Jumat, 28 Desember 2018

Adakah Korupsi dalam Divestasi Saham Freeport Indonesia?


Sumber gambar: ptfi.co.id

Sekarang saya akan membahas, adakah kejahatan korupsi dalam divestasi saham PT. Freeport Indonesia (PTFI)? Mengapa itu harus saya bahas? Karena ada sesuatu yang belum atau tidak beres. Apa itu?

Transaksi divestasi saham PTFI dilakukan pada saat belum ada penyelesaian hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa PTFI telah merugikan sebesar sekitar Rp 185 T.

Divestasi saham PTFI

Divestasi saham PTFI ini merupakan konsekuensi dari klausul Kontrak Karya antara Pemerintah Indonesia dengan PTFI tertanggal 30 Desember 1991, yang ditentukan di dalam article (pasal) 24. Di dalam ayat (2) Pasal tersebut ditentukan bahwa dari waktu ke waktu akan dilakukan penawaran saham kepada Warga Negara Indonesia, badan hukum yang dikendalikan oleh Warga negara Indonesia atau Pemerintah Indonesia.

Dalam kurun waktu selambat-lambatnya 10 tahun sejak ditandatangainya Kontrak Karya tersebut (berarti selambat-lambatnya akhir Desember 2001) akan ditawarkan sebesar 10% saham PTFI melalui Bursa Efek Jakarta atau kepada Warga Negara Indonesia, sejauh itu diminta oleh Pemerintah Indonesia. Untuk selanjutnya, setelah 12 bulan berikutnya hingga selama 10 periode (10 tahun) akan dilepaskan 2,5% saham, sehingga selambatnya di akhir 2011 akan mencapai 35% saham yang dilepaskan oleh PTFI, atau setidaknya mencapai 45% yang dilepas PTFI  sepanjang bahwa minimal 20%-nya saham yang dilepas tersebut dijual di Bursa Efek Jakarta dan setidaknya 20% saham tidak dijual melalui Bursa Efek Jakarta, atau selanjutnya hingga dilepaskan 51% saham atas permintaan Pemerintah, dengan harga wajar, selambat-lambatnya pada tahun ke-20 dari penandatanganan Kontrak Karya (berarti divestasi hingga 51% dijadualkan paling lambat tahun 2011).

Jadi, divestasi saham PTFI itu mestinya sudah terlambat. Mengapa kok terlambat? Apakah selama ini pemerintah Indonesia setelah tahun 2001 tidak pernah meminta dilakukan divestasi berdasarkan jadual menurut Kontrak Karya 1991 tersebut, sehingga tidak terjadi pelaksanaan tahapan divestasi seperti yang diperjanjikan di dalam kontrak tersebut?

Kini, pada akhir Desember 2018 baru dilakukan pembayaran divestasi saham PTFI. PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) melunasi pembayaran divestasi saham PT Freeport Indonesia (PTFI) senilai 3,85 miliar Dollar AS. Maka saat ini susunan pemegang saham PTFI adalah: 1. Inalum menjadi pemilik 26,2% saham PTFI, 2. PT lndocooper Investama (PTII) 25% dan 3. Freeport McMoran (FCX) sebesar 48,8%. (Inalum juga menjadi pemegang saham secara tidak langsung PTFI sebesar 15% melalui PTII, sehingga Inalum memiliki 41,2% saham PTFI. Yang 10% dibagi antara Pemkab Mimika 7% dan Pemprov Papua sebesar 3%).

Coba bayangkan! Lha Papua yang dieksploitasi, kok Pemerintah Daerah Papua hanya diberikan saham 10%. Apa itu adil? 

Sebelumnya, Pemerintah Indonesia hanya menjadi pemegang saham PTFI sebesar 9,36%.

Melacak riwayat PTII dan realisasi divestasi

Saya mencoba mencari riwayat PTII yang kini menjadi milik Inalum dan BUMD Papua itu, ketemu di Kontan.co.id, artikel tanggal 17-7-2018 dan CNBCIndonesia.com tanggal 12-1-2018, serta beberapa artikel pembandingnya yang bersumber dari dokumen PTFI.

Kontrak Karya antara PTFI dengan Pemerintah Indonesia tanggal 30 Desember 1991.  Divestasi pertama, Pemerintah Indonesia mendapatkan 9,36% dan PT. Bakrie Investindo (Bakrie) membeli 9,36% saham PTFI pada Januari 1992. Pembelian saham PTFI oleh Bakrie diatasnamakan PTII, dibeli dengan harga sekitar 213 juta Dollar AS, yang duitnya berasal dari pinjaman sindikasi utang bank luar negeri yang dijamin oleh PTFI sendiri.

Tahun 1992 itu Freeport mengakuisisi 49% saham PTII di PTFI. Tahun 1997, saham PTII di PTFI dijual ke PT. Nusamba Mineral Industri perusahaan milik Yayasan yang dipimpin Presiden Suharto, yang juga dimiliki oleh Bob Hasan dan Sigit Hardjojudanto. Mereka membeli saham PTII juga dengan duit utangan sindikasi bank yang dijamin oleh PTFI. Hingga akhirnya Nusamba gagal bayar utang sehingga tahun 2002 Freeport McMoran selaku penjaminnya melunasi utang Nusamba dan mengambil alih saham Nusamba di PTII.  Maka saat itu Freeport McMoran kembali menguasai 90,64% saham PTFI (dari semula 81,28%) dan 9,36% saham PTFI tetap menjadi milik Pemerintah Indonesia.

Oleh sebab itulah dalam divestasi ini dilakukan cara sebagai berikut: 1. Pemerintah mengakuisisi saham PTII yang tak lain dan tak bukan bahwa PTII semula adalah anak perusahaan Freeport McMoran, senilai 350 juta Dollar AS. 2. Pemerintah membayar hak partisipasi (participating interest / PI) Rio Tinto di PTFI sebesar 3,5 miliar Dollar AS, sebab selama ini PTFI menjual PI kepada Rio Tinto sebesar 40%.

Jadi demikianlah kisahnya berliku-liku nan ruwet seperti rambut gorila yang keriting kan?

Kekayaan PTFI dan Kerugian Ekologis 

Mengenai hasil pemeriksaan BPK tersebut, saya kutip pendapat Auditor Utama Keuangan IV BPK Laode Nusriadi (dengan sumber berita dari cnnindonesia.com, 22-10-2018), yang mengungkapkan bahwa perhitungan hilangnya jasa ekosistem tersebut berdasarkan analisis perubahan tutupan lahan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) 1998-1990 dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) pada 2015-2016. Analisis tersebut kemudian dikutip BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu Penerapan Kontrak Karya Freeport Indonesia Tahun Anggaran 2013-2015. Menurutnya, kerugian Rp 185 T itu bukan kerugian negara.

Pertanyaannya: setujukah Anda dengan pendapat bahwa kerugian akibat kerusakan ekosistem yang menjadi tanggung jawab PTFI tersebut tidak dikategorikan sebagai kerugian negara? Saya akan mengemukakan pendapatku pada bagian selanjutnya.

Baiklah, sekarang saya akan membandingkan kerugian lingkungan sebesar Rp 185 T tersebut dengan nilai aset PTFI. Menurut databoks KataData.co.id (saya akses tanggal 28-12-2018), aset PTFI per Desember 2017 mencapai 10,66 miliar Dollar AS atau sekitar Rp 153,53 triliun, tumbuh 1,19% dari tahun sebelumnya. Tapi ada data lain yang menyebut bahwa di tahun 2016 aset PTFI mencapai lebih dari Rp 200 T.

Menurut Detik Finance (30-8-2017), bila dihitung dengan metode Fair Market Value, berdasarkan nilai cadangan dengan masa kontrak sampai 2041, nilai 100% saham PT Freeport Indonesia adalah 15,9 miliar Dollar AS, alias kurang lebih Rp 211 T, maka nilai 51% sahamnya sekitar Rp 107 triliun.Tapi saya membantahnya, sebab Kontrak Karya II hanya berlaku sampai dengan tahun 2021, bukan tahun 2041.

Kalau memakai metode replacement cost (nilai yang diukur saat ini untuk mengganti aktiva dengan kapasitas produksi yang sama atau mendapatkan aktiva baru), nilai 100% saham Freeport adalah 5,9 miliar Dollar AS atau sekitar Rp 78 triliun. Maka 51% saham sekitar Rp 40 triliun. 

Saya belum tahu, berapa nilai aset PTFI saat ini. Namun dengan melihat data pertumbuhan sebesar 1,19% dari tahun sebelumnya, maka kemungkinan besar di akhir tahun 2018 ini nilai aset PTFI tidak mencapai sebesar Rp 185 T. Maka saya gunakan matematika nilai sahamnya saja. Tapi sayangnya saya tidak jago dalam menghitung. Baiklah saya akan gunakan logika perbandingan dengan pendekatan angka saja. Jika sebelumnya Pemerintah Indonesia sudah memiliki 9,36% saham, maka untuk mencapai angka 51,2% Pemerintah (melalui Inalum dan PTII) harus membeli 41,84% saham PTFI. Jika nilai saham 41,84% saham tersebut adalah 3,85 miliar Dollar AS, maka nilai 100% saham PTFI adalah 9,20 miliar Dollar AS. Dengan kurs per 1 Dollar saat ini sekitar Rp 14.527,- maka 100% saham PTFI senilai sekitar 9,20 miliar Dollar AS x Rp 14.527,- = Rp 133,6 T. Nah, rupanya pendekatan angka yang saya pakai ini lumayan jadi jalan tengah hehe....

Artinya, jika seandainya dilakukan penyelesaian atas kerugian ekologis yang diderita di Papua senilai Rp 185 T itu dikonversi menjadi “piutang negara” kepada PTFI, maka negara Indonesia untuk mengambil-alih dan mendapatkan aset PTFI tidak perlu mengeluarkan uang. Sebelum masa Kontrak Karya habis tahun 2021, Pemerintah Indonesia melakukan klaim ganti kerugian senilai Rp 185 T yang hal itu dapat dikonversi menjadi pelaksanaan Pasal 22 ayat 2 Kontrak Karya, yakni penghentian Kontrak Karya sesuai dengan jatuh tempo tahun 2021 di mana nilai aset PTFI dikompensasi dengan kewajiban PTFI untuk membayar ganti rugi kepada negara.

Tentu saja hal itu melalui perundingan, yang jika tidak membuahkan hasil maka penyelesaianya dibawa ke Arbitrase internasional sesuai dengan klausul penyelesaian perselisihan Kontrak Karya II tanggal 30 Desember 1991 tersebut.

Pemerintah Indonesia mempunyai cukup alasan untuk tidak memperpanjang kontrak sesuai dengan Pasal 32 ayat 2 Kontrak Karya bahwa Pemerintah mempunyai cukup alasan yang masuk akal untuk tidak menyetujui permintaan PTFI untuk memperpanjang Kontrak. Selain soal pelanggaran hukum ekologis, juga terkait kewajiban divestasi yang tidak berjalan sesuai dengan Kontrak Karya, serta masalah pemutusan hubungan kerja sebagian para pekerja yang hingga kini menyisakan masalah yang tidak terselesaikan. Tentu saja bukan hanya pihak Pemerintah Indonesia yang dapat menjadi pihak, melainkan rakyat Indonesia dapat menjadi pihak intervensi sebab kedudukan rakyat Indonesia disebutkan di dalam Kontrak Karya tersebut, yakni dalam Pasal 23 ayat 2 Kontrak Karya tersebut.

Apakah kerugian ekologis merupakan kerugian negara?

Tentu saja. Jadi, pendapat Auditor Utama Keuangan IV BPK Laode Nusriadi yang menyatakan bahwa kerugian lingkungan (ekologi) itu bukan kerugian negara adalah cara pikir yang keliru. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menentukan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan asas, salah satunya adalah asas tanggung jawab negara. Jadi, kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh perbuatan suatu subyek hukum itu berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang menjadi tanggung jawab negara untuk melindungi, memenuhi, menegakkan, dan memajukannya sesuai Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945.

Oleh sebab itu, jika PTFI melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, maka negara selaku penanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dapat meminta pertanggungjawaban PTFI untuk memulihkan atau membiayai pemulihan lingkungan hidup itu, meskipun untuk pulih sempurna seperti sediakala itu adalah hal yang hampir mustahil.

Kalau mau tahu lebih detil tentang bahwa urusan lingkungan hidup merupakan urusan negara, urusan publik, maka bisa dibaca Pasal 3 UU PPLH tersebut. Bahkan Pasal 90 UU PPLH menentukan wewenang gugatan negara (qq. Pemerintah). Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. Nah, banyak membaca itu bagus, bisa makin kaya ilmu, asalkan bukan membaca kitab ramalan togel. Memang mengherankan, oknum auditor BPK ini, yang kewenangannya menjadi auditor urusan negara, tapi setelah menemukan data adanya kerugian, tapi kok tidak berani mengatakan itu kerugian negara. Kalau mengaudit soal ekonomi yang bukan urusan negara, kan ya bukan tugas auditor negara, lalu mengapa BPK mengeluarkan hasil pemeriksaan kerugian lingkungan hidup jika itu bukan soal “kekayaan atau ekonomi negara”? Jika persoalan ekologi dalam kaitannya dengan kinerja investor itu bukan urusan ekonomi atau kekayaan negara, ya BPK jangan memeriksa! Biarkan Mukidi yang memeriksanya!

Cara menghitung kerugian lingkungan hidup tersebut menggunakan acuan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup. Pasal 8 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup ini menentukan bahwa: (1) Pembayaran Kerugian Lingkungan Hidup merupakan penerimaan negara bukan pajak. (2) Seluruh penerimaan negara bukan pajak dari pembayaran Kerugian Lingkungan Hidup wajib disetor ke kas Negara. Nah, jadi jelas bahwa ganti rugi kerusakan ekologi itu juga merupakan hak negara. Ini soal paradigma atau cara berpikir saja. Mungkin selama ini ilmu ekonomi kapitalisme memang tidak memandang lingkungan hidup sebagai komponen ekonomi, sehingga yang dikatakan perekonomian atau kekayaan negara itu dipisahkan dari lingkungan hidup. Padahal lingkungan hidup itu merupakan kekayaan negara, harta negara, kekayaan publik, yang tidak ternilai harganya. Kalau orang sadar hal itu, maka dia berubah menjadi lebih cerdas.

Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dalam mengadili perkara korupsi Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, berpendapat bahwa beban kerugian ekologis dan biaya pemulihan lingkungan menjadi tanggung jawab perusahaan, bukan Nur Alam sebagai Gubernur (yang memberikan Izin Usaha Pertambangan / IUP). Dalam perkara tersebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berpendapat bahwa kerugian ekologis merupakan kerugian negara. Nah, apabila mengacu kepada pendapat Hakim tersebut, kan KPK bisa pula menjerat perusahaannya?

Mengapa divestasi saham PTFI minus penyelesaian kerugian ekologis?

Saya membaca pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman, Jenderal Luhut Binsar Panjaitan, yang ternyata juga tidak sekadar mengurusi kemaritiman, tapi juga mengurusi macam-macam urusan ini. Bagaimana jika di kabinet dibentuk Kementerian Segala Urusan? Sepertinya cocok. Biar urusan-urusan negara cepat terselesaikan. 

Jenderal Luhut Binsar Panjaitan mengatakan bahwa ia berjanji akan menyelesaikan temuan BPK terkait potensi kerugian negara sebesar Rp 185 T yang diakibatkan kegiatan PTFI itu. “Ya pasti akan saya selesaikan. Karena nanti divestasi selesai, bisa jadi tanggungan kita juga kan itu,” ujar Jenderal Luhut tanggal 4 April 2018 (dikutip dari CNBCIndonesia.com, 4-4-2018).

Nah, artinya itu memang sengaja bahwa tanggungan kewajiban lingkungan PTFI akan diurus setelah divetasi, sehingga kewajiban tersebut akan menjadi beban negara sebesar 51% sesuai dengan besarnya saham gabungan Inalum dan PTII. (Ingat, pemegang saham PTII adalah Inalum dan BUMD Papua milik Pemkab Mimika dan Pemprov Papua).

Apakah ada korupsi dalam divestasi?

Kalau soal kecurigaan bahwa dalam proses divestasi saham ada orang-orang “berjasa” yang memperoleh gratifikasi, itu tidak usah dipikirkan. Jadi orang tidak boleh buruk sangka. Jika ada dan tidak ketahuan, ya namanya juga tidak ketahuan. Mau apa? Di dunia ini tidak semua kejahatan dibuka oleh Tuhan. Jadi, tidak usah mikir itu!

Sekarang apakah dalam proses divestasi saham PTFI itu ada unsur korupsi yang terkait perekonomian negara, yakni ada perbuatan melawan hukum, memperkaya diri-sendiri atau orang lain dan merugikan negara?

Perbuatan melawan hukum meskipun telah diinterpretasi sebagai perbuatan hukum dalam arti formil oleh Mahkamah Konstitusi (MK), tapi Mahkamah Agung (MA) dengan pemikirannya sendiri tetap berpegang teguh pada makna perbuatan hukum formil dan materiil. Dengan interpretasi MA seperti itu maka perbuatan melawan hukum dalam proses divestasi saham PTFI tidak harus selalu dikaitkan apakah melanggar peraturan perundang-undangan atau tidak. Misalnya begini: Lha kalau pada tahun 2021 seharusnya Kontrak Karya PTFI dengan Pemerintah Indonesia berakhir, mengapa kok Pemerintah membeli saham PTFI? Padahal ada banyak alasan rasional untuk tidak memperpanjang Kontrak Karya itu.

Lha mengapa kok Pemerintah Indonesia tidak meminta tanggung jawab PTFI untuk menyelesaikan kerugian lingkungan hidup Rp 185 T, tapi malah membeli sahamnya 51% sehingga kewajiban pemulihan lingkungan itu harus membebani negara selaku pemegang saham 51% saham PTFI? Nah, artinya, perbuatan melawan hukum itu dapat dinilai dari apakah proses-proses yang demikian itu wajar atau sesuai dengan kepatutan atau tidak. Jelasnya unsur memperkaya PTFI dan Freeport McMoran dapat dilihat dari pengurangan beban kewajiban untuk membiayai pemulihan lingkungan atau tidak membayar penuh kerugian lingkungan hidup karena 51% sahamnya dijual kepada BUMN sehingga sekitar separoh beban PTFI beralih ke BUMN (Inalum dan PTII) selaku pemegang saham yang baru. Dengan demikian maka secara otomatis negara dirugikan.

Untuk menghitung kerugian negara ini menurut MK tidak harus dengan hitungan versi BPK atau BPKP, tetapi para ahlinya dapat memberikan penilaian. Dalam hal itu sudah ada hasil Pemeriksaan BPK yang tinggal dikuatkan dan ditambah dengan keterangan para ahli yang telah melakukan pemeriksaan kepada PTFI.

Nah, demikian pendapat saya. Pendapat ini tentu tidak karena saya mendapatkan pendapatan loh ya. Saya bukan advokat berdasi yang menerima bayaran supermahal seperti Hotman Paris atau Luhut M Pangaribuan dan yang selevel mereka. Pendapat advokat jalanan seperti saya hanya bermaksud menyumbangkan pemikiran alias urun rembug kepada yang mau disumbang.