Kamis, 26 Juni 2008

Kasus Poster: 'ITS Anjing Lapindo'

KASUS SKORSING MAHASISWA ITS

MAHASISWA MENGAJUKAN KASASI 4 JUNI 2008

TERKAIT KASUS LUMPUR LAPINDO


Membaca berita koran Surya (anak Grup Kompas di Jawa Timur), 27 Juni 2008 yang berjudul: GUGATAN MAHASISWA ITS KANDAS (halaman 4) saya agak senang, ternyata masih ada media yang tertarik memuat berita kasus tersebut. Kami berterima kasih kepada Surya.

Media memang sangat membantu dalam menginformasikan terutama persoalan yang menyangkut kepentingan publik dan tidak sekedar mencari ‘daya sensasinya.’ Dahulu, dalam foto di koran ada salah satu mahasiswa terskorsing (Benny Ichwani) yang memegang poster bertuliskan: “ITS ANJING LAPINDO.” Saya bertanya kepada yang bersangkutan: “Siapa yang membuat poster itu, dan mengapa kamu memamerkan ke umum (kepada pers)?” Benny menjawab: “Saya tidak tahu siapa yang membuat poster itu. Saya menenteng poster itu kebetulan diminta wartawan untuk mengangkat poster itu agar wartawan bisa mengambil gambarnya.” Maka jadilah foto itu terpampang di koran dan dijadikan oleh pihak ITS sebagai salah satu alat bukti di pengadilan. Dalam dunia politik, semua bisa terjadi. Dalam dunia informasi, ada informasi di balik informasi yang jarang diketahui publik. Atau bisa jadi itu hanya sebuah kebetulan, termasuk ada wartawati yang dahulu rajin mengejar informasi dari saya dalam kasus skorsing mahasiswa ITS itu dengan hasil: ia menjadi karyawati humas yang lalu pura-pura lupa dengan nomor telepon saya yang dahulu sering dihubunginya. Hidup ini memang penuh lekak-lekuk, di samping lika-liku.

Saya tahu pasti bahwa Benny sebenarnya tahu siapa yang membuat poster bertuliskan ITS ANJING LAPINDO itu, tapi Benny tak mengaku kepada kami selaku kuasa hukumnya. Saya acungi jempol kepadanya, meski dalam hati, sebab ia tidak mau mengkhianati kawan seperjuangannya dan ia tak mau menyalahkan wartawan yang menyuruhnya mengangkat poster itu agar bisa difoto wartawan. Sebab apa yang diperbuatnya adalah apa yang akan dipertanggungjawabkannya, tak akan lari.

Kami memperoleh surat pemberitahuan putusan banding. Tapi karena kuasa 3 mahasiswa ITS (Yuli, Tomy dan Benny) yang diberikan kepada kami tak sampai kasasi. Agar tidak perlu membuat kuasa baru maka Yuli dan Tomy kami minta mengajukan kasasi sendiri, sedangkan Benny masih di luar kota. Tanggal 2 Juni 2008 Yuli dan Tomy menghadap kepaniteraan PTUN Surabaya di Medaeng Sidoarjo (Aneh, PTUN Surabaya kok Sidoarjo?). Tapi Kepaniteraan menolak dan meminta agar kami selaku kuasa hukum yang mengajukan kasasi. Apa ini kebetulan para panitera PTUN Surabaya tidak paham isi surat kuasanya, atau ada tujuan lain? Saya minta Yuli untuk memberikan HP-nya kepada sang panitera agar bisa mendengarkan penjelasan saya, tapi sang panitera menolak. Panitera ngotot: harus pengacara yang mengajukan kasasi. Kata Yuli dan Tomy, sang panitera mengata-katai mereka: “Kalian ini harus sekolah S2 hukum dulu!” kata sang panitera.

Kami tidak mau dibuat menjadi orang bodoh. Tanggal 3 Juni 2008 Yuli dan Tomy kami buatkan surat permohonan kasasi melalui surat yang ditembuskan ke atasan PTUN Surabaya. Tanggal 4 Juni 2008 pagi-pagi saya ditelepon kepaniteraan PTUN Surabaya. Saya jelaskan apa yang mestinya akan saya jelaskan pada 2 Juni 2008 ketika sang panitera menolak rencana penjelasan saya melalui telepon Yuli. Maka barulah tanggal 4 Juni 2008 itu Yuli dan Tomy diterima PTUN Surabaya untuk mengajukan kasasi.

Dalam memori kasasi yang diajukan Yuli dan Tomy dijelaskan bahwa putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jawa Timur telah benar dalam menganulir putusan PTUN Surabaya tentang gugatan prematur. PT TUN Jawa Timur berpendapat bahwa gugatan para mahasiswa ITS itu bisa diterima. Tetapi hakim PT TUN Jawa Timur dalam perkara itu berpendapat bahwa keputusan skorsing Rektor ITS sudah benar sebab sudah memberi hak para mahasiswa ITS untuk membela diri dan batas waktu berlakunya Surat Keputusan (SK) skorsing sudah jelas. Hakim PT TUN Surabaya tidak menilai substansi perkara, tapi hanya menilai prosedur. Padahal dalam gugatan kami ada banyak alasan berkaitan dengan pelanggaran peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik yang dilakukan Rektor ITS dalam mengeluarkan SK skorsing. Berbagai alasan gugatan itu tak ada yang dinilai hakim. Bahkan seluruh alat bukti yang kami ajukan tidak dinilai. Apakah lantas kami akan menganggap PT TUN itu sebagai Perseroan Terbatas Tata Usaha Negara? Tidak perlu.

Bagi kami, melanjutkan upaya hukum itu tidak dalam arti ‘menantang ITS.’ Bukan juga merupakan perbuatan sia-sia terkait segera selesainya masa studi tiga mahasiswa ITS tersebut. Kami tidak berpikir pragmatis, demi diri, demi kelompok. Kami harap ITS juga bisa memaklumi langkah intelektual itu untuk menguji terus sampai sejauh mana kebenaran cara penyelesaian masalah demonstrasi mahasiswa yang menentang konspirasi ITS dengan Lapindo. Soal bahwa ternyata ada poster yang bertuliskan: ITS ANJING LAPINDO maka itu terlalu kecil untuk dipersoalkan. Ada banyak manusia yang DI-ANJING-KAN dalam peribahasa “biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.” Barangkali itu adalah bentuk kecaman yang pedas dan membuat marah Rektor ITS. Tetapi kata Suyoto – yang kini menjadi Bupati Bojonegoro – kemarahan pemimpin menunjukkan bahwa yang bersangkutan kehilangan akal. Meski sekarang ini ternyata Suyoto juga marah-marah dan menggusur PKL kota Bojonegoro. Apa berarti Suyoto sendiri telah kehilangan akal? Mungkin ada yang menjawab: “Tidak. Wong Suyoto menggusur para PKL itu sambil tersenyum-senyum.”

Kembali ke soal. ‘ITS ANJING LAPINDO’ bukanlah slogan yang merupakan satu-satunya alasan untuk membungkam daya kritis para mahasiswa. Jika tak ada poster itu akan ada alasan lain, sebagaimana dalam SK Skorsing yang dikeluarkan Rektor ITS ada lebih dari 14 tuduhan pelanggaran yang dilakukan mahasiswa, yang hingga kini tak pernah teruji oleh pengadilan, sebab hakim PTUN Surabaya dan PT TUN Jawa Timur masih berputar-putar pada soal prosedur, TIDAK BERANI MENILAI SUBSTANSI perkaranya. Mengapa para hakim itu tidak berani menilai materi gugatan kami? Hanya Mak Bogang yang tahu. Siapa itu Mak Bogang? Saya juga tidak tahu. Tapi yang jelas dahulu mahasiswa ITS itu pernah berbincang dengan pihak ITS, disarankan untuk tidak mengajukan banding. “Kan sama-sama habis banyaknya,” kata orang ITS itu. Loh, situ habis banyak ya? Tanyaku dalam hati. Kalau kami tidak habis banyak, wong kami nggak ngasih uang ke siapa-siapa. Yuli, Tomy dan Benny juga tidak perlu membayar upah pengacaranya. Biaya perkara di PTUN dan PT TUN kan cuma beberapa ratus ribu dari bantuan solidaritas organisasi aktivis.

Mas Sunarno Edi Wibowo yang ganteng karena tahi lalat di dagunya (yang juga kenal baik dengan saya), kuasa hukum Rektor ITS itu mengatakan bahwa jika mahasiswa ITS itu ngotot membawa masalah ini ke jalur hukum maka itu akan menganggu pendidikan mereka (Surya, 27/6/2008). Loh, keliru Mas! Justru menggugat Rektor ITS untuk memperjuangkan keadilan, agar para Rektor di kemudian hari tidak sewenang-wenang kepada para mahasiswa, adalah sebuah kemajuan dan keberhasilan dalam pendidikan mereka. Hanya mahasiswa yang (maaf) idiot yang menerima begitu saja perlakuan tak adil menyangkut masa depan sesama mahasiswa dan membiarkan kampusnya menjadi tempat dagang lumpur. Seperti halnya 4 mahasiswa demonstran di depan Grahadi Surabaya 24 Mei 2008 yang saya dampingi di Polresta Surabaya Selatan ternyata TIDAK TERDIDIK sebab mereka telah digebuki polisi babak belur, ditangkapi polisi, lalu pulang dengan menerima ‘uang sogokan’ Kapolres. Mereka tidak menceritakan langsung ‘penyuapan’ itu kepada saya yang mendampingi mereka. Ketika saya suruh kembalikan uang ‘sogokan’ itu, mereka tidak ada yang bisa (atau tak mau mengembalikan?).

Saya salut kepada para mahasiswa ITS yang minoritas yang berani melawan lembaga pendidikan tempat sekolahnya sendiri. Mereka tidak takut dengan bayang-bayang ancaman pemecatan sebagai mahasiswa, sebab pendidikan yang sejati bukanlah yang ada di kampus itu, tapi dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat yang heterogen dengan berbagai masalahnya. Adalah mereka yang bisa mandiri, merdeka, tidak bergantung, berani bersikap, tidak plin-plan, konsisten dalam perjuangan tidak mudah ditekuk dengan lembaran uang, tidak menghamba kepada penguasa uang, tidak curang dalam persaiangan, punya rasa solidaritas yang tinggi dan humanis, adalah orang-orang yang benar-benar terdidik. Kekayaan bukanlah kehormatan manusia, sebagaimana mayoritas para nabi dan rasul bukan orang kaya meski mereka sesungguhnya bisa menjadi kaya jika mau ‘menabung’ kekayaan. Tapi, mereka tahu bahwa di luar diri mereka berserakan kesusahan dan kemiskinan. Maka hasil kekayaan pribadi mereka fungsikan untuk kemanfaatan sosial.

Yuli, Tomy dan Benny, selamat berjuang! Hentikan komersialisasi pendidikan! Hentikan perbuatan memperdagangkan kampus! Adili para pemangku Lapindo dan pemiliknya sebagai penjahat ekologi, ekonomi dan sosial! Bebaskan Blok Brantas dari cengkeraman Buto Ijo!


Surabaya, 27 Juni 2008


Tidak ada komentar: