindo sedang berkonflik dengan masyarakat? Pers bisa menjadi kikuk dalam memberitakan kondisi riil masyarakat korban secara utuh. Atau, menurut beberapa kawan jurnalis, ada perusahaan pers yang ‘menghantam’ Lapindo dengan berita yang khusus meliput derita korban lumpur Lapindo, yang tujuannya untuk memperoleh harga iklan yang tinggi?

Baik pers, aktivis LSM atau NGO, seharusnya tidak menjadi omnivora yang ‘memakan segala’ tanpa memasang ukuran idealisme. Ada contoh, sebuah lembaga bantuan hukum yang menetapkan etika tak tertulis, di mana advokat yang bergabung di dalamnya dilarang membela pengusaha melawan buruh, pemerintah melawan warga, tuan tanah melawan petani, korporasi melawan masyarakat, tidak boleh membela tersangka/terdakwa kasus korupsi. Hal itu untuk menghindari konflik kepentingan, sebab misi lembaga hukum diprioritaskan membantu kaum lemah. Sedangkan kaum kuat ekonomi lebih leluasa untuk menyewa advokat komersiil.

Arah bisnis media, dalam persaingan yang semakin ketat, tampaknya mulai menanggalkan baju idealisme. Pers mengarah pada korporasisasi, di mana pelaksanaan kewajiban sosialnya berubah menjadi semacam praktik corporate social responsibility (CSR) yang dilakukan korporasi pada umumnya.

Berita yang disajikan dalam beberapa hal menjadi alat tawar-menawar, meski dalam beberapa hal masih ada yang dimaksudkan untuk kontrol sosial. Tetapi dengan masuknya pebisnis bermasalah ke ruang ekonomi pers, maka kontrol sosialnya menjadi disparatif. Pers akan cenderung melunak dengan para pemasang iklan yang berkonflik dengan masyarakat, tapi bisa lebih garang kepada ‘penguasa’ yang tidak memasang iklan. Itu jelas tidak adil.


Kemerdekaan pers


Dalam era demokrasi yang semakin menguat, kemerdekaan pers tak lagi diancam oleh penguasa represif, tapi oleh kekuatan ekonomi hitam. Ketika ada hakim yang memukulkan palu hukuman kepada pers atas gugatan korporasi atau suatu pihak dengan tuduhan pencemaran nama baik, bisa jadi itu disebabkan pengaruh uang korporasi itu (baca: suap) kepada penegak hukum, bukan karena tekanan kekuasaan politik.

Tangan-tangan kekuasaan ekonomi itulah yang mengancam memasung kemerdekaan pers, sebab dengan iming-iming uang maka ada para jurnalis yang mengorbankan idealisme dan independensinnya. Kinerja pers dalam memberitakan kasus lumpur Lapindo hanya merupakan salah satu contoh isu ketidakmerdekaan pers yang merebak luas. Isu itu bukan semata dugaan eksternal pers, tapi juga atas ‘kesaksian’ para jurnalis yang masih bisa mempertahankan idealisme mereka.

Masyarakat mempunyai hak untuk disuguhi informasi yang adil dan obyektif. Memang sulit mengukur keadilan dan obyektivitas itu, meski hal itu bisa saja dibawa ke ranah hukum. Tetapi hukum yang masih terjangkit virus korupsi juga belum dapat menjamin terwujudnya keadilan. Namun dengan semakin menguatnya ‘rasan-rasan’ di masyarakat tentang ‘permainan pers’ dalam kasus lumpur Lapindo itu, maka Dewan Pers seharusnya mengambil inisitif untuk melakukan ‘pengintaian’ untuk mencari bukti-bukti tentang siapa saja jurnalis maupun perusahaan pers yang telah bermain.

Kita tengah membangun martabat bangsa ini. Ketika kita mulai ramai membangun hukum agar lebih beradab, jangan sampai dunia pers kita terlupakan dan menjelma menjadi ‘perusahaan informasi’ yang tak lagi mengenal misi sosial dalam rangka melaksanakan kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum (lihat pasal 2 UU No. 40 Tahun 1999). Misi sosial itu bukanlah dengan menyumbang beras dan uang, tapi melakukan kontrol sosial yang fair.

Senin, 30 Juni 2008

Hukum Pidana Lumpur Lapindo

Hingga hari ini berkas pidana kasus lumpur Lapindo masih bolak-balik dalam perjalanan di kantor Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim) dan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim). Kepolisian berpendapat jelas, bahwa semburan lumpur Lapindo disebabkan ‘kelalaian’ dalam proses pemboran di sumur Banjar Panji 1 (BJP-1). Sedangkan Kejaksaan ragu-ragu, karena pendapat para ahli dalam kasus tersebut berbeda: ada ahli yang mengatakan semburan lumpur Lapindo akibat kesalahan eksplorasi, ada ahli yang mengatakan semburan lumpur itu bencana alam.

Penyebab semburan lumpur Lapindo memang menjadi polemik. Jika seandainya tidak ada proses ‘kecelakaan’ saat pemboran di sumur BJP-1 Porong Sidoarjo, mungkin gempa Jogja menjadi satu-satunya kambing hitam. Meski jarak semburan (29 Mei 2006) dengan kejadian gempa Jogja (27 Mei 2006) selisih dua hari. Meski timbul pertanyaan: mengapa proses liquifikasi (pencairan) bebatuan akibat gempa baru muncul dua hari sesudahnya? Mengapa hanya lokasi sekitar sumur BJP-1 yang mengalami semburan lumpur, sedangkan di sumur-sumur tambang migas lainnya yang biasanya merupakan patahan-patahan bumi kok tidak mengalami kejadian serupa?

Tetapi seluruh ahli yang berdebat pasti tak dapat menyangkal bahwa dalam proses eksplorasi di sumur BJP-1 telah terjadi ‘masalah’ yaitu patahnya mata bor, pecahnya blow out preventer (BOP), sebagaimana hal itu diakui pihak Lapindo sendiri. Hal itu juga termuat dalam buku audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kasus tersebut.


Parameter hukum


Baiklah, saya tak akan ikut dalam polemik para ahli pemboran dan geologi yang terkadang sama dengan para ahli hukum yang suka berdebat, yang kadang pendapatnya juga tergantung ‘pendapatannya.’ Saya di sini bermaksud mengeksaminasi cara berpikir penyidik Polda Jatim dengan penuntut Kejati Jatim dalam kasus lumpur Lapindo tersebut, dengan parameter hukum acara pidana.

Berdasarkan pemantauan yang kami lakukan dalam proses penyidikan kasus lumpur tersebut, alat bukti yang sudah dikumpulkan oleh penyidik Polda Jatim diantaranya adalah: keterangan para saksi (per-8 Maret 2007 adalah: saksi korban 21 orang, saksi dari Pemkab Sidoarjo 2 orang, saksi dari BP Migas 6 orang, saksi dari Lapindo Brantas, Inc 14 orang, saksi dari PT. Medici Citra Nusa 7 orang, saksi dari PT. Tiga Musim Mas Jaya 5 orang, saksi dari PT. Elnusa Drilling Services 4 orang), dokumen-dokumen yang menerangkan peristiwa pemboran termasuk daily drilling report, Real Time Chart, hasil survei seismic, perizinan, dokumen UKL - UPL, dokumen Standard Operating Procedure (SOP), dan lain-lain.

Keterangan para ahli yang telah diperiksa adalah: ahli geologi 5 orang, ahli perminyakan 2 orang, ahli pemboran sebanyak 1 orang, ahli lingkungan 1 orang, ahli pengairan sebanyak 1 orang, ahli Hukum Lingkungan 1 orang, ahli bahasa 1 orang, ahli kerusakan tanah 1 orang, ahli gempa (dari Badan Metereologi dan Geofisika) 2 orang. Setelah itu, alat-alat bukti tersebut terus dikembangkan berdasarkan petunjuk (P19) penuntut umum Kejati Jatim.

Sekitar sebulan lalu, penyidik Polda Jatim menjelaskan kepada Komnas HAM yang sedang memantau kasus tersebut di Mapolda Jatim, bahwa petunjuk penuntut umum Kejati Jatim selalu berkembang. “Lha kalau petunjuknya tidak konsisten, terus beranak pinak, ya kapan selesainya?” kata Rusli Nasution, pimpinan penyidiknya saat itu bernada kesal. Berdasarkan hasil pemantauan kami, ternyata penuntut umum Kejati Jatim dalam kasus lumpur Lapindo tersebut terkesan pasif, tidak mau menggunakan wewenangnya untuk melaksanakan pemeriksaan tambahan yang diperlukan. Padahal jaksa diberikan wewenang itu menurut pasal 30 ayat (1) huruf e UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan.

Jika diukur dari ketercukupan alat bukti menurut buku hukum acara pidana (KUHAP, pasal 184) sebenarnya apa yang diperoleh penyidik Polda Jatim tersebut sudah lebih dari cukup untuk membuktikan tindak pidana dalam kasus semburan lumpur Lapindo. Secara kuantitas telah memenuhi, secara kualitas telah mencukupi. Alat bukti keterangan para saksi pelaksana pemboran seirama nada dengan alat bukti Real Time Chart (grafik yang menunjukkan waktu proses pemboran yang sedang berlangsung) serta daily drilling report (laporan pemboran harian) yang membuktikan adanya ‘masalah kecelakaan’ dalam pemboran.

Sedangkan keterangan ahli dalam kasus tersebut sesungguhnya hanya sebagai pelengkap, bukan alat bukti utama, sebab alat bukti keterangan saksi dan alat bukti surat-surat sudah terlalu cukup. Jika ada keterangan ahli yang berbeda, dan ternyata berbeda dengan temuan fakta berdasarkan alat bukti keterangan saksi dan surat-surat, maka keterangan ahli yang berbeda tersebut bisa diabaikan. Biasanya, keterangan ahli yang bersifat meringankan tersangka akan dipakai penasihat hukum sewaktu dalam persidangan di pengadilan. Hal itu juga lazim terjadi dalam kasus-kasus kejahatan korupsi dan lain-lainnya. Jadi, perbedaan keterangan ahli dalam hukum acara pidana selama ini sudah lazim, bukan soal baru.


Kepastian hukum


Dalam pemikiran hukum yang adil, kepastian hukum merupakan hak korban dan tersangka/terdakwa/terpidana. Berlarut-larutnya proses pemeriksaan pidana kasus lumpur Lapindo pasti melanggar hak korban dan para tersangka. Status para tersangka tetap menjadi tersangka tanpa kepastian kapan berakhir. Para korban juga menunggu-nunggu keadilan hukum pidana yang bertujuan menciptakan public order (tertib umum).

Kasus pidana lumpur Lapindo itu menjadi terasa istimewa sebab dalam kasus sebesar itu juga tak ada satupun tersangka yang ditahan. Berbeda misalnya dengan maling sandal jepit yang langsung akan ditahan, padahal kerugian publik yang ditimbulkan kasus lumpur Lapindo jauh lebih besar. Pengistimewaan ini melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law).

Memang bahwa kepentingan penahanan selalu berkaitan dengan alasan formal agar tersangka/terdakwa tidak melarikan diri, tidak merusak atau menghilangkan barang bukti dan tidak mengulangi perbuatannya. Tapi para penegak hukum selama ini telah salah sendiri dalam praktiknya, menafsir alasan tersebut secara subyektif dan bahkan menjadikan wewenang penahanan sebagai alat tawar-menawar dalam perdagangan hukum. Penegak hukum bisa tidak menahan tersangka atau terdakwa jika harganya cocok, dan akan ditahan jika harganya tidak cocok, apalagi jika sama sekali tak ditawarkan harga.

Berlikunya kasus pidana lumpur Lapindo juga dengan mengembangkan logika: “Kejadiannya berada di dalam bumi, tidak ada yang melihat secara langsung.” Logika itu tidak tepat dan cenderung sesat sebab kegiatan pemboran dilakukan di atas bumi dan bisa dilihat serta dirasakan apa yang terjadi, sehingga kesalahan pemboran jelas diketahui oleh pelaksanannya dan dicatat dari detik ke detik. Hanya bornya yang menembus bumi.

Apakah dalam kasus pidana lumpur Lapindo juga terjadi perdagangan hukum sehingga jalannya enjot-enjotan? Wallahu’alam bishowab.

Kamis, 26 Juni 2008

Kasus Poster: 'ITS Anjing Lapindo'

KASUS SKORSING MAHASISWA ITS

MAHASISWA MENGAJUKAN KASASI 4 JUNI 2008

TERKAIT KASUS LUMPUR LAPINDO


Membaca berita koran Surya (anak Grup Kompas di Jawa Timur), 27 Juni 2008 yang berjudul: GUGATAN MAHASISWA ITS KANDAS (halaman 4) saya agak senang, ternyata masih ada media yang tertarik memuat berita kasus tersebut. Kami berterima kasih kepada Surya.

Media memang sangat membantu dalam menginformasikan terutama persoalan yang menyangkut kepentingan publik dan tidak sekedar mencari ‘daya sensasinya.’ Dahulu, dalam foto di koran ada salah satu mahasiswa terskorsing (Benny Ichwani) yang memegang poster bertuliskan: “ITS ANJING LAPINDO.” Saya bertanya kepada yang bersangkutan: “Siapa yang membuat poster itu, dan mengapa kamu memamerkan ke umum (kepada pers)?” Benny menjawab: “Saya tidak tahu siapa yang membuat poster itu. Saya menenteng poster itu kebetulan diminta wartawan untuk mengangkat poster itu agar wartawan bisa mengambil gambarnya.” Maka jadilah foto itu terpampang di koran dan dijadikan oleh pihak ITS sebagai salah satu alat bukti di pengadilan. Dalam dunia politik, semua bisa terjadi. Dalam dunia informasi, ada informasi di balik informasi yang jarang diketahui publik. Atau bisa jadi itu hanya sebuah kebetulan, termasuk ada wartawati yang dahulu rajin mengejar informasi dari saya dalam kasus skorsing mahasiswa ITS itu dengan hasil: ia menjadi karyawati humas yang lalu pura-pura lupa dengan nomor telepon saya yang dahulu sering dihubunginya. Hidup ini memang penuh lekak-lekuk, di samping lika-liku.

Saya tahu pasti bahwa Benny sebenarnya tahu siapa yang membuat poster bertuliskan ITS ANJING LAPINDO itu, tapi Benny tak mengaku kepada kami selaku kuasa hukumnya. Saya acungi jempol kepadanya, meski dalam hati, sebab ia tidak mau mengkhianati kawan seperjuangannya dan ia tak mau menyalahkan wartawan yang menyuruhnya mengangkat poster itu agar bisa difoto wartawan. Sebab apa yang diperbuatnya adalah apa yang akan dipertanggungjawabkannya, tak akan lari.

Kami memperoleh surat pemberitahuan putusan banding. Tapi karena kuasa 3 mahasiswa ITS (Yuli, Tomy dan Benny) yang diberikan kepada kami tak sampai kasasi. Agar tidak perlu membuat kuasa baru maka Yuli dan Tomy kami minta mengajukan kasasi sendiri, sedangkan Benny masih di luar kota. Tanggal 2 Juni 2008 Yuli dan Tomy menghadap kepaniteraan PTUN Surabaya di Medaeng Sidoarjo (Aneh, PTUN Surabaya kok Sidoarjo?). Tapi Kepaniteraan menolak dan meminta agar kami selaku kuasa hukum yang mengajukan kasasi. Apa ini kebetulan para panitera PTUN Surabaya tidak paham isi surat kuasanya, atau ada tujuan lain? Saya minta Yuli untuk memberikan HP-nya kepada sang panitera agar bisa mendengarkan penjelasan saya, tapi sang panitera menolak. Panitera ngotot: harus pengacara yang mengajukan kasasi. Kata Yuli dan Tomy, sang panitera mengata-katai mereka: “Kalian ini harus sekolah S2 hukum dulu!” kata sang panitera.

Kami tidak mau dibuat menjadi orang bodoh. Tanggal 3 Juni 2008 Yuli dan Tomy kami buatkan surat permohonan kasasi melalui surat yang ditembuskan ke atasan PTUN Surabaya. Tanggal 4 Juni 2008 pagi-pagi saya ditelepon kepaniteraan PTUN Surabaya. Saya jelaskan apa yang mestinya akan saya jelaskan pada 2 Juni 2008 ketika sang panitera menolak rencana penjelasan saya melalui telepon Yuli. Maka barulah tanggal 4 Juni 2008 itu Yuli dan Tomy diterima PTUN Surabaya untuk mengajukan kasasi.

Dalam memori kasasi yang diajukan Yuli dan Tomy dijelaskan bahwa putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jawa Timur telah benar dalam menganulir putusan PTUN Surabaya tentang gugatan prematur. PT TUN Jawa Timur berpendapat bahwa gugatan para mahasiswa ITS itu bisa diterima. Tetapi hakim PT TUN Jawa Timur dalam perkara itu berpendapat bahwa keputusan skorsing Rektor ITS sudah benar sebab sudah memberi hak para mahasiswa ITS untuk membela diri dan batas waktu berlakunya Surat Keputusan (SK) skorsing sudah jelas. Hakim PT TUN Surabaya tidak menilai substansi perkara, tapi hanya menilai prosedur. Padahal dalam gugatan kami ada banyak alasan berkaitan dengan pelanggaran peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik yang dilakukan Rektor ITS dalam mengeluarkan SK skorsing. Berbagai alasan gugatan itu tak ada yang dinilai hakim. Bahkan seluruh alat bukti yang kami ajukan tidak dinilai. Apakah lantas kami akan menganggap PT TUN itu sebagai Perseroan Terbatas Tata Usaha Negara? Tidak perlu.

Bagi kami, melanjutkan upaya hukum itu tidak dalam arti ‘menantang ITS.’ Bukan juga merupakan perbuatan sia-sia terkait segera selesainya masa studi tiga mahasiswa ITS tersebut. Kami tidak berpikir pragmatis, demi diri, demi kelompok. Kami harap ITS juga bisa memaklumi langkah intelektual itu untuk menguji terus sampai sejauh mana kebenaran cara penyelesaian masalah demonstrasi mahasiswa yang menentang konspirasi ITS dengan Lapindo. Soal bahwa ternyata ada poster yang bertuliskan: ITS ANJING LAPINDO maka itu terlalu kecil untuk dipersoalkan. Ada banyak manusia yang DI-ANJING-KAN dalam peribahasa “biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.” Barangkali itu adalah bentuk kecaman yang pedas dan membuat marah Rektor ITS. Tetapi kata Suyoto – yang kini menjadi Bupati Bojonegoro – kemarahan pemimpin menunjukkan bahwa yang bersangkutan kehilangan akal. Meski sekarang ini ternyata Suyoto juga marah-marah dan menggusur PKL kota Bojonegoro. Apa berarti Suyoto sendiri telah kehilangan akal? Mungkin ada yang menjawab: “Tidak. Wong Suyoto menggusur para PKL itu sambil tersenyum-senyum.”

Kembali ke soal. ‘ITS ANJING LAPINDO’ bukanlah slogan yang merupakan satu-satunya alasan untuk membungkam daya kritis para mahasiswa. Jika tak ada poster itu akan ada alasan lain, sebagaimana dalam SK Skorsing yang dikeluarkan Rektor ITS ada lebih dari 14 tuduhan pelanggaran yang dilakukan mahasiswa, yang hingga kini tak pernah teruji oleh pengadilan, sebab hakim PTUN Surabaya dan PT TUN Jawa Timur masih berputar-putar pada soal prosedur, TIDAK BERANI MENILAI SUBSTANSI perkaranya. Mengapa para hakim itu tidak berani menilai materi gugatan kami? Hanya Mak Bogang yang tahu. Siapa itu Mak Bogang? Saya juga tidak tahu. Tapi yang jelas dahulu mahasiswa ITS itu pernah berbincang dengan pihak ITS, disarankan untuk tidak mengajukan banding. “Kan sama-sama habis banyaknya,” kata orang ITS itu. Loh, situ habis banyak ya? Tanyaku dalam hati. Kalau kami tidak habis banyak, wong kami nggak ngasih uang ke siapa-siapa. Yuli, Tomy dan Benny juga tidak perlu membayar upah pengacaranya. Biaya perkara di PTUN dan PT TUN kan cuma beberapa ratus ribu dari bantuan solidaritas organisasi aktivis.

Mas Sunarno Edi Wibowo yang ganteng karena tahi lalat di dagunya (yang juga kenal baik dengan saya), kuasa hukum Rektor ITS itu mengatakan bahwa jika mahasiswa ITS itu ngotot membawa masalah ini ke jalur hukum maka itu akan menganggu pendidikan mereka (Surya, 27/6/2008). Loh, keliru Mas! Justru menggugat Rektor ITS untuk memperjuangkan keadilan, agar para Rektor di kemudian hari tidak sewenang-wenang kepada para mahasiswa, adalah sebuah kemajuan dan keberhasilan dalam pendidikan mereka. Hanya mahasiswa yang (maaf) idiot yang menerima begitu saja perlakuan tak adil menyangkut masa depan sesama mahasiswa dan membiarkan kampusnya menjadi tempat dagang lumpur. Seperti halnya 4 mahasiswa demonstran di depan Grahadi Surabaya 24 Mei 2008 yang saya dampingi di Polresta Surabaya Selatan ternyata TIDAK TERDIDIK sebab mereka telah digebuki polisi babak belur, ditangkapi polisi, lalu pulang dengan menerima ‘uang sogokan’ Kapolres. Mereka tidak menceritakan langsung ‘penyuapan’ itu kepada saya yang mendampingi mereka. Ketika saya suruh kembalikan uang ‘sogokan’ itu, mereka tidak ada yang bisa (atau tak mau mengembalikan?).

Saya salut kepada para mahasiswa ITS yang minoritas yang berani melawan lembaga pendidikan tempat sekolahnya sendiri. Mereka tidak takut dengan bayang-bayang ancaman pemecatan sebagai mahasiswa, sebab pendidikan yang sejati bukanlah yang ada di kampus itu, tapi dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat yang heterogen dengan berbagai masalahnya. Adalah mereka yang bisa mandiri, merdeka, tidak bergantung, berani bersikap, tidak plin-plan, konsisten dalam perjuangan tidak mudah ditekuk dengan lembaran uang, tidak menghamba kepada penguasa uang, tidak curang dalam persaiangan, punya rasa solidaritas yang tinggi dan humanis, adalah orang-orang yang benar-benar terdidik. Kekayaan bukanlah kehormatan manusia, sebagaimana mayoritas para nabi dan rasul bukan orang kaya meski mereka sesungguhnya bisa menjadi kaya jika mau ‘menabung’ kekayaan. Tapi, mereka tahu bahwa di luar diri mereka berserakan kesusahan dan kemiskinan. Maka hasil kekayaan pribadi mereka fungsikan untuk kemanfaatan sosial.

Yuli, Tomy dan Benny, selamat berjuang! Hentikan komersialisasi pendidikan! Hentikan perbuatan memperdagangkan kampus! Adili para pemangku Lapindo dan pemiliknya sebagai penjahat ekologi, ekonomi dan sosial! Bebaskan Blok Brantas dari cengkeraman Buto Ijo!


Surabaya, 27 Juni 2008


Senin, 23 Juni 2008

Menanti Fatwa MUI Soal Pertambangan

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bagi umat Islam merupakan salah satu ‘kiblat’ acuan interpretasi agama (Islam), meski sekali waktu juga mengundang kritik atau polemik. Dalam konteks hukum perlindungan konsumen, penilaian MUI juga diperlukan dalam menentukan label ‘halal’ atas produk makanan, yang diwajibkan menurut UU No. 8 / 1999.

Kali ini saya akan membawa peran fatwa agama pada persoalan pertambangan, terutama yang dalam banyak kasus menimbulkan kerugian ekologis sosial. Dalam Alquran terdapat sebuah ayat ekologis yang amat terkenal, yaitu Surat Ar-Rum ayat 41, di mana Tuhan ‘mengecam’ tindakan destruktif manusia di darat dan laut yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan Tuhan mengancamnya dengan azab. Pemanasan global tampaknya merupakan azab global, selain bencana banjir, tanah longsor kekeringan, serta meningkatnya penyakit degeneratif pada manusia.

Tetapi tampaknya ayat Tuhan tersebut tak mendapatkan tempat, masih kalah dengan ‘ayat ekonomi kapitalisme global’ yang bahkan membuat banyak pemerintahan di dunia ini bertekuk lutut kepada para penguasa kapital. Dalam kasus Buyat misalnya, fungsi agama tidak berjalan dan hukum administrasi negara sebagai hukum preventif tidak mampu bekerja, malah berbalik mendukung korporasi pelaku pencemaran (Newmont) hanya dengan kesepakatan ‘perdamaian’ dengan pembayaran Newmont kepada pemerintah, dicicil selama 10 tahun. Dalam kasus lumpur Lapindo fatwa agama juga tidak ada, sedangkan hukum pemerintahan – juga pengadilan – telah memihak kepada korporasi perusak lingkungan (Lapindo sebagai anak Grup Bakrie).

Banyak pula kasus-kasus pertambangan yang bersifat destruktif, merusak fungsi alam untuk melindungi masyarakat, seperti halnya perijinan tambang di hutan-hutan lindung, pengambilan pasir laut, ijin pertambangan daerah untuk mengeksploitasi tanah-tanah dan bukit (sirtu) yang menimbulkan potensi tanah longsor, termasuk ijin tambang emas di Banyuwangi (Tumpang Pitu) yang rencananya akan memangkas bukit Tumpang Pitu yang selama ini menjadi bagian alam yang melindungi warga penduduk di sekitarnya. Di mana posisi dan peran agama untuk menyelamatkan manusia dari kerusakan yang merata di muka bumi?


Manfaat versus mudlarat


Dalam menetapkan suatu fatwa hukum (Islam) biasanya mengacu pada manfaat yang dibandingkan dengan mudlarat (kerugian). Setelah ditimbang maka barulah ditentukan nilai hukumnya; halal, haram, mubah (boleh), makruh (boleh tapi lebih baik ditinggalkan), atau dalam bentuk lainnya misalnya munkar atau sebaliknya ma’ruf. Fatwa hukum tersebut biasanya ditetapkan karena terdapat hal-hal yang belum jelas hukumnya sebab tidak diatur khusus dalam Quran dan Hadits. Atau, fatwa juga diperlukan dalam hal terdapat ‘kesalahan pemahaman umat’ terhadap praktik hidup tertentu yang sebenarnya menyimpang dari hukum agama yang sudah jelas tetapi dianggap benar oleh umat.

Dalam hal ini kadang ada perbedaan pendapat ulama. Contohnya perbuatan merokok diharamkan ulama Madinah, tapi ulama Indonesia menghukumi makruh. Maklum juga, ulama Indonesia banyak yang suka rokok, meski di iklan-iklan rokok sudah menjelaskan risikonya: “Rokok bisa mengakibatkan kanker, gangguan kehamilan dan janin ....... dst.” Dalam soal ini tampaknya ulama Indonesia harus lebih banyak belajar ilmu kesehatan manusia, selain ekonomi kapitalisme.

Dalam soal pertambangan pun para ulama harus lebih banyak belajar ilmu geografi, geologi, fisika, kimia, biologi, sosiologi, ekonomi, dan lain sebagainya secara lebih dalam sebab Quran dan Hadits hanya memberikan dasar-dasar dari seluruh ilmu tersebut. Para ulama tak boleh menentukan suatu hukum berkaitan dengan bobot manfaat dan mudlarat jika hanya atas dasar ‘kira-kira’, apalagi jika sang ulama pernah memperoleh pelajaran atau matakuliah ilmu ekonomi di sekolah dan kampus yang sudah terkontaminasi dengan faham kapitalisme. Padahal ilmu ekonomi kapitalisme itu menurut orang Barat sendiri tidak baik. “Ilmu ekonomi kapitalisme itu menjijikkan,” kata Prof. Daniel C. Maguire, seorang pakar etika. Johan Galtung, tokoh perdamaian itu juga menyatakan bahwa kapitalisme itu bercirikan tamak dan tidak peduli.

Ekonomi kapitalisme jelas akan menganggap investasi pertambangan itu menguntungkan secara ekonomi. Iklannya adalah: meningkatkan kesempatan kerja (mengurangi pengangguran), meningkatkan pendapatan negara, menaikkan tabungan sosial mengakibatkan akumulasi investasi sosial. Tak lupa – meski sering dengan cara curang – dibuat program corporate social responsibility (CSR). Bahkan untuk ‘menandingi’ gerakan advokasi lingkungan hidup maka hampir semua korporasi membikin program ‘hijau, hijau, hijau,... green, green, green, ...’ Korporasi yang jagoan menghabiskan hutan pun membuat ‘green program’ sebagai cara mengelabuhi masyarakat. Begitu cerdiknya kapitalisme bersembunyi di balik kejahatan ekologis mereka.

Seumpama saja iklan lembut penuh kata harapan yang dibuat para penjahat kapitalisme itu benar alias tidak bohong, maka tentunya rakyat Indonesia sudah makmur dan berlimpah kebahagiaan sebab selama lebih dari 62 tahun Bumi Pertiwi ditambang tanpa henti, bahkan diperkosa habis-habisan. Tak ada orang Indonesia yang harus susah payah mempertaruhkan nasib buruk disiksa dan diperkosa di luar negeri untuk menjadi kuli atau pembantu rumah tangga. Juga tak ada kasus longsor, banjir, penyakit degeneratif, kanker, kelambatan mental akibat kehancuran dan toksinasi lingkungan hidup.

Nyatanya? Kekayaan Bumi Pertiwi semakin habis, rakyatnya tetap kembang-kempis, memegangi derita nasib yang meringis. Hanya para pemodal dan pejabat yang bertambah kaya, bersaing dengan orang-orang kaya di dunia, tapi yang miskin tambah miskin terlempar dalam jurang kesengsaraan hidup. Kaum buruh tambang pun tak beda dengan buruh pada umumnya yang berpenghasilan minim dan sewaktu-waktu rawan dipecat (di-PHK). Jika kekayaan yang ditambang habis maka para buruh pun kehilangan pekerjaan.

Jika begitu, ekonomi pertambangan terbukti memberi manfaat banyak bagi para pemodal (pengusaha), tapi lebih banyak merugikan masyarakat luas. Kerugian tak hanya menimpa generasi masa kini, tapi juga ditanggung generasi mendatang. Maka ada adagium sindiran: kita hidup dengan cara mengorbankan anak cucu.


Fatwa MUI


Pertambangan di Indonesia selain menimbulkan soal pencemaran serta kerusakan ekologis juga harus mempertimbangkan karakter geologis Indonesia yang dilalui oleh jajaran gunung berapi yang populer disebut sebagai Pacific Ring of Fire (cincin api Pasifik) dan tempat pertemuan tiga lempeng bumi. Jadi, mengebor bumi Indonesia sebenarnya sama halnya mengundang bahaya geologis. Oleh sebab itu, perijinan pertambangan migas yang berada di wilayah padat penduduk – terutama di Jawa yang padat - adalah sebuah kebodohan besar pemerintahan sebab mengorbankan nasib rakyat yang diurus.

Kasus semburan lumpur Lapindo hanyalah salah satu contoh kecelakaan akibat kesembronoan dalam pemboran. Ada kasus-kasus lain serupa yang tidak diketahui masyarakat umum sebab tempatnya di tengah laut atau di dalam hutan. Demikian pernah dikatakan oleh DR. Andang Bachtiar yang sudah puluhan tahun malang melintang di dunia perminyakan. Hal itu juga terungkap dari keterangan DR. Rudi Rubiandini, pakar pemboran dari ITB yang pernah bersaksi di pengadilan dalam kasus lumpur Lapindo.

Dengan melihat banyak contoh kasus dalam pertambangan, serta belajar dari kerugian kolosal akibat kasus Buyat dan lumpur Lapindo, maka para ulama harus bertindak memfungsikan agama untuk menolak kemunkaran-kemunkaran yang dilakukan para hamba iblis kapitalisme. Itu akan lebih bermanfaat dibandingkan fatwa-fatwa yang bisa menimbulkan kerusakan kerukunan umat.

Ulama Indonesia, terutama MUI, seharusnya mengeluarkan fatwa yang mengharamkan pertambangan yang sifatnya mengancam keselamatan umat. Seperti halnya pulau Jawa sebenarnya sudah tak layak lagi ditambang sebab saking padat penduduknya. Begitu pula jika pertambangan itu dilakukan dengan cara melanggar fungsi ekologi kawasan lindung atau yang seharusnya dijadikan area perlindungan umat. Hal itu akan menjadikan peran agama yang lebih bisa mengamankan keselamatan umat.

Tanpa pertambangan umat bisa hidup makmur jika pemerintahnya pandai, jujur dan pekerja keras. Sebelum Timur Tengah menambang migas, pada jaman dahulu pernah makmur padahal masyarakatnya hidup di padang pasir. Apalagi Indonesia yang tanahnya luas bisa untuk bertani dan lautannya lebih luas lagi kaya dengan ikan. Dengan mengelola pertanian dan perikanan secara sungguh-sungguh negeri ini bisa makmur.

Tapi, celakanya para pejabat negara ini lebih tunduk kepada para pemodal yang semakin kaya-raya dengan sadar atau tidak telah memiskinkan rakyat dan membuat rakyat bergantung kepada para kapitalis curang itu. Waktunya bangkit sungguh-sungguh, untuk keluar dari pembohongan dan penindasan kapitalis neoimperialisme! Dan agama seharusnya berperan penting untuk membebaskan umat dari penindasan itu.

Sabtu, 21 Juni 2008

KEBOHONGAN LAGI DI LUMPUR LAPINDO

PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ) membuat model baru rencana pembayaran 80 persen dari harga jual-beli tanah dan bangunan warga korban lumpur Lapindo yang tergabung dalam Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL), dengan dalih melaksanakan Perpres No. 14/2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

Model baru tersebut adalah: (1) MLJ hanya akan membayar tunai kepada pemilik sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Hak Milik (SHM) yang bisa diakta jual-belikan (di-AJB-kan) oleh Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT), (2) Semua berkas yang tidak bisa di-AJB-kan oleh PPAT diberikan solusi resettlement semacam relokasi dengan formula: tanah ganti tanah dengan perbandingan 1 : 1 (sama dengan luas semula), ditambah bangunan rumah seluas standar yang ditentukan pembangunnya (PT. WAR), dan akan dilakukan pembayaran sisa harganya, jika ada, tanpa memperhitungkan uang 20 persen yang telah dibayar MLJ, dan (3) Bagi warga korban yang menerima program resettlement tetapi tidak berminat untuk tinggal menetap di rumah relokasi yang ditentukan dalam resettlement itu maka warga tersebut diberikan kesempatan untuk menjual kembali tanah dan rumah tersebut kepada PT. WAR (pembangun yang ditunjuk MLJ) dengan harga seperti semula dan diberikan hak untuk tinggal gratis di rumah tersebut selama 12 bulan (selama masa relokasi yang disetujui).


Masalah yang beruntun


Pada 1 Mei 2008 malam, dalam pertemuan antara GKLL dengan Komnas HAM di pendopo Kecamatan Tanggulangin Sidoarjo, warga GKLL ‘mencurigai’ bahwa model yang didisain oleh Lapindo melalui MLJ tersebut merupakan cara untuk memecah-belah warga korban lumpur Lapindo, sebab dalam pikiran mereka terlanjur mengira bahwa yang namanya pembayaran uang jual-beli 80 persen itu adalah tunai. Kalau dalam kenyataannya harus ada warga yang dibayar tunai dan ada yang direlokasi maka mereka menganggap itu tidak adil.

Lalu, apakah benar secara hukum bahwa ada tanah-tanah warga korban lumpur Lapindo yang sulit atau tidak bisa di-AJB-kan? Sebelum mengarah pada hukum substantifnya, saya coba analisis dengan hukum pertanahan positif lebih dulu, mengapa ada kesulitan meng-AJB-kan tanah korban lumpur Lapindo tersebut.

Saya mulai dari dasar yang digunakan MLJ, yaitu pasal 15 Perpres No. 14/2007 yang menentukan bahwa ‘cara penyelesaian sosial’ yang ditentukan adalah dengan ‘jual-beli’ tanah dan rumah korban lumpur di dalam peta terdampak 22 Maret 2007 dengan Lapindo Brantas Inc. (Lapindo). Dalam pelaksanannya Lapindo melakukan kerjasama dengan MLJ, di mana MLJ ditunjuk sebagai ‘pembeli’ atas tanah dan rumah korban lumpur dalam peta terdampak 22 Maret 2007.

Selanjutnya, yang menjadi masalah adalah bahwa berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) serta peraturan pelaksanaannya bahwa korporasi berbentuk Perseroan Terbatas (PT) berbadan hukum (seperti MLJ itu) hanya berhak memiliki Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pakai (HP), dan bukan subyek hukum Hak Milik. Padahal, tanah warga korban lumpur Lapindo kebanyakan adalah Hak Milik. Jika pasal 15 Perpres No. 14/2007 tersebut dihubungkan dengan UUPA dan peraturan pelaksanannya maka pasal 15 Perpres No. 14/2007 hanya dapat dilaksanakan terhadap tanah-tanah yang memungkinkan untuk dibeli MLJ, yaitu HGB, HGU atau HP. Perpres No. 14/2007 tidak dapat dilaksanakan (nonexecutable) terhadap tanah-tanah Hak Milik. Maka kelemahan Perpres No. 14/2007 tersebut dijadikan dalih MLJ untuk melaksanakan model baru pembayaran 80 persen tersebut. Apakah itu merupakan disain besar dari awal, ataukah kekeliruan Presiden? Wallahu’alam.

Namun jelasnya bahwa model atau skema baru yang disusun MLJ tersebut menjadi masalah baru yang menambah masalah penyelesaian sosial korban lumpur yang beruntun, tak kunjung selesai.


Kebohongan hukum


Jika dikatakan bahwa berkas tanah berupa Petok D, Letter C, SK Gogol; tidak bisa di-AJB-kan oleh PPAT, maka pernyataan itu merupakan akibat Perpres No. 14/2007. Bahkan Hak Milik yang bersertifikat (SHM) juga tak bisa di-AJB-kan dalam transaksi antara MLJ dengan warga korban lumpur Lapindo sebab memang MLJ secara hukum bukan subyek pemilik Hak Milik. Ini yang kemudian rawan menimbulkan kebohongan praktik hukum, terkait motif efesiensi korporasi, sebab keadaan-keadaan darurat tersebut terus dipaksanakan dengan menggunakan cara-cara hukum positivistik, apalagi dasar hukum yang dibuat (Perpres No. 14/2007) menjadi sabdo pandhito ratu yang mengalami sakralisasi, di mana Presiden SBY enggan untuk merevisi kekeliruan mendasar tersebut.

Dengan menggunakan cara-cara hukum positivistik yang kaku tersebut maka akhirnya masyarakat korban lumpur terus-menerus menjadi korban bulan-bulanan Lapindo melalui MLJ, dengan dalih-dalih formalistik. Maka tepatlah adanya sinyalemen dalam hukum bahwa hukum dalam praktiknya lebih banyak menguntungkan ‘yang besar’ dan merugikan (baca: tidak adil) bagi ‘yang kecil.’

Untuk mengantisipasi adanya gejolak baru, ketika adanya gelombang penolakan ‘diskriminasi’ antara pemilik SHGB, SHM dengan para korban pemilik petok, letter C atau SK Gogol dan bahkan bagi yang kehilangan berkas sekalipun, maka dibutuhkan diskresi hukum pertanahan guna menanggulangi kesulitan-kesulitan formalnya. Diskresi hukum tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, Presiden memerintahkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk membuat keputusan khusus yang isinya: (1) memerintahkan para PPAT untuk dilarang menolak pembuatan AJB antara warga korban Lapindo dengan MLJ. (2) menyetujui adanya peng-AJB-an tanah-tanah Hak Milik korban lumpur Lapindo dengan MLJ dengan ketentuan akan dilakukan konversi hak secara otomatis (setelah adanya AJB tersebut) dari Hak Milik menjadi tanah bukan Hak Milik sesuai dengan permohonan status hak atas tanah yang dikehendaki MLJ (misalnya HGU atau HP di atas tanah negara), sebagai konsekuensi bahwa MLJ bukan merupakan subyek hukum pemilik Hak Milik atas tanah. (3) Dalam pembuatan AJB tidak diwajibkan adanya kelengkapan berkas (ada dispensasi), tetapi cukup didasarkan pada Perjanjian Ikatan Jual-Beli (PIJB) yang sudah dibuat pada pembayaran pertana 20 persen yang lalu. Keputusan khusus tersebut bisa dibuat hanya dalam waktu paling lama dua hari. Kedua, jika mau, Presiden bisa mengamandeman Perpres No. 14/2007 sesuai kebutuhan sosial yang adil.

Gagasan ini hanyalah untuk mempermudah penyelesaian masalah tersebut, dengan tidak mengubah pada pendapat saya sejak awal bahwa seharusnya negara memenuhi dulu hak-hak warga korban lumpur Lapindo, lalu setelah itu negara bisa menagihnya kepada Bakrie Group, Medco Group dan Santos Australia selaku induk-induk korporasi pemegang kepentingan di Blok Brantas itu sesuai dengan besar tanggung jawab masing-masing. Masak negara Indonesia kalah dengan korporasi yang mencari kekayaan di dalam Indonesia, padahal pasal 6 ayat (2) c UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi sudah menentukan tanggung jawab mutlak korporasi penambang migas? Ada apa?

Jumat, 20 Juni 2008

Penegak Hukum Pidana Kasus Lumpur Lapindo

Kepolisian berpendapat bahwa semburan lumpur Lapindo akibat kelalaian dalam proses pemboran di sumur Banjar Panji 1 Porong Sidoarjo.

Kejaksaan berpendapat bahwa kasus itu belum jelas sebab perbedaan pendapat para ahli.

Yang benar:

- Pendapat para ahli bukan satu-satunya alat bukti dalam hukum acara pidana (lihat pasal 184 KUHAP).

- Alat bukti yang sudah terkumpul (ada) dalam kasus lumpur Lapindo adalah: pendapat ahli, dokumen-dokumen penting yang mengisahkan terjadinya kecelakaan dalam proses pemboran, hasil audit kinerja yang dikeluarkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), keterangan saksi-saksi, yang jika dirangkaikan akan menyimpulkan bahwa semburan lumpur Lapindo akibat kesalahan dalam pemboran.

Kesimpulan:
- Kejaksaan kurang memahami penerapan hukum pembuktian.

Pertanyaan kritis:
- Mungkinkah Kejaksaan tidak memahami penerapan hukum pembuktian?

Silahkan dipikirkan!

Senin, 02 Juni 2008

Kekayaan Negara Untuk Membunuh Rakyat Kecil

Berangkat lagi ke Bojonegoro, diundang acara tahlil sosial oleh solidaritas untuk masyarakat Kedungadem Bojonegoro dan perwakilan pedagang kaki lima (PKL) yang digusur Pemkab Bojonegoro.

Acara tahlil sekitar jam 19.30 WIB, berjalan di keremangan nasib sosial di daerah kaya minyak yang termiskin ke-dua di Jawa Timur itu.

Seolah negara ini penuh sesak kabar nestapa, sehingga kasus itu – dan kasus lainnya – hanya terdengar riuh saat baru terjadi, dan semakin lama tenggelam ke dalam keriuhan kabar-kabar lainnya yang hanya dianggap menarik saat pertama terjadi. Seperti halnya kasus lumpur Lapindo yang menurut saran seorang bos media besar di negara ini harus diubah menjadi senyuman, sementara masih ada puluhan ribu korban yang mungkin hanya bisa tersenyum jika sang bos itu mau melawak di depan mereka. Sebab ‘harapan’ tentang lumpur itu yang konon bisa dibuat semen, mengandung iodium, menjadi berkah dan anugerah agung, bisa dibuat memercantik muka (spa) dan lain-lain masih hanya lawakan belaka. Yang jelas derita sosial itu ‘tidak hampir hampir selesai’, tapi telah membunuh ruang sebagian hidup, kesempatan sosial, dan bahkan dibebankan di setiap kita yang masih hidup dan bayi-bayi yang akan lahir di negara ini, melalui APBN dan APBD. Setiap kejadian memang pasti ada hikmahnya. Tapi hikmah terbesar dalam kasus itu adalah: “bahwa selama ini kita telah dibodohkan oleh sistem pemerintahan oligarkis yang korup.” Bahkan ada banyak para ahli yang menjadi hamba-hamba nafsu serakah. Jika hikmah itu tak dipetik untuk mencerdaskan bangsa ini maka bencana tetap akan datang.

Korban terbesar dari seluruh bencana itu adalah kaum lemah. Kaum lemah ekonomi hanya punya satu kepunyaan di satu tempat. Sedangkan kaum kaya sangat mudah untuk bertahan hidup sebab kekayaan mereka ada di mana-mana, bahkan tersembunyi di gua-gua penimbunan Qorun.

Seperti halnya Ibu Sucipto dan Ibu Bambang Sutejo yang telah ditinggal pergi suaminya ke alam lain akibat peluru rakyat yang disalahgunakan Perhutani itu, adalah kaum lemah yang tak punya banyak tempat. Ketika suami mereka meninggalkan mereka maka mereka harus berjuang menghidupi diri dan anak-anak yang masih kecil, seperti halnya Ibu Bambang Sutejo yang anaknya masih berumur sekitar 80 hari. Anak bayi inipun kelakpun hanya akan bisa berbicara dengan foto ayahnya yang mulai lusuh: “Pak... Bapak apa bisa melihat aku sekarang ini yang sudah besar Pak? Apa Bapak tahu aku sudah sekolah Pak?” Kira-kira begitu pertanyaan anak itu kelak.

Memang, orang bisa malah menjadi ‘orang besar’ tanpa harus ditemani oleh kasih sayang orang tua kandungnya sendiri, seperti wong agung Muhammad SAW contohnya. Bahkan ada banyak anak-anak yang dimanja orang tuanya menjadi generasi mursal, pedagang candu, korup, penghamba nafsu setan dan tak peduli dengan sekitarnya. Mudah-mudahan anak-anak almarhum kawan Sucipto dan Bambang itu akan menjadi orang-orang beradab dan bermartabat, tidak seperti para pejabat dan penguasa serta para kapitalis yang lebih banyak merusak bangsa itu.

Acara tahlil sosial selesai malam itu. Kami lalu berbincang dengan beberapa wakil PKL kota Bojonegoro yang telah digusur dan yang dihantui penggusuran. Ada sekitar 36 PKL di Jalan Ahmad Yani yang sudah digusur, kocar-kacir. Ada yang konon berubah menjadi gila. Ada ibu-ibu yang kami temui trauma jika mendengar suara sirine, dikiranya adalah sirine pertanda kekejaman dari aparat yang pernah dialaminya di hari naas saat penggusuran itu. Beberapa PKL direlokasi di tanah Terminal Lama Bojonegoro yang merupakan tanah sengketa antara Pemkab Bojonegoro – TNI – pribadi. Apa tempat relokasi PKL itu hanya untuk tameng agar Pemkab Bojonegoro bisa menguasai tanah sengketa itu lebih mudah? Politik bisa saja....

Dengan rencana penggusuran lainnya maka ada sekitar 600 PKL terancam. Rakyat yang mandiri, tidak bergantung kepada negara itu dibuang sia-sia. Bahkan para PKL itu setiap hari dipungut uang retribusi Rp. 500,- per PKL oleh Pemkab Bojonegoro.

Apa penyebab penggusuran itu? Para PKL menirukan omongan para petugas Satpol PP dan Kepolisian, bahwa penggusuran PKL itu disebabkan Bojonegoro kalah dalam lomba kebersihan yang diselenggarakan pemerintah pusat dan JPIP (The Jawa Pos Intitute of Pro-Otonomi). Jadi, mungkinkah para penilai lomba kebersihan kota itu menganggap rakyat kecil dan dagangan mereka di pinggiran jalan sebagai ‘kotoran’ yang memperkeruh pemandangan kota? Ataukah memang pimpinan pemerintahan itu telah kehilangan akal, menganggap rakyat kecil sebagai kotoran yang harus dikorbankan untuk penampilan kekuasaan mereka?

Saya hanya mengutip teori Suyoto, ketika dia belum menjadi Bupati Bojonegoro, di masa kampanyenya Kang Yoto didaulat oleh JTV untuk menjadi mubaligh untuk memberikan ceramah agama Islam. Ia mengatakan (kurang-lebih): “Menjadi pemimpin dan orang tua itu harus banyak akal. Jika kehabisan akal maka seringkali marah-marah.”

Berdasarkan teori itu, kelihatannya Suyoto sudah kehilangan akal untuk memperindah kota Bojonegoro sehingga marah-marah dan menggusur para PKL yang sebenarnya merupakan rakyat mandiri yang sekian lama menyumbang pendapatan Pemkab Bojonegoro itu. Apa solusi yang diberikan Bupati Bojonegoro baru itu? Solusinya adalah: tertibkan dulu, yang penting bersih dulu. Baru kemudian dicari solusinya. Yang penting kelihatan bersih.

Aha..., bagaimana kalau para teman yang berbakat dan berminat di bidang wisata kuliner itu untuk menyodorkan konsep yang ‘tak kehilangan akal’ kepada Kang Yoto dan DPRD Bojonegoro, yang aspiratif dengan kemudahan akses ekonomi para PKL itu?

Maaf... saya sendiri tidak berbakat memberi solusi, sebab saya bukan pejabat. Bakat saya hanya menyalahkan pejabat yang kehilangan akal untuk menyejahterakan rakyatnya sebab saya rakyat. Meski saya punya konsep solusi, tapi pemutusnya adalah pemerintah. Sekarang pertanyaannya adalah: Bagaimana pemerintah memenuhi kewajibannya untuk menyejahterakan rakyat agar kata-kata “kesejahteraan rakyat” ini bukan hanya menjadi imajinasi dan mitos bernegara?

Tak terasa, hura-hura demokrasi telah 10 tahun menyita tenaga, pikiran dan kekayaan negara berlipat-lipat. Tapi tujuan berdemokrasi belum juga tumbuh. Negeri ini masih saja dikuasai tirani oligarki. Bahkan... akankah kita hanya melihat sekitar 1,2 miliar barrel minyak di Blok Cepu (ada yang menghitung hingga 10,9 miliar barrel: http://adebachtiar.multiply.com/journal/item/88) yang meliputi terbesarnya di Bojomegoro akan dihisap oligarki yang disetir asing, dan rakyat terus melongo menjadi penonton?

Kasus kematian saudara-saudara kita di pinggiran dan dalam hutan jati adalah martir agar kelak hutan jati kita dikelola rakyat yang masih miskin itu. Kasus penggusuran PKL di mana-mana itu juga sebagai awal untuk bagaimana kita membangun kekuatan rakyat: bahwa rakyat mempunyai banyak harta kekayaan yang dijadikan alat menindas rakyat kecil itu sendiri. Bahwa mulut manis para politikus yang bahkan bersurban dan berkomat-kamit menyebut nama Tuhan belum tentu semanis perilakunya kepada rakyat kecil. Demokrasi kita masih ritual, seperti halnya 90 persen orang Indonesia beragama Islam dan sekitar 10 persen lainnya juga beragama (100 persen beragama), tapi di sepanjang waktu kehidupan bernegara masih ditumbuhi lebatnya jamur-jamur penyakit dehumanisme.

Kekayaan hutan jati dan kekayaan migas negara ini digunakan untuk membunuhi rakyat kecil. Sumbangan terbesar rakyat kepada pemerintah telah dibalas dengan kebiadaban. Apakah ini bangsa beradab?

Perjalanan 30 – 31 Mei 2008