China yang komunis itu mencemaskan bagi Amerika Serikat (AS). China menjadi kiblat baru bagi Afrika dalam hal investasi ketika Afrika mulai jengah dengan imperium ekonomi Barat yang tidak membawa perubahan apa-apa bagi Afrika selain kekacauan. India semakin jaya dalam menjual teknologi informasi (TI). Lantas kita bertanya: kenapa Indonesia yang superkaya sumber daya alam (SDA), sebagai negara terbesar keempat di dunia ini tidak bisa seperti Cina atau India? Kenapa ekonomi Indonesia kalah langkah dengan si kecil Vietnam yang sepuluh tahun lalu tidak ada apa-apanya?
Setan gundul
Beda Indonesia dengan China dan India terletak pada kecerdikan. China dan India cerdik dalam mengelola SDA mereka, mengontrol investasi asing dengan nasionalisme, mempertahankan badan usaha milik negara (BUMN) yang strategis. Mereka paham bahwa investor yang mereka hadapi adalah imperium ekonomi kapitalisme yang akan melakukan apa saja, seperti kata Henryk Grossman (1929) bahwa kapitalisme tidak peduli dengan perbaikan manusia tapi hanya mengejar profit. Investor asing itu adalah setan gundul yang membawa kendi berisi uang banyak. Jika kita tidak bersabar, terburu-buru dalam menandatangani kontrak-kontrak, bergegas-gegas dalam memakai formula ekonomi mereka, maka kita sudah bergeser dari nasionalisme Indonesia sehingga kehancuran yang kita terima.Pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa ketika menemukan penggelembungan cost recovery yang dilakukan para kontraktor production sharing (KPS) minyak dan gas bumi yang merugikan negara, sebab konon terlalu longgarnya klausul kontrak sehingga takut mengusut. Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang mengaudit penggunaan cost recovery periode 2000-2006 terhadap 152 kontraktor senilai Rp.122,68 triliun, menemukan indikasi penyimpangan pada 43 kontraktor senilai Rp18,07 triliun. Cost recovery minyak mentah Indonesia juga mencapai 9,03 USD per barel, sedangkan rata-rata cost recovery minyak mentah dunia sekitar 4 sampai 6 USD per barel. Cost recovery Indonesia lebih tinggi sekitar 75 persen -125 persen per barel dibandingkan rata-rata negara produsen minyak mentah di dunia (rilis pers LMND, 22/2/2008). Pemerintah juga terburu-buru meneken kontrak dengan Exxon Mobil ketika belum tuntas dalam kalkulasi biaya produksi migas Blok Cepu. Pertamina waktu itu menawarkan biaya operasional yang lebih murah, yaitu 120 juta USD per tahun, padahal, Exxon menghitungnya senilai 450 juta USD per tahun. Di Papua pemerintah buru-buru memperpanjang kontrak dengan Freeport dengan memberi tambahan masa konsesi selama 30 tahun lagi plus masa opsi 2 kali 10 tahun, sehingga perusahaan tersebut akan terus mengeduk Gunung Grasberg hingga tahun 2041 (MajalahTrust.com, 6/11/2006).
Sementara itu data Greenomics Indonesia menunjukkan tarif sewa dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) untuk 13 perusahaan tambang di hutan lindung Indonesia hanya sebesar Rp 2,78 triliun per tahun atau hanya 3,96% dari total potensi kerugian yang akan ditimbulkan akibat aktivitas tambang terbuka diperkirakan mencapai angka Rp 70 triliun per tahun (siaran Pers JATAM, 7 Maret 2008). Persis seperti hasil kajian Prof. Mubyarto dalam Ekonomi Terjajah (2005), bahwa ekonomi Indonesia terjajah, tampak dari terhisapnya rata-rata lebih dari 50 persen produksi Indonesia dibawa para investor asing. Ternyata Indonesia menjadi negara yang pemerintahnya tidak segagah China atau India dalam mengelola kapital asing. Indonesia kalah cerdik dengan setan gundul yang memameri kantong banyak uang (kapital), tapi malah menerima kehancuran. Data Bank Dunia menyebutkan penduduk miskin Indonesia adalah 49 persen dengan pendapatan di bawah 2 USD per hari. Kematian rakyat atau bunuh diri karena miskin, bayi-bayi kurang gizi, penduduk makan nasi aking menjadi menu sehari-hari rakyat Indonesia. Kita kalah dengan setan gundul.
Nasionalisasi atau rekontrak
Ketika Evo Morales, petani aktivis itu terpilih menjadi presiden Bolivia tahun 2005, ia mengumumkan pemotongan separoh gajinya dan para menterinya, agar bisa menggaji pegawai pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan. Sejak 1985 pemerintah Bolivia mengeluarkan dekrit kebijakan pasar bebas atas rekomendasi Washington. Tapi selama itu pula Bolivia tetap miskin, termiskin di Amerika Latin, padahal negara kecil itu punya kekayaan migas yang dikelola investasi asing. Dekrit itu dicabut Morales dan menolak bantuan AS jika AS meminta pemberantasan tanaman koka.
Selanjutnya Morales mengumumkan nasionalisasi 20 perusahaan migas asing. Pengumuman itu langsung didukung militer Bolivia yang langsung menjaga ladang migas. Militer tidak untuk menjaga kapital asing, tapi menjaga kekayaan nasional. Dengan nasionalisasi itu penerimaan Bolivia disektor migas melonjak menjadi 780 USD juta tahun 2007 atau meningkat enam kali lipat dibanding tahun 2002. Terhadap perusahaan asing yang menolak, mereka boleh pergi, kata Menteri Energi Bolivia, Andres Soliz.
Indonesia yang sebesar ini entah mengapa terlalu takut dengan asing. Nasionalisme hanya dijadikan senjata untuk membunuhi rakyat sendiri dengan peluru tentara dan polisi, tapi tunduk kepada dominasi kapital asing. Lebih konyol juga bahwa menurut Jusuf Anwar, saat masih menjabat Menteri Keuangan, ada sekitar 750 perusahaan modal asing (PMA) yang tidak membayar pajak penghasilan (PPH) dengan modus pengakuan merugi sebagai konsekuensi dari penerapan sistem self assessment tersebut (Kompas, 22/11/2005).
Bagi Indonesia, jika tak ingin terus dikibuli setan gundul itu, maka hanya ada dua jalan: nasionalisasi SDA vital dikelola PMA sebagai wujud kedaulatan Indonesia atas kekayaannya sendiri, atau dilakukan rekontrak (kontrak ulang) yang lebih menguntungkan Indonesia agar ada keadilan bagi rakyat Indonesia yang selama ini ngaplo, hanya menjadi penonton atas kekayaan negaranya sendiri dan bahkan teracuni limbah orang asing yang menyedot kekayaan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar