Berangkat lagi ke Bojonegoro, diundang acara tahlil sosial oleh solidaritas untuk masyarakat Kedungadem Bojonegoro dan perwakilan pedagang kaki lima (PKL) yang digusur Pemkab Bojonegoro.
Acara tahlil sekitar jam 19.30 WIB, berjalan di keremangan nasib sosial di daerah kaya minyak yang termiskin ke-dua di Jawa Timur itu.
Seolah negara ini penuh sesak kabar nestapa, sehingga kasus itu – dan kasus lainnya – hanya terdengar riuh saat baru terjadi, dan semakin lama tenggelam ke dalam keriuhan kabar-kabar lainnya yang hanya dianggap menarik saat pertama terjadi. Seperti halnya kasus lumpur Lapindo yang menurut saran seorang bos media besar di negara ini harus diubah menjadi senyuman, sementara masih ada puluhan ribu korban yang mungkin hanya bisa tersenyum jika sang bos itu mau melawak di depan mereka. Sebab ‘harapan’ tentang lumpur itu yang konon bisa dibuat semen, mengandung iodium, menjadi berkah dan anugerah agung, bisa dibuat memercantik muka (spa) dan lain-lain masih hanya lawakan belaka. Yang jelas derita sosial itu ‘tidak hampir hampir selesai’, tapi telah membunuh ruang sebagian hidup, kesempatan sosial, dan bahkan dibebankan di setiap kita yang masih hidup dan bayi-bayi yang akan lahir di negara ini, melalui APBN dan APBD. Setiap kejadian memang pasti ada hikmahnya. Tapi hikmah terbesar dalam kasus itu adalah: “bahwa selama ini kita telah dibodohkan oleh sistem pemerintahan oligarkis yang korup.” Bahkan ada banyak para ahli yang menjadi hamba-hamba nafsu serakah. Jika hikmah itu tak dipetik untuk mencerdaskan bangsa ini maka bencana tetap akan datang.
Korban terbesar dari seluruh bencana itu adalah kaum lemah. Kaum lemah ekonomi hanya punya satu kepunyaan di satu tempat. Sedangkan kaum kaya sangat mudah untuk bertahan hidup sebab kekayaan mereka ada di mana-mana, bahkan tersembunyi di gua-gua penimbunan Qorun.
Seperti halnya Ibu Sucipto dan Ibu Bambang Sutejo yang telah ditinggal pergi suaminya ke alam lain akibat peluru rakyat yang disalahgunakan Perhutani itu, adalah kaum lemah yang tak punya banyak tempat. Ketika suami mereka meninggalkan mereka maka mereka harus berjuang menghidupi diri dan anak-anak yang masih kecil, seperti halnya Ibu Bambang Sutejo yang anaknya masih berumur sekitar 80 hari. Anak bayi inipun kelakpun hanya akan bisa berbicara dengan foto ayahnya yang mulai lusuh: “Pak... Bapak apa bisa melihat aku sekarang ini yang sudah besar Pak? Apa Bapak tahu aku sudah sekolah Pak?” Kira-kira begitu pertanyaan anak itu kelak.
Memang, orang bisa malah menjadi ‘orang besar’ tanpa harus ditemani oleh kasih sayang orang tua kandungnya sendiri, seperti wong agung Muhammad SAW contohnya. Bahkan ada banyak anak-anak yang dimanja orang tuanya menjadi generasi mursal, pedagang candu, korup, penghamba nafsu setan dan tak peduli dengan sekitarnya. Mudah-mudahan anak-anak almarhum kawan Sucipto dan Bambang itu akan menjadi orang-orang beradab dan bermartabat, tidak seperti para pejabat dan penguasa serta para kapitalis yang lebih banyak merusak bangsa itu.
Acara tahlil sosial selesai malam itu. Kami lalu berbincang dengan beberapa wakil PKL kota Bojonegoro yang telah digusur dan yang dihantui penggusuran. Ada sekitar 36 PKL di Jalan Ahmad Yani yang sudah digusur, kocar-kacir. Ada yang konon berubah menjadi gila. Ada ibu-ibu yang kami temui trauma jika mendengar suara sirine, dikiranya adalah sirine pertanda kekejaman dari aparat yang pernah dialaminya di hari naas saat penggusuran itu. Beberapa PKL direlokasi di tanah Terminal Lama Bojonegoro yang merupakan tanah sengketa antara Pemkab Bojonegoro – TNI – pribadi. Apa tempat relokasi PKL itu hanya untuk tameng agar Pemkab Bojonegoro bisa menguasai tanah sengketa itu lebih mudah? Politik bisa saja....
Dengan rencana penggusuran lainnya maka ada sekitar 600 PKL terancam. Rakyat yang mandiri, tidak bergantung kepada negara itu dibuang sia-sia. Bahkan para PKL itu setiap hari dipungut uang retribusi Rp. 500,- per PKL oleh Pemkab Bojonegoro.
Apa penyebab penggusuran itu? Para PKL menirukan omongan para petugas Satpol PP dan Kepolisian, bahwa penggusuran PKL itu disebabkan Bojonegoro kalah dalam lomba kebersihan yang diselenggarakan pemerintah pusat dan JPIP (The Jawa Pos Intitute of Pro-Otonomi). Jadi, mungkinkah para penilai lomba kebersihan kota itu menganggap rakyat kecil dan dagangan mereka di pinggiran jalan sebagai ‘kotoran’ yang memperkeruh pemandangan kota? Ataukah memang pimpinan pemerintahan itu telah kehilangan akal, menganggap rakyat kecil sebagai kotoran yang harus dikorbankan untuk penampilan kekuasaan mereka?
Saya hanya mengutip teori Suyoto, ketika dia belum menjadi Bupati Bojonegoro, di masa kampanyenya Kang Yoto didaulat oleh JTV untuk menjadi mubaligh untuk memberikan ceramah agama Islam. Ia mengatakan (kurang-lebih): “Menjadi pemimpin dan orang tua itu harus banyak akal. Jika kehabisan akal maka seringkali marah-marah.”
Berdasarkan teori itu, kelihatannya Suyoto sudah kehilangan akal untuk memperindah kota Bojonegoro sehingga marah-marah dan menggusur para PKL yang sebenarnya merupakan rakyat mandiri yang sekian lama menyumbang pendapatan Pemkab Bojonegoro itu. Apa solusi yang diberikan Bupati Bojonegoro baru itu? Solusinya adalah: tertibkan dulu, yang penting bersih dulu. Baru kemudian dicari solusinya. Yang penting kelihatan bersih.
Aha..., bagaimana kalau para teman yang berbakat dan berminat di bidang wisata kuliner itu untuk menyodorkan konsep yang ‘tak kehilangan akal’ kepada Kang Yoto dan DPRD Bojonegoro, yang aspiratif dengan kemudahan akses ekonomi para PKL itu?
Maaf... saya sendiri tidak berbakat memberi solusi, sebab saya bukan pejabat. Bakat saya hanya menyalahkan pejabat yang kehilangan akal untuk menyejahterakan rakyatnya sebab saya rakyat. Meski saya punya konsep solusi, tapi pemutusnya adalah pemerintah. Sekarang pertanyaannya adalah: Bagaimana pemerintah memenuhi kewajibannya untuk menyejahterakan rakyat agar kata-kata “kesejahteraan rakyat” ini bukan hanya menjadi imajinasi dan mitos bernegara?
Tak terasa, hura-hura demokrasi telah 10 tahun menyita tenaga, pikiran dan kekayaan negara berlipat-lipat. Tapi tujuan berdemokrasi belum juga tumbuh. Negeri ini masih saja dikuasai tirani oligarki. Bahkan... akankah kita hanya melihat sekitar 1,2 miliar barrel minyak di Blok Cepu (ada yang menghitung hingga 10,9 miliar barrel: http://adebachtiar.multiply.com/journal/item/88) yang meliputi terbesarnya di Bojomegoro akan dihisap oligarki yang disetir asing, dan rakyat terus melongo menjadi penonton?
Kasus kematian saudara-saudara kita di pinggiran dan dalam hutan jati adalah martir agar kelak hutan jati kita dikelola rakyat yang masih miskin itu. Kasus penggusuran PKL di mana-mana itu juga sebagai awal untuk bagaimana kita membangun kekuatan rakyat: bahwa rakyat mempunyai banyak harta kekayaan yang dijadikan alat menindas rakyat kecil itu sendiri. Bahwa mulut manis para politikus yang bahkan bersurban dan berkomat-kamit menyebut nama Tuhan belum tentu semanis perilakunya kepada rakyat kecil. Demokrasi kita masih ritual, seperti halnya 90 persen orang Indonesia beragama Islam dan sekitar 10 persen lainnya juga beragama (100 persen beragama), tapi di sepanjang waktu kehidupan bernegara masih ditumbuhi lebatnya jamur-jamur penyakit dehumanisme.
Kekayaan hutan jati dan kekayaan migas negara ini digunakan untuk membunuhi rakyat kecil. Sumbangan terbesar rakyat kepada pemerintah telah dibalas dengan kebiadaban. Apakah ini bangsa beradab?
Perjalanan 30 – 31 Mei 2008
2 komentar:
Kapan Indonesia mau maju lha wong pendidikan politik yang diajarkan pemerintah kurang. Rakyat cuma coblos trus ngapain? Gak tau Pasrah itu mungkin yang dilakukan. Modal kebangkitan bangsa adalah partisipasi rakyat dalam pemerintahan baik itu monitoring maupun pemilihannya.
oiya pasang widget infogue.com. Bisa nambah pengunjung lho.
kayak diblog gue:
http://www.padhepokananime.blogspot.com/
artikel anda aku submit di:
http://jawa.infogue.com/kekayaan_negara_untuk_membunuh_rakyat_kecil
mampir mas, salut untuk anda
Posting Komentar