Kebetulan saya diajak Komnas HAM melakukan pemantauan dan investigasi, berkeliling. Ketika kami meminta keterangan pengurus Himpunan Pedagang Pasar Porong Lama, ternyata mereka memberikan tanggapan yang jauh diluar perkiraan para pejabat itu. Para pedagang pasar Porong Lama ternyata mempunyai hubungan emosi yang kuat dengan para pengungsi pasar Porong Baru. Mereka merasa sama-sama korban Lapindo, sama-sama senasib, mengeluh kepada Komnas HAM soal berbelit-belitnya Lapindo. Bahkan para pedagang pernah meminta dispensasi retribusi kepada Pemkab Sidoarjo tetapi ditolak, padahal dagangan mereka semakin tidak laku karena situasi kasus lumpur Lapindo yang bertambah parah itu.
Itu sedikit gambaran apa yang terjadi di balik pernyataan para pejabat yang sesungguhnya kurang bisa menyelami hati dan perasaan rakyat dalam kasus lumpur Lapindo itu.
Gubernur Imam Utomo lebih memilih tunduk kepada presiden dibandingkan tunduk pada undang-undang. Ia diberi wewenang melakukan paksaan pemerintahan oleh UU No. 23/1997 (pasal 25) tapi tak digunakan. Bupati Win Hendrarso juga lebih tunduk kepada presiden dibandingkan kepada undang-undang. Ia diberi amanat atau kewajiban urusan pemerintahan di soal lingkungan hidup dan sosial oleh UU No. 32/2004 (pasal 14) tapi malah mengabaikannya.
Presiden SBY juga memaksa seluruh rakyat Indonesia menyangga beban tanggung jawab Lapindo yang bos besarnya duduk di kabinetnya, dengan Perpres No. 14/2007 melalui dana APBN yang tak terbatas sampai dengan kapan semburan lumpur itu akan berhenti. Rakyat yang dikalahkan.
Dalam perjalanan kami juga menemukan fakta kematian dua orang warga Siring Barat akibat semburan gas dan lebih dari 10 orang termasuk anak-anak harus dirawat di rumah sakit gara-gara menghirup gas beracun.
Dalam areal yang sangat luas kami melihat penderitaan bertebaran, paradoks dengan kemewahan kekayaan Abu Bakrie Al-Lapindo, sang bos besar lumpur Lapindo yang menjadi orang paling kaya di Asia Tenggara. Sementara itu, tak jauh dari derita kolosal itu ada lebih dari 30 sumur Lapindo yang setiap hari menyedot gas bumi di Blok Brantas.
Dua tahun ini korban lumpur Lapindo dan rakyat Indonesia menderita sesak nafas nasib, akibat kepengurusan negara yang oligarkis, tidak memberi tempat kepada rakyat untuk hidup lebih baik.
Ditambah lagi penaikan harga BBM yang seolah merupakan satu-satunya cara dan tak ada akal lain selain kebohongan itu. Ini juga akan semakin membebani masyarakat korban lumpur Lapindo.
Merespon penaikan harga BBM itu, anak-anak muda menghendaki agar negara melakukan nasionalisasi kekayaan migas Indonesia yang dijadikan bahan permainan korporasi asing. Sebuah kehendak yang realistis dan mencerminkan ke-Pancasila-an anak-anak muda itu. Menyerahkan nasib rakyat dan kekayaan alam kepada asing adalah perbuatan yang tidak bertanggung jawab, mengkhianati Pancasila.
Lalu kita bertanya: bagaimana pemerintah bisa berani melawan korporasi asing yang didukung oleh negara-negara asal mereka jika melawan Lapindo saja tidak berani dan kalah?
Perubahan yang kita inginkan tak cukup dengan jalan reformasi yang gagal itu. Dalam sejarah perubahan dunia ini cara yang paling ampuh untuk perubahan yang lebih baik adalah: REVOLUSI.
Hari ini kita terpaksa tak menyalakan dua lilin indah di malam penuh bau gas menyengat, tapi menyanyikan tembang parau dalam suara yang kelu, tentang masa depan negara ini yang tampak jauh, samar-samar terhalang oleh tabir konspirasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar